Setelah pertemuan warisan yang mengejutkan, suasana di rumah keluarga Redford berubah. Cordelia, yang sebelumnya dikurung di kamar, kini bebas berjalan di dalam rumah megah itu. Namun, kebebasan itu terasa hambar. Brittany dan Veronica tidak lagi melontarkan hinaan secara terang-terangan, tapi sikap dingin mereka lebih tajam daripada kata-kata. Cordelia merasa seperti orang asing di rumahnya sendiri.
Pagi itu, di ruang makan keluarga yang penuh dengan kemewahan tapi terasa dingin, Cordelia duduk sendirian, menatap secangkir teh di depannya. Hatinya masih berdebar memikirkan warisan yang secara tidak terduga jatuh ke tangannya. Bagaimana mungkin dia, yang tidak pernah diberi kesempatan untuk bersinar, kini harus memikul beban besar ini? Brittany dan Veronica akhirnya memasuki ruangan, wajah mereka tampak tenang tapi penuh dengan maksud tersembunyi. Cordelia menegakkan punggungnya, berharap mungkin ini adalah awal dari hubungan baru dengan mereka. Cordelia berdiri canggung di ruang makan. Brittany dan Veronica duduk di depan meja dengan sikap angkuh, tatapan mereka dingin. Meskipun tidak lagi dikurung, suasana di rumah itu jauh dari nyaman. “Mom … Kak Veronica …” Cordelia mulai dengan suara lemah, mencoba mencari kata yang tepat. “Aku ingin minta maaf. Aku tidak bermaksud—” “Permintaan maafmu tidak ada gunanya,” potong Brittany dengan suara tajam. “Kita tidak bisa mengubah isi wasiat itu, dan yang lebih parah, kau telah menghancurkan kehormatan keluarga Redford.” Veronica mengangguk setuju, menatap Cordelia dengan tatapan menghina. “Orang-orang melihatmu masuk ke hotel bersama pria tua. Kau sudah mempermalukan kita. Menjual diri seperti itu … bagaimana bisa kau sebodoh itu?” Cordelia merasa sesak. “Itu tidak seperti yang kalian pikirkan. Aku diculik! Aku tidak mungkin—” “Omong kosong! Berhenti melakukan pembelaan!” Brittany memotong lagi, suaranya semakin dingin. “Semua orang tahu apa yang mereka lihat. Kau bisa saja mengatakan apa saja, tapi kenyataannya tetap sama. Kau telah mempermalukan kami.” Cordelia hampir menangis, suaranya gemetar saat dia mencoba lagi. “Tapi aku benar-benar diculik. Aku tidak mungkin menjual diri, aku—” Veronica mendengkus, melipat tangannya. “Sudah cukup, Cordelia. Tidak ada yang akan percaya cerita dramatismu. Yang jelas, kau sudah menghancurkan citra keluarga ini. Sekarang kau harus bertanggung jawab.” Cordelia mengerutkan kening, bingung. “Bertanggung jawab? Bertanggung jawab bagaimana?” Brittany menyeringai dingin. “Kau akan memperbaiki citra kita. Datangi beberapa acara sosial kelas atas, bertemu dengan orang-orang penting, dan jelaskan bahwa kau tidak menjual diri. Berbaur, buat mereka percaya. Itu satu-satunya cara kau bisa menebus kesalahanmu.” Veronica menambahkan, “Ini kesempatan untuk membuktikan dirimu. Jangan kecewakan kami lagi.” Cordelia, meskipun hatinya remuk, merasa sedikit lega. Wanita itu berpikir, mungkin ini cara mereka memberinya kesempatan. “Aku akan melakukannya,” katanya pelan tapi yakin. “Aku akan memperbaiki semuanya. Aku berjanji.” Brittany dan Veronica saling bertukar pandang dengan senyum tipis. Mereka tidak berkata apa-apa, tapi jelas bahwa mereka puas. Cordelia, yang begitu naif, merasa senang mendapat kesempatan dari ibu tiri dan kakaknya. Namun, dia belum menyadari permainan licik yang baru saja dimulai. Setelah Cordelia pergi meninggalkan ruangan, senyum Brittany langsung hilang, digantikan oleh ekspresi dingin dan penuh perhitungan. “Dia terlalu bodoh,” gumam Brittany sambil menatap Veronica. “Besok dia akan menghancurkan dirinya di pesta, karena pandangan orang-orang, dan itu bisa jadi alasan bagus kenapa satu-satunya pewaris utama keluarga Redford ditemukan mati gantung diri.” Veronica tertawa pelan. “Tentu saja. Perempuan itu selalu ingin mendapatkan persetujuan kita. Kita hanya perlu memberinya sedikit harapan, dan dia akan melakukan apa pun yang kita inginkan.” “Setidaknya ini mempermudah kita untuk menyingkirkannya.” Brittany menyeringai dengan kejam *** Malam itu, Cordelia hadir di pesta amal yang diadakan oleh keluarga Harson, salah satu keluarga terkaya di New York dan pemilik Harson Group. Bangunan megah yang dipenuhi kilauan lampu kristal dan dentingan gelas sampanye terlihat begitu indah, tapi atmosfirnya terasa dingin dan penuh kepura-puraan. Para tamu sosialita mengenakan pakaian terbaik mereka, sementara Cordelia, dengan gaun elegan berwarna gading yang dipilihkan oleh Brittany, mencoba untuk berbaur. Saat Cordelia memasuki ruangan utama, suara musik lembut yang mengalun dan dentingan gelas sampanye yang saling bersulang seharusnya membawa kehangatan. Akan tetapi, bisik-bisik di sekitarnya semakin membuat napasnya sesak. Orang-orang berpaling ketika melihatnya, sebagian menyeringai, sebagian lagi hanya menatapnya dari atas ke bawah seolah dia adalah makhluk yang tak pantas berada di sana. “Astaga, lihat siapa yang datang,” salah satu wanita berbisik kepada teman di sebelahnya, matanya menyipit penuh kebencian. “Bukankah itu Cordelia Redford? Yang katanya menjual diri demi harta warisan?” “Iya, aku dengar dia masuk ke hotel dengan pria tua,” temannya menimpali dengan nada mengejek. “Memalukan sekali, ya? Keluarga Redford pasti sangat terhina.” Cordelia bisa merasakan setiap kata yang dilontarkan seperti pisau tajam yang menyayat jiwanya. Dia mencoba berusaha tidak mendengarkan, tapi semakin lama, semakin banyak bisikan yang terdengar jelas di telinganya. “Sungguh menyedihkan, anak seorang Carter Redford, tapi tingkahnya ... lebih mirip pelacur murahan,” seorang pria bergumam rendah kepada istrinya sambil melempar pandangan sinis ke arah Cordelia. “Benar-benar mencoreng nama baik keluarga. Apa dia tidak punya rasa malu? Seharusnya dia tidak datang ke acara sosial seperti ini,” seorang wanita tua lainnya menyindir, matanya melirik Cordelia dengan jijik. Cordelia berjalan semakin cepat, berharap bisa melarikan diri dari bisikan-bisikan penuh racun itu, tetapi langkah kakinya terasa berat. Telinganya dipenuhi dengan suara-suara jahat yang tak henti-hentinya menghakimi. “Bayangkan, ayahnya meninggalkan seluruh warisan kepadanya, tapi lihat apa yang dia lakukan. Menjual diri? Oh, kalau Carter tahu, pasti dia akan malu setengah mati,” seorang pria paruh baya menambahkan dengan tawa menghina. Cordelia berusaha menutup telinganya, tapi orang lain akan berbisik dengan intensitas yang sama. Dia bisa merasakan kulitnya terbakar oleh bisikan-bisikan yang menusuk itu. Setiap kali dia mencoba mendekati seseorang untuk berbicara, mereka tampak berpaling dengan jijik. Senyuman-senyuman yang seharusnya ramah berubah menjadi senyum sinis, sementara tawa-tawa kecil terdengar penuh ejekan. Ini merupakan sesuatu fakta di mana kabar bohong telah tersebar. Sungguh, Cordelia tak tahu bagaimana bisa orang-orang di pesta ini mendengar kabar bohong itu. Pun memberikan penjelasan rasanya tak mungkin. Orang kerap menilai sembarangan dari apa yang dilihat, dan kerap tak mau mendengarkan penjelasan. “Dia itu Cordelia Redford, kan? Yang kabarnya menjual diri?” “Sungguh memalukan, pewaris keluarga terhormat tapi tingkahnya seperti itu!” “Bayangkan, dengan siapa saja dia tidur demi mendapatkan warisan itu?” “Apa? Jadi dia tidur dengan pria tua demi warisan?” Cordelia berusaha keras untuk tidak menangis. Dia tidak mengerti mengapa mereka begitu kejam. Di balik senyum palsunya, hatinya berkecamuk, bertanya-tanya apa yang sudah mereka dengar dan bagaimana rumor itu bisa begitu merusak. Setelah tak tahan lagi, Cordelia memutuskan untuk meninggalkan keramaian dan mencari ketenangan. Dia berjalan keluar menuju balkon yang sepi, berharap bisa menarik napas tanpa merasa tercekik oleh tatapan orang-orang di dalam. Wanita itu memandang keluar, melihat pemandangan kota New York yang berkilauan di bawah cahaya bulan. Angin malam menyapu lembut wajahnya, memberikan sedikit ketenangan. Namun, ketenangan itu hanya bertahan sekejap. “Tidak kusangka kau akan datang ke sini.” Sebuah suara yang dalam dan dingin memecah keheningan. Tubuh Cordelia membeku. Suara itu begitu familiar. Dia perlahan menoleh, dan di sana, bersandar di pagar balkon dengan tatapan tajam—melihat sosok pria tampan bermata biru dingin. Pria itu kini menatapnya dengan penuh ejekan, sementara senyum tipis yang tidak bersahabat menghiasi wajahnya. “Aku mencarimu ke mana-mana, tak kusangka kita justru bertemu di sini, Nona.” Tristan menyeringai penuh arti. “K-kau … k-kau di sini? B-bagaimana bisa kau di sini?” Cordelia berbisik, suaranya bergetar, rasa takut langsung merayapi tubuhnya.Tristan berdiri di sudut ruangan, menghindari keramaian sambil menyesap wine dari gelas kristal yang dingin. Matanya mengawasi setiap gerak-gerik para tamu dengan pandangan malas, hingga tiba-tiba pandangannya berhenti pada sosok yang dia kenali dengan baik yaitu wanita yang dia beli. Senyum sinis langsung mengembang di wajahnya, dan tanpa ragu, dia meletakkan gelasnya di atas meja terdekat, berjalan mendekat. Cordelia yang baru saja keluar dari balkon, masih terhanyut dalam pikirannya, tidak menyadari kehadiran pria bermata biru yang telah merenggut keperawanannya. Dia mengusap matanya, berusaha menyembunyikan sisa air mata yang tertahan di sudut pipinya. Namun, sebelum dia bisa melangkah lebih jauh, Tristan tiba-tiba menangkap lengannya dengan kasar, membuat Cordelia terkejut dan tubuhnya tersentak. “Jangan terlalu terkejut, bukankah kita sudah saling kenal luar dan dalam?” Tristan menyeringai, tatapan matanya dingin seolah menelanjangi Cordelia. “Bukankah aku sudah melihat sisi di
Cordelia mencoba untuk mendorongnya menjauh, tapi tidak ada gunanya. Pria itu terlalu kuat untuknya. Dia sama sekali tidak bisa berontak sedikit pun. Dia sekarang merasakan jari-jari pria itu menyelidiki lebih dalam ke dalam pusat tubuhnya, menemukan klitorisnya. Ya, dia tidak bisa menghentikan desahannya. Jari-jari Tristan bergerak dengan seduktif di area sensitif Cordelia. Membuat wanita itu berteriak kager bercampur kenikmatan. Cordelia ingin menolak, tapi tubuhnya berkhianat. Dia tidak percaya apa yang terjadi padanya. Cordelia selalu menjadi wanita yang baik, selalu mematuhi aturan. Namun sekarang, dia diperlakukan seperti ini, seperti budak seks yang hina dan menjijikkan. “Tolong, Tuan ... jangan,” Cordelia memohon. “Hentikan. Aku ... aku ... sungguh tidak tahan lagi.” Dia melanjutkan dengan penuh permohonan, dia bahkan tak tahu nama pria yang telah merenggut kesuciannya ini. “Benarkah?” Tristan menyeringai, alisnya terangkat dengan mimik wajah seolah menikmati penderitaan C
Suasana balkon yang tadinya sunyi kini berubah menjadi penuh ketegangan. Pria yang memergoki istrinya berselingkuh berdiri di hadapan mereka dengan wajah merah padam, sarat dengan amarah. “Kau benar-benar tak tahu malu!” suaranya menggelegar, menggetarkan balkon dan menarik perhatian semua orang di ruangan. Wanita yang ketahuan berselingkuh langsung membeku, wajahnya pucat pasi. “Sayang ... aku bisa jelaskan,” jawabnya seraya meraih lengan suaminya, mencoba memohon pengampunan dengan suara gemetar. “Ini ... ini tidak seperti yang kau pikirkan. Tolong dengarkan aku dulu!” Namun, pria itu hanya tertawa sinis, menarik tangannya dengan kasar dari genggaman istrinya. “Dengarkan? Untuk apa? Untuk kebohongan lainnya?” Dengan gerakan tiba-tiba, dia mengayunkan tangannya dan menampar pipi istrinya dengan keras. Suara tamparan itu menggema di udara, membuat semua orang yang berkumpul di sekitar mereka terdiam. Wanita itu terhuyung, terkejut, wajahnya yang kini memerah karena tamparan itu penu
Cordelia menatap bayangannya di cermin toilet, wajahnya berantakan, mata bengkak karena menangis. Dia menarik napas dalam, mencoba mengendalikan emosinya. Sisa-sisa make-up yang berantakan dia rapikan seadanya. Setelah merasa cukup, Cordelia melangkah keluar dari pesta, meninggalkan sorotan mata sinis dan bisik-bisik para tamu yang terus menggunjingkannya.“Dia masih berani datang setelah apa yang terjadi?”“Apa dia pikir kita lupa? Jalang murahan ...”Setiap kalimat menusuk telinga Cordelia. Kepalanya terasa berat, hatinya semakin hancur. Dia melangkah cepat, menuju pintu keluar, dan masuk ke dalam mobil—di mana sang sopir sudah menunggu dirinya. Setibanya di rumah, Brittany menunggu di ruang tamu, wajahnya merah padam. “Cordelia!” teriaknya begitu Cordelia masuk.Cordelia terkejut di kala Brittany memanggilnya dengan nada kencang. “I-iya, Mom?” jawabnya pelan, dan gugup. Brittany menatap dingin Cordelia. “Kau benar-benar tidak punya rasa malu! Setelah semua yang terjadi, kau masi
Beberapa hari kemudian, Brittany kembali menyusun rencana jahat lainnya untuk menyingkirkan Cordelia secara permanen. Kali ini, wanuta paruh baya itu memutuskan untuk menjebak Cordelia dengan sesuatu yang tak akan bisa diabaikan oleh masyarakat—kehamilan di luar nikah.Satu pagi yang tampak tenang, Veronica memasuki kamar Cordelia dengan wajah penuh keterkejutan dan kepura-puraan. Dia langsung menuju meja rias Cordelia, matanya tertuju pada sebuah tespek yang tergeletak di sana, menunjukkan hasil positif.“Astaga!” seru Veronica, suaranya meninggi. “Apa ini, Cordelia? Kau hamil?!” lanjutnya dengan raut wajah penuh kepura-puraan. Cordelia, yang sedang duduk di tepi ranjang, menatap Veronica dengan bingung. “Apa? Tidak mungkin! Itu bukan punyaku!”Teriakan Veronica menarik perhatian Brittany yang segera masuk dengan langkah cepat dan wajah penuh amarah. “Apa yang terjadi di sini?” tanyanya, tapi matanya sudah tertuju pada benda kecil di tangan Veronica.“Ini! Cordelia ternyata hamil, M
Tristan berdiri di ruang kerjanya, sambil menyesap wine. Pikirannya menerawang jauh, memikirkan Cordelia. Setiap tegukan wine seolah membawa kembali mengingat wajah ketakutan Cordelia yang sangat menggemaskan di matanya. Suara ketukan pintu terdengar, membuyarkan lamunan Tristan. Pria tampan itu menoleh—dan mempersilakan orang yang mengetuk pintu ruang kerjanya untuk masuk ke dalam. “Tuan,” sapa Jovian seraya masuk ke dalam ruang kerja Tristan. Tristan menatap dingin Jovian yang datang. “Jika kau ingin membahas pekerjaan, maka lebih baik kau pergi. Aku sedang malas membahas pekerjaan.” Jovian menggelengkan kepalanya. “Tidak, Tuan. Saya datang ke sini bukan ingin membahas pekerjaan, tapi saya ingin membahas wanita yang Anda minta untuk cari tahu informasi yang Anda minta.” Tristan mengangguk. “Katakan, apa informasi yang kau dapatkan tentang wanita itu?” “Tuan, saya minta maaf, saya tidak berhasil mendapatkan informasi tentang wanita itu. Nama yang tertuliskan hanya Cordelia, men
Tristan duduk di kursi mewahnya dengan wajah tegang, memandangi laporan di tangannya. Di depannya, Jovian berdiri, memberikan laporan yang mengejutkan. Ya, pria tampan itu telah meminta Jovian untuk menyelidiki nama ‘Delia Lysette’. Meski dia tahu itu nama samaran Cordelia, tapi dia masih ingin menyelidiki nama itu. Dia penasaran kenapa sampai Cordelia menggunakan nama samaran. “Saya sudah mencari tahu lagi tentang nama Delia Lysette seperti yang Anda perintahkan, Tuan,” kata Jovian dengan nada serius. “Tapi saya tidak menemukan apa pun. Satu-satunya keluarga Lysette yang berpengaruh adalah keluarga Tony Lysette, calon investor DVR Group, tapi jelas itu tidak mungkin,” lanjut Jovian memaparkan dugaannya yang tidak mungkin. Mata Tristan menyipit tajam. “Tony Lysette? Tidak mungkin wanita itu ada hubungannya dengan mereka. Dia tidak mungkin salah satu dari mereka,” gumamnya dengan suara rendah. Namun, semakin dia berpikir, semakin besar kecurigaannya. Tristan mulai merasa bahwa ada le
Cordelia berdiri di sana, gemetar di hadapan Tristan. Rasa takut menyelimuti dirinya sepenuhnya, tubuhnya terasa lemas. Wanita cantik itu bisa merasakan ketegangan di udara yang semakin menyesakkan, membuatnya sulit bernapas. Matanya tak berani menatap Tristan terlalu lama, takut akan tatapan tajam yang dipenuhi ancaman itu.Tristan, yang awalnya hanya menatap Cordelia dengan dingin, tiba-tiba merasakan sesuatu menggelitik pikirannya. Bayangan dari masa lalu menghantamnya tanpa ampun. Sosok Leony Pharton, mantan istrinya yang begitu dia benci, kembali menghantui pikirannya. Tatapan Cordelia yang penuh ketakutan dan gemetar di hadapan Tristan begitu mirip dengan Leony saat dia pertama kali ketahuan berkhianat. Wajah yang dulu tampak polos dan lemah lembut itu ternyata hanya topeng. Tristan telah tertipu sekali, dan dia bersumpah tidak akan tertipu lagi.“Berhenti gemetar seperti itu!” Tristan menggeram tiba-tiba, suaranya rendah namun penuh kemarahan. Cordelia tersentak, air matanya
Kehadiran Theo dan Candena bagaikan kebahagiaan yang tak terkira di keluarga Tristan dan Cordelia. Rosalia, Bernard, dan Alstair selalu sering mengajak Theo dan Candena bermain. Tidak jarang Rosalia, Bernard, dan Alstair mengajak si kembar untuk menginap. Pun bahkan Tony yang tinggal di London kerap mengunjungi kembar. Biasanya setiap kali Tony datang pasti si kembar akan bersama dengan Tony untuk waktu yang cukup lama. Well, Tristan dan Cordelia sudah terbiasa di kala anak-anak mereka diculik oleh keluarga mereka sendiri. Tidak hanya keluarga saja, tapi Rowen dan Alan juga sangat dekat dengan si kembar. Ah, Jovian juga masuk hitungan. Bisa dikatakan si kembar sangat ramah pada orang-orang di sekeliling Tristan dan Cordelia. Menikah sering menjadi hal yang ditakutkan oleh banyak orang. Namun, Cordelia berhasil mematahkan semua itu. Ketakutan dalam pernikahan adalah ketika orang tersebut tak menemukan sosok yang sesungguhnya. Sementara Cordelia telah berhasil menemukan sosok yang men
Sore itu, Cordelia menyambut Tristan dan si kembar yang pulang lebih cepat dari biasanya. Begitu melihat suami dan anak-anaknya melangkah masuk, Cordelia tersenyum lebar, sudah memprediksi bahwa hari mereka di kantor tidak akan bertahan lama.“Jadi, bagaimana rasanya mengasuh dua anak di kantor?” Cordelia bertanya sambil menyembunyikan tawa.Tristan hanya menggeleng kecil, wajahnya sedikit letih tapi penuh kasih. Pria tampan itu menarik Cordelia ke dalam pelukannya dan berbisik serak, “Aku butuh asupan energi merawat dua anak kita yang sangat aktif.” Cordelia tertawa mendengar keluhan kecil itu dan melingkarkan tangannya di punggung Tristan. “Nah, Daddy bilang senang karena ada Theo dan Cadena, jadi kalian boleh ikut ke kantor Daddy kapan pun kalian mau!” katanya seraya melirik si kembar dengan penuh cinta.Theo dan Cadena bersorak girang mendengar pernyataan itu, tangan kecil mereka langsung terangkat tinggi-tinggi sambil melompat-lompat di sebelah Cordelia. Sementara Tristan menata
Tiga tahun kemudian … Pagi itu, aroma sarapan yang menggoda memenuhi ruang makan, berpadu dengan suara riuh tawa dan celoteh Theo dan Cadena yang sedang menggambar di lantai bersama pengasuh mereka. Dulu, ruangan ini selalu terjaga kaku dan elegan, tapi kini berubah penuh warna ceria dengan gambar-gambar tempel dan mainan anak-anak di setiap sudut. Di tengah suasana yang hangat ini, Jovian masuk dan segera disambut teriakan penuh semangat.“Paman Jovian, ayo Main kuda-kudaan lagi!” teriak Theo sambil berlari menghampirinya, diikuti Cadena yang tak kalah antusias.Jovian yang sudah hafal dengan ritual pagi ini, hanya bisa tersenyum kecil, menghela napas sejenak sebelum merendahkan tubuhnya. “Baiklah, tapi jangan pukul Paman Jovian seperti kemarin, ya?” ujarnya sambil bercanda, berusaha menahan geli.Theo memekik kegirangan, “Iya! Iya! Ayo, Paman Jovian, jalan cepat!” Cadena, yang lebih manis, memeluk Jovian dengan erat dan ikut berteriak, “Ayo, Paman Jovian, cepat! Kami di punggung k
Cordelia duduk di kursi ruang tamu, jarum rajutannya bergerak perlahan, membentuk sepasang sepatu bayi mungil. Senyum hangat tersungging di bibirnya, membayangkan bayi kembarnya yang sebentar lagi akan lahir. “Sayang,” panggil Tristan tiba-tiba. Cordelia terlonjak terkejut dan refleks menarik kakinya, hingga tak sengaja membuat tubuhnya tergelincir ke belakang. Dia jatuh duduk di lantai, dan seketika itu juga, perasaan aneh menghantam dirinya. Air ketubannya pecah, mengalir ke lantai di bawahnya.“Ah,” rintih Cordelia. Tristan langsung panik, kedua matanya membesar melihat cairan di lantai. “Cordelia! Kau kenapa? Ada apa ini?” Tangannya gemetar saat dia membantu Cordelia berdiri.Cordelia yang masih berusaha menahan rasa sakit, berusaha tersenyum. “A-aku tidak ap-apa. Sekarang lebih baik kita segera ke rumah sakit.” Tanpa pikir panjang, Tristan langsung menggendong Cordelia ke mobil dan melaju secepat mungkin ke rumah sakit. Tepat sesampainya di sana, beberapa dokter dan perawat l
Cordelia tersenyum hangat saat mobil berhenti di depan hotel. Namun, senyuman itu seketika berubah gugup ketika dia menyadari semua orang sudah menunggu mereka di dalam, terlihat dari beberapa wajah akrab yang melirik keluar jendela. Mereka memang terlambat—lebih terlambat dari yang dikira.Saat Cordelia dan Tristan melangkah masuk, tatapan mata dari orang-orang terdekat langsung menyapa mereka. Bernard tersenyum bijaksana, sedangkan Tony dan Alstair menyeringai penuh arti. Alstair yang sejak sibuk mengelola Pharton Inc. nyaris tak pernah muncul, langsung mengejek mereka.“Aku rasa kalian sedang berusaha keras memberiku keponakan, ya? Setiap pertemuan pagi, pasti kalian yang paling akhir,” sindir Alstair dengan nada menggoda. Cordelia memerah, merasa malu dengan sindiran itu, sedangkan Tristan tak mengindakan ucapan adiknya itu. Hal yang dilakukan Tristan adalah menggenggam erat tangan Cordelia seolah tidak peduli dengan olokan itu.Semua orang tertawa lepas mendengar ledekan yang te
Pagi yang tenang menyelimuti kamar Cordelia dan Tristan. Matahari baru saja muncul, menyorotkan cahaya lembut ke wajah mereka. Cordelia terbangun melihat Tristan yang masih tertidur di sampingnya. Dia tersenyum, hatinya terasa penuh. Beberapa bulan pernikahan berjalan dengan begitu indah. Tristan benar-benar menepati janji padanya. Suaminya itu pergi ke psikiater dan perlahan sindrom tidur berjalannya mulai terkendali. Cordelia memperhatikan wajah suaminya yang damai, menyadari betapa beruntungnya dia memiliki seseorang yang berusaha untuk terus menjadi lebih baik. Tristan adalah sosok yang mencintainya dengan luar biasa. Pun dia selalu merasa beruntung, karena diperilakukan dengan begitu istimewa oleh suaminya itu. “Kau benar-benar tampan,” bisik Cordelia lembut seraya membelai pipi Tristan. “Dan kau benar-benar cantik.” Tristan yang tadi memejamkan mata, tiba-tiba membuka mata, dan menarik tubuh Cordelia masuk ke dalam pelukannya. Cordelia terkejut mendapatkan pelukan dari Trist
Mansion megah Tristan terasa sangat sunyi saat Cordelia menatap Tristan dari ujung ruangan. Keduanya bertemu di aula besar, dan selama beberapa detik yang terasa seperti selamanya, mereka hanya berdiri diam. Tristan akhirnya bicara, suaranya rendah dan pelan tapi terdengar tegas.“Aku ingin bicara denganmu, Cordelia,” ujar Tristan sambil memberi isyarat agar dia mengikutinya ke taman belakang mansion. Cordelia mengangguk menuruti permintaan Tristan, dan melangkah bersama pria itu melihat sekeliling taman yang sunyi—di mana angin membawa aroma mawar dan daun berguguran.Saat Cordelia dan Tristan berhenti di bawah pohon tua, Tristan menatap Cordelia dengan tatapan penuh tekad. “Aku tahu kau mungkin masih meragukanku,” kata Tristan perlahan, dan tenang. “Tapi aku sudah menutup bab masa laluku. Aku tidak ingin kau terluka lebih jauh karena bayang-bayang Leony atau hal lain yang kulakukan selama ini.”Cordelia menatap Tristan memastikan kebenaran di balik ucapannya. “Jadi, kau yakin semua
Cordelia berdiri di lorong, memperhatikan persiapan konferensi pers yang akan segera dilakukan Tristan. Wanita itu tidak terlibat kali ini karena tahu ini adalah masalah Tristan dan Leony, dan mungkin, momen bagi Tristan untuk benar-benar menyelesaikan masa lalunya. Namun tak menampik di dalam hatinya, perasaan yang selama ini dia simpan justru datang menyerbu. Cordelia tidak yakin apa itu benar-benar cinta atau sekadar perasaan nyaman bercampur kasihan saat melihat Tristan terjebak dalam kesulitan. Kadang jantungnya berdebar saat di dekat Tristan, tapi kadang juga hatinya berkata bahwa mereka berdua mungkin memang tidak bisa bersama, dan mungkin itu memang jalan yang tepat.Saat Cordelia tenggelam dalam pikirannya, tiba-tiba Rowen muncul di sisinya tanpa suara, seperti biasa.“Kau bimbang, ya?” Rowen bertanya dengan nada lembut tapi menusuk, tatapannya seolah bisa menembus jauh ke dalam perasaannya.Cordelia menoleh, terkejut tapi tidak menjawab. “Jangan bimbang, Cordelia.” Rowen m
Cordelia terbangun dengan terkejut di kala mendengar keributan dari lantai bawah. Suara langkah kaki dan teriakan samar memecah kesunyian malam. Dengan napas tertahan, dia segera turun dari kamar, mengikuti sumber suara yang datang dari ruang tamu utama di lantai satu.Saat Cordelia muncul di tangga, mata Leony langsung menyala-nyala penuh amarah. Tanpa peringatan tiba-tiba, Leony berlari menghampirinya.“Dasar jalang murahan!” Leony berteriak, menarik rambut Cordelia dengan kasar, membuat tubuh Cordelia terhuyung. “Kau pikir bisa merebut suami orang?!”Semua pelayan yang berada di ruangan itu terkejut. Bahkan Tristan terperangah, tak menyangka Leony akan bertindak segila ini. Cordelia mencoba melepaskan diri, tapi cengkeraman Leony terlalu kuat.Leony menambah kekuatan tarikannya. “Kau bukan siapa-siapa di sini! Aku sempat menyerah, tapi kali ini tidak! Tristan hanya milikku!” Cordelia meringis kesakitan, dan saat itu Tristan bergerak cepat. Dalam satu gerakan brutal, Tristan memuku