“Ikuti mobil itu, Pak.”
Flora berucap pelan pada supir taksi ketika melihat mobil Sakha melintasi jalan keluar restoran.Sejak keluar dari rumah sakit setengah jam yang lalu, Flora langsung menghubungi sekretaris Sakha, Briana, untuk menanyakan keberadaan suaminya. Briana mengatakan Sakha sedang makan di sebuah restoran setelah seharian berkutat dengan dokumen dan berkas. Dan kini Flora yang telah sampai di restoran yang dimaksud Briana, melihat mobil Sakha yang tidak menuju kembali ke perusahaannya, melainkan berbelok ke arah yang berlawanan.“Jangan sampai kehilangan jejak, Pak. Saya akan bayar lebih.”“Siap, Mbak!” Supir taksi berseru bersemangat, semakin dalam menekan gas mobilnya.Meskipun terpaut tiga mobil dari mobil Sakha, ditambah jalanan yang merayap, supir taksi itu benar-benar bisa diandalkan. Lima puluh menit yang mendebarkan bagi Flora, mobil Sakha terlihat berbelok ke sebuah taman hiburan. Supir taksi ikut berbelok beberapa saat setelahnya, mencoba mengambil jarak aman agar tidak terlihat seperti sedang membuntuti seseorang.Terpaut lima puluh meter di depan sana, Sakha keluar dari mobil, berjalan memutar dan membuka pintu di sisi lain mobil. Seorang wanita berambut sepunggung muncul setelahnya, dengan senyuman lebar dan langsung menggandeng lengan Sakha dengan mesra. Demi melihat adegan itu, Flora tertawa kering, membuat supir taksi menoleh dengan raut khawatir.“Tunggu di sini sebentar, Pak. Saya keluar dulu.”“Eh, mau saya temani, Mbak?” Supir taksi mencoba menawarkan bantuan. Melihat keadaan kacau Flora, dia takut terjadi sesuatu yang buruk.“Terima kasih perhatiannya, Pak. Tidak perlu. Saya akan menyelesaikannya sendiri.” Flora tersenyum tipis, kali ini dia benar-benar tersenyum. Tulus. Dia bisa merasakan kebaikan dari supir taksi itu.Ketika kaki Flora menginjak tanah dengan pandangan yang tidak lepas dari dua orang di depan sana, seluruh kenangan bahagia bersama Sakha berputar di pikirannya seperti film lama. Kali ini, setiap kali terbayang dirinya yang tertawa, Flora merasa jauh lebih patah, seperti sedang dihina.Lihat, kini mereka tertawa, lantas Sakha mencium pelipis wanita itu, tertawa lagi. Mereka pasti merasa dunia berpihak pada mereka, mengamini segala tindakan kotor mereka. Baik sekali takdir pada orang-orang macam itu, membiarkan mereka menari di atas luka yang menganga.Sudut mata Flora menemukan seonggok batu seukuran dua kali telapak tangan di pinggir halaman taman hiburan. Dia segera meraih batu itu, menganggamnya erat. Matanya, wajahnya, masih tanpa ekspresi, seperti mayat yang berjalan. Dia akan membalas semuanya dengan lunas hari ini. Dua nyawa akan melayang di tangannya.Hanya berjarak dua puluh meter lagi, tiba-tiba Flora memperlambat langkahnya, lantas benar-benar berhenti. Tatapannya berubah nanar. Lihat, tepat di depan pintu masuk, Sakha mengambil alih bayi berumur sekitar satu tahun dari seorang wanita yang memakai seragam baby sitter, menimangnya sambil tertawa sumringah bersama wanita itu.Kali ini tak terkatakan lagi bagaimana perasaan Flora. Baru sembilan jam yang lalu dia kehilangan buah hati yang bahkan keberadaannya tidak dia ketahui sebelumnya. Anak malang itu pergi tanpa mendapatkan ucapan selamat tinggal dari ibunya. Dan kini ayahnya sedang bersenang-senang dengan anak lain, bercanda tawa di hari kematian anaknya sendiri? Coba katakan apa yang lebih memilukan daripada ini.Ketika akhirnya Sakha bersama bayi dan wanita itu melewati pintu masuk taman hiburan, Flora tidak kuat lagi menopang tubuhnya. Kakinya lemas, batu yang dipegangnya berdebum jatuh. Dia ambruk bersama batinnya yang sudah remuk.Dalam sekejap, Flora menjadi bahan lirikan mata-mata yang ingin tahu. Dia bersimpuh dengan kepala yang tertunduk, untuk tiga detik kemudian tangisannya samar terdengar. Dari yang awalnya seperti bisikan, perlahan tangis itu berubah menjadi raungan yang menarik atensi semua orang di halaman taman hiburan. Beberapa orang menghentikan langkah mereka, melemparkan tatapan terkejut, prihatin, takut, entahlah, yang pasti mereka mengganggap Flora sudah kehilangan akal sehatnya.Mereka semakin syok ketika dalam sekejap mata raungan Flora berubah menjadi tawa membahana. Beberapa orang dengan sigap memanggil petugas keamanan, mengabarkan bahwa ada orang gila yang mengganggu ketenangan pengunjung.
Yang tidak mereka ketahui, wanita berpenampilan kacau itu tengah mengutuk takdir, menyalahkan garis langit yang teramat beringas menghancurkan segalanya dalam sekali tepukan. Rasa sakit itu sungguh tidak bisa lagi ditahannya, dan tawa yang mengabarkan kehancuran menjadi satu-satunya cara baginya untuk meminta pertolongan.Hari ini Flora tahu, dunianya sudah berakhir.***Kesiur angin malam menerbangkan rambut Flora yang acak-acakan, anak rambutnya melambai-lambai melintang di wajahnya. Rasa dingin yang menusuk tulang tidak lagi menjadi masalah bagi Flora sejak dia memutuskan untuk pergi ke rooftop sebuah hotel kenamaan. Hamparan lautan cahaya yang beratap langit gulita, berlatar musik deru kendaraan dan klakson yang tiada putus, menjadi teman bagi Flora, setidaknya membuat rooftop itu tidak terlalu sunyi. Tatapan matanya kosong, wajahnya pucat tanpa ekspresi.Rooftop itu hanya berisikan tandon-tandon air berukuran besar, juga beberapa kursi dan meja yang sudah rusak, berkarat sana-sini. Dengan penerangan yang minim, temaram hampir di setiap jengkal karena hanya ada satu lampu penerang di pintu masuk rooftop, memungkinkan Flora bergerak lebih leluasa.Orang-orang yang berjalan di bawah sana sama sekali tidak memiliki ide jika di salah satu rooftop bangunan pencakar langit, seseorang sedang berdiri di bibir bangunan. Selangkah saja dia menggerakkan kakinya, maka tak ayal satu nyawa akan melayang malam ini.Tekad Flora sudah bulat: dia akan melompat dari gedung berlantai tiga puluh ini. Dia sudah mempertimbangkan segalanya, termasuk tempat untuk melakukannya.Hotel ini merupakan milik seorang pejabat tersangka korupsi yang kini masih dalam proses mendapatkan peradilan. Meskipun berkeinginan mati, Flora ingin setidaknya sedikit berguna bagi masyarakat dengan membalas dendam terhadap pejabat korup itu. Jika terjadi peristiwa bunuh diri di sana, hotel itu kemungkinan akan kehilangan pasar jika pengelolanya tidak cekatan, syukur-syukur jika bangkrut.
Flora memejamkan mata, merapalkan salam perpisahan dalam hati, lantas cekalan tangannya pada pagar pembatas mulai mengendur. Dia akan mengakhiri segalanya malam ini.“Bunuh diri?”Suara bariton yang terdengar tiba-tiba itu membuat Flora terperanjat, spontan mengeratkan cekalan tangannya pada pagar pembatas rooftop. Dia menoleh ke samping kanan, menemukan seorang pria berperawakan tinggi yang melangkah perlahan dari gelap di samping tandon air. Dalam keremangan, sosok pria itu mulai kelihatan jelas ketika akhirnya dia berdiri di samping Flora, tersenyum miring sambil menyulut rokoknya dengan santai.“Mau melakukannya bersama?” Pria itu mengabaikan tatapan terkejut Flora, dengan tenang bersandar di pagar pembatas.“Kenapa aku harus melakukannya bersamamu?” Flora balas bertanya dengan suara parau. Dia sekilas mengamati pria itu. Polisi? Preman? Petugas keamanan? Sepertinya tidak, karena sebuah kamera menggantung di lehernya.Pria itu mengembuskan kepul asap rokok yang dengan cepat mengabur diterpa angin malam. “Emm ... karena solidaritas sesama manusia?”Flora bahkan tidak lagi memiliki hasrat untuk bereaksi terhadap perkataan konyol pria itu. Yang Flora tahu, pria itu gila. Mana ada orang waras yang akan santai begitu melihat orang ingin bunuh diri.“Biar kutebak .... Hamil di luar nikah? Ah, tidak, tidak. Ada cincin di jarimu.” Pria itu menggeleng atas reaksi celetukannya sendiri. “Diselingkuhi? Aku pasti benar.” Tawa renyah terdengar, pria itu sepertinya bangga dengan tebakannya sendiri.“Kalau ingin menghentikanku, maka lupakan.” Flora memusatkan tatapan matanya pada gedung pencakar langit yang menjulang di depannya, menampilkan LED display iklan parfum.“Sepertinya kamu salah paham.” Pria itu melempar puntung rokok ke bawah lantas menginjaknya. “Aku sama sekali tidak berniat menghentikanmu. Yah, dunia memang memuakkan, semuanya tampak palsu. Tapi aku cuma ingin bertanya satu-dua hal. Apa yang akan kamu dapatkan setelah mati? Berharap suamimu dan selingkuhannya menyesal, meraung menangisi kematianmu?”Flora terhenyak seketika.“Yang ada mereka akan terbahak, menari di atas mayatmu, lalu mengeruk semua warisanmu.”“Aku miskin.”“Tepat sekali!”Kali ini perkataan pria itu berhasil membuat Flora menghela napasnya, berharap pria itu segera enyah dari sana.“Jauh lebih baik jika kamu miskin.”Semakin ke sini Flora merasakan ucapan pria itu semakin tidak keruan dan tidak jelas. Entahlah pria itu bodoh atau apa.“Aku dengar kebanyakan orang miskin ambisius untuk memperbaiki taraf hidupnya. Kamu rela seluruh harta suamimu jatuh ke tangan selingkuhannya sementara kamu mendekam di neraka?” Pria itu melemparkan pertanyaan sensitif dengan nada yang teramat santai. Namun karena pertanyaan itu pula sebuah kesadaran mendarat di pikiran Flora.“Kalau aku jadi kamu, aku akan membuat mereka menangis darah, sujud di bawah kakiku dengan penyesalan yang menggerogoti kewarasan. Aku akan renggut semua yang berharga bagi mereka, merangkai skenario untuk memperlihatkan pada dunia bahwa mereka hanya seonggok sampah menjijikkan. Saat semua orang berpaling, dunia menghakimi, mereka akan meminta dibunuh daripada menjalani hidup macam itu.”
Mata Flora sepenuhnya tertuju pada pria di sampingnya. Entah apa yang terjadi, dadanya seperti membara, menguar semangat yang menggebu. Keinginan untuk hidup yang sempat sirna kini meluap menembus batas yang ada.Balas dendam? Tidak pernah tebersit pikiran macam itu sebelumnya. Pria itu seperti iblis yang berlindung di balik topeng malaikat. Yang mengherankan, Flora amat menyukai ide itu.
“Tapi bagaimana caranya?”Terlihat pria itu kembali mengambil sebatang rokok, menyulutnya dengan cepat. “Kamu yang paling tahu cara melakukannya. Setiap orang punya caranya sendiri untuk menantang takdir. Lakukanlah dengan keren, tunjukkan bahwa mereka telah mencari masalah dengan orang yang salah.” Dalam sekali gerakan, pria itu menegakkan badannya yang semula bersandar di pagar pembatas, lantas tanpa merasa perlu menoleh ke arah Flora, dia melangkah menuju pintu masuk rooftop. “Aku pergi.”Flora tidak lepas menatap punggung pria itu yang mulai menjauh. Hingga ketika pria itu hampir mencapai pintu masuk, Flora berseru cukup keras. “Hei, siapa namamu?”Tidak ada respon dari pria itu. Dia malah memutar kenop pintu, lantas mendorongnya. Namun sebelum benar-benar hilang ditelan pintu, pria itu menoleh, menjawab dengan singkat, “Kairo.”Flora tersenyum tipis dengan tatapan yang masih terarah ke pintu. Dalam hati Flora menyimpan baik-baik nama Kairo, lengkap dengan ekspresi santai dan postur tinggi pria itu. Ada harapan baru yang hinggap di jiwa Flora, mempertahankannya untuk tetap hidup agar bisa membalas semua pengkhianatan, rasa sakit, dan kekecewaan. Flora yang lugu telah mati. Kini dalam tubuhnya bersemayam Flora sang iblis yang tidak akan ragu menebas leher musuh dengan pedang berdarahnya.***“Flora! Astaga, aku menghubungimu puluhan kali.” Raut cemas Sakha menjadi pemandangan pertama Flora ketika pria itu menginjakkan kaki di rumah, masih dengan pakaian kerja. Dia buru-buru berjalan mendekat hingga tampak jelas wajah kusutnya. Flora menyunggingkan senyum tipis, sebelum berucap, “Maaf membuatmu khawatir. Aku tadi kurang enak badan sehingga pergi ke klinik terdekat.” “Eh, sekarang bagaimana? Masih sakit?” “Tidak, aku tidak apa-apa sekarang.” Flora menutup mulutnya dengan punggung tangan. Dia tiba-tiba merasa mual. Tingkah Sakha, wajahnya, pun aroma parfumnya membuat Flora muak setengah mati. “Kamu kelihatan lelah, Mas. Ayo biar aku buatkan kopi.” “Ide bagus!” Melangkah menuju dapur, Flora menyembunyikan tangannya yang bergetar. Begitu pun saat dia mengambil gelas, menuangkan kopi, Flora mati-matian menjaga agar tangannya terlihat stabil sembari melemparkan pertanyaan, “Ah, Ayah bagaimana?” “Tidak parah. Dokter bilang dua-tiga hari lagi sudah boleh pulang.” Sakha memej
Angin berembus lembut saat Flora berjalan melewati jendela-jendela yang dibiarkan terbuka, memberikan secuil kesejukan dalam tempat itu. Heels-nya yang beradu dengan lantai menimbulkan bunyi ketukan yang seirama. Sesekali Flora tersenyum sopan dan sedikit menundukkan kepalanya ketika berpapasan dengan orang lain. Matanya menjelahi setiap kesibukan di sana, lantas senyum tipis terbit di wajahnya yang terlihat berseri pagi ini. Resmi sudah Flora diterima sebagai sekretaris di Gane Brown Corporation. Sebulan lebih dia mencari cara untuk masuk ke perusahaan ini, bahkan sempat berniat untuk melamar sebagai petugas kebersihan. Namun akhirnya kesempatan emas itu datang, posisi untuk sekretaris CEO kosong. Hanya karena Flora memiliki pengalaman sebagai sekretaris eksekutif di perusahaan lamanya, tidak lantas membuatnya langsung diterima. Ada serangkaian tes yang terasa amat panjang, Flora harus bersaing dengan ribuan pelamar. Keinginan balas dendam yang membara, membuat Flora berhasil memunc
“Bagaimana, Flo? Kamu suka pekerjaan baru kamu?”Gerakan tangan Flora yang hendak menuangkan air putih ke gelas sedikit tersendat karena pertanyaan Sakha. Bayangan tentang pekerjaannya hari ini kembali hinggap di pikirannya, membawanya kembali mengumpat dalam hati kepada Abraham yang telah membuat peraturan konyol tidak berperikemanusiaan itu. Tidak ada yang menarik di perusahaan selain fasilitas mewah dan tentu saja raut pucat Luna ketika Flora sengaja mempermainkannya.“Suka sekali, Mas. Aku menemukan kesenangan baru di sana.” Tidak ada gunanya bagi Flora untuk berkata jujur. Susah payah dia mendapatkan izin dari Sakha untuk kembali bekerja setelah hampir tiga tahun mengabdikan diri sebagai ibu rumah tangga secara penuh.“Syukurlah ....” Air muka Sakha tampak sedikit berubah ketika meraih cangkir kopinya. Dia mencuri pandang Flora beberapa kali sebelum bertanya dengan suara sedikit serak, “CEO di sana ... bagaimana? Apa dia memang sehebat yang dibicarakan orang-orang?”Sejenak, Flor
“Hentikan helaan napasmu itu, Flora. Kamu menganggu makan siang saya.”Suara yang lebih terdengar seperti menghardik itu membuat Flora melipat bibirnya seketika. Ia diam-diam melirik sinis Abraham yang tengah menikmati steiknya. Ah, lihat itu. Setelah mempermalukannya, bisa-bisanya Abraham makan dengan damai, sementara Flora harus merasa khawatir tentang masa depannya.Bertepatan dengan pelayan yang selesai menyajikan dessert, Flora meletakkan sendoknya. Bulat sudah tekadnya untuk meminta pertanggungjawaban Abraham. Dia sudah terlanjur terjerembab ke kubangan lumpur, maka Flora memutuskan sekalian mandi di sana.“Maaf jika saya lancang mengatakan ini, Pak. Tapi untuk selanjutnya, mohon sekali Bapak memberikan instruksi yang jelas dan lengkap sehingga kejadian seperti hari ini tidak terjadi di masa depan.” Flora mencoba menekan kekesalan yang sudah mengendap di hatinya sejak hari pertama menjadi sekretaris Abraham, sehingga suaranya menjadi sedikit bergetar. Kalau menuruti kata hatinya
Akhir pekan. Terasa seperti surga bagi Flora setelah hari-harinya dipenuhi dengan omelan dan tingkah semena-mena Abraham. Malam ini, keriuhan memenuhi telinga Flora, banyak orang berpakaian formal hilir-mudik, musik romantis mengalun sejak acara dimulai. Sembari memeluk lengan suaminya, Flora banyak tertawa, mengobrol ringan dengan kenalan. Mereka kini tengah menghadiri pesta pernikahan sahabat baik Sakha, bergabung dengan para tamu undangan. “Akhir-akhir ini Flora tampak cantik sekali, bukan? Badannya semakin bagus. Kamu melakukan diet, Flo?” Salah satu teman Sakha, Arina, bertanya ringan. Flora membalasnya dengan tawa kecil yang sedikit hambar. Ya, berat badannya memang sedikit turun, namun bukan karena melakukan diet, olahraga, atau semacamnya. Pengkhianatan, kehilangan, dendam kesumat, membuatnya kehilangan selera untuk menyantap makanan. Ditambah seminggu terakhir, menjadi sekretaris Abraham benar-benar menguras tenaganya dan pikirannya penuh dengan segala hal yang membuat stres
Diiringi dengan kilatan petir di belakang sana, Abraham sedikit tersentak ketika membuka pintu rumahnya. Demi Tuhan, dibandingkan manusia, sekretarisnya lebih tampak seperti hantu wanita yang mati karena depresi. Rambut acak-acakan, maskara yang luntur ke bawah mata, ekspresi tanpa nyawa. Dan apa-apaan dress formal yang Flora kenakan, sama sekali tidak cocok dengan kondisi wajahnya saat ini.“Apa kamu baik-baik saja, Flora? Kamu baru saja menjadi korban tabrak lari?” Abraham bertanya setelah mencoba menenangkan jantungnya.“Saya tidak apa-apa, Pak. Abaikan penampilan saya.” Flora menimpali dengan nada suara dan wajah tak beriak. “Apa yang harus saya kerjakan sekarang?”Abraham mendadak bingung, ragu membiarkan Flora masuk ke rumahnya dengan keadaan menyedihkan macam itu. Tambahkan aura horor wanita itu yang entah mengapa membuat Abraham merasakan tengkuknya meremang.Dua detik, tangan Abraham menggapai handle pintu, bersiap untuk menutupnya. Dia tidak mau ambil risiko jika nanti tiba-
Tetes hujan yang jatuh memercik membasahi bagian depan heels milik Flora. Dia kini sedang duduk di lantai depan minimarket sambil menatap rintik hujan yang tak kunjung usai. Celotehan beberapa orang yang beradu dengan suara hujan, juga kendaraan yang lewat di jalan raya, menjadi penghibur Flora malam ini.Flora duduk memeluk lutut, tatapannya menerawang menembus jutaan air yang turun serentak. Suasana yang tercipta membuat Flora kembali terlempar pada kenangan-kenangan bahagia, lompat pada saat dia menemukan lingerie merah, lompat lagi saat dia kehilangan peri kecilnya. Rasa kehilangan itu masih basah, Flora masih bisa merasakan perutnya yang nyeri, warna dan aroma darah yang mengalir di kakinya.“Es krimnya mencair, Flora.”Lamunan Flora terpotong kala sebuah suara yang mulai familiar menelusup telinganya. Pelan, namun seakan bisa menyaingi gemuruh hujan. Pandangan Flora beralih pada es krim stroberi berbentuk cone di tangannya, segera menyuapkan lelehan es krim ke mulutnya.“Ah ...
Malam telah menurunkan tirainya, membungkus kota dalam hamparan langit gelap. Gemerlap lampu tempat hiburan malam mulai unjuk gigi, berlomba menjadi yang paling bersinar, paling megah, untuk menarik orang-orang masuk ke dalamnya. Dari tempatnya berdiri sekarang, Flora dapat melihat hamparan cahaya bagai kunang-kunang terbang. Kendaraan merayap, gedung-gedung pencakar langit yang berdiri gagah, pun kesibukan yang menjadi akar julukan ‘kota yang tak pernah tidur’. Flora seakan dikembalikan pada kejadian saat dia ingin mengakhiri hidupnya. Dia tersenyum, teringat pada Kairo. Entah bagaimana dia akan bertemu pria itu lagi. “Cokelat?” Suara yang datang dari samping kanannya, membuat Flora menoleh. Luna telah berdiri di sampingnya, tersenyum lebar sembari mengulurkan cangkir berisi cokelat dengan uap mengepul. “Terima kasih.” Flora balas tersenyum, menerimanya. “Aku sengaja datang ke sini. Beberapa kali aku melihatmu berdiri di sini selepas pulang kerja.” Luna meminum cokelat panasnya,
“Untuk makan siang.” Flora meletakkan paper bag di meja Abraham. “Sama seperti Bapak, saya juga tidak suka berutang budi.”Abraham mengalihkan pandangan dari layar komputer, melirik paper bag. “Ini bukan rendang varian depresi, kan? Saya sedang tidak berminat memakan sesuatu yang dibumbui keputusasaan.”Flora membalasnya dengan cibiran tanpa suara. “Tahu tidak, demi memasak ini saya bangun pagi-pagi buta sekali, tidur hanya beberapa jam saja. Dan setelah ini harus mengerjakan tugas yang seperti tumpukan dosa itu. Setidaknya beri saya ucapan terima kasih.”Salah satu alis Abraham terangkat, menilai penampilan Flora. “Tapi kamu tidak terlihat seperti orang yang kurang tidur.”Oh, tentu saja Abraham tidak akan menemukan kesuraman di wajah Flora. Pesta besar baru saja ia gelar dengan meriah, mana mungkin ia akan menyia-nyiakan kesempatan ini untuk murung dan meratapi nasib.“Yah, tidak ada gunanya juga bertingkah menyedihkan. Saya tidak ingin menjadi pecundang yang pantas dikasihani.” Flo
Mobil sedan hitam Abraham merapat taman depan rumah Flora. Sunyi mengungkung sekitar, hanya derik samar serangga dari kejauhan yang terdengar. Lampu penerangan di jalan setapak yang membelah taman sudah menyala, tanda Sakha sudah pulang. Tanpa sadar Flora mendengus masam, sejujurnya ia sedang tidak ingin berhadapan dengan wajah memuakkan pria itu.“Jangan lakukan hal bodoh. Kalau tiba-tiba kamu ingin sekali memukul kepalanya, bergegas pergi ke ruangan lain dan tenangkan diri kamu.”Wejangan dari Abraham itu akhirnya membuat Flora tertawa, sebagian kekesalannya mulai mencair. “Tenang saja, malam ini saya menjadi anak baik. Mereka tidak boleh mati semudah itu.” Ia mengerlingkan matanya. “Mau masuk dulu? Saya cukup pandai membuat teh yang enak.”“Sudah cukup ‘karma’ yang harus saya terima hari ini. Terlalu lama bersama kamu akan membuat saya ikut tidak waras.” Abraham menyugar singkat rambutnya. “Masuklah. Istirahat dengan baik.”Flora menarik napas panjang, mengangguk. “Terima kasih unt
Dingin yang disalurkan lantai butik terasa lebih menggigit, keheningan pekat menyelimuti Abraham dan Flora yang masih bersembunyi di balik punggung sofa. Suara Sakha sudah tidak lagi terdengar, sepertinya dia sudah selesai memilih sepatu dan sekarang sedang menuju kasir.Sudut mata Abraham menangkap seorang pegawai yang tampak terkejut melihat mereka duduk di lantai, hendak berjalan mendekat. Namun, baru selangkah, tangan Abraham terangkat untuk menghentikannya. Pegawai itu sedikit membungkuk, sebelum menjauh dari sana.Flora masih menunduk muram, bergeming seolah satu-satunya hal yang paling menarik baginya hanya lantai marmer butik. Abraham memandangnya lama, bertahan tidak bersuara. Sejujurnya, ia tidak pandai menghibur orang lain. Abraham selalu merasa canggung tiap kali mencoba berinteraksi layaknya orang awam, ia kurang mengerti caranya.“Mereka sudah kembali bersama rupanya ....”Gumaman Flora membuat Abraham mengerjap beberapa kali. Ia baru ingin mengajak Flora pergi dari sana
“Apa ini semacam Ibu Peri dan Cinderella?” Sebelum masuk ke ruang ganti, Flora menoleh ke arah Abraham yang berdiri bersedekap dengan tampang tanpa minat.“Kamu mulai melantur.” Abraham menjawab dengan nada tak acuh.Flora berdecak masam. “Pasti di mata Bapak saya terlihat seperti upik abu kumal yang perlu sihir modern agar layak dilihat. Saya juga punya baju bagus di rumah, tidak perlu buang-buang uang seperti ini.”Mereka sedang ada di butik—tempat yang sama seperti saat Flora bereksperimen dengan melakukan kombinasi aneh terhadap pakaian Abraham, bahkan pegawai yang melayani mereka juga masih sama. Awalnya Flora berpikir ini semacam pembalasan dendam, namun dress yang diberikan padanya sekarang tampak sangat menawan.“Anggap saja sebagai investasi untuk setidaknya tiga tahun ke depan. Setiap kali saya butuh bantuan kamu lagi, pakai itu saja. Kamu mendapat baju baru, saya juga mendapat keuntungan karena jasa kamu. Kedua belah pihak tidak ada yang dirugikan.”Mulut Flora terbuka sepa
“Kairo?”Dahi Flora mengernyit dalam saat melihat nama ‘Kairo’ yang tercantum sebagai nama pengirim paket yang baru ia terima. Ia meletakkan kardus kecil itu di meja, lalu mulai membukanya.Kebingungan Flora semakin menjadi-jadi saat menemukan sebuah sendok bayi berwarna biru di dalam plastik penyimpanan barang bukti seperti yang sering polisi gunakan. Oh, dan ada secarik kertas di dalam kardus itu. Isinya singkat saja: Lakukan tes DNA dengan ini.“Sendok bayi? Tes DNA? Tes DNA dengan siapa? Apa-apaan dia—oh ....”Mendadak, Flora membeku, jantungnya terasa berhenti berdetak untuk sesaat. Jangan bilang sendok bayi ini milik ... putra Luna.Jantung Flora berdentam keras. Ia tahu apa yang Kairo inginkan. Pria itu menyuruh Flora melakukan tes DNA putra Luna dengan Sakha.Bagaimana bisa Kairo mendapatkan sendok ini? Lalu, bukankah sudah jelas jika Sakha adalah ayah biologis anak Luna? Tidak mungkin Sakha mau mengurus anak orang lain dan terlihat sangat tulus jika anak itu bukan darah dagin
Luna menatap alamat di buku catatannya dan bangunan di depannya secara bergantian, memastikan ia tidak salah. Ia kemudian menengadah untuk menatap hamparan langit malam tanpa bintang, mencoba menguatkan tekad. Mengembuskan napas sekali, ia akhirnya melangkah menuju pintu, menekan bel.Jantungnya berpacu selagi menunggu seseorang dari dalam sana membukakan pintu. Untuk mengalihkan kegugupan, ia merapikan penampilan sembari tarik-buang napas berkali-kali.Derak halus pintu yang perlahan terbuka membuat kegugupan menyerang dua kali lebih cepat. Ia menahan napas demi menemukan seseorang dari balik pintu yang mengenakan pakaian santai—celana panjang dan kaus lengan pendek.“Se-selamat malam, Tuan Kairo.” Luna sudah mencoba mengendalikan suaranya, namun ia masih tetap terbata.Kairo mengernyit, menelengkan kepalanya. “Ya?”“Ah, maaf mengganggu malam-malam.” Luna berdeham, mengambil napas. Tidak ada yang perlu ditakutkan, ia sudah berlatih. “Saya berencana membuat paspor. Mengenai foto, saya
Sebenarnya situasi macam apa ini? Flora mengitarkan pandangan pada orang-orang yang mengelilingi meja. Kairo, Abraham, dan Luna. Lalu ia mendesah samar menyadari keabsurdan yang sedang terhampar di depannya. Kairo, yang telah membangkitkan iblis dalam dirinya. Abraham, yang menjadi penentu keberhasilan balas dendamnya. Dan Luna, yang meluluhlantakkan dunianya sekaligus menjadi target balas dendam. Ketiga orang itu sedang berada di meja yang sama, duduk melingkari meja dengan Flora yang menjadi bagian dari mereka. Bahkan dalam mimpi terliarnya sekalipun, hal semacam ini tidak pernah tergambar. “Flo? Flo ....” Panggilan dari Luna itu membuat lamunan Flora buyar. Ia menoleh ke arah kirinya. “Ya?” “Kenapa tidak langsung dimakan? Nanti pastanya keburu dingin.” “Ah, ya ....” Tiba-tiba Flora merasa kikuk, melirik Kairo yang duduk di sebelah kanannya. Pria itu tampak santai menyesap air putihnya. “Oh, ratatouille? Restoran ini menyediakan makanan seperti ini juga, ya? Pak Abra sering ma
Kemarin Flora tidak terlalu menyadari, namun saat jam makan siang ini semuanya jadi terlihat gamblang. Setiap Luna lewat, beberapa karyawan akan meliriknya dengan tatapan yang ... entahlah, Flora merasa orang-orang itu sedang melakukan penghakiman kecil. Bisik-bisik yang jelas sedang menggosipkan juga menyusul, Flora menghabiskan setiap langkah menuju kantin perusahaan sambil menilai situasi.Rupanya kabar Luna sebagai pelaku perundungan ketika SMA itu sudah menjadi rahasia umum.“Perutku sedang tidak enak, rasa-rasanya aku tidak bisa makan nasi.”Ucapan yang datang dari arah kanannya membuat Flora mengejap, memutus atensi pada desas-desus bervolume rendah di sekitar mereka. Ia menoleh ke arah Luna yang berjalan di sampingnya. “Mau aku belikan bubur kalau begitu? Kamu bisa menunggu di kantin, aku akan keluar sebentar.”Luna menggeleng. “Tidak perlu. Aku baik-baik saja, hanya perlu memaksakan diri sedikit.”Flora memasang wajah prihatin. “Jangan begini. Ayo kita periksa ke dokter lagi.
Hangat dan nyaman. Ketika terjaga dari mimpi yang terasa panjang itu, tubuh Flora terasa ringan. Kelopak matanya perlahan terbuka, mendapati selimut tebal yang membungkus sekujur tubuhnya, dan tempat tidur empuk yang membuat punggungnya luar biasa nyaman.Butuh dua detik bagi Flora untuk menyadari jika ia tertidur di kamar tamu Abraham—tunggu. Flora bergegas memutar ingatan. Terakhir, ia hanya ingat menangis dengan Abraham yang duduk di sampingnya, lalu ... lalu—sial, sepertinya Flora ketiduran di sana. Terlalu banyak menangis, tubuh lelah, dan merasa beban tekanan antara harus melanjutkan balas dendam atau berhenti itu lenyap. Lengkap sudah. Ia ketiduran dengan perasaan lega.Oh, apa itu artinya ... Abraham yang membawanya kemari? Abraham yang itu? Wah, cukup mengerikan kalau dibayangkan.Flora terlonjak saat melihat terik yang menerobos lewat tirai yang tidak tertutup sempurna, matahari sudah cukup tinggi. Ia melompat dari selimut, bergegas keluar dari kamar. Flora sedikit tersentak