Cahaya matahari pagi mulai merayap masuk melalui sela-sela jendela, membuat ruangan sedikit lebih terang. Tristan mengerjap-ngerjapkan matanya, tubuhnya masih terasa lelah dari malam sebelumnya. Pria tampan itu mengulurkan tangannya, menyentuh ke sisi kanan mengharapkan kehangatan tubuh wanita yang dia beli harusnya masih ada di sana. Namun, tangannya hanya menyentuh selimut yang dingin.
Tristan segera duduk tegak, matanya menyapu ruangan. Ranjang kosong. Wanita itu sudah tidak ada. “Sial, ke mana wanita itu?” Tristan mengerutkan alis berpikir sejenak. Waktu sudah menunjukkan pukul tujuh pagi. Napasnya memburu saat dia menyadari bahwa tidak hanya wanita itu yang hilang, tapi kemejanya juga lenyap. Detik itu juga dia melompat dari ranjang, matanya liar mencari tanda-tanda ke mana wanita itu pergi. Dia berjalan cepat menuju meja kecil di sudut ruangan. Dompetnya tergeletak di sana, tapi ketika dia membukanya, beberapa lembar uang tunai sudah hilang. Tampak senyuman sinis terlukis di wajah tampannya. “Berani sekali dia kabur dariku,” gumam Tristan dengan seringai dingin, wajahnya berubah gelap. “Ck! Wanita bodoh!” Tristan merasakan adrenalin membanjiri tubuhnya. Dia merapikan rambutnya yang acak-acakan, lalu mulai memeriksa kamar dengan seksama, memastikan dirinya tidak salah. Namun, semuanya menunjukkan hal yang sama—wanita itu sudah kabur. Kebiasaannya selalu sama. Setelah membeli seorang perempuan, Tristan bermain dengan mereka sampai dia bosan, baru kemudian melepaskannya. Namun perempuan yang baru saja dia dapatkan, melarikan diri sebelum dia memutuskan untuk membuangnya. “Wanita sialan, hanya aku yang bisa membuangmu! Kau tidak boleh melarikan diri dariku!” geram Tristan penuh emosi. Wajah Tristan memerah karena amarah yang meluap-luap. Dia mengangkat ponselnya dan menekan nomor asistennya. Saat sambungan tersambung, suaranya berubah dingin dan berbahaya. “Temukan perempuan itu,” perintah Tristan tegas tanpa basa-basi. “Dia kabur tadi malam. Cari di setiap sudut kota. Aku ingin dia ditemukan secepatnya.” “Maaf, Tuan? Perempuan mana yang Anda maksud?” tanya sang asisten dari seberang sana. “Perempuan yang bersamaku selamam, Sialan! Apa aku harus menjelaskannya juga?!” “Tuan, bagaimana cara saya menemukannya?” “Ck! Kau bertanya padaku? Aku sudah membayarmu mahal, Bodoh!” Sang asisten panik. “B-baik, Tuan. Saya akan mencari wanita yang Anda maksud.” Tristan memutuskan panggilan dan tersenyum sinis, seringainya semakin kejam. “Kau pikir bisa kabur dariku semudah itu. Tunggu sampai kau tertangkap. Aku akan membuatmu menyesal.” Tristan merasa harga dirinya diinjak-injak oleh wanita yang semalam terlihat begitu lemah dan tak berdaya. Sekarang, dia dipermalukan, dan satu-satunya cara untuk menenangkan dirinya adalah dengan mendapatkan wanita itu kembali—entah bagaimana caranya. Bagaimanapun, dia yang sudah membelinya. Tidak ada yang boleh mengambil apa yang menjadi miliknya. *** Suasana di rumah keluarga Redford pagi itu terasa tegang. Brittany dan Veronica sibuk mempersiapkan diri, mengenakan pakaian terbaik yang mereka miliki. Pagi ini, pengacara Carter—Pierre—akan datang untuk membacakan surat wasiat. Mendiang ayah Cordelia telah meninggalkan warisan yang selama ini mereka nantikan. Brittany tersenyum menatap hangat putri kebangaannya. “Sayang, ini adalah hari kita. Kekayaan Carter akan jatuh ke tangan kita.” Veronica mengangguk, matanya berbinar dengan penuh harap. “Tentu saja, Mom. Cordelia hanyalah anak lemah yang tidak tahu apa-apa. Dia bahkan sudah mencemarkan nama baik keluarga.” Brittany mendengkus kasar. “Wanita bodoh itu tidak pantas mendapatkan apa pun dari keluarga ini.” Suara bel rumah berbunyi. Seorang pelayan segera membuka pintu, dan Pierre, pengacara Carter, masuk dengan sebuah map tebal di tangannya. Wajahnya tenang tapi tegas, sesuai dengan profesinya. “Selamat pagi, Nyonya Brittany, Nona Veronica,” sapa Pierre sambil memberi hormat kecil. “Terima kasih sudah meluangkan waktu. Saya di sini untuk membacakan surat wasiat mendiang Tuan Carter.” Brittany dan Veronica berdiri, saling berpandangan dengan penuh antisipasi. “Tentu, Pierre. Kami sudah menantikan ini,” ujar Brittany sambil tersenyum ramah, meskipun senyumnya penuh kepalsuan. Pierre mengangguk singkat. “Sebelum saya memulai, ada satu hal. Saya harus meminta Nona Cordelia untuk hadir.” Wajah Brittany langsung berubah, ekspresinya menjadi gelap. “Cordelia? Untuk apa dia di sini? Dia ... dia tidak perlu mendengar ini.” Pierre mengangkat alis, tetap tenang. “Maaf, Nyonya, tapi sesuai instruksi Tuan Carter, seluruh ahli waris harus hadir.” Brittany menahan napasnya, lalu menghela dengan berat. “Baiklah, saya akan menyuruh pelayan untuk memanggilnya.” Tidak lama kemudian, Cordelia yang masih lemah dan pucat dibawa keluar dari kamar. Matanya bengkak karena menangis sepanjang malam. Pakaian lusuh yang dikenakannya—kemeja yang dia ambil dari Tristan—membuatnya tampak tidak pantas berada di sana. Saat matanya bertemu dengan Brittany dan Veronica, dia mencoba tersenyum lemah, berharap mereka akan mendengarkan penjelasannya. Namun, pandangan jijik dari ibu tiri dan saudari tirinya membuatnya kembali bungkam. Pierre tersenyum penuh wibawa. “Baiklah, karena semua sudah hadir, saya akan membacakan isi surat wasiat Tuan Carter Redford.” Semua di sana menatap Pierre, dan hanya Cordelia yang seakan tak peduli. Sementara Veronica dan Brittany sudah sangat tak sabar mendengar isi dari wasiat itu. Pierre membuka mulutnya setelah sekian lama memeriksa berkas-berkas itu. “Seperti yang kita semua ketahui, saya di sini untuk membacakan isi surat wasiat mendiang Tuan Carter Redford. Beliau telah meninggalkan instruksi yang jelas mengenai pembagian asetnya.” Brittany menyilangkan kakinya dengan anggun, menyembunyikan kegelisahan di balik senyum palsu. Veronica yang duduk di sebelah Brittany menunjukkan senyum licik, yakin bahwa ayah tirinya tentu akan lebih memilih mereka daripada Cordelia yang lemah. “Kami siap mendengar berita baik itu, Pierre,” kata Brittany dengan nada yang dibuat sehalus mungkin. Pierre mengangguk singkat, lalu mulai membacakan dokumen-dokumen itu dengan tenang. “Pertama-tama, Brittany Redford akan menerima rumah peristirahatan di Aspen, Colorado, serta sejumlah uang tunai sebesar lima ratus ribu dolar.” Senyum Brittany perlahan memudar. Dia mengerutkan kening, sedikit terkejut dengan jumlah yang menurutnya sangat kecil. Aura wajahnya menunjukkan rasa tak puas. “Hanya itu?” tanya Brittany berusaha tenang. Pierre mengabaikan pertanyaannya dan melanjutkan, “Untuk Veronica Redford, mendiang Tuan Carter telah memberikan koleksi perhiasan antiknya serta sebuah apartemen di pusat kota New York.” Veronica tertegun. Meski hadiah itu bernilai besar, dia berharap lebih—seperti kontrol atas perusahaan atau sebagian besar aset bernilai tinggi lainnya. Wajahnya berubah kaku, senyum yang tadi menghiasi bibirnya menghilang dalam sekejap. “Kami seharusnya mendapatkan lebih dari ini!” gumam Veronica dengan suara rendah, matanya berkilat marah saat menatap ibunya. Pierre tetap tenang dan melanjutkan, “Sekarang, kita sampai pada bagian utama dari surat wasiat ini. Mendiang Tuan Carter Redford telah menunjuk ahli waris utama yang akan mewarisi seluruh aset keluarga, termasuk saham mayoritas perusahaan Redford Corp, properti utama keluarga Redford, dan seluruh kekayaan finansialnya.” Brittany dan Veronica menatap Pierre dengan mata penuh harap. Mereka yakin bahwa nama yang akan disebut adalah salah satu dari mereka. Namun, yang keluar dari mulut Pierre mengejutkan mereka hingga ke tulang. “Seluruh warisan Carter Redford akan jatuh ke tangan Cordelia Redford.” Keheningan panjang memenuhi ruangan. Wajah Brittany memucat seketika, sementara Veronica menatap Pierre dengan ekspresi tak percaya. Ibu dan anak itu tampak menunjukkan kemarahan tertahan. “Itu tidak mungkin! Carter pasti telah membuat kesalahan! Aku ini istrinya, mana mungkin dia hanya memberikan sesedikit itu padaku!” seru Brittanu tak terima. “Benar, aku juga putrinya. Bukan hanya Cordelia yang merupakan putrinya!” Veronica mencengkeram lengan kursinya begitu kuat, jemarinya memutih. Cordelia, yang sedari tadi diam, terkejut mendengar namanya disebut sebagai pewaris tunggal. Dia tidak pernah membayangkan dirinya mendapatkan apa pun dari sang ayah. Sementara itu, Pierre tetap tenang dan profesional, meskipun suasana semakin memanas. “Tuan Carter Redford telah meninggalkan instruksi yang sangat jelas dalam wasiat ini,” kata Pierre tegas. “Cordelia Redford adalah ahli waris tunggal dari seluruh aset dan saham keluarga Redford. Itu sudah diputuskan dengan sah.” “Tidak bisa! Kau pasti mempermainkan kami!” Brittany, tak mampu menahan amarahnya lagi, bangkit dari kursinya dengan cepat, menunjuk Pierre dengan penuh tuduhan. “Carter pasti telah dibodohi! Dia tidak mungkin menyerahkan semuanya pada wanita ini!” Teriaknya, matanya menyala dengan kebencian. “Cordelia, katakan sekarang! Apa yang sudah kau katakan pada Dad sebelum Dad meninggal?” Veronica ikut berdiri, matanya menyipit penuh kemarahan saat menatap Cordelia. “Kau pasti meminta Dad melakukan sesuatu. Ini semua pasti ulahmu!” “Mom, Kak Veronica, aku sama sekali tidak melakukan apa pun.” Cordelia menggeleng, mencoba berbicara. “Aku ... aku tidak tahu apa-apa soal ini. Aku tidak pernah meminta ini. Aku bahkan tidak tahu apa pun tentang warisan.” “Kami yang seharusnya mendapatkan semuanya!” Brittany menatap Cordelia dengan tatapan yang begitu penuh kebencian hingga Cordelia merasa tubuhnya gemetar. “Kau telah mencemarkan nama baik keluarga ini, dan sekarang kau berani mengambil semuanya dari kami? Setelah apa yang kau lakukan?” “Mom, tolong dengarkan aku. Aku ... aku sama sekali tidak pernah meminta semua harta milik Dad.” Cordelia gemetaran, suaranya mencicit. “Dan soal mencemarkan nama baik, itu juga—” Plak! Satu tamparan mendarat di pipi Cordelia. “Masih berani kau membuat alasan setelah semua bukti-bukti di sini?” “M- Mom …” lirig Cordelia seraya menyentuh pipi kanannya yang ditampar oleh ibu tirinya. “Kau menjual diri, mempermalukan nama baik keluarga dan membuat aku dan Mom terlunta-lunta. Hebat sekali kau Cordelia, aku tidak menyangka kau tidak menganggap kami sebagai keluarga!” bentak Veronica kuat. “Tidak, aku tidak pernah—” Cordelia merasa tenggorokannya tercekat, ingin menjelaskan bahwa dia tidak pernah melakukan hal-hal yang dituduhkan kepadanya, bahwa dia tidak pernah berniat mencuri apa pun. Namun, suara Brittany dan Veronica terlalu keras, menutup semua usahanya untuk menjelaskan. “Sudah cukup! Hentikan keributan ini!” potong Pierre, suaranya kuat dan tegas. “Isi surat wasiat ini sah secara hukum. Jika ada keberatan, silakan ajukan tuntutan melalui jalur yang sesuai. Tapi perlu diingat, hingga saat ini semua keputusan yang tertulis di sini akan segera dilaksanakan.” Brittany dan Veronica saling berpandangan, raut wajah mereka penuh kemarahan dan kebencian yang semakin mendalam. Pikiran mereka mulai berputar, merencanakan cara untuk menyingkirkan Cordelia dari warisan ini—dengan cara apa pun. Setelah Pierre selesai dan meninggalkan ruangan, Brittany dan Veronica tetap berdiri di sana, membeku dalam keheningan yang penuh kemarahan. Cordelia masih duduk di sudut ruangan, matanya mulai berkaca-kaca, merasa sendirian meski berada di tengah keluarganya sendiri. Saat Cordelia mencoba bangkit berdiri, Veronica melangkah mendekat, wajahnya dingin penuh amarah. Dia mencengkeram rahang Cordelia, hingga membuat wanita itu merintih kesakitan. “Kau mungkin mendapatkan semuanya sekarang, tapi jangan pernah berpikir bahwa kau akan bisa menikmatinya lama-lama,” seru Veronica penuh kebencian mendalam pada Cordelia.Setelah pertemuan warisan yang mengejutkan, suasana di rumah keluarga Redford berubah. Cordelia, yang sebelumnya dikurung di kamar, kini bebas berjalan di dalam rumah megah itu. Namun, kebebasan itu terasa hambar. Brittany dan Veronica tidak lagi melontarkan hinaan secara terang-terangan, tapi sikap dingin mereka lebih tajam daripada kata-kata. Cordelia merasa seperti orang asing di rumahnya sendiri. Pagi itu, di ruang makan keluarga yang penuh dengan kemewahan tapi terasa dingin, Cordelia duduk sendirian, menatap secangkir teh di depannya. Hatinya masih berdebar memikirkan warisan yang secara tidak terduga jatuh ke tangannya. Bagaimana mungkin dia, yang tidak pernah diberi kesempatan untuk bersinar, kini harus memikul beban besar ini? Brittany dan Veronica akhirnya memasuki ruangan, wajah mereka tampak tenang tapi penuh dengan maksud tersembunyi. Cordelia menegakkan punggungnya, berharap mungkin ini adalah awal dari hubungan baru dengan mereka. Cordelia berdiri canggung di ruang mak
Tristan berdiri di sudut ruangan, menghindari keramaian sambil menyesap wine dari gelas kristal yang dingin. Matanya mengawasi setiap gerak-gerik para tamu dengan pandangan malas, hingga tiba-tiba pandangannya berhenti pada sosok yang dia kenali dengan baik yaitu wanita yang dia beli. Senyum sinis langsung mengembang di wajahnya, dan tanpa ragu, dia meletakkan gelasnya di atas meja terdekat, berjalan mendekat. Cordelia yang baru saja keluar dari balkon, masih terhanyut dalam pikirannya, tidak menyadari kehadiran pria bermata biru yang telah merenggut keperawanannya. Dia mengusap matanya, berusaha menyembunyikan sisa air mata yang tertahan di sudut pipinya. Namun, sebelum dia bisa melangkah lebih jauh, Tristan tiba-tiba menangkap lengannya dengan kasar, membuat Cordelia terkejut dan tubuhnya tersentak. “Jangan terlalu terkejut, bukankah kita sudah saling kenal luar dan dalam?” Tristan menyeringai, tatapan matanya dingin seolah menelanjangi Cordelia. “Bukankah aku sudah melihat sisi di
Cordelia mencoba untuk mendorongnya menjauh, tapi tidak ada gunanya. Pria itu terlalu kuat untuknya. Dia sama sekali tidak bisa berontak sedikit pun. Dia sekarang merasakan jari-jari pria itu menyelidiki lebih dalam ke dalam pusat tubuhnya, menemukan klitorisnya. Ya, dia tidak bisa menghentikan desahannya. Jari-jari Tristan bergerak dengan seduktif di area sensitif Cordelia. Membuat wanita itu berteriak kager bercampur kenikmatan. Cordelia ingin menolak, tapi tubuhnya berkhianat. Dia tidak percaya apa yang terjadi padanya. Cordelia selalu menjadi wanita yang baik, selalu mematuhi aturan. Namun sekarang, dia diperlakukan seperti ini, seperti budak seks yang hina dan menjijikkan. “Tolong, Tuan ... jangan,” Cordelia memohon. “Hentikan. Aku ... aku ... sungguh tidak tahan lagi.” Dia melanjutkan dengan penuh permohonan, dia bahkan tak tahu nama pria yang telah merenggut kesuciannya ini. “Benarkah?” Tristan menyeringai, alisnya terangkat dengan mimik wajah seolah menikmati penderitaan C
Suasana balkon yang tadinya sunyi kini berubah menjadi penuh ketegangan. Pria yang memergoki istrinya berselingkuh berdiri di hadapan mereka dengan wajah merah padam, sarat dengan amarah. “Kau benar-benar tak tahu malu!” suaranya menggelegar, menggetarkan balkon dan menarik perhatian semua orang di ruangan. Wanita yang ketahuan berselingkuh langsung membeku, wajahnya pucat pasi. “Sayang ... aku bisa jelaskan,” jawabnya seraya meraih lengan suaminya, mencoba memohon pengampunan dengan suara gemetar. “Ini ... ini tidak seperti yang kau pikirkan. Tolong dengarkan aku dulu!” Namun, pria itu hanya tertawa sinis, menarik tangannya dengan kasar dari genggaman istrinya. “Dengarkan? Untuk apa? Untuk kebohongan lainnya?” Dengan gerakan tiba-tiba, dia mengayunkan tangannya dan menampar pipi istrinya dengan keras. Suara tamparan itu menggema di udara, membuat semua orang yang berkumpul di sekitar mereka terdiam. Wanita itu terhuyung, terkejut, wajahnya yang kini memerah karena tamparan itu penu
Cordelia menatap bayangannya di cermin toilet, wajahnya berantakan, mata bengkak karena menangis. Dia menarik napas dalam, mencoba mengendalikan emosinya. Sisa-sisa make-up yang berantakan dia rapikan seadanya. Setelah merasa cukup, Cordelia melangkah keluar dari pesta, meninggalkan sorotan mata sinis dan bisik-bisik para tamu yang terus menggunjingkannya.“Dia masih berani datang setelah apa yang terjadi?”“Apa dia pikir kita lupa? Jalang murahan ...”Setiap kalimat menusuk telinga Cordelia. Kepalanya terasa berat, hatinya semakin hancur. Dia melangkah cepat, menuju pintu keluar, dan masuk ke dalam mobil—di mana sang sopir sudah menunggu dirinya. Setibanya di rumah, Brittany menunggu di ruang tamu, wajahnya merah padam. “Cordelia!” teriaknya begitu Cordelia masuk.Cordelia terkejut di kala Brittany memanggilnya dengan nada kencang. “I-iya, Mom?” jawabnya pelan, dan gugup. Brittany menatap dingin Cordelia. “Kau benar-benar tidak punya rasa malu! Setelah semua yang terjadi, kau masi
Beberapa hari kemudian, Brittany kembali menyusun rencana jahat lainnya untuk menyingkirkan Cordelia secara permanen. Kali ini, wanuta paruh baya itu memutuskan untuk menjebak Cordelia dengan sesuatu yang tak akan bisa diabaikan oleh masyarakat—kehamilan di luar nikah.Satu pagi yang tampak tenang, Veronica memasuki kamar Cordelia dengan wajah penuh keterkejutan dan kepura-puraan. Dia langsung menuju meja rias Cordelia, matanya tertuju pada sebuah tespek yang tergeletak di sana, menunjukkan hasil positif.“Astaga!” seru Veronica, suaranya meninggi. “Apa ini, Cordelia? Kau hamil?!” lanjutnya dengan raut wajah penuh kepura-puraan. Cordelia, yang sedang duduk di tepi ranjang, menatap Veronica dengan bingung. “Apa? Tidak mungkin! Itu bukan punyaku!”Teriakan Veronica menarik perhatian Brittany yang segera masuk dengan langkah cepat dan wajah penuh amarah. “Apa yang terjadi di sini?” tanyanya, tapi matanya sudah tertuju pada benda kecil di tangan Veronica.“Ini! Cordelia ternyata hamil, M
Tristan berdiri di ruang kerjanya, sambil menyesap wine. Pikirannya menerawang jauh, memikirkan Cordelia. Setiap tegukan wine seolah membawa kembali mengingat wajah ketakutan Cordelia yang sangat menggemaskan di matanya. Suara ketukan pintu terdengar, membuyarkan lamunan Tristan. Pria tampan itu menoleh—dan mempersilakan orang yang mengetuk pintu ruang kerjanya untuk masuk ke dalam. “Tuan,” sapa Jovian seraya masuk ke dalam ruang kerja Tristan. Tristan menatap dingin Jovian yang datang. “Jika kau ingin membahas pekerjaan, maka lebih baik kau pergi. Aku sedang malas membahas pekerjaan.” Jovian menggelengkan kepalanya. “Tidak, Tuan. Saya datang ke sini bukan ingin membahas pekerjaan, tapi saya ingin membahas wanita yang Anda minta untuk cari tahu informasi yang Anda minta.” Tristan mengangguk. “Katakan, apa informasi yang kau dapatkan tentang wanita itu?” “Tuan, saya minta maaf, saya tidak berhasil mendapatkan informasi tentang wanita itu. Nama yang tertuliskan hanya Cordelia, men
Tristan duduk di kursi mewahnya dengan wajah tegang, memandangi laporan di tangannya. Di depannya, Jovian berdiri, memberikan laporan yang mengejutkan. Ya, pria tampan itu telah meminta Jovian untuk menyelidiki nama ‘Delia Lysette’. Meski dia tahu itu nama samaran Cordelia, tapi dia masih ingin menyelidiki nama itu. Dia penasaran kenapa sampai Cordelia menggunakan nama samaran. “Saya sudah mencari tahu lagi tentang nama Delia Lysette seperti yang Anda perintahkan, Tuan,” kata Jovian dengan nada serius. “Tapi saya tidak menemukan apa pun. Satu-satunya keluarga Lysette yang berpengaruh adalah keluarga Tony Lysette, calon investor DVR Group, tapi jelas itu tidak mungkin,” lanjut Jovian memaparkan dugaannya yang tidak mungkin. Mata Tristan menyipit tajam. “Tony Lysette? Tidak mungkin wanita itu ada hubungannya dengan mereka. Dia tidak mungkin salah satu dari mereka,” gumamnya dengan suara rendah. Namun, semakin dia berpikir, semakin besar kecurigaannya. Tristan mulai merasa bahwa ada le
Cordelia menatap jam di dinding. Satu jam sudah berlalu, dan selama itu dia duduk di sofa, mendengarkan ocehan Tristan—dari hal penting hingga yang sama sekali tak penting. Dia hanya bisa mendengarkan tanpa membantah, karena Tristan sedang tidak dalam keadaan waras.“Tristan? Tristan?” Cordelia mencoba memanggil Tristan yang sudah terdiam selama beberapa menit.Tristan terbaring di sofa, tertidur dengan ekspresi lelah dan damai untuk pertama kalinya malam itu. Tampak Cordelia menatap pria itu sebentar, menghela napas panjang. Tubuh pria itu terlalu berat untuk dipindahkan ke ranjang—dan dia tak mau membuat keributan lagi. Hal yang dilakukan Cordelia adalah mengambil selimut dan menyelimuti Tristan dengan hati-hati, berusaha agar pria itu tetap nyaman.“Tidurlah dengan tenang, dan istirahat dengan baik. Besok kita akan sibuk. Selamat malam, semoga kau bermimpi indah,” bisik Cordelia lembut. Setelah memastikan semuanya beres, Cordelia berdiri dan berniat kembali ke kamarnya. Namun tib
Cordelia dan Tristan berjalan cepat di bandara internasional, mencoba menghindari puluhan wartawan yang terus mengintai mereka sejak skandal ciuman tersebar. Kilatan kamera dan pertanyaan-pertanyaan tajam menghujani mereka tanpa henti, membuat perjalanan yang seharusnya lancar berubah seakan menjadi medan pertempuran.“Tristan! Apa ini hubungan serius? Apa kalian akan menikah?” teriak salah satu wartawan.“Cordelia, bagaimana tanggapan Anda soal gosip dengan Leony?” seru yang lain sambil mendorong mikrofon mendekat.Cordelia menunduk sedikit, berusaha menyembunyikan wajahnya di balik rambut. Namun, Tristan tetap berjalan tegap dan tanpa ekspresi, mengabaikan semua pertanyaan dengan dingin. Tangan pria tampan itu bergerak cekatan menarik pinggang Cordelia lebih dekat ke tubuhnya, seolah memberi tahu semua orang bahwa mereka tak terpisahkan.“Jangan berhenti,” Tristan berbisik di telinga Cordelia sambil menuntunnya dengan mantap. “Kita tidak boleh memberi mereka kesempatan.”Cordelia me
Ciuman berlangsung begitu lama, hingga membuat kaki Cordelia terasa sangat lemas. Jika bukan karena Tristan yang memeluk pinggangnya, maka sudah dipastikan tubuh Cordelia akan terperosot jatuh ke bawah. Sungguh! Ciuman ini benar-benar membuat Cordelia tidak bisa berkutik sama sekali. Perlahan ciuman Tristan mulai terlepas, dan tampak pipi Cordelia tersipu malu. Mereka saling beradu pandang, tatapan yang tersirat memiliki makna khusus—yang memiliki arti begitu luas. Namun, terlihat sebisa mungkin Cordelia berusaha tenang meski dilanda kegugupan nyata. Paparazzi masih sibuk memotret, sementara Cordelia dan Tristan dengan tenang masuk ke dalam mobil yang menunggu. Begitu pintu tertutup, suasana hening mengisi ruang antara mereka. Keheningan yang begitu membentang hingga menunjukkan sedikit salah tingkah. “Ciuman tadi sepertinya kau menikmati,” ucap Tristan tiba-tiba, memecahkan keheningan yang ada. Cordelia gugup dan panik mendengar ucapan Tristan. “T-tidak, a-aku tidak menikmatinya.
Cordelia mengenakan gaun satin hitam yang memeluk tubuhnya dengan elegan. Wanita cantik itu berjalan di samping Tristan memasuki acara penyambutan perusahaan ternama, dikelilingi orang-orang berpengaruh dan para sosialita. Kehadirannya bersama Tristan semakin mengukuhkan statusnya sebagai Cordelia Redford, pewaris keluarga Redford yang kini tampil kembali di masyarakat dengan percaya diri.Namun, di balik senyumnya yang tenang, Cordelia tahu betul bahwa mata-mata iri dan gosip terus mengincarnya. Tristan—miliarder tampan dengan karisma luar biasa—menjadi magnet bagi segala macam intrik. Kehadirannya bersama pria seperti Tristan mengundang rasa penasaran dan kecemburuan banyak pihak.Saat Cordelia bergerak sedikit menjauh untuk mengambil minuman, sosok Leony Pharton tiba-tiba muncul dari kerumunan. Mantan istri Tristan itu mengenakan gaun merah menyala yang kontras, wajahnya dipoles sempurna dengan riasan anggun, tetapi matanya menyiratkan kebencian yang mendalam.Leony tersenyum manis
Veronica menekan tombol panggil dengan raut wajah menunjukkan rasa gelisah yang membentang. Ponsel di tangannya berdering beberapa kali sebelum suara ibunya, Brittany, terdengar di ujung sambungan.“Ada apa, sayang?” tanya Brittany dengan nada malas, seperti seseorang yang terlalu terbiasa memerintah.“Aku baru saja melihat Cordelia,” Veronica melaporkan, suaranya cepat dan penuh amarah. “Dia muncul di lobi bersama pria tampan—kaya dan terlihat berkuasa. Pria itu membela Cordelia dan ... dia bilang Cordelia miliknya! Apa-apaan ini?”Terdengar keheningan sesaat dari seberang telepon, diikuti suara langkah tergesa-gesa.“Cordelia dengan bersama pria kaya?” Brittany mengulangi dengan suara tajam. Ada sesuatu dalam nada ibunya yang membuat Veronica merinding.“Iya, dan dia—”Veronica belum selesai berbicara ketika tiba-tiba sambungan telepon diputus.“Mom? Mom!” Veronica menggerutu kesal.Sementara di sisi lain, tepat saat yang sama Brittany melempar ponselnya ke atas meja dengan wajah me
Cordelia menatap Tristan dengan ekspresi tidak percaya. Perasaannya campur aduk—marah, sedih, dan bingung. Selama ini dia hanya menerima nasib buruk yang menimpanya, tapi sekarang ada harapan untuk mencari tahu siapa yang menjualnya dan menyeret hidupnya ke dalam kekacauan ini.Cordelia menatap Tristan, mencoba mencari jawaban di matanya. “A-aku tidak tahu. T-tap apa mungkin kau bisa membantuku menemukan siapa yang menjualku?” tanyanya pelan, nyaris seperti bisikan.Tristan menyandarkan tubuhnya pada sofa, senyum miring menghiasi wajah tampannya, seolah semuanya hanyalah permainan bagi dirinya.“Aku bisa. Tapi dengan satu syarat,” ucap Tristan dingin. Cordelia mengerutkan kening. “Syarat?”Tristan mengambil sebuah map hitam di sampingnya dan membuka isinya. Di dalamnya, terdapat sebuah kontrak. Pria tampan itu menyerahkan kontrak itu pada Cordelia tanpa banyak penjelasan.Cordelia membuka halaman pertama dengan hati-hati, membaca isinya sambil mencoba memahami setiap kata. Semakin la
Cordelia menarik napas dalam-dalam, menyadari bahwa tidak ada jalan keluar selain mengatakan semuanya. Wanita cantik itu tahu, setiap kata yang akan dia ucapkan akan membawa konsekuensi besar. Tony menatapnya penuh harap dan kemarahan, sementara Tristan berdiri dengan ekspresi dingin tapi jelas menuntut penjelasan.“Baik,” ucap Cordelia akhirnya, dengan suara berat. “Aku akan menjelaskan semuanya.” Dia berdiri tegak, meski tubuhnya sedikit bergetar ketakutan. Tristan dan Tony sama-sama menyimak, menatap Cordelia dengan tatapan tak sabar ingin tahu. Mereka tentu tidak sabar ingin mendengar semua penjelasan yang keluar dari mulut Cordelia. “Pertama Tristan, perkenalkan ini adalah Tony Lysette ... dia pamanku. Paman Tony adalah kakak dari mendiang ibuku—Luciana Lysette.” Suara Cordelia terdengar gemetar, tapi tegas. “Ibuku menikah dengan seorang pria hebat bernama Carter Redford. Setelah ibu meninggal, ayah menikah lagi dengan Brittany dan membawa seorang anak perempuan bernama Veronic
Tristan dan Cordelia telah kembali dari villa yang mereka datangi untuk menenangkan pikiran. Tepat di saat Tristan tiba di mansion, pria tampan itu langsung memanggil seluruh pelayan berkumpul di ruang tengah. Sementara Cordelia yang ada di samping Tristan tampak bingung di kala Tristan memanggil seluruh pelayan. Tentu meski dilanda kebingungan, tetapi Cordelia tidak bisa mengajukan pertanyaan. “Aku akan kedatangan tamu penting malam ini. Pastikan kalian siapkan makanan utama dan makanan penutup yang lezat. Aku tidak ingin ada kesalahan sekecil apa pun! Kalian mengerti?!” perintah Tristan dengan nada dingin, dan penuh penekanan. Para pelayan mengangguk patuh merespon ucapan Tristan. Tristan mengalihkan pandangannya, menatap Cordelia dengan tatapan tegas. “Tubuhmu sudah sehat, kan?” Cordelia menganggukkan kepalanya. “Sudah, Tuan. Saya sudah membaik.” “Layani tamuku dengan baik malam ini. Jangan ada kesalahan,” tegas Tristan bicara pada Cordelia. Cordelia mengangguk patuh. “B
Cordelia masih membeku di tempatnya melihat pemandangan Tristan yang tampak tertidur pulas. Wanita cantik itu hendak ingin menyentuh wajah Tristan, tapi dengan cepat dia menarik diri. Kepingan memorinya mengingat sifat Tristan. Detik itu dia memutuskan untuk menyibak selimut, dan hendak bangkit berdiri, tetapi ternyata gerakannya membuat Tristan membuka mata. “Kau sudah bangun?” suara Tristan terdengar rendah dan dalam, tapi ada nada khawatir yang tersirat.Cordelia menatapnya sejenak, lalu mengangguk. “Ya, saya baik-baik saja,” jawabnya pelan sambil tersenyum tipis. Itu adalah senyuman sederhana, tapi begitu tulus. “Terima kasih telah menjaga saya, Tuan Tristan.”Tristan tertegun beberapa saat. Pertama kalinya, dia melihat sisi lain dari Cordelia—senyum yang hangat dan murni, seolah-olah dia tidak menyimpan kebencian atau sakit hati. Tristan merasakan ada sesuatu yang bergetar di dalam dirinya. Dia membuang muka, berusaha mengabaikan perasaan aneh itu.“Jangan tersenyum seperti itu,