Penyesalan tiada yang pernah muncul di depan, ia selalu datang di akhir—di saat semua benar-benar tidak bisa diputar kembali. Ibarat nasi sudah menjadi bubur. Begitulah pepatah yang mungkin saat ini bisa menggambarkan sosok Belva.Satu minggu setelah kepergian Theo, Belva hampir tidak pernah keluar dari kamarnya. Beberapa kali Wenda membujuknya hanya untuk sekedar meneguk air putih, tapi Belva tetap acuh. Rumah besar ini mendadak sepi seperti tak berpenghuni.Sementara di kamar lain, Amora tengah menyuapi sang suami yang duduk bersandar di atas ranjang. Terlalu berisiko memang saat memberi tahu kepergian Theo pada Gery. Bagaimana tidak, tepat saat kepergian Theo, saat itu juga Gery tersadar dari tidur lelapnya yang hampir satu minggu.Ada kesenangan, tapi ada juga kesedihan.“Kau baik-baik saja kan?” tanya Amora saat satu suap berhasil masuk ke dalam mulut Gery.Gery mengangguk sambil mengunyah makanannya dengan pelan.“Bagaimana Theo bisa kecelakaan?” tanya Gery.Amora menyuap
“Bagaimana aku bisa ada di sini!” Gery terperanjat dan langsung terduduk begitu saja.Gery toleh kanan kiri lalu menunduk mengamati dirinya yang ternyata tengah bertelanjang dan hanya menyisakan celana bokser saja. Yang lebih mengejutkan lagi, di kamar ini Gery tidaklah sendirian. Ada seorang wanita yang masih tertidur lelap di sampingnya.“Ba-bagaimana mungkin ...” Gery mulai panik sendiri.“Kau sudah bangun?” suara lirih wanita yang masih berbalut selimut membuat Gery terhenyak.“Katakan! Bagaimana aku bisa bersamamu di kamar asing ini!” mata Gery menyala sempurna.Wanita di hadapannya mengucek kedua mata sambil menarik selimut untuk menutupi bagian dadanya yang hanya memakai bra saja.“Jadi ... kau tidak ingat?”“Belva!” tepis Gery saat Belva hendak mengusap lengannya. “Jangan menyentuhku!”Gery melompat dari atas ranjang lalu buru-buru memunguti pakaiannya yang berserakan di lantai. Kemudian Gery segera memakainya dan kembali terfokus pada Belva.“Katakan, apa yang sudah
Kecanggungan terus terjadi hingga beberapa hari. Meski Gery sedikit lega karena Belva tidak buka mulut, tapi tetap saja Gery terkadang merasa was-was. Saking takutnya dan tidak mau ditinggal Amora, bahkan Gery hampir selalu berada di dekat Amora.Makan, bekerja dan segala hal, Gery selalu merengek seperti anak kecil meminta ditemani. Sifat manja yang Amora lihat dari diri Gery, tidaklah masalah. Hanya saja, Amora tetap merasa sedikit curiga.“Aku belum mau bangun,” rengek Gery sambil menggeliat.Amora yang sudah terduduk terpaksa berbaring lagi karena ditarik oleh Gery. Tali piyama yang tipis di bagian pundak, sampai merosot karena ke gesek lengan Gery saat berbaring.“Ini sudah siang, kau juga mau kerja kan?” sahut Amora.Gery bergumam tidak jelas lalu membenamkan wajah di dada Amora. Gery sungguh seperti bayi yang tidak mau lepas dari sang ibu.“Kau wangi,” bisik Gery.Amora mencebik dan memutar bola mata. “Aku belum mandi. Bagaimana bisa wangi?”Gery menelusup ke bagian ten
Bingung dan marah juga, Amora memutuskan pergi dari rumah tanpa berpamitan pada siapapun. Bukan minggat, Amora hanya ingin segera sampai di tempat loundry. Ya, karena hanya di sanalah tempat yang Amora punya saat ini. Apabila pulang ke rumah, itu akan merepotkan. Selain ada Andy, Amora juga tidak mau ayah tahu kalau sedang ada masalah.Saking buru-buru ingin menghindar dari rumah mewah itu, Amora sampai tidak sadar kalau dirinya sudah berjalan sekitar satu kilometer jauhnya. Amora menyusuri jalan sambil mencangklong tasnya yang hanya berisi lembaran uang dan ponsel.“Aku lelah sekali, astaga!” Amora ngos-ngosan sesampainya di halte bus. “Kenapa aku jalan sejauh ini?”Amora menjatuhkan diri di kursi besi dan bersandar di sana. Keringatnya yang mulai membasahi tubuh, mulai terasa lengket dan gatal. Amora tidak mandi, biang keringat pun terasa begitu menyiksa. Apalagi matahari mulai terik naik lebih tinggi menembus awan.Tin! Tin!Sebuah mobil sedan berwarna hitam berhenti di hadapa
Beberapa kali Lina mencoba menghubungi Gery, tapi tidak mendapatkan jawaban. Puluhan kali Lina mencoba, tetap saja tak kunjung dijawab oleh Gery. Lina bahkan sampai berdecak beberapa kali dan memukuli menggerak-gerakkan jemarinya beberapa kali.“Kemana dia? Tidak diangkat juga, dasar menyebalkan!” Lina terus mengomel dan akhirnya menyerah juga. Ponsel pun terlempar begitu saja hingga terpentok ke sudut sofaSaat Lina hendak berdiri berniat untuk mengambil minum di dapur, ponselnya tiba-tiba berdering. Lina yang sudah setengah berdiri segera memutar leher ke arah ponselnya yang berkedip-kedip layarnya.Lina kemudian berdecak dan segera meraih ponselnya.“Kenapa tidak menjawab panggilanku!” Lina spontan menyalak begitu saja saat sudah terhubung.“Hei! Sangat tidak sopan!” suara di seberang sana tidak kalah menyalakLina menarik ponsel menjauh dari telinga karena terkejut. Kedua bola matanya kemudian membulat saat menyadari siapa yang sedang berada di balik ponsel.“A-ayah?” lirih
Gery baru tersadar akan Amora setelah sampai di rumah. Gery gelagapan sendiri sesampainya menginjakkan kaki di dalam kamar. Ini karena terlalu marah atau apapun itu, Gery sungguh tidak tahu.“Kau mau kemana lagi, Ger?” tanya Wenda saat Gery menyerempetnya di pintu ruang tamu. Wenda baru saja pulang dari acara arisan.“Ada perlu.” Hanya itu jawaban dari Gery.Gery buru-buru masuk mobil dan melajukannya dengan kencang.“Jangan kebut-kebutan, Gery!” teriak Wenda sambil angkat satu tangan.Saat Wenda berdecak lirih sambil mengusap dada, mobil suaminya muncul dan masuk ke pekarangan. Begitu mesin mati, Abraham keluar dan menatap lurus ke arah Wenda.“Itu Gery?” tanya Abraham.Masih mengusap dada, Wenda mengangguk. Abraham berjalan mendekati ke teras.“Kenapa buru-buru sekali?”Wenda meraih tas kerja sang suami dan berjalan bersama masuk ke dalam rumah. “Katanya ada perlu.”Di jalanan, Gery benar-benar tidak bisa memperlambat laju mobilnya. Ia lupa kalau baru sebulan ini usai meng
Amora tersadar saat gedoran pintu kian kencang. Amora juga dapat mendengar suara sang suami beberapa kali memanggilnya. Dalam situasi yang remang-remang seperti ini, Amora pikir panggilan itu hanya sebatas ilusi atau mimpi. Namun, begitu Amora sempoyongan berjalan dan membuka pintu, barulah Amora sadar kalau suaminya memang ada di sini.“Ka-kau?” mata sayu, Amora masih belum yakin kalau orang yang berdiri di hadapannya saat ini adalah Gery.Gery tidak langsung menyerobot melainkan lebih dulu menatap lekat-lekat wajah sang istri yang tersorot lampu penerangan di bagian teras.Matanya bengkak, wajahnya sayu. Benarkah begitu? Gery tengah membatin.“Kenapa kau di sini?” tanya Gery. “kenapa tidak pulang?”Amora mengucek matanya yang terasa berat untuk terbuka. Kemudian masuk kembali tanpa bicara apapun. Gery berdecak mengikuti di belakang.“Jawab!” pinta Gery.“Tunggulah sebentar, nyawaku belum terkumpul,” sahut Amora jengkel.Amora menuju ruang belakang sementara Gery menunggu di
Satu bulan berlalu, kandungan dalam perut Belva mulai sedikit membuncit. Namun, tiada yang tahu kalau dia hamil karena memang sudah berniat disembunyikan selama dua bulan ini. Tepatnya tak lama setelah kepergian Theo.Belva tengah sibuk mempersiapkan sesuatu, di kamar lain juga tak berbeda. Amora tengah berganti pakaian sebelum kemudian menyiapkan pakaian untuk sang suami.Sambil menata pakaian, sesekali Amora menengok ke arah pintu kamar mandi. Amora sudah tidak sabar memberi kejutan yang selama ini ia simpan dengan rapi. Amora sudah berniat memberitahu, tapi lebih dulu menunggu kepastian dari dokter.Sambil tersenyum, Amora meletakkan testpack dan surat keterangan dari dokter di atas baju ganti Gery. Setelah itu, Amora mundur dan sibuk membereskan kamar yang berantakan karena pertempuran keringat semalam.Ceklek!Amora membulatkan mata sesaat ketika sedang menyapu sudut ruangan. Amora gemetaran dan gugup sendiri.“Tenang Amora, semua akan baik-baik saja.” Amora mengusap dada