Amora tengah berjalan sendirian di trotoar. Amora hendak kembali ke tempat laundry usai membeli nasi bungkus untuk dimakan bersama dengan Lela.“Kemari kau!” tiba-tiba ada seseorang yang menarik lengan Amora.Amora yang terkejut hampir saja hilang kendali dan jatuh.“Belva?” pekik Amora kemudian.“Kita harus bicara!” Belva menarik lengan Amora dan mengajaknya ke tempat yang sedikit menjauh dari jalanan.“Ada apa sih?” salak Amora. “Kenapa menarikku ke sini?”“Diamlah!” hardik Belva.Amora sempat menaikkan kedua alisnya karena kaget dengan ucapan Belva yang meninggi.“Urusan kita belum selesai. Aku masih tidak terima kau mendapatkan Gery,” ujar Belva sambil menuding.Amora mendesah berat dan mengatupkan kedua matanya untuk sesaat. “Sebenarnya apa yang kau mau dariku?” tanya Amora kemudian.Belva mendecih sambil membuang muka. Kemudian Belva kembali terfokus. “Aku masih belum terima kekalahan. Kau tahu aku orangnya selalu menang bukan?”Amora akui perkataan Belva memang benar
Jika Amora sedang berkeluh kesah dengan Lela, Gery sedang berkeluh kesah dengan sepupunya yaitu Lina. Gery kabur dari kantor sampai sempat membuat Dion marah-marah tidak jelas hanya karena ingin menemui Lina. Pasalnya, jika rasa gundah terus ditahan, yang ada Gery bisa menggila.Tepat pukul dua siang, Gery sudah berada di taman belakang rumah Lina. Tiada siapapun di rumah besar ini terkecuali Lina dan satu pembantunya yang sedang menyetrika.Duduk di tepi kolam renang, Gery mencelupkan satu kakinya ke dalam air kolam, sementara punggungnya bersandar pada pondasi yang menjulang tinggi sampai ke balkon.Lina kemudian datang sambil membawa dua gelas jus mangga dengan campuran es batu di dalamnya.“Minum dulu,” tawar Lina. Satu gelas yang ia bawa diletakkan di dekat kaki kiri Gery yang selonjoran.Gery meraih gelas tersebut lalu meneguknya. Sesaat pandangannya tertuju pada pohon jeruk yang tiada buahnya dan hanya lebat daunnya saja. Gery kemudian meletakkan gelasnya kembali dan menol
Hampir semalaman Amora tidak tidur. Wanita itu duduk terjaga di samping sang suami yang masih terlelap tidak sadarkan diri. Beberapa kali mertuanya mengingatkan untuk tidur, akan tetapi Amora tetap memilih terjaga.Sampai pagi menjelang, bisa dikatakan Amora hanya melelapkan mata sekitar satu jam kurang. Itupun karena dia tertidur secara tidak sengaja.“Amora, kau sudah bangun?” kata Wenda yang baru datang. Wenda datang sambil membawakan sarapan untuk Amora.“Maaf, Bu, aku ketiduran,” kata Amora. Amora berdiri sambil mengucek kedua matanya yang terasa berat. Tubuhnya terasa letih saat digerakkan untuk beranjak.“Duduklah sini.” Wenda mengajak Amora duduk di sofa yang tersedia di kamar ini. “Kau pasti lapar kan?”Amora menggeleng. “Aku tidak ingin makan.”Wenda tersenyum dan mendengkus lirih. Dua tangannya sibuk membuka nasi box yang baru ia beli. “Tidak boleh begitu, kau harus makan. Semalam kau sudah tidak tidur. Jangan sampai kelelahan. Kalau kau ikut sakit, siapa yang menem
Suasana rumah sakit kembali panik setelah sebelumnya Gery yang mengalami kecelakaan. Sebagai sosok orangtua, Abraham dan Wenda kini sedang terpaku akan tetapi juga menjerit. Satu putranya belum sadarkan diri, dan kini sang putra sulung juga mengalami kecelakaan hebat.Bukan soal tangguh, tapi sebagai sosok ayah, Abraham tetap mencoba tenang. Apalagi melihat sang istri sudah menangis histeris usai sekilas melihat keadaan Theo sebelum diperiksa. Bahkan Wenda sempat beberapa kali pingsan.Tidak jauh dari mereka—di sebuah ruang periksa— ada juga Belva yang secara sadar diri sudah membuat Theo mengalami kecelakaan. Kalau bukan karena didorong oleh Theo, pastilah Belva yang sudah mengalami kecelakaan tersebut. Alhasil, Belva hanya mengalami luka di bagian kedua lututnya karena jatuh tersungkur usai didorong oleh Theo.“Ini bagaimana, suamiku?” isak Wenda. Wenda banjir air mata dan merengkuh tubuh sang suami.Abraham mencoba kuat, tapi sejujurnya hatinya begitu teriris. Dua putra kesayan
Penyesalan tiada yang pernah muncul di depan, ia selalu datang di akhir—di saat semua benar-benar tidak bisa diputar kembali. Ibarat nasi sudah menjadi bubur. Begitulah pepatah yang mungkin saat ini bisa menggambarkan sosok Belva.Satu minggu setelah kepergian Theo, Belva hampir tidak pernah keluar dari kamarnya. Beberapa kali Wenda membujuknya hanya untuk sekedar meneguk air putih, tapi Belva tetap acuh. Rumah besar ini mendadak sepi seperti tak berpenghuni.Sementara di kamar lain, Amora tengah menyuapi sang suami yang duduk bersandar di atas ranjang. Terlalu berisiko memang saat memberi tahu kepergian Theo pada Gery. Bagaimana tidak, tepat saat kepergian Theo, saat itu juga Gery tersadar dari tidur lelapnya yang hampir satu minggu.Ada kesenangan, tapi ada juga kesedihan.“Kau baik-baik saja kan?” tanya Amora saat satu suap berhasil masuk ke dalam mulut Gery.Gery mengangguk sambil mengunyah makanannya dengan pelan.“Bagaimana Theo bisa kecelakaan?” tanya Gery.Amora menyuap
“Bagaimana aku bisa ada di sini!” Gery terperanjat dan langsung terduduk begitu saja.Gery toleh kanan kiri lalu menunduk mengamati dirinya yang ternyata tengah bertelanjang dan hanya menyisakan celana bokser saja. Yang lebih mengejutkan lagi, di kamar ini Gery tidaklah sendirian. Ada seorang wanita yang masih tertidur lelap di sampingnya.“Ba-bagaimana mungkin ...” Gery mulai panik sendiri.“Kau sudah bangun?” suara lirih wanita yang masih berbalut selimut membuat Gery terhenyak.“Katakan! Bagaimana aku bisa bersamamu di kamar asing ini!” mata Gery menyala sempurna.Wanita di hadapannya mengucek kedua mata sambil menarik selimut untuk menutupi bagian dadanya yang hanya memakai bra saja.“Jadi ... kau tidak ingat?”“Belva!” tepis Gery saat Belva hendak mengusap lengannya. “Jangan menyentuhku!”Gery melompat dari atas ranjang lalu buru-buru memunguti pakaiannya yang berserakan di lantai. Kemudian Gery segera memakainya dan kembali terfokus pada Belva.“Katakan, apa yang sudah
Kecanggungan terus terjadi hingga beberapa hari. Meski Gery sedikit lega karena Belva tidak buka mulut, tapi tetap saja Gery terkadang merasa was-was. Saking takutnya dan tidak mau ditinggal Amora, bahkan Gery hampir selalu berada di dekat Amora.Makan, bekerja dan segala hal, Gery selalu merengek seperti anak kecil meminta ditemani. Sifat manja yang Amora lihat dari diri Gery, tidaklah masalah. Hanya saja, Amora tetap merasa sedikit curiga.“Aku belum mau bangun,” rengek Gery sambil menggeliat.Amora yang sudah terduduk terpaksa berbaring lagi karena ditarik oleh Gery. Tali piyama yang tipis di bagian pundak, sampai merosot karena ke gesek lengan Gery saat berbaring.“Ini sudah siang, kau juga mau kerja kan?” sahut Amora.Gery bergumam tidak jelas lalu membenamkan wajah di dada Amora. Gery sungguh seperti bayi yang tidak mau lepas dari sang ibu.“Kau wangi,” bisik Gery.Amora mencebik dan memutar bola mata. “Aku belum mandi. Bagaimana bisa wangi?”Gery menelusup ke bagian ten
Bingung dan marah juga, Amora memutuskan pergi dari rumah tanpa berpamitan pada siapapun. Bukan minggat, Amora hanya ingin segera sampai di tempat loundry. Ya, karena hanya di sanalah tempat yang Amora punya saat ini. Apabila pulang ke rumah, itu akan merepotkan. Selain ada Andy, Amora juga tidak mau ayah tahu kalau sedang ada masalah.Saking buru-buru ingin menghindar dari rumah mewah itu, Amora sampai tidak sadar kalau dirinya sudah berjalan sekitar satu kilometer jauhnya. Amora menyusuri jalan sambil mencangklong tasnya yang hanya berisi lembaran uang dan ponsel.“Aku lelah sekali, astaga!” Amora ngos-ngosan sesampainya di halte bus. “Kenapa aku jalan sejauh ini?”Amora menjatuhkan diri di kursi besi dan bersandar di sana. Keringatnya yang mulai membasahi tubuh, mulai terasa lengket dan gatal. Amora tidak mandi, biang keringat pun terasa begitu menyiksa. Apalagi matahari mulai terik naik lebih tinggi menembus awan.Tin! Tin!Sebuah mobil sedan berwarna hitam berhenti di hadapa