Angin berembus lembut saat Flora berjalan melewati jendela-jendela yang dibiarkan terbuka, memberikan secuil kesejukan dalam tempat itu. Heels-nya yang beradu dengan lantai menimbulkan bunyi ketukan yang seirama. Sesekali Flora tersenyum sopan dan sedikit menundukkan kepalanya ketika berpapasan dengan orang lain. Matanya menjelahi setiap kesibukan di sana, lantas senyum tipis terbit di wajahnya yang terlihat berseri pagi ini.
Resmi sudah Flora diterima sebagai sekretaris di Gane Brown Corporation. Sebulan lebih dia mencari cara untuk masuk ke perusahaan ini, bahkan sempat berniat untuk melamar sebagai petugas kebersihan. Namun akhirnya kesempatan emas itu datang, posisi untuk sekretaris CEO kosong.
Hanya karena Flora memiliki pengalaman sebagai sekretaris eksekutif di perusahaan lamanya, tidak lantas membuatnya langsung diterima. Ada serangkaian tes yang terasa amat panjang, Flora harus bersaing dengan ribuan pelamar. Keinginan balas dendam yang membara, membuat Flora berhasil memuncaki penilaian keseluruhan. Kerja keras, tekad, melatih diri siang-malam, akhirnya membuahkan hasil.
Langkah Flora terhenti di depan pintu kayu kualitas wahid yang tampak angkuh. Sejenak dia merapikan rambutnya dan memeriksa blouse dan celana panjang yang dia kenakan, sebelum akhirnya tangannya terulur untuk mengetuk pintu. Hanya dua kali ketukan hingga sebuah suara yang terkesan dingin dari dalam sana terdengar, menyuruhnya masuk. Flora mengembuskan napas panjang, menyemangati diri sendiri, lantas mendorong pintu.
Ruangan seluas sembilan kali sembilan meter segera menyambut Flora begitu pintu terbuka perlahan. Flora sudah menampilkan senyum terbaiknya, melangkah anggun mendekati seseorang yang tampak sibuk dengan dokumen-dokumen di kursi kebesarannya.
“Selamat pagi, Pak.”
Tidak ada jawaban. Pria di depan Flora tampak tidak mengindahkan kedatangan Flora di ruangannya. Dia masih sibuk membolak-balikkan dokumen, berpindah ke layar komputer, kemudian mengambil dokumen baru.
Berdiri terabaikan di sana, Flora menahan diri agar emosinya tidak terpancing. Sebelumnya dia sudah beberapa kali bertemu dengan pria yang berposisi sebagai CEO itu, mempelajari ini-itu dari sekretaris lama yang resmi resign kemarin. Flora masih memasang sikap sopan, menunggu dengan sabar hingga fokus sang CEO sedikit teralihkan padanya, meski dalam hati sudah memaki.
Dalam keheningan yang terasa membekukan itu, mata Flora tertuju pada papan nama di depan meja yang terbuat dari kaca. Di sana tertulis jabatan dan nama sang CEO, Abraham Ganendra. Flora menghela napas samar. Kalau dilihat-lihat nama itu cocok sekali dengan wajahnya. Rahang yang kokoh, garis hidung yang tajam, sorot mata tanpa keraguan—
Deg!
Flora sedikit terperanjat di tempatnya berdiri ketika Abraham tiba-tiba mengangkat wajah, melemparkan tatapan tajam kepadanya. Oksigen seperti menghilang ketika mata mereka bertemu dan segala semangat dan kepercayaan diri yang telah dibangun Flora luruh seketika.
“Sedang apa kamu, Flora Ilona? Saya mempekerjakanmu bukan untuk berdiri tidak berguna di sana.”
Sial, bahkan suaranya pun cocok sekali dengan namanya. Dan apa-apaan nada seolah dia manusia paling bekerja keras di dunia itu, Flora menjadi kesal karenanya.
“Maaf, Pak.”
Abraham mengesah, menyugar rambutnya yang tertata rapi. “Ada tiga poin dasar yang harus kau pahami dan patuhi selama menjadi sekretaris saya.” Kini tatapan Abraham sedikit melunak, suaranya yang tegas memenuhi ruangan itu. “Pertama, saya tidak suka skinship, apa pun keadaannya. Saya hanya melakukan jabat tangan di acara resmi atau meeting. Jika kamu melihat seseorang mencoba menyentuh saya, kamu memiliki kewajiban mencegah hal itu terjadi.”
Mata Flora mengerjap seiring keheningan yang menyelimuti ruangan karena Abraham menghentikan ucapannya sejenak. Dalam kepalanya terlintas satu hal: bosnya pasti punya alergi terhadap manusia. Dan sialnya, hal itu kemungkinan akan menyulitkan rencana Flora.
“Kedua, saya tidak akan menoleransi pekerjaan yang berantakan dan tidak sesuai dengan perintah saya atau kebijakan perusahaan. Meskipun kamu sudah menikah, tidak ada pengecualian dalam pekerjaan. Semua harus dilakukan dengan sempurna.”
Dari sekali lihat saja, semua orang pasti sudah bisa menduga bahwa Abraham adalah makhluk perfeksionis. Ya, untuk yang satu ini Flora menganggapnya wajar. Semua perusahaan pasti menginginkan karyawannya bersikap profe—
“Sekali pekerjaan tidak benar, kamu harus menambah satu jam waktu kerja. Tanpa bonus lembur, tentu saja.”
Flora tersedak udara yang dihirupnya. Tanpa sadar dia menatap Abraham seolah memastikan bahwa hal itu hanyalah omong kosong belaka. Namun yang terjadi justru ekspresi Abraham bahkan tidak berubah, menjawab dengan suara tajamnya, “Seseorang yang berani mengambil sebuah pekerjaan, dia harus mempertanggungjawabkannya sampai akhir.”
Tentu saja Flora tidak bisa membalas perkataan bosnya. Meskipun kesal sekali, dia tidak bisa menampik bahwa apa yang dikatakan Abraham benar adanya. Mungkin itulah resepnya hingga dia bisa membawa perusahaan ini menuju titik tertinggi sejak didirikan.
“Poin ketiga.”
Entah mengapa Flora merasa jantungnya berdegup terlalu kencang, merasa hal yang jauh lebih buruk akan segera dia dengar.
“Ini mungkin terdengar keterlaluan, tapi dengan kamu bersedia menjadi sekretaris saya, maka saya anggap kamu menempatkan posisi saya di atas keluargamu. Dua puluh empat jam kamu harus bersedia saya panggil, bahkan untuk mengerjakan hal-hal kecil seperti print out dokumen atau mencarikan kunci mobil saya yang terselip.”
Rahang Flora seperti ingin menggelinding mendengar poin terakhir itu. Tiba-tiba saja ia merasa dirinya telah mengambil keputusan yang amat salah dengan menjadi sekretaris Abraham. Belum benar-benar bekerja saja kepalanya sudah pening. Ah, lihat wajah menyebalkan itu, Flora bersumpah akan menimpuknya dengan heels lima sentinya suatu hari nanti.
Entahlah apa yang akan terjadi nanti, namun satu hal yang Flora yakini: rencana yang sudah disusunnya dengan sempurna bisa jadi akan gagal akibat makhluk bernama Abraham Ganendra.
***
Flora memijat keningnya seiring suara ketukan sepatunya yang mengisi lorong panjang. Meskipun di hari pertama kerjanya, Flora cukup bisa sedikit bersantai karena hari ini Abraham tidak memiliki jadwal rapat, namun tetap saja dia masih harus mempelajari beberapa aturan kerja, pun penyesuaian dengan lingkungan kerja yang masih terasa asing. Bos prefeksionis itu kini sedang sibuk memeriksa laporan keuangan yang memiliki indikasi terjadi kesalahan interpretasi angka, sehingga Flora memutuskan untuk membuat teh hijau di pantry.
“Tidak diragukan lagi. Luna yang terbaik!”
Suara penuh keceriaan itu samar-samar terdengar, sehingga membuat Flora mempercepat langkahnya menuju pantry. Dari jendela kecil yang terbuka, Flora dapat melihat empat orang—dua pria dan dua wanita—yang tengah tertawa. Mata Flora langsung tertuju pada seorang wanita yang sedang menyerahkan cup minuman kepada tiga orang di sana.
Luna.
“Aduh, Pak Andre pandai sekali memuji. Saya tidak sebaik itu, Pak.” Luna mengibaskan tangannya sembari tertawa kecil.
“Apanya yang tidak. Kamu ini karyawan paling perhatian dan manis di sini. Alangkah beruntungnya pria yang menjadi suamimu nantinya.”
Spontan Flora tertawa kering mendengarnya. Sepertinya di perusahaan ini Luna membangun citra wanita baik-baik dan sempurna. Seperti kucing yang mengubur kotorannya, Luna menyembunyikan rahasia kelamnya melalui sikap anggun dan penampilan bak bidadari. Tinggal menunggu waktu hingga dunia mengetahui wujud aslinya. Flora tidak yakin dia akan menjadi kesayangan semua orang lagi jika bom itu telah dijatuhkan.
“Selamat siang.”
Begitu Flora menyapa dengan ramah di ambang pintu, seluruh pusat perhatian di ruangan itu langsung teralihkan padanya. Adalah Andre yang terlebih dahulu membalas sapaan, “Ah, sekretaris baru Pak Abra! Kalau tidak salah Flora ya namanya? Jangan sungkan, mari masuk.”
Dengan senyum lebar masih terpatri di wajahnya, Flora melangkah masuk ke pantry. Dia menyapa satu persatu orang di sana sembari berkenalan. Dan ketika tiba saatnya pada Luna, Flora bisa melihat dengan jelas bahwa wanita itu tengah gugup. Meskipun samar, Flora bisa mendengar napasnya yang tersengal dan raut wajah yang berubah kaku.
“Luna, ya? Karyawan paling populer tahun lalu, bukan? Saya sudah banyak mendengar tentangmu.” Flora tersenyum lembut.
“A-ah, ya. Salam kenal, Flora.” Sedikit tergagap, Luna balas tersenyum, kaku dan terlihat tertekan. Siapa pula yang tidak gelisah ketika berhadapan langsung dengan istri pacarnya. Tentunya orang normal yang mengedepankan citra macam Luna akan merasa sangat khawatir jika hubungan gelapnya ketahuan.
“Eh—” Flora pura-pura melebarkan matanya ketika melihat sesuatu di leher Luna. “Hei, kita punya kalung yang sama. Lihat ini.” Tangan Flora bergerak mengeluarkan kalung berhiaskan batu ruby yang awalnya tertutup blouse-nya. “Kebetulan sekali.”
“Wah, benarkah?” Wanita lain di ruangan itu yang tadi memperkenalkan diri sebagai Angela tertarik mendekat, memperhatikan kalung yang dipakai Flora dan Luna secara bergantian. “God, benar-benar sama persis. Apa kalung ini sedang menjadi tren sekarang?”
Flora menyeringai samar ketika melihat wajah Luna semakin pucat. Dia seperti kehilangan daya untuk bergerak atau mengucapkan sepatah kata.
“Saya pikir itu tidak mungkin. Kalung ini suami saya yang membelikan sebagai hadiah ulang tahun, dipesan khusus dengan desain yang dia buat sendiri. Kata dia waktu itu, di hari yang istimewa, tentu kadonya juga harus istimewa.” Pandangan Flora beralih dari Angela ke Luna. “Makanya saya bingung Luna bisa mengenakan kalung yang sama dengan saya.”
Tahu apa yang lebih menyenangkan dibanding menonton film atau bermain golf? Melihat dengan mata kepala sendiri ketika lawan mati kutu, tersudut, dan kehilangan akal untuk keluar dari kungkungan perangkap. Selama beberapa saat, ruangan itu kehilangan suara-suara untuk merobek keheningan. Seluruh atensi hanya tertuju pada Luna yang berdiri membeku.
“Saya ... kalung ini ....” Hanya ada kegelisahan yang tergambar di wajah Luna. “Saya pernah melihatnya dipajang di etalase toko. Saya bertanya pada penjaga toko, katanya kalung ini desain khusus yang telah dipesan seseorang. Karena amat menyukai desainnya, saya meminta untuk dibuatkan yang sama.”
Ketegangan di pantry mencair seketika. Kali ini, Luna akhirnya bisa lolos dari maut.
“Ah, begitu rupanya. Saya hampir saja berpikir ada hubungan khusus antara kamu dan suami saya.”
***
“Bagaimana, Flo? Kamu suka pekerjaan baru kamu?”Gerakan tangan Flora yang hendak menuangkan air putih ke gelas sedikit tersendat karena pertanyaan Sakha. Bayangan tentang pekerjaannya hari ini kembali hinggap di pikirannya, membawanya kembali mengumpat dalam hati kepada Abraham yang telah membuat peraturan konyol tidak berperikemanusiaan itu. Tidak ada yang menarik di perusahaan selain fasilitas mewah dan tentu saja raut pucat Luna ketika Flora sengaja mempermainkannya.“Suka sekali, Mas. Aku menemukan kesenangan baru di sana.” Tidak ada gunanya bagi Flora untuk berkata jujur. Susah payah dia mendapatkan izin dari Sakha untuk kembali bekerja setelah hampir tiga tahun mengabdikan diri sebagai ibu rumah tangga secara penuh.“Syukurlah ....” Air muka Sakha tampak sedikit berubah ketika meraih cangkir kopinya. Dia mencuri pandang Flora beberapa kali sebelum bertanya dengan suara sedikit serak, “CEO di sana ... bagaimana? Apa dia memang sehebat yang dibicarakan orang-orang?”Sejenak, Flor
“Hentikan helaan napasmu itu, Flora. Kamu menganggu makan siang saya.”Suara yang lebih terdengar seperti menghardik itu membuat Flora melipat bibirnya seketika. Ia diam-diam melirik sinis Abraham yang tengah menikmati steiknya. Ah, lihat itu. Setelah mempermalukannya, bisa-bisanya Abraham makan dengan damai, sementara Flora harus merasa khawatir tentang masa depannya.Bertepatan dengan pelayan yang selesai menyajikan dessert, Flora meletakkan sendoknya. Bulat sudah tekadnya untuk meminta pertanggungjawaban Abraham. Dia sudah terlanjur terjerembab ke kubangan lumpur, maka Flora memutuskan sekalian mandi di sana.“Maaf jika saya lancang mengatakan ini, Pak. Tapi untuk selanjutnya, mohon sekali Bapak memberikan instruksi yang jelas dan lengkap sehingga kejadian seperti hari ini tidak terjadi di masa depan.” Flora mencoba menekan kekesalan yang sudah mengendap di hatinya sejak hari pertama menjadi sekretaris Abraham, sehingga suaranya menjadi sedikit bergetar. Kalau menuruti kata hatinya
Akhir pekan. Terasa seperti surga bagi Flora setelah hari-harinya dipenuhi dengan omelan dan tingkah semena-mena Abraham. Malam ini, keriuhan memenuhi telinga Flora, banyak orang berpakaian formal hilir-mudik, musik romantis mengalun sejak acara dimulai. Sembari memeluk lengan suaminya, Flora banyak tertawa, mengobrol ringan dengan kenalan. Mereka kini tengah menghadiri pesta pernikahan sahabat baik Sakha, bergabung dengan para tamu undangan. “Akhir-akhir ini Flora tampak cantik sekali, bukan? Badannya semakin bagus. Kamu melakukan diet, Flo?” Salah satu teman Sakha, Arina, bertanya ringan. Flora membalasnya dengan tawa kecil yang sedikit hambar. Ya, berat badannya memang sedikit turun, namun bukan karena melakukan diet, olahraga, atau semacamnya. Pengkhianatan, kehilangan, dendam kesumat, membuatnya kehilangan selera untuk menyantap makanan. Ditambah seminggu terakhir, menjadi sekretaris Abraham benar-benar menguras tenaganya dan pikirannya penuh dengan segala hal yang membuat stres
Diiringi dengan kilatan petir di belakang sana, Abraham sedikit tersentak ketika membuka pintu rumahnya. Demi Tuhan, dibandingkan manusia, sekretarisnya lebih tampak seperti hantu wanita yang mati karena depresi. Rambut acak-acakan, maskara yang luntur ke bawah mata, ekspresi tanpa nyawa. Dan apa-apaan dress formal yang Flora kenakan, sama sekali tidak cocok dengan kondisi wajahnya saat ini.“Apa kamu baik-baik saja, Flora? Kamu baru saja menjadi korban tabrak lari?” Abraham bertanya setelah mencoba menenangkan jantungnya.“Saya tidak apa-apa, Pak. Abaikan penampilan saya.” Flora menimpali dengan nada suara dan wajah tak beriak. “Apa yang harus saya kerjakan sekarang?”Abraham mendadak bingung, ragu membiarkan Flora masuk ke rumahnya dengan keadaan menyedihkan macam itu. Tambahkan aura horor wanita itu yang entah mengapa membuat Abraham merasakan tengkuknya meremang.Dua detik, tangan Abraham menggapai handle pintu, bersiap untuk menutupnya. Dia tidak mau ambil risiko jika nanti tiba-
Tetes hujan yang jatuh memercik membasahi bagian depan heels milik Flora. Dia kini sedang duduk di lantai depan minimarket sambil menatap rintik hujan yang tak kunjung usai. Celotehan beberapa orang yang beradu dengan suara hujan, juga kendaraan yang lewat di jalan raya, menjadi penghibur Flora malam ini.Flora duduk memeluk lutut, tatapannya menerawang menembus jutaan air yang turun serentak. Suasana yang tercipta membuat Flora kembali terlempar pada kenangan-kenangan bahagia, lompat pada saat dia menemukan lingerie merah, lompat lagi saat dia kehilangan peri kecilnya. Rasa kehilangan itu masih basah, Flora masih bisa merasakan perutnya yang nyeri, warna dan aroma darah yang mengalir di kakinya.“Es krimnya mencair, Flora.”Lamunan Flora terpotong kala sebuah suara yang mulai familiar menelusup telinganya. Pelan, namun seakan bisa menyaingi gemuruh hujan. Pandangan Flora beralih pada es krim stroberi berbentuk cone di tangannya, segera menyuapkan lelehan es krim ke mulutnya.“Ah ...
Malam telah menurunkan tirainya, membungkus kota dalam hamparan langit gelap. Gemerlap lampu tempat hiburan malam mulai unjuk gigi, berlomba menjadi yang paling bersinar, paling megah, untuk menarik orang-orang masuk ke dalamnya. Dari tempatnya berdiri sekarang, Flora dapat melihat hamparan cahaya bagai kunang-kunang terbang. Kendaraan merayap, gedung-gedung pencakar langit yang berdiri gagah, pun kesibukan yang menjadi akar julukan ‘kota yang tak pernah tidur’. Flora seakan dikembalikan pada kejadian saat dia ingin mengakhiri hidupnya. Dia tersenyum, teringat pada Kairo. Entah bagaimana dia akan bertemu pria itu lagi. “Cokelat?” Suara yang datang dari samping kanannya, membuat Flora menoleh. Luna telah berdiri di sampingnya, tersenyum lebar sembari mengulurkan cangkir berisi cokelat dengan uap mengepul. “Terima kasih.” Flora balas tersenyum, menerimanya. “Aku sengaja datang ke sini. Beberapa kali aku melihatmu berdiri di sini selepas pulang kerja.” Luna meminum cokelat panasnya,
“Oh, kenapa tiba-tiba melihat album kelulusanku?” Sakha yang baru saja mandi, handuk masih tersampir di rambutnya, mengernyit saat menemukan Flora yang sibuk melihat-lihat album kelulusan SMA-nya. “Aku hanya suka fotomu di sini, Mas. Kau terlihat manis sekali dengan potongan rambut seperti ini.” Flora mengangkat album, memperlihatkan foto Sakha dengan gaya rambut emo sembari tertawa geli. “Kamu pasti bercita-cita menjadi penyanyi rock saat itu.” Sakha menyampirkan handuk di kursi, melipat tangan di depan dada dengan wajah tertekuk. “Sepertinya tidak ada yang lebih menyenangkan bagimu selain mentertawakan aibku, ya, Flo. Lihat saja, besok akan kubakar album itu!” Derai tawa Flora semakin santer terdengar. Ia tertawa keras hingga matanya menyipit dan badannya meliuk ke belakang. Sementara Sakha pura-pura semakin kesal karena tingkah istrinya. “Jangan begitu. Cobalah sekali lagi gaya seperti ini. Mau kubelikan ripped jeans dan tank top. Kamu pasti akan cocok sekali memakainya.” Flora
“Mia?” Wanita yang tengah mengenakan kardigan hitam longgar dengan rambut panjang tergerai yang menutupi sebagian wajahnya itu, menoleh saat Flora memanggil pelan namanya. Kakinya bergerak sedikit memutar, bersamaan dengan pandangannya yang beralih ke samping. Kantong plastik putih yang berada di tangan wanita itu bergemerisik terkena embusan angin malam. Dalam temaram karena pencahayaan yang kurang memadai, Flora bisa melihat Mia mengerutkan kening, seperti sedang mengingat-ingat apa pernah bertemu dengannya sebelumnya. Flora menegakkan punggung yang awalnya bersandar pada dinding bangunan, melangkah mendekat sembari tersenyum tipis. “Benar Mia Amarita?” tanya Flora sekali lagi, tepat setelah berdiri berhadapan dengan wanita itu. Dari jarak sedekat ini, Flora bisa melihat dengan jelas suram yang membayang di wajah Mia, juga sepasang mata yang menatapnya bingung dan sangsi. Gurat wajahnya sudah berbeda dari foto yang Flora lihat di album kelulusan, menjadi jauh lebih dewasa, namun
“Untuk makan siang.” Flora meletakkan paper bag di meja Abraham. “Sama seperti Bapak, saya juga tidak suka berutang budi.”Abraham mengalihkan pandangan dari layar komputer, melirik paper bag. “Ini bukan rendang varian depresi, kan? Saya sedang tidak berminat memakan sesuatu yang dibumbui keputusasaan.”Flora membalasnya dengan cibiran tanpa suara. “Tahu tidak, demi memasak ini saya bangun pagi-pagi buta sekali, tidur hanya beberapa jam saja. Dan setelah ini harus mengerjakan tugas yang seperti tumpukan dosa itu. Setidaknya beri saya ucapan terima kasih.”Salah satu alis Abraham terangkat, menilai penampilan Flora. “Tapi kamu tidak terlihat seperti orang yang kurang tidur.”Oh, tentu saja Abraham tidak akan menemukan kesuraman di wajah Flora. Pesta besar baru saja ia gelar dengan meriah, mana mungkin ia akan menyia-nyiakan kesempatan ini untuk murung dan meratapi nasib.“Yah, tidak ada gunanya juga bertingkah menyedihkan. Saya tidak ingin menjadi pecundang yang pantas dikasihani.” Flo
Mobil sedan hitam Abraham merapat taman depan rumah Flora. Sunyi mengungkung sekitar, hanya derik samar serangga dari kejauhan yang terdengar. Lampu penerangan di jalan setapak yang membelah taman sudah menyala, tanda Sakha sudah pulang. Tanpa sadar Flora mendengus masam, sejujurnya ia sedang tidak ingin berhadapan dengan wajah memuakkan pria itu.“Jangan lakukan hal bodoh. Kalau tiba-tiba kamu ingin sekali memukul kepalanya, bergegas pergi ke ruangan lain dan tenangkan diri kamu.”Wejangan dari Abraham itu akhirnya membuat Flora tertawa, sebagian kekesalannya mulai mencair. “Tenang saja, malam ini saya menjadi anak baik. Mereka tidak boleh mati semudah itu.” Ia mengerlingkan matanya. “Mau masuk dulu? Saya cukup pandai membuat teh yang enak.”“Sudah cukup ‘karma’ yang harus saya terima hari ini. Terlalu lama bersama kamu akan membuat saya ikut tidak waras.” Abraham menyugar singkat rambutnya. “Masuklah. Istirahat dengan baik.”Flora menarik napas panjang, mengangguk. “Terima kasih unt
Dingin yang disalurkan lantai butik terasa lebih menggigit, keheningan pekat menyelimuti Abraham dan Flora yang masih bersembunyi di balik punggung sofa. Suara Sakha sudah tidak lagi terdengar, sepertinya dia sudah selesai memilih sepatu dan sekarang sedang menuju kasir.Sudut mata Abraham menangkap seorang pegawai yang tampak terkejut melihat mereka duduk di lantai, hendak berjalan mendekat. Namun, baru selangkah, tangan Abraham terangkat untuk menghentikannya. Pegawai itu sedikit membungkuk, sebelum menjauh dari sana.Flora masih menunduk muram, bergeming seolah satu-satunya hal yang paling menarik baginya hanya lantai marmer butik. Abraham memandangnya lama, bertahan tidak bersuara. Sejujurnya, ia tidak pandai menghibur orang lain. Abraham selalu merasa canggung tiap kali mencoba berinteraksi layaknya orang awam, ia kurang mengerti caranya.“Mereka sudah kembali bersama rupanya ....”Gumaman Flora membuat Abraham mengerjap beberapa kali. Ia baru ingin mengajak Flora pergi dari sana
“Apa ini semacam Ibu Peri dan Cinderella?” Sebelum masuk ke ruang ganti, Flora menoleh ke arah Abraham yang berdiri bersedekap dengan tampang tanpa minat.“Kamu mulai melantur.” Abraham menjawab dengan nada tak acuh.Flora berdecak masam. “Pasti di mata Bapak saya terlihat seperti upik abu kumal yang perlu sihir modern agar layak dilihat. Saya juga punya baju bagus di rumah, tidak perlu buang-buang uang seperti ini.”Mereka sedang ada di butik—tempat yang sama seperti saat Flora bereksperimen dengan melakukan kombinasi aneh terhadap pakaian Abraham, bahkan pegawai yang melayani mereka juga masih sama. Awalnya Flora berpikir ini semacam pembalasan dendam, namun dress yang diberikan padanya sekarang tampak sangat menawan.“Anggap saja sebagai investasi untuk setidaknya tiga tahun ke depan. Setiap kali saya butuh bantuan kamu lagi, pakai itu saja. Kamu mendapat baju baru, saya juga mendapat keuntungan karena jasa kamu. Kedua belah pihak tidak ada yang dirugikan.”Mulut Flora terbuka sepa
“Kairo?”Dahi Flora mengernyit dalam saat melihat nama ‘Kairo’ yang tercantum sebagai nama pengirim paket yang baru ia terima. Ia meletakkan kardus kecil itu di meja, lalu mulai membukanya.Kebingungan Flora semakin menjadi-jadi saat menemukan sebuah sendok bayi berwarna biru di dalam plastik penyimpanan barang bukti seperti yang sering polisi gunakan. Oh, dan ada secarik kertas di dalam kardus itu. Isinya singkat saja: Lakukan tes DNA dengan ini.“Sendok bayi? Tes DNA? Tes DNA dengan siapa? Apa-apaan dia—oh ....”Mendadak, Flora membeku, jantungnya terasa berhenti berdetak untuk sesaat. Jangan bilang sendok bayi ini milik ... putra Luna.Jantung Flora berdentam keras. Ia tahu apa yang Kairo inginkan. Pria itu menyuruh Flora melakukan tes DNA putra Luna dengan Sakha.Bagaimana bisa Kairo mendapatkan sendok ini? Lalu, bukankah sudah jelas jika Sakha adalah ayah biologis anak Luna? Tidak mungkin Sakha mau mengurus anak orang lain dan terlihat sangat tulus jika anak itu bukan darah dagin
Luna menatap alamat di buku catatannya dan bangunan di depannya secara bergantian, memastikan ia tidak salah. Ia kemudian menengadah untuk menatap hamparan langit malam tanpa bintang, mencoba menguatkan tekad. Mengembuskan napas sekali, ia akhirnya melangkah menuju pintu, menekan bel.Jantungnya berpacu selagi menunggu seseorang dari dalam sana membukakan pintu. Untuk mengalihkan kegugupan, ia merapikan penampilan sembari tarik-buang napas berkali-kali.Derak halus pintu yang perlahan terbuka membuat kegugupan menyerang dua kali lebih cepat. Ia menahan napas demi menemukan seseorang dari balik pintu yang mengenakan pakaian santai—celana panjang dan kaus lengan pendek.“Se-selamat malam, Tuan Kairo.” Luna sudah mencoba mengendalikan suaranya, namun ia masih tetap terbata.Kairo mengernyit, menelengkan kepalanya. “Ya?”“Ah, maaf mengganggu malam-malam.” Luna berdeham, mengambil napas. Tidak ada yang perlu ditakutkan, ia sudah berlatih. “Saya berencana membuat paspor. Mengenai foto, saya
Sebenarnya situasi macam apa ini? Flora mengitarkan pandangan pada orang-orang yang mengelilingi meja. Kairo, Abraham, dan Luna. Lalu ia mendesah samar menyadari keabsurdan yang sedang terhampar di depannya. Kairo, yang telah membangkitkan iblis dalam dirinya. Abraham, yang menjadi penentu keberhasilan balas dendamnya. Dan Luna, yang meluluhlantakkan dunianya sekaligus menjadi target balas dendam. Ketiga orang itu sedang berada di meja yang sama, duduk melingkari meja dengan Flora yang menjadi bagian dari mereka. Bahkan dalam mimpi terliarnya sekalipun, hal semacam ini tidak pernah tergambar. “Flo? Flo ....” Panggilan dari Luna itu membuat lamunan Flora buyar. Ia menoleh ke arah kirinya. “Ya?” “Kenapa tidak langsung dimakan? Nanti pastanya keburu dingin.” “Ah, ya ....” Tiba-tiba Flora merasa kikuk, melirik Kairo yang duduk di sebelah kanannya. Pria itu tampak santai menyesap air putihnya. “Oh, ratatouille? Restoran ini menyediakan makanan seperti ini juga, ya? Pak Abra sering ma
Kemarin Flora tidak terlalu menyadari, namun saat jam makan siang ini semuanya jadi terlihat gamblang. Setiap Luna lewat, beberapa karyawan akan meliriknya dengan tatapan yang ... entahlah, Flora merasa orang-orang itu sedang melakukan penghakiman kecil. Bisik-bisik yang jelas sedang menggosipkan juga menyusul, Flora menghabiskan setiap langkah menuju kantin perusahaan sambil menilai situasi.Rupanya kabar Luna sebagai pelaku perundungan ketika SMA itu sudah menjadi rahasia umum.“Perutku sedang tidak enak, rasa-rasanya aku tidak bisa makan nasi.”Ucapan yang datang dari arah kanannya membuat Flora mengejap, memutus atensi pada desas-desus bervolume rendah di sekitar mereka. Ia menoleh ke arah Luna yang berjalan di sampingnya. “Mau aku belikan bubur kalau begitu? Kamu bisa menunggu di kantin, aku akan keluar sebentar.”Luna menggeleng. “Tidak perlu. Aku baik-baik saja, hanya perlu memaksakan diri sedikit.”Flora memasang wajah prihatin. “Jangan begini. Ayo kita periksa ke dokter lagi.
Hangat dan nyaman. Ketika terjaga dari mimpi yang terasa panjang itu, tubuh Flora terasa ringan. Kelopak matanya perlahan terbuka, mendapati selimut tebal yang membungkus sekujur tubuhnya, dan tempat tidur empuk yang membuat punggungnya luar biasa nyaman.Butuh dua detik bagi Flora untuk menyadari jika ia tertidur di kamar tamu Abraham—tunggu. Flora bergegas memutar ingatan. Terakhir, ia hanya ingat menangis dengan Abraham yang duduk di sampingnya, lalu ... lalu—sial, sepertinya Flora ketiduran di sana. Terlalu banyak menangis, tubuh lelah, dan merasa beban tekanan antara harus melanjutkan balas dendam atau berhenti itu lenyap. Lengkap sudah. Ia ketiduran dengan perasaan lega.Oh, apa itu artinya ... Abraham yang membawanya kemari? Abraham yang itu? Wah, cukup mengerikan kalau dibayangkan.Flora terlonjak saat melihat terik yang menerobos lewat tirai yang tidak tertutup sempurna, matahari sudah cukup tinggi. Ia melompat dari selimut, bergegas keluar dari kamar. Flora sedikit tersentak