Seorang wanita paruh baya dengan rambut kemerahan duduk di atas sofa berlapis sutra. Matanya berbinar penuh kepuasan saat ponselnya di meja samping berdering. Dia mengangkatnya dengan tenang, menempelkan ponsel itu ke telinganya.
“Ya, halo?” suaranya lembut, tapi penuh intrik.
“Nyonya Brittany, saya hanya ingin memberi tahu bahwa gadis yang Anda jual kepada Tuan X sudah masuk ke kamar. Anda akan menerima uang senilai sepuluh juta dolar besok pagi,” suara pria di ujung telepon terdengar dingin dan profesional.
Wanita paruh baya bernama Birttany tersenyum lebar, tatapannya menjadi semakin tajam. “Bagus sekali. Pastikan tidak ada yang mengganggu. Aku tidak ingin ada kesalahan dalam transaksi ini.”
“Tentu, Nyonya. Semuanya sudah diatur dengan sempurna,” jawab pria itu sebelum memutuskan panggilan.
Setelah panggilan itu terputus, Brittany meletakkan ponsel kembali ke atas meja. Wanita paruh baya itu tertawa senang. Suara tawanya menggema di seluruh ruangan, mengisi udara dengan aura menakutkan. Senyum liciknya menampakkan giginya yang putih, membuatnya terlihat semakin mengerikan.
“Besok pagi, sepuluh juta dolar akan menjadi milikku,” katanya sambil tersenyum puas. “Dan kau, Cordelia, akan menghilang dari kehidupan ini.”
Brittany tertawa sekali lagi, suaranya semakin keras dan menakutkan. Tidak ada yang bisa menghentikannya sekarang. Dia telah mencapai puncak rencananya yang jahat, dan tidak ada yang bisa menghentikannya untuk meraih kemenangan yang selama ini dia dambakan.
Cordelia telah berhasil masuk dalam rencana permaianannya!
***
Ikatan matanya dilepas oleh pria tampan itu. Seketika mata Cordelia terpaku akan sosok pria bermata biru di hadapannya. Rasa takut tetap menyelimuti ditambah dengan ucapan pria tampan itu yang menginginkan tubuhnya. Cordelia bukan seorang pelacur. Dia tidak akan mungkin menyerahkan dirinya begitu saja pada pria yang bukan suaminya.
“Kau sudah tidak waras!” seru Cordelia memberanikan diri.
Pria tampan itu menyeringai. “Kau bisa bilang aku tidak waras, tapi apa pun perkataanmu tidak akan mengubah keinginanku.”
“Kau jangan macam-macam! Aku akan melaporkanmu pada pihak berwajib!” kata Cordelia cukup keras, dengan air mata yang mengalir membasahi pipinya. Tatapannya sedikit melihat ke sekitar dirinya berada di sebuah kamar megah—yang entah kamar siapa ini. Namun tunggu! Cordelia merasa bahwa ini adalah kamar hotel. Mengetahui fakta itu membuatnya semakin takut!
Pria tampan itu tertawa. “Pihak berwajib? Katakan pihak berwajib mana yang mampu menangkapku, hm?”
Cordelia menelan salivanya susah payah. Dia terpaku akan pria tampan di depannya ini. Akan tetapi di sisi lain, dia sangat takut. Dia merasa bahwa pria yang ada di hadapannya bukan pria sembarangan.
“A-aku ingin pulang!” isak Cordelia sesenggukan.
Pria tampan itu hanya diam, menatapnya dengan tatapan dingin dan tak terbaca. Selama beberapa menit, tidak ada yang terjadi, hanya keheningan yang menambah ketakutan Cordelia.
“Malam ini kau milikku,” bisik pria tampan itu.
Cordelia menggelengkan kepalanya tegas. “Aku bukan milikmu!”
Pria itu menyeringai menanggapi ucapan Cordelia yang menolaknya. Semakin ditolak, semakin merasa tertantang dirinya. Hal yang menarik adalah gadis yang dia beli sangat polos dan naif.
Tiba-tiba tubuh Cordelia membeku di kala merasakan sesuatu yang aneh. Tubuhnya mendadak terasa panas. Kepalanya semakin pusing, dan jantungnya berdegup lebih kencang. Dia merasakan perubahan aneh dalam tubuhnya, seolah ada sesuatu yang tidak beres.
“Apa yang kau lakukan padaku? Kenapa tubuhku terasa panas?” tanya Cordelia dengan ketakutan yang semakin nyata.
“Ah, obatmu mulai bekerja. Well, aku hanya memasukan obat ke minumanmu untuk kita bersenang-senang malam ini. Aku ingin kita bermain liar,” jawab pria tampan itu dengan seringai di wajahnya.
Cordelia merasa panik. Tubuhnya semakin panas, dan dia merasakan dorongan aneh yang tak bisa dikendalikan “Tuan, tolong! Jangan lakukan ini padaku!” isaknya, mencoba melawan perasaan yang mulai menguasai dirinya.
Pria tampan itu memandang Cordelia dengan tatapan predator. “Kau tak bisa melawan. Semakin kau mencoba, semakin kuat efek obatnya.”
Cordelia meronta-ronta, tapi tubuhnya semakin lemas dan tak berdaya. Dia merasa terperangkap dalam tubuhnya sendiri, tanpa bisa melarikan diri. “Tolong! Lakukan sesuatu! Aku tidak suka dengan efek ini,” suaranya berubah menjadi bisikan putus asa.
Pria tampan itu tertawa kecil, suaranya penuh dengan kemenangan. “Kau butuh bantuanku, hm?”
Cordelia megangguk lemah, dan putus asa. “Ya! Lakukan sesuatu. Ini panas sekali. Aku tidak sanggup menahan ini.”
Cordelia merasa harapan terakhirnya menghilang. Tidak ada yang bisa menolongnya dari mimpi buruk ini. Dia terperangkap dalam permainan kejam yang tidak pernah dia bayangkan akan terjadi padanya. Sementara pria tampan itu menikmati setiap detik penderitaan Cordelia.
Cordelia terbaring di ranjang, tangisannya semakin keras saat merasakan pria tampan itu mulai menjamah tubuhnya. Meski tangannnya masih terikat, tubuhnya merespons sentuhan pria itu dengan cara yang aneh dan tidak dapat dia kendalikan. Setiap kali pria itu menyentuhnya, Cordelia merasa kebingungan karena di satu sisi dia merasakan ketakutan yang mendalam, tapi di sisi lain tubuhnya merasakan sensasi yang tidak dia mengerti.
“Tolong, hentikan,” isak Cordelia, air mata mengalir deras di wajahnya. “Jangan lakukan ini...”
“Kau sendiri yang meminta bantuanku. Maka aku akan membantumu.” Pria itu menangkup wajah Cordelia, mencium bibirnya dengan intens. Lidahnya menyusup masuk ke mulut Cordelia dan mulai memperdalam ciuman mereka. Di sela-sela ciuman, Cordelia tidak bisa menahan gairah yang perlahan menyelimutinya. Tubuhnya seperti disengat listrik, ada rasa geli aneh di tubuhnya.
“Akh—” desahan lolos dari mulut Cordelia.
Pria tampan itu mengulurkan tangan dan meraba paha Cordelia, mengelusnya perlahan sampai ke paha bagian dalam. “Katakan padaku, bagaimana rasanya, hm?”
“Ah … ah … h-hentikan, Tuan. Aku mohon!” pinta Cordelia dengan erangan merdu.
“Kau sangat munafik. Bibirmu menolakku, tapi tidak dengan tubuhmu.” Pria tampan itu terus menggerakkan tangannya di sekujur tubuh Cordelia. Dia menyentuh leher Cordelia, kemudian turun ke sepasang payudara sintal milik Cordelia. Saat jemarinya menyentuh ujung payudara yang menonjol di balik gaun, seketika tubuh gadis itu melengkung dan menjerit.
“Aku tahu kamu menyukainya.” Pria tampan itu tersenyum sinis.
Cordelia menggelengkan kepalanya. “Tidak, aku tidak menyukainya.”
Sentuhan pria itu membuat Cordelia merinding, tapi ada juga perasaan hangat yang merayap di kulitnya. Tubuhnya terasa semakin panas, dan napasnya semakin cepat. Namun tentu Cordelia tak akan mengakui hal tersebut.
“Ah, benarkah? Respon tubuhmu tidak sesuai dengan ucapanmu,” bisik pria tampan itu serak.
Cordelia menggelengkan kepalanya, berusaha melawan perasaan yang semakin kuat. “Tidak! Tolong! Aku tidak ingin seperti ini! Lepaskan aku!”
Pria itu mengabaikan ucapan Cordelia. Dia mulai memasukkan tangannya ke dalam rok Cordelia. Dia tersenyum saat merasakan kelembapan di sana. “See? Kau sudah sangat basah.”
Cordelia terisak keras, mencoba memalingkan wajahnya. Perasaan malu dan penghinaan menguasainya, tapi tubuhnya tetap merespon dengan cara yang tidak bisa dia kendalikan. “Tolong! Aku mohon! Hentikan!”
Pria tampan itu menatap Cordelia dengan tatapan dingin dan tak berperasaan. “Tidak ada gunanya melawan. Malam ini kau adalah milikku. Aku bisa melakukan apa pun padamu! Jangan coba untuk melawan!”
Cordelia merasa putus asa, tidak tahu bagaimana cara melarikan diri dari mimpi buruk ini. Setiap sentuhan pria itu semakin memperkuat perasaan yang bercampur aduk di dalam dirinya. Dia merasa terperangkap dalam tubuhnya sendiri, tanpa bisa melarikan diri atau melawan.
Pria tampan itu menikmati penderitaan dan kebingungan Cordelia, merasa di atas angin dengan kekuasaan yang dia miliki atas gadis itu. Baginya, Cordelia adalah mainan yang mampu memuaskan hasratnya. Melihat gadis itu meronta dan memohon dengan ekspresi sedih, menimbulkan kepuasan dalam dirinya.
“Daripada kau melawan, lebih baik keluarkan desahanmu lagi. Aku menyukai desahan merdumu,” bisik pria itu seraya mencubit puting payudara Cordelia.
Pria itu menciumnya dengan kasar, lalu meremas payudaranya. Memutar putingnya, dan membuat Cordelia mendesah. Namun Cordelia sendiri merasa terhina dengan perlakuan pria asing yang menjamahnya ini. Dia mencoba mendorongnya menjauh, tapi pria itu terlalu kuat untuknya. Tangannya menjelajah bebas di atas tubuhnya, menjelajahi setiap inci kulitnya. Dia mengangkat gaunnya, memperlihatkan kaki telanjang dan bibir kewanitaannya yang terbalut celana dalam.“Ti- tidak! Jangan!” Cordelia berteriak, mencoba menghalanginya, tapi tangannya sesegera mungkin ditepis.Pria itu menulikan telinganya tak peduli dengan teriakan Cordelia. Dia terus menjamah seluruh tubuh Cordelia. Tubuh mulus Cordelia membuat pria itu semakin menggila dalam melancarkan aksinya. Saat jari-jari pria itu mengusap paha bagian dalam Cordelia, sontak mata gadis itu terbelalak terkejut bercampur dengan ketakutan. Dia mencoba menggeliat menjauh, tapi cengkeraman tangan pria itu di pergelangan tangannya semakin kuat, menahannya
#Flashback On Cordelia duduk di ruang tamu besar, perasaan tidak menentu mengisi pikirannya. Telepon dari salah satu direksi perwakilan perusahaan masih terngiang jelas di kepalanya.“Nona Cordelia, Anda harus menghadiri Rapat Umum Pemegang Saham besok. Ada keputusan penting yang membutuhkan persetujuan Anda sebagai pewaris utama Redford Group. Kami akan membahas siapa yang akan menjabat sebagai CEO sementara,” ujar Harland kala panggilan terhubung. Cordelia mengerutkan kening. Carter—ayahnya—meninggal mendadak tiga bulan yang lalu, meninggalkan kekosongan di pucuk pimpinan perusahaan yang dibangunnya dari nol. Tidak ada yang tahu siapa yang akan menggantikannya secara permanen, tapi rumor sudah beredar.“Siapa yang diusulkan?” tanya Cordelia dengan nada datar.“Alan. Anda mengenalnya,” jawab Harland dengan ragu-ragu. “Anak asuh Tuan Carter.”Cordelia tertegun mendengar nama itu. Alan … Nama itu membawa kilasan kenangan masa kecilnya—seseorang yang jarang dia lihat di rumah, tapi se
Cahaya matahari pagi mulai merayap masuk melalui sela-sela jendela, membuat ruangan sedikit lebih terang. Tristan mengerjap-ngerjapkan matanya, tubuhnya masih terasa lelah dari malam sebelumnya. Pria tampan itu mengulurkan tangannya, menyentuh ke sisi kanan mengharapkan kehangatan tubuh wanita yang dia beli harusnya masih ada di sana. Namun, tangannya hanya menyentuh selimut yang dingin. Tristan segera duduk tegak, matanya menyapu ruangan. Ranjang kosong. Wanita itu sudah tidak ada. “Sial, ke mana wanita itu?” Tristan mengerutkan alis berpikir sejenak. Waktu sudah menunjukkan pukul tujuh pagi. Napasnya memburu saat dia menyadari bahwa tidak hanya wanita itu yang hilang, tapi kemejanya juga lenyap. Detik itu juga dia melompat dari ranjang, matanya liar mencari tanda-tanda ke mana wanita itu pergi. Dia berjalan cepat menuju meja kecil di sudut ruangan. Dompetnya tergeletak di sana, tapi ketika dia membukanya, beberapa lembar uang tunai sudah hilang. Tampak senyuman sinis terlukis di wa
Setelah pertemuan warisan yang mengejutkan, suasana di rumah keluarga Redford berubah. Cordelia, yang sebelumnya dikurung di kamar, kini bebas berjalan di dalam rumah megah itu. Namun, kebebasan itu terasa hambar. Brittany dan Veronica tidak lagi melontarkan hinaan secara terang-terangan, tapi sikap dingin mereka lebih tajam daripada kata-kata. Cordelia merasa seperti orang asing di rumahnya sendiri. Pagi itu, di ruang makan keluarga yang penuh dengan kemewahan tapi terasa dingin, Cordelia duduk sendirian, menatap secangkir teh di depannya. Hatinya masih berdebar memikirkan warisan yang secara tidak terduga jatuh ke tangannya. Bagaimana mungkin dia, yang tidak pernah diberi kesempatan untuk bersinar, kini harus memikul beban besar ini? Brittany dan Veronica akhirnya memasuki ruangan, wajah mereka tampak tenang tapi penuh dengan maksud tersembunyi. Cordelia menegakkan punggungnya, berharap mungkin ini adalah awal dari hubungan baru dengan mereka. Cordelia berdiri canggung di ruang mak
Tristan berdiri di sudut ruangan, menghindari keramaian sambil menyesap wine dari gelas kristal yang dingin. Matanya mengawasi setiap gerak-gerik para tamu dengan pandangan malas, hingga tiba-tiba pandangannya berhenti pada sosok yang dia kenali dengan baik yaitu wanita yang dia beli. Senyum sinis langsung mengembang di wajahnya, dan tanpa ragu, dia meletakkan gelasnya di atas meja terdekat, berjalan mendekat. Cordelia yang baru saja keluar dari balkon, masih terhanyut dalam pikirannya, tidak menyadari kehadiran pria bermata biru yang telah merenggut keperawanannya. Dia mengusap matanya, berusaha menyembunyikan sisa air mata yang tertahan di sudut pipinya. Namun, sebelum dia bisa melangkah lebih jauh, Tristan tiba-tiba menangkap lengannya dengan kasar, membuat Cordelia terkejut dan tubuhnya tersentak. “Jangan terlalu terkejut, bukankah kita sudah saling kenal luar dan dalam?” Tristan menyeringai, tatapan matanya dingin seolah menelanjangi Cordelia. “Bukankah aku sudah melihat sisi di
Cordelia mencoba untuk mendorongnya menjauh, tapi tidak ada gunanya. Pria itu terlalu kuat untuknya. Dia sama sekali tidak bisa berontak sedikit pun. Dia sekarang merasakan jari-jari pria itu menyelidiki lebih dalam ke dalam pusat tubuhnya, menemukan klitorisnya. Ya, dia tidak bisa menghentikan desahannya. Jari-jari Tristan bergerak dengan seduktif di area sensitif Cordelia. Membuat wanita itu berteriak kager bercampur kenikmatan. Cordelia ingin menolak, tapi tubuhnya berkhianat. Dia tidak percaya apa yang terjadi padanya. Cordelia selalu menjadi wanita yang baik, selalu mematuhi aturan. Namun sekarang, dia diperlakukan seperti ini, seperti budak seks yang hina dan menjijikkan. “Tolong, Tuan ... jangan,” Cordelia memohon. “Hentikan. Aku ... aku ... sungguh tidak tahan lagi.” Dia melanjutkan dengan penuh permohonan, dia bahkan tak tahu nama pria yang telah merenggut kesuciannya ini. “Benarkah?” Tristan menyeringai, alisnya terangkat dengan mimik wajah seolah menikmati penderitaan C
Suasana balkon yang tadinya sunyi kini berubah menjadi penuh ketegangan. Pria yang memergoki istrinya berselingkuh berdiri di hadapan mereka dengan wajah merah padam, sarat dengan amarah. “Kau benar-benar tak tahu malu!” suaranya menggelegar, menggetarkan balkon dan menarik perhatian semua orang di ruangan. Wanita yang ketahuan berselingkuh langsung membeku, wajahnya pucat pasi. “Sayang ... aku bisa jelaskan,” jawabnya seraya meraih lengan suaminya, mencoba memohon pengampunan dengan suara gemetar. “Ini ... ini tidak seperti yang kau pikirkan. Tolong dengarkan aku dulu!” Namun, pria itu hanya tertawa sinis, menarik tangannya dengan kasar dari genggaman istrinya. “Dengarkan? Untuk apa? Untuk kebohongan lainnya?” Dengan gerakan tiba-tiba, dia mengayunkan tangannya dan menampar pipi istrinya dengan keras. Suara tamparan itu menggema di udara, membuat semua orang yang berkumpul di sekitar mereka terdiam. Wanita itu terhuyung, terkejut, wajahnya yang kini memerah karena tamparan itu penu
Cordelia menatap bayangannya di cermin toilet, wajahnya berantakan, mata bengkak karena menangis. Dia menarik napas dalam, mencoba mengendalikan emosinya. Sisa-sisa make-up yang berantakan dia rapikan seadanya. Setelah merasa cukup, Cordelia melangkah keluar dari pesta, meninggalkan sorotan mata sinis dan bisik-bisik para tamu yang terus menggunjingkannya.“Dia masih berani datang setelah apa yang terjadi?”“Apa dia pikir kita lupa? Jalang murahan ...”Setiap kalimat menusuk telinga Cordelia. Kepalanya terasa berat, hatinya semakin hancur. Dia melangkah cepat, menuju pintu keluar, dan masuk ke dalam mobil—di mana sang sopir sudah menunggu dirinya. Setibanya di rumah, Brittany menunggu di ruang tamu, wajahnya merah padam. “Cordelia!” teriaknya begitu Cordelia masuk.Cordelia terkejut di kala Brittany memanggilnya dengan nada kencang. “I-iya, Mom?” jawabnya pelan, dan gugup. Brittany menatap dingin Cordelia. “Kau benar-benar tidak punya rasa malu! Setelah semua yang terjadi, kau masi
Kehadiran Theo dan Candena bagaikan kebahagiaan yang tak terkira di keluarga Tristan dan Cordelia. Rosalia, Bernard, dan Alstair selalu sering mengajak Theo dan Candena bermain. Tidak jarang Rosalia, Bernard, dan Alstair mengajak si kembar untuk menginap. Pun bahkan Tony yang tinggal di London kerap mengunjungi kembar. Biasanya setiap kali Tony datang pasti si kembar akan bersama dengan Tony untuk waktu yang cukup lama. Well, Tristan dan Cordelia sudah terbiasa di kala anak-anak mereka diculik oleh keluarga mereka sendiri. Tidak hanya keluarga saja, tapi Rowen dan Alan juga sangat dekat dengan si kembar. Ah, Jovian juga masuk hitungan. Bisa dikatakan si kembar sangat ramah pada orang-orang di sekeliling Tristan dan Cordelia. Menikah sering menjadi hal yang ditakutkan oleh banyak orang. Namun, Cordelia berhasil mematahkan semua itu. Ketakutan dalam pernikahan adalah ketika orang tersebut tak menemukan sosok yang sesungguhnya. Sementara Cordelia telah berhasil menemukan sosok yang men
Sore itu, Cordelia menyambut Tristan dan si kembar yang pulang lebih cepat dari biasanya. Begitu melihat suami dan anak-anaknya melangkah masuk, Cordelia tersenyum lebar, sudah memprediksi bahwa hari mereka di kantor tidak akan bertahan lama.“Jadi, bagaimana rasanya mengasuh dua anak di kantor?” Cordelia bertanya sambil menyembunyikan tawa.Tristan hanya menggeleng kecil, wajahnya sedikit letih tapi penuh kasih. Pria tampan itu menarik Cordelia ke dalam pelukannya dan berbisik serak, “Aku butuh asupan energi merawat dua anak kita yang sangat aktif.” Cordelia tertawa mendengar keluhan kecil itu dan melingkarkan tangannya di punggung Tristan. “Nah, Daddy bilang senang karena ada Theo dan Cadena, jadi kalian boleh ikut ke kantor Daddy kapan pun kalian mau!” katanya seraya melirik si kembar dengan penuh cinta.Theo dan Cadena bersorak girang mendengar pernyataan itu, tangan kecil mereka langsung terangkat tinggi-tinggi sambil melompat-lompat di sebelah Cordelia. Sementara Tristan menata
Tiga tahun kemudian … Pagi itu, aroma sarapan yang menggoda memenuhi ruang makan, berpadu dengan suara riuh tawa dan celoteh Theo dan Cadena yang sedang menggambar di lantai bersama pengasuh mereka. Dulu, ruangan ini selalu terjaga kaku dan elegan, tapi kini berubah penuh warna ceria dengan gambar-gambar tempel dan mainan anak-anak di setiap sudut. Di tengah suasana yang hangat ini, Jovian masuk dan segera disambut teriakan penuh semangat.“Paman Jovian, ayo Main kuda-kudaan lagi!” teriak Theo sambil berlari menghampirinya, diikuti Cadena yang tak kalah antusias.Jovian yang sudah hafal dengan ritual pagi ini, hanya bisa tersenyum kecil, menghela napas sejenak sebelum merendahkan tubuhnya. “Baiklah, tapi jangan pukul Paman Jovian seperti kemarin, ya?” ujarnya sambil bercanda, berusaha menahan geli.Theo memekik kegirangan, “Iya! Iya! Ayo, Paman Jovian, jalan cepat!” Cadena, yang lebih manis, memeluk Jovian dengan erat dan ikut berteriak, “Ayo, Paman Jovian, cepat! Kami di punggung k
Cordelia duduk di kursi ruang tamu, jarum rajutannya bergerak perlahan, membentuk sepasang sepatu bayi mungil. Senyum hangat tersungging di bibirnya, membayangkan bayi kembarnya yang sebentar lagi akan lahir. “Sayang,” panggil Tristan tiba-tiba. Cordelia terlonjak terkejut dan refleks menarik kakinya, hingga tak sengaja membuat tubuhnya tergelincir ke belakang. Dia jatuh duduk di lantai, dan seketika itu juga, perasaan aneh menghantam dirinya. Air ketubannya pecah, mengalir ke lantai di bawahnya.“Ah,” rintih Cordelia. Tristan langsung panik, kedua matanya membesar melihat cairan di lantai. “Cordelia! Kau kenapa? Ada apa ini?” Tangannya gemetar saat dia membantu Cordelia berdiri.Cordelia yang masih berusaha menahan rasa sakit, berusaha tersenyum. “A-aku tidak ap-apa. Sekarang lebih baik kita segera ke rumah sakit.” Tanpa pikir panjang, Tristan langsung menggendong Cordelia ke mobil dan melaju secepat mungkin ke rumah sakit. Tepat sesampainya di sana, beberapa dokter dan perawat l
Cordelia tersenyum hangat saat mobil berhenti di depan hotel. Namun, senyuman itu seketika berubah gugup ketika dia menyadari semua orang sudah menunggu mereka di dalam, terlihat dari beberapa wajah akrab yang melirik keluar jendela. Mereka memang terlambat—lebih terlambat dari yang dikira.Saat Cordelia dan Tristan melangkah masuk, tatapan mata dari orang-orang terdekat langsung menyapa mereka. Bernard tersenyum bijaksana, sedangkan Tony dan Alstair menyeringai penuh arti. Alstair yang sejak sibuk mengelola Pharton Inc. nyaris tak pernah muncul, langsung mengejek mereka.“Aku rasa kalian sedang berusaha keras memberiku keponakan, ya? Setiap pertemuan pagi, pasti kalian yang paling akhir,” sindir Alstair dengan nada menggoda. Cordelia memerah, merasa malu dengan sindiran itu, sedangkan Tristan tak mengindakan ucapan adiknya itu. Hal yang dilakukan Tristan adalah menggenggam erat tangan Cordelia seolah tidak peduli dengan olokan itu.Semua orang tertawa lepas mendengar ledekan yang te
Pagi yang tenang menyelimuti kamar Cordelia dan Tristan. Matahari baru saja muncul, menyorotkan cahaya lembut ke wajah mereka. Cordelia terbangun melihat Tristan yang masih tertidur di sampingnya. Dia tersenyum, hatinya terasa penuh. Beberapa bulan pernikahan berjalan dengan begitu indah. Tristan benar-benar menepati janji padanya. Suaminya itu pergi ke psikiater dan perlahan sindrom tidur berjalannya mulai terkendali. Cordelia memperhatikan wajah suaminya yang damai, menyadari betapa beruntungnya dia memiliki seseorang yang berusaha untuk terus menjadi lebih baik. Tristan adalah sosok yang mencintainya dengan luar biasa. Pun dia selalu merasa beruntung, karena diperilakukan dengan begitu istimewa oleh suaminya itu. “Kau benar-benar tampan,” bisik Cordelia lembut seraya membelai pipi Tristan. “Dan kau benar-benar cantik.” Tristan yang tadi memejamkan mata, tiba-tiba membuka mata, dan menarik tubuh Cordelia masuk ke dalam pelukannya. Cordelia terkejut mendapatkan pelukan dari Trist
Mansion megah Tristan terasa sangat sunyi saat Cordelia menatap Tristan dari ujung ruangan. Keduanya bertemu di aula besar, dan selama beberapa detik yang terasa seperti selamanya, mereka hanya berdiri diam. Tristan akhirnya bicara, suaranya rendah dan pelan tapi terdengar tegas.“Aku ingin bicara denganmu, Cordelia,” ujar Tristan sambil memberi isyarat agar dia mengikutinya ke taman belakang mansion. Cordelia mengangguk menuruti permintaan Tristan, dan melangkah bersama pria itu melihat sekeliling taman yang sunyi—di mana angin membawa aroma mawar dan daun berguguran.Saat Cordelia dan Tristan berhenti di bawah pohon tua, Tristan menatap Cordelia dengan tatapan penuh tekad. “Aku tahu kau mungkin masih meragukanku,” kata Tristan perlahan, dan tenang. “Tapi aku sudah menutup bab masa laluku. Aku tidak ingin kau terluka lebih jauh karena bayang-bayang Leony atau hal lain yang kulakukan selama ini.”Cordelia menatap Tristan memastikan kebenaran di balik ucapannya. “Jadi, kau yakin semua
Cordelia berdiri di lorong, memperhatikan persiapan konferensi pers yang akan segera dilakukan Tristan. Wanita itu tidak terlibat kali ini karena tahu ini adalah masalah Tristan dan Leony, dan mungkin, momen bagi Tristan untuk benar-benar menyelesaikan masa lalunya. Namun tak menampik di dalam hatinya, perasaan yang selama ini dia simpan justru datang menyerbu. Cordelia tidak yakin apa itu benar-benar cinta atau sekadar perasaan nyaman bercampur kasihan saat melihat Tristan terjebak dalam kesulitan. Kadang jantungnya berdebar saat di dekat Tristan, tapi kadang juga hatinya berkata bahwa mereka berdua mungkin memang tidak bisa bersama, dan mungkin itu memang jalan yang tepat.Saat Cordelia tenggelam dalam pikirannya, tiba-tiba Rowen muncul di sisinya tanpa suara, seperti biasa.“Kau bimbang, ya?” Rowen bertanya dengan nada lembut tapi menusuk, tatapannya seolah bisa menembus jauh ke dalam perasaannya.Cordelia menoleh, terkejut tapi tidak menjawab. “Jangan bimbang, Cordelia.” Rowen m
Cordelia terbangun dengan terkejut di kala mendengar keributan dari lantai bawah. Suara langkah kaki dan teriakan samar memecah kesunyian malam. Dengan napas tertahan, dia segera turun dari kamar, mengikuti sumber suara yang datang dari ruang tamu utama di lantai satu.Saat Cordelia muncul di tangga, mata Leony langsung menyala-nyala penuh amarah. Tanpa peringatan tiba-tiba, Leony berlari menghampirinya.“Dasar jalang murahan!” Leony berteriak, menarik rambut Cordelia dengan kasar, membuat tubuh Cordelia terhuyung. “Kau pikir bisa merebut suami orang?!”Semua pelayan yang berada di ruangan itu terkejut. Bahkan Tristan terperangah, tak menyangka Leony akan bertindak segila ini. Cordelia mencoba melepaskan diri, tapi cengkeraman Leony terlalu kuat.Leony menambah kekuatan tarikannya. “Kau bukan siapa-siapa di sini! Aku sempat menyerah, tapi kali ini tidak! Tristan hanya milikku!” Cordelia meringis kesakitan, dan saat itu Tristan bergerak cepat. Dalam satu gerakan brutal, Tristan memuku