Share

Bab 5. Ahli Waris Tunggal

Cahaya matahari pagi mulai merayap masuk melalui sela-sela jendela, membuat ruangan sedikit lebih terang. Tristan mengerjap-ngerjapkan matanya, tubuhnya masih terasa lelah dari malam sebelumnya. Pria tampan itu mengulurkan tangannya, menyentuh ke sisi kanan mengharapkan kehangatan tubuh Cordelia yang harusnya masih ada di sana. Namun, tangannya hanya menyentuh selimut yang dingin.

Tristan segera duduk tegak, matanya menyapu ruangan. Ranjang kosong. Cordelia sudah tidak ada. “Sial, ke mana gadis itu?”

Tristan mengerutkan alis berpikir sejenak. Waktu sudah menunjukkan pukul tujuh pagi. Napasnya memburu saat dia menyadari bahwa tidak hanya Cordelia yang hilang. Kemejanya juga lenyap. Detik itu juga dia melompat dari ranjang, matanya liar mencari tanda-tanda ke mana gadis itu pergi. Dia berjalan cepat menuju meja kecil di sudut ruangan. Dompetnya tergeletak di sana, tapi ketika dia membukanya, beberapa lembar uang tunai sudah hilang. Tampak senyuman sinis terlukis di wajah tampannya.

“Berani sekali dia kabur dariku,” gumam Tristan dengan seringai dingin, wajahnya berubah gelap. “Gadis bodoh!”

Tristan merasakan adrenalin membanjiri tubuhnya. Dia merapikan rambutnya yang acak-acakan, lalu mulai memeriksa kamar dengan seksama, memastikan dirinya tidak salah. Namun, semuanya menunjukkan hal yang sama—Cordelia sudah kabur.

Kebiasaannya selalu sama. Setelah membeli seorang perempuan, Tristan bermain dengan mereka sampai dia bosan, baru kemudian melepaskannya. Namun Cordelia—gadis yang baru saja dia dapatkan, melarikan diri sebelum dia memutuskan untuk membuangnya.

“Ck! Gadis sialan, hanya aku yang bisa membuangmu! Kau tidak boleh melarikan diri dariku!” geram Tristan penuh emosi.

Wajah Tristan memerah karena amarah yang meluap-luap. Dia mengangkat ponselnya dan menekan nomor asistennya. Saat sambungan tersambung, suaranya berubah dingin dan berbahaya.

“Temukan gadis itu,” perintah Tristan tegas tanpa basa-basi. “Dia kabur tadi malam. Cari di setiap sudut kota. Aku ingin dia ditemukan secepatnya.”

“Maaf, Tuan? Gadis mana yang Anda maksud?” tanya sang asisten dari seberang sana.

“Gadis yang bersamaku selamam, Sialan! Apa aku harus menjelaskannya juga?!”

“Tuan, bagaimana cara saya menemukannya?”

“Ck! Kau bertanya padaku? Aku sudah membayarmu mahal, Bodoh!”

Sang asisten panik. “B-baik, Tuan. Saya akan mencari gadis yang Anda maksud.”

Tristan memutuskan panggilan dan tersenyum sinis, seringainya semakin kejam. “Kau pikir bisa kabur dariku semudah itu. Tunggu sampai kau tertangkap. Aku akan membuatmu menyesal.”

Tristan merasa harga dirinya diinjak-injak oleh gadis yang semalam terlihat begitu lemah dan tak berdaya. Sekarang, dia dipermalukan, dan satu-satunya cara untuk menenangkan dirinya adalah dengan mendapatkan Cordelia kembali—entah bagaimana caranya. Bagaimanapun, dia yang sudah membelinya. Tidak ada yang boleh mengambil apa yang menjadi miliknya.

***

Suasana di rumah keluarga Redford pagi itu terasa tegang. Brittany dan Veronica sibuk mempersiapkan diri, mengenakan pakaian terbaik yang mereka miliki. Pagi ini, pengacara Carter—Pierre—akan datang untuk membacakan surat wasiat. Mendiang ayah Cordelia telah meninggalkan warisan yang selama ini mereka nantikan.

Brittany tersenyum menatap hangat putri kebangaannya. “Sayang, ini adalah hari kita. Kekayaan Carter akan jatuh ke tangan kita.”

Veronica mengangguk, matanya berbinar dengan penuh harap. “Tentu saja, Mom. Cordelia hanyalah anak lemah yang tidak tahu apa-apa. Dia bahkan sudah mencemarkan nama baik keluarga.”

Brittany mendengkus kasar. “Gadis bodoh itu tidak pantas mendapatkan apa pun dari keluarga ini.”

Suara bel rumah berbunyi. Seorang pelayan segera membuka pintu, dan Pierre, pengacara Carter, masuk dengan sebuah map tebal di tangannya. Wajahnya tenang tapi tegas, sesuai dengan profesinya.

“Selamat pagi, Nyonya Brittany, Nona Veronica,” sapa Pierre sambil memberi hormat kecil. “Terima kasih sudah meluangkan waktu. Saya di sini untuk membacakan surat wasiat mendiang Tuan Carter.”

Brittany dan Veronica berdiri, saling berpandangan dengan penuh antisipasi.

“Tentu, Pierre. Kami sudah menantikan ini,” ujar Brittany sambil tersenyum ramah, meskipun senyumnya penuh kepalsuan.

Pierre mengangguk singkat. “Sebelum saya memulai, ada satu hal. Saya harus meminta Nona Cordelia untuk hadir.”

Wajah Brittany langsung berubah, ekspresinya menjadi gelap. “Cordelia? Untuk apa dia di sini? Dia ... dia tidak perlu mendengar ini.”

Pierre mengangkat alis, tetap tenang. “Maaf, Nyonya, tapi sesuai instruksi Tuan Carter, seluruh ahli waris harus hadir.”

Brittany menahan napasnya, lalu menghela dengan berat. “Baiklah, saya akan menyuruh pelayan untuk memanggilnya.”

Tidak lama kemudian, Cordelia yang masih lemah dan pucat dibawa keluar dari kamar. Matanya bengkak karena menangis sepanjang malam. Pakaian lusuh yang dikenakannya—kemeja yang dia ambil dari Tristan—membuatnya tampak tidak pantas berada di sana.

Saat matanya bertemu dengan Brittany dan Veronica, dia mencoba tersenyum lemah, berharap mereka akan mendengarkan penjelasannya. Namun, pandangan jijik dari ibu tiri dan saudari tirinya membuatnya kembali bungkam.

Pierre tersenyum penuh wibawa. “Baiklah, karena semua sudah hadir, saya akan membacakan isi surat wasiat Tuan Carter Redford.”

Semua di sana menatap Pierre, dan hanya Cordelia yang seakan tak peduli. Sementara Veronica dan Brittany sudah sangat tak sabar mendengar isi dari wasiat itu.  

Pierre membuka mulutnya setelah sekian lama memeriksa berkas-berkas itu. “Seperti yang kita semua ketahui, saya di sini untuk membacakan isi surat wasiat mendiang Tuan Carter Redford. Beliau telah meninggalkan instruksi yang jelas mengenai pembagian asetnya.”

Brittany menyilangkan kakinya dengan anggun, menyembunyikan kegelisahan di balik senyum palsu. Veronica yang duduk di sebelah Brittany menunjukkan senyum licik, yakin bahwa ayah tirinya tentu akan lebih memilih mereka daripada Cordelia yang lemah.

“Kami siap mendengar berita baik itu, Pierre,” kata Brittany dengan nada yang dibuat sehalus mungkin.

Pierre mengangguk singkat, lalu mulai membacakan dokumen-dokumen itu dengan tenang. “Pertama-tama, Brittany Redford akan menerima rumah peristirahatan di Aspen, Colorado, serta sejumlah uang tunai sebesar lima ratus ribu dolar.”

Senyum Brittany perlahan memudar. Dia mengerutkan kening, sedikit terkejut dengan jumlah yang menurutnya sangat kecil. Aura wajahnya menunjukkan rasa tak puas.

“Hanya itu?” tanya Brittany berusaha tenang.

Pierre mengabaikan pertanyaannya dan melanjutkan, “Untuk Veronica Redford, mendiang Tuan Carter telah memberikan koleksi perhiasan antiknya serta sebuah apartemen di pusat kota New York.”

Veronica tertegun. Meski hadiah itu bernilai besar, dia berharap lebih—seperti kontrol atas perusahaan atau sebagian besar aset bernilai tinggi lainnya. Wajahnya berubah kaku, senyum yang tadi menghiasi bibirnya menghilang dalam sekejap.

“Kami seharusnya mendapatkan lebih dari ini!” gumam Veronica dengan suara rendah, matanya berkilat marah saat menatap ibunya.

Pierre tetap tenang dan melanjutkan, “Sekarang, kita sampai pada bagian utama dari surat wasiat ini. Mendiang Tuan Carter Redford telah menunjuk ahli waris utama yang akan mewarisi seluruh aset keluarga, termasuk saham mayoritas perusahaan Redford Corp, properti utama keluarga Redford, dan seluruh kekayaan finansialnya.”

Brittany dan Veronica menatap Pierre dengan mata penuh harap. Mereka yakin bahwa nama yang akan disebut adalah salah satu dari mereka. Namun, yang keluar dari mulut Pierre mengejutkan mereka hingga ke tulang.

“Seluruh warisan Carter Redford akan jatuh ke tangan Cordelia Redford.”

Keheningan panjang memenuhi ruangan. Wajah Brittany memucat seketika, sementara Veronica menatap Pierre dengan ekspresi tak percaya. Ibu dan anak itu tampak menunjukkan kemarahan tertahan.

 “Itu tidak mungkin! Carter pasti telah membuat kesalahan! Aku ini istrinya, mana mungkin dia hanya memberikan sesedikit itu padaku!” seru Brittanu tak terima.

“Benar, aku juga putrinya. Bukan hanya Cordelia yang merupakan putrinya!” Veronica mencengkeram lengan kursinya begitu kuat, jemarinya memutih.

Cordelia, yang sedari tadi diam, terkejut mendengar namanya disebut sebagai pewaris tunggal. Dia tidak pernah membayangkan dirinya mendapatkan apa pun dari sang ayah. Sementara itu, Pierre tetap tenang dan profesional, meskipun suasana semakin memanas.

“Tuan Carter Redford telah meninggalkan instruksi yang sangat jelas dalam wasiat ini,” kata Pierre tegas. “Cordelia Redford adalah ahli waris tunggal dari seluruh aset dan saham keluarga Redford. Itu sudah diputuskan dengan sah.”

“Tidak bisa! Kau pasti mempermainkan kami!” Brittany, tak mampu menahan amarahnya lagi, bangkit dari kursinya dengan cepat, menunjuk Pierre dengan penuh tuduhan. “Carter pasti telah dibodohi! Dia tidak mungkin menyerahkan semuanya pada gadis ini!” Teriaknya, matanya menyala dengan kebencian.

“Cordelia, katakan sekarang! Apa yang sudah kau katakan pada Dad sebelum Dad meninggal?” Veronica ikut berdiri, matanya menyipit penuh kemarahan saat menatap Cordelia. “Kau pasti meminta Dad melakukan sesuatu. Ini semua pasti ulahmu!”

“Mom, Kak Veronica, aku sama sekali tidak melakukan apa pun.” Cordelia menggeleng, mencoba berbicara. “Aku ... aku tidak tahu apa-apa soal ini. Aku tidak pernah meminta ini. Aku bahkan tidak tahu apa pun tentang warisan.”

“Kami yang seharusnya mendapatkan semuanya!” Brittany menatap Cordelia dengan tatapan yang begitu penuh kebencian hingga Cordelia merasa tubuhnya gemetar. “Kau telah mencemarkan nama baik keluarga ini, dan sekarang kau berani mengambil semuanya dari kami? Setelah apa yang kau lakukan?”

“Mom, tolong dengarkan aku. Aku ... aku sama sekali tidak pernah meminta semua harta milik Dad.” Cordelia gemetaran, suaranya mencicit. “Dan soal mencemarkan nama baik, itu juga—”

Plak!

Satu tamparan mendarat di pipi Cordelia. “Masih berani kau membuat alasan setelah semua bukti-bukti di sini?”

“M- Mom …” lirig Cordelia seraya menyentuh pipi kanannya yang ditampar oleh ibu tirinya.

“Kau menjual diri, mempermalukan nama baik keluarga dan membuat aku dan Mom terlunta-lunta. Hebat sekali kau Cordelia, aku tidak menyangka kau tidak menganggap kami sebagai keluarga!” bentak Veronica kuat.

“Tidak, aku tidak pernah—” Cordelia merasa tenggorokannya tercekat, ingin menjelaskan bahwa dia tidak pernah melakukan hal-hal yang dituduhkan kepadanya, bahwa dia tidak pernah berniat mencuri apa pun. Namun, suara Brittany dan Veronica terlalu keras, menutup semua usahanya untuk menjelaskan.

“Sudah cukup! Hentikan keributan ini!” potong Pierre, suaranya kuat dan tegas. “Isi surat wasiat ini sah secara hukum. Jika ada keberatan, silakan ajukan tuntutan melalui jalur yang sesuai. Tapi perlu diingat, hingga saat ini semua keputusan yang tertulis di sini akan segera dilaksanakan.”

Brittany dan Veronica saling berpandangan, raut wajah mereka penuh kemarahan dan kebencian yang semakin mendalam. Pikiran mereka mulai berputar, merencanakan cara untuk menyingkirkan Cordelia dari warisan ini—dengan cara apa pun.

Setelah Pierre selesai dan meninggalkan ruangan, Brittany dan Veronica tetap berdiri di sana, membeku dalam keheningan yang penuh kemarahan. Cordelia masih duduk di sudut ruangan, matanya mulai berkaca-kaca, merasa sendirian meski berada di tengah keluarganya sendiri.

Saat Cordelia mencoba bangkit berdiri, Veronica melangkah mendekat, wajahnya dingin penuh amarah. Dia  mencengkeram rahang Cordelia, hingga membuat gadis itu merintih kesakitan.

“Kau mungkin mendapatkan semuanya sekarang, tapi jangan pernah berpikir bahwa kau akan bisa menikmatinya lama-lama,” seru Veronica penuh kebencian mendalam pada Cordelia.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status