#Flashback On
Cordelia duduk di ruang tamu besar, perasaan tidak menentu mengisi pikirannya. Telepon dari salah satu direksi perwakilan perusahaan masih terngiang jelas di kepalanya.
“Nona Cordelia, Anda harus menghadiri Rapat Umum Pemegang Saham besok. Ada keputusan penting yang membutuhkan persetujuan Anda sebagai pewaris utama Redford Group. Kami akan membahas siapa yang akan menjabat sebagai CEO sementara,” ujar Harland kala panggilan terhubung.
Cordelia mengerutkan kening. Carter—ayahnya—meninggal mendadak tiga bulan yang lalu, meninggalkan kekosongan di pucuk pimpinan perusahaan yang dibangunnya dari nol. Tidak ada yang tahu siapa yang akan menggantikannya secara permanen, tapi rumor sudah beredar.
“Siapa yang diusulkan?” tanya Cordelia dengan nada datar.
“Alan. Anda mengenalnya,” jawab Harland dengan ragu-ragu. “Anak asuh Tuan Carter.”
Cordelia tertegun mendengar nama itu. Alan … Nama itu membawa kilasan kenangan masa kecilnya—seseorang yang jarang dia lihat di rumah, tapi selalu ada di balik bayang-bayang. Alan adalah anak asuh yang dibesarkan oleh Carter dengan diam-diam, jauh dari sorotan publik maupun keluarganya. Cordelia tidak pernah benar-benar dekat dengannya, tapi ayahnya tampak percaya penuh pada Alan.
“Dad sudah memutuskan ini, bukan?” gumam Cordelia lebih kepada dirinya sendiri. “Alan, sebagai CEO sementara?”
“Ya, tapi dia membutuhkan persetujuan dari Anda. Anda adalah satu-satunya yang bisa memutuskan hal ini.”
Cordelia menggigit bibirnya. Bagaimana mungkin ayahnya menyiapkan seseorang yang hampir tak dikenal oleh keluarga untuk memimpin perusahaan sebesar ini? Namun, di sisi lain, jika Carter yang selalu penuh perhitungan, memilih Alan mungkin ada alasan yang kuat.
Esok malamnya, Cordelia melangkah masuk ke ruang rapat gedung perusahaan Redford Group. Wajah-wajah serius para pemegang saham menatapnya ketika dia mengambil tempat di meja panjang. Harland berada di ujung meja, mengangguk ke arahnya. Di sudut ruangan, Alan berdiri tegak, wajahnya tenang, tapi pandangannya tajam.
“Kita akan mulai,” kata Harland membuka rapat. “Seperti yang Anda semua tahu, mendiang Tuan Carter Redford telah menunjuk Alan sebagai calon CEO sementara, tapi agar keputusan ini resmi, maka kita memerlukan persetujuan dari pewaris tunggalnya yaitu Nona Cordelia.”
Suasana ruangan terasa berat. Semua mata tertuju pada Cordelia. Gadis cantik itu merasa beban di pundaknya semakin berat. Ayahnya telah memercayakan keputusan ini kepadanya, tapi dia merasa belum siap. Alan menatapnya, dan sejenak, Cordelia merasakan tatapan yang pernah dilihatnya bertahun-tahun lalu—sebuah tatapan penuh harapan, seperti ketika Alan pertama kali datang ke rumah mereka.
Cordelia mengembuskan napas berat, berusaha berpikir sejenak, tapi dengan lugas dia berkata, “Jika Dad sudah memutuskan, maka aku akan menghormati keputusan Dad. Aku yakin ada tujuan baik di balik semua ini.”
Suara bisik-bisik mulai terdengar di ruangan, beberapa pemegang saham tampak terkejut, sementara yang lain mengangguk setuju. Cordelia menandatangani dokumen itu, menyelesaikan keputusan besar yang akan mengubah arah perusahaan.
“Terima kasih, Cordelia,” ucap Alan dengan suara tenang, tapi jelas penuh arti. Tatapan mereka bertemu sejenak, dan Cordelia tahu, sebuah babak baru dalam kehidupannya akan dimulai.
“Tentu, aku harap kau tidak mengkhianatiku, Alan.” Dengan senyum profesionalnya Cordelia meninggalkan ruangan rapat.
Sepulang dari RUPS, Cordelia memutuskan untuk berjalan kaki menuju tempat parkir. Udara malam terasa segar, sedikit menenangkan pikirannya yang masih berputar-putar setelah keputusan besar yang baru saja diambilnya.
Namun, tiba-tiba, langkahnya terhenti. Suara langkah kaki dari belakang membuatnya merinding. Dia memutar kepalanya, tapi tidak melihat siapa pun. Sebelum dia bisa bereaksi lebih lanjut, sebuah kain kasar menutupi mulutnya. Bau menyengat memenuhi inderanya. Cordelia mencoba melawan, tapi tubuhnya semakin lemah. Dalam beberapa detik, kesadarannya mulai menghilang.
#Flashback Off
***
Malam yang dingin menusuk ke sekujur tubuh Cordelia. Gadis cantik itu berlari, tubuhnya merintih setiap kali kakinya menyentuh tanah dingin. Setiap detik terasa seperti cobaan, tapi dia terus maju, menuju rumah yang dia harapkan bisa memberi sedikit kenyamanan.
Saat tiba di rumah, Cordelia meraih handle pintu dengan tangan gemetar. Dia memasuki rumahnya dengan susah payah, napasnya tersengal-sengal. Tepatnya di ruang tamu ada Brittany—ibu tirinya duduk di sana, bersama dengan Veronica—saudara tirinya.
“Ah, kau baru pulang? Kau rupanya ingin belajar liar?” Brittany tersenyum sinis, menatap Cordelia.
Cordelia menelan salivanya susah payah. “M-mon … a-aku—”
“Duduk!” titah Brittany menegaskan.
Cordelia duduk di ruang tamu megah, dia menggigit bibirnya yang bergetar. Terlihat Brittany menatapnya dengan penuh kebencian. Sementara Veronica, duduk di sampingnya dengan tangan terlipat, wajahnya tampak jijik. Suasana ruangan terasa berat, penuh dengan ketegangan yang membuat Cordelia sesak napas.
“Apa kau tidak punya rasa malu, Cordelia?” suara dingin Brittany tiba-tiba memecah keheningan. Mata tajamnya menusuk Cordelia yang duduk dengan canggung. “Beraninya kau mencemarkan nama baik keluarga Redford dengan berbuat seperti itu!”
Cordelia menatap Brittany dengan penuh kebingungan, air matanya mulai menggenang di sudut matanya. “Aku ... Aku tidak mengerti, Mom. Apa maksudmu?”
Veronica mendengkus, mencondongkan tubuhnya ke depan, pandangannya penuh dengan kemarahan. “Ada orang yang melihatmu masuk ke hotel bersama seorang pria tua, Cordelia! Apa kau tidak punya rasa malu sedikit pun? Ayahmu belum lama meninggal dan kau sudah seperti ini?”
Cordelia terkejut, jantungnya berdegup lebih kencang. “Pria tua? Tidak, Veronica, itu tidak benar! Aku diculik! Aku tidak masuk hotel dengan siapa pun secara suka rela! Kalian harus mendengarkanku!”
Brittany mengangkat tangan, menyuruh Cordelia diam. “Sudah cukup! Tidak perlu beralasan. Kau pikir kami akan percaya dengan cerita bodoh itu? Semua orang tahu apa yang mereka lihat. Kau mempermalukan keluarga kita. Apa kau sadar betapa hancurnya reputasi kita sekarang?”
Cordelia terisak, air mata mulai jatuh di pipinya. “Mom, tolong dengarkan aku! Aku tidak melakukan apa yang kalian pikirkan. Ada kesalahpahaman di sini. Aku tidak tahu bagaimana ini terjadi, tapi aku diserang, dan aku—”
“Kau ingin memberikan kebohongan pada kami?” potong Veronica dengan suara yang tajam. “Kau sungguh naif, Cordelia. Kau pikir kami bodoh? Tidak ada yang peduli dengan alasanmu. Fakta bahwa orang-orang sudah membicarakan hal ini cukup untuk menghancurkan nama baik kita. Kau adalah aib!”
Cordelia merasa dunianya runtuh mendengar kata-kata kejam kakak tirinya itu. Dia mencoba meraih tangan Brittany, tapi ibu tirinya dengan cepat menarik tangannya, seolah enggan disentuh.
“Aku tidak melakukan apa-apa! Aku … aku hanya korban! Demi Tuhan, aku hanya korban. Aku mohon percaya padaku,” isak Cordelia sesenggukan, berusaha menjelaskan.
Cordelia sudah tidak lagi memiliki keluarga. Ibunya lebih dulu meninggal, lalu ayahnya menikah dengan mantan sekretaris ayahnya. Namun, sayangnya takdir seakan sangat kejam. Ayah kandung Cordelia meninggal dunia. Sekarang Cordelia hidup bersama dengan ibu tiri serta kakak tiri—yang mana anak dari ibu tirinya dengan suami lama. Dalam arti Veronica hanya memakai nama keluarga Cordelia, tapi bukan bagian keluarga Redford sesungguhnya.
Wajah Brittany mengeras. “Karena kau adalah beban bagi kami, Cordelia. Sejak ayahmu meninggal, kau hanya membawa masalah. Sekarang, kau sudah menghancurkan reputasi kami! Keluarga Redford tidak bisa terus menanggung aib sepertimu.”
“Tapi aku tidak bersalah, Mom,” isak Cordelia, tubuhnya bergetar karena emosi dan keputusasaan. “Aku tidak melakukan apa pun yang memalukan. Aku tidak tahu siapa yang menyebarkan cerita itu, tapi itu tidak benar. Aku hanya ingin kalian percaya padaku.”
“Cukup, Cordelia! Kami tidak ingin mendengar lebih banyak omong kosongmu. Kau pikir kami akan percaya pada omong kosong ini?” seru Veronica penuh emosi.
Cordelia memandangi mereka dengan tatapan penuh putus asa. Dalam hati kecilnya, dia berharap ibu dan kakak tirinya akan memberinya kesempatan untuk menjelaskan. Dia masih naif, berpikir bahwa ini hanya kesalahpahaman yang bisa diselesaikan. Namun, ekspresi dingin di wajah mereka sudah cukup untuk menghancurkan harapannya.
“Aku tidak ingin melihat wajahmu lagi,” kata Brittany dengan nada dingin yang menusuk hati. “Veronica, bawa dia ke kamarnya. Pastikan dia tidak keluar sampai kami memutuskan apa yang harus dilakukan dengan aib ini.”
Veronica tersenyum dingin, lalu berdiri dan menarik lengan Cordelia dengan kasar. Cordelia yang lemah dan terkejut hanya bisa mengikutinya tanpa perlawanan, air mata gadis itu terus mengalir tanpa henti.
Veronica membawa Cordelia masuk ke dalam ke kamar, lalu menutup pintu dengan keras, mengurung Cordelia di dalam tanpa belas kasihan. Tepat di kala pintu sudah terkunci, Cordelia menjatuhkan tubuhnya ke lantai dengan tubuh gemetar. Tangannya menutup wajahnya yang basah oleh air mata.
“Kenapa ini terjadi padaku?” lirih Cordelia pilu.
Cahaya matahari pagi mulai merayap masuk melalui sela-sela jendela, membuat ruangan sedikit lebih terang. Tristan mengerjap-ngerjapkan matanya, tubuhnya masih terasa lelah dari malam sebelumnya. Pria tampan itu mengulurkan tangannya, menyentuh ke sisi kanan mengharapkan kehangatan tubuh wanita yang dia beli harusnya masih ada di sana. Namun, tangannya hanya menyentuh selimut yang dingin. Tristan segera duduk tegak, matanya menyapu ruangan. Ranjang kosong. Wanita itu sudah tidak ada. “Sial, ke mana wanita itu?” Tristan mengerutkan alis berpikir sejenak. Waktu sudah menunjukkan pukul tujuh pagi. Napasnya memburu saat dia menyadari bahwa tidak hanya wanita itu yang hilang, tapi kemejanya juga lenyap. Detik itu juga dia melompat dari ranjang, matanya liar mencari tanda-tanda ke mana wanita itu pergi. Dia berjalan cepat menuju meja kecil di sudut ruangan. Dompetnya tergeletak di sana, tapi ketika dia membukanya, beberapa lembar uang tunai sudah hilang. Tampak senyuman sinis terlukis di wa
Setelah pertemuan warisan yang mengejutkan, suasana di rumah keluarga Redford berubah. Cordelia, yang sebelumnya dikurung di kamar, kini bebas berjalan di dalam rumah megah itu. Namun, kebebasan itu terasa hambar. Brittany dan Veronica tidak lagi melontarkan hinaan secara terang-terangan, tapi sikap dingin mereka lebih tajam daripada kata-kata. Cordelia merasa seperti orang asing di rumahnya sendiri. Pagi itu, di ruang makan keluarga yang penuh dengan kemewahan tapi terasa dingin, Cordelia duduk sendirian, menatap secangkir teh di depannya. Hatinya masih berdebar memikirkan warisan yang secara tidak terduga jatuh ke tangannya. Bagaimana mungkin dia, yang tidak pernah diberi kesempatan untuk bersinar, kini harus memikul beban besar ini? Brittany dan Veronica akhirnya memasuki ruangan, wajah mereka tampak tenang tapi penuh dengan maksud tersembunyi. Cordelia menegakkan punggungnya, berharap mungkin ini adalah awal dari hubungan baru dengan mereka. Cordelia berdiri canggung di ruang mak
Tristan berdiri di sudut ruangan, menghindari keramaian sambil menyesap wine dari gelas kristal yang dingin. Matanya mengawasi setiap gerak-gerik para tamu dengan pandangan malas, hingga tiba-tiba pandangannya berhenti pada sosok yang dia kenali dengan baik yaitu wanita yang dia beli. Senyum sinis langsung mengembang di wajahnya, dan tanpa ragu, dia meletakkan gelasnya di atas meja terdekat, berjalan mendekat. Cordelia yang baru saja keluar dari balkon, masih terhanyut dalam pikirannya, tidak menyadari kehadiran pria bermata biru yang telah merenggut keperawanannya. Dia mengusap matanya, berusaha menyembunyikan sisa air mata yang tertahan di sudut pipinya. Namun, sebelum dia bisa melangkah lebih jauh, Tristan tiba-tiba menangkap lengannya dengan kasar, membuat Cordelia terkejut dan tubuhnya tersentak. “Jangan terlalu terkejut, bukankah kita sudah saling kenal luar dan dalam?” Tristan menyeringai, tatapan matanya dingin seolah menelanjangi Cordelia. “Bukankah aku sudah melihat sisi di
Cordelia mencoba untuk mendorongnya menjauh, tapi tidak ada gunanya. Pria itu terlalu kuat untuknya. Dia sama sekali tidak bisa berontak sedikit pun. Dia sekarang merasakan jari-jari pria itu menyelidiki lebih dalam ke dalam pusat tubuhnya, menemukan klitorisnya. Ya, dia tidak bisa menghentikan desahannya. Jari-jari Tristan bergerak dengan seduktif di area sensitif Cordelia. Membuat wanita itu berteriak kager bercampur kenikmatan. Cordelia ingin menolak, tapi tubuhnya berkhianat. Dia tidak percaya apa yang terjadi padanya. Cordelia selalu menjadi wanita yang baik, selalu mematuhi aturan. Namun sekarang, dia diperlakukan seperti ini, seperti budak seks yang hina dan menjijikkan. “Tolong, Tuan ... jangan,” Cordelia memohon. “Hentikan. Aku ... aku ... sungguh tidak tahan lagi.” Dia melanjutkan dengan penuh permohonan, dia bahkan tak tahu nama pria yang telah merenggut kesuciannya ini. “Benarkah?” Tristan menyeringai, alisnya terangkat dengan mimik wajah seolah menikmati penderitaan C
Suasana balkon yang tadinya sunyi kini berubah menjadi penuh ketegangan. Pria yang memergoki istrinya berselingkuh berdiri di hadapan mereka dengan wajah merah padam, sarat dengan amarah. “Kau benar-benar tak tahu malu!” suaranya menggelegar, menggetarkan balkon dan menarik perhatian semua orang di ruangan. Wanita yang ketahuan berselingkuh langsung membeku, wajahnya pucat pasi. “Sayang ... aku bisa jelaskan,” jawabnya seraya meraih lengan suaminya, mencoba memohon pengampunan dengan suara gemetar. “Ini ... ini tidak seperti yang kau pikirkan. Tolong dengarkan aku dulu!” Namun, pria itu hanya tertawa sinis, menarik tangannya dengan kasar dari genggaman istrinya. “Dengarkan? Untuk apa? Untuk kebohongan lainnya?” Dengan gerakan tiba-tiba, dia mengayunkan tangannya dan menampar pipi istrinya dengan keras. Suara tamparan itu menggema di udara, membuat semua orang yang berkumpul di sekitar mereka terdiam. Wanita itu terhuyung, terkejut, wajahnya yang kini memerah karena tamparan itu penu
Cordelia menatap bayangannya di cermin toilet, wajahnya berantakan, mata bengkak karena menangis. Dia menarik napas dalam, mencoba mengendalikan emosinya. Sisa-sisa make-up yang berantakan dia rapikan seadanya. Setelah merasa cukup, Cordelia melangkah keluar dari pesta, meninggalkan sorotan mata sinis dan bisik-bisik para tamu yang terus menggunjingkannya.“Dia masih berani datang setelah apa yang terjadi?”“Apa dia pikir kita lupa? Jalang murahan ...”Setiap kalimat menusuk telinga Cordelia. Kepalanya terasa berat, hatinya semakin hancur. Dia melangkah cepat, menuju pintu keluar, dan masuk ke dalam mobil—di mana sang sopir sudah menunggu dirinya. Setibanya di rumah, Brittany menunggu di ruang tamu, wajahnya merah padam. “Cordelia!” teriaknya begitu Cordelia masuk.Cordelia terkejut di kala Brittany memanggilnya dengan nada kencang. “I-iya, Mom?” jawabnya pelan, dan gugup. Brittany menatap dingin Cordelia. “Kau benar-benar tidak punya rasa malu! Setelah semua yang terjadi, kau masi
Beberapa hari kemudian, Brittany kembali menyusun rencana jahat lainnya untuk menyingkirkan Cordelia secara permanen. Kali ini, wanuta paruh baya itu memutuskan untuk menjebak Cordelia dengan sesuatu yang tak akan bisa diabaikan oleh masyarakat—kehamilan di luar nikah.Satu pagi yang tampak tenang, Veronica memasuki kamar Cordelia dengan wajah penuh keterkejutan dan kepura-puraan. Dia langsung menuju meja rias Cordelia, matanya tertuju pada sebuah tespek yang tergeletak di sana, menunjukkan hasil positif.“Astaga!” seru Veronica, suaranya meninggi. “Apa ini, Cordelia? Kau hamil?!” lanjutnya dengan raut wajah penuh kepura-puraan. Cordelia, yang sedang duduk di tepi ranjang, menatap Veronica dengan bingung. “Apa? Tidak mungkin! Itu bukan punyaku!”Teriakan Veronica menarik perhatian Brittany yang segera masuk dengan langkah cepat dan wajah penuh amarah. “Apa yang terjadi di sini?” tanyanya, tapi matanya sudah tertuju pada benda kecil di tangan Veronica.“Ini! Cordelia ternyata hamil, M
Tristan berdiri di ruang kerjanya, sambil menyesap wine. Pikirannya menerawang jauh, memikirkan Cordelia. Setiap tegukan wine seolah membawa kembali mengingat wajah ketakutan Cordelia yang sangat menggemaskan di matanya. Suara ketukan pintu terdengar, membuyarkan lamunan Tristan. Pria tampan itu menoleh—dan mempersilakan orang yang mengetuk pintu ruang kerjanya untuk masuk ke dalam. “Tuan,” sapa Jovian seraya masuk ke dalam ruang kerja Tristan. Tristan menatap dingin Jovian yang datang. “Jika kau ingin membahas pekerjaan, maka lebih baik kau pergi. Aku sedang malas membahas pekerjaan.” Jovian menggelengkan kepalanya. “Tidak, Tuan. Saya datang ke sini bukan ingin membahas pekerjaan, tapi saya ingin membahas wanita yang Anda minta untuk cari tahu informasi yang Anda minta.” Tristan mengangguk. “Katakan, apa informasi yang kau dapatkan tentang wanita itu?” “Tuan, saya minta maaf, saya tidak berhasil mendapatkan informasi tentang wanita itu. Nama yang tertuliskan hanya Cordelia, men
Kehadiran Theo dan Candena bagaikan kebahagiaan yang tak terkira di keluarga Tristan dan Cordelia. Rosalia, Bernard, dan Alstair selalu sering mengajak Theo dan Candena bermain. Tidak jarang Rosalia, Bernard, dan Alstair mengajak si kembar untuk menginap. Pun bahkan Tony yang tinggal di London kerap mengunjungi kembar. Biasanya setiap kali Tony datang pasti si kembar akan bersama dengan Tony untuk waktu yang cukup lama. Well, Tristan dan Cordelia sudah terbiasa di kala anak-anak mereka diculik oleh keluarga mereka sendiri. Tidak hanya keluarga saja, tapi Rowen dan Alan juga sangat dekat dengan si kembar. Ah, Jovian juga masuk hitungan. Bisa dikatakan si kembar sangat ramah pada orang-orang di sekeliling Tristan dan Cordelia. Menikah sering menjadi hal yang ditakutkan oleh banyak orang. Namun, Cordelia berhasil mematahkan semua itu. Ketakutan dalam pernikahan adalah ketika orang tersebut tak menemukan sosok yang sesungguhnya. Sementara Cordelia telah berhasil menemukan sosok yang men
Sore itu, Cordelia menyambut Tristan dan si kembar yang pulang lebih cepat dari biasanya. Begitu melihat suami dan anak-anaknya melangkah masuk, Cordelia tersenyum lebar, sudah memprediksi bahwa hari mereka di kantor tidak akan bertahan lama.“Jadi, bagaimana rasanya mengasuh dua anak di kantor?” Cordelia bertanya sambil menyembunyikan tawa.Tristan hanya menggeleng kecil, wajahnya sedikit letih tapi penuh kasih. Pria tampan itu menarik Cordelia ke dalam pelukannya dan berbisik serak, “Aku butuh asupan energi merawat dua anak kita yang sangat aktif.” Cordelia tertawa mendengar keluhan kecil itu dan melingkarkan tangannya di punggung Tristan. “Nah, Daddy bilang senang karena ada Theo dan Cadena, jadi kalian boleh ikut ke kantor Daddy kapan pun kalian mau!” katanya seraya melirik si kembar dengan penuh cinta.Theo dan Cadena bersorak girang mendengar pernyataan itu, tangan kecil mereka langsung terangkat tinggi-tinggi sambil melompat-lompat di sebelah Cordelia. Sementara Tristan menata
Tiga tahun kemudian … Pagi itu, aroma sarapan yang menggoda memenuhi ruang makan, berpadu dengan suara riuh tawa dan celoteh Theo dan Cadena yang sedang menggambar di lantai bersama pengasuh mereka. Dulu, ruangan ini selalu terjaga kaku dan elegan, tapi kini berubah penuh warna ceria dengan gambar-gambar tempel dan mainan anak-anak di setiap sudut. Di tengah suasana yang hangat ini, Jovian masuk dan segera disambut teriakan penuh semangat.“Paman Jovian, ayo Main kuda-kudaan lagi!” teriak Theo sambil berlari menghampirinya, diikuti Cadena yang tak kalah antusias.Jovian yang sudah hafal dengan ritual pagi ini, hanya bisa tersenyum kecil, menghela napas sejenak sebelum merendahkan tubuhnya. “Baiklah, tapi jangan pukul Paman Jovian seperti kemarin, ya?” ujarnya sambil bercanda, berusaha menahan geli.Theo memekik kegirangan, “Iya! Iya! Ayo, Paman Jovian, jalan cepat!” Cadena, yang lebih manis, memeluk Jovian dengan erat dan ikut berteriak, “Ayo, Paman Jovian, cepat! Kami di punggung k
Cordelia duduk di kursi ruang tamu, jarum rajutannya bergerak perlahan, membentuk sepasang sepatu bayi mungil. Senyum hangat tersungging di bibirnya, membayangkan bayi kembarnya yang sebentar lagi akan lahir. “Sayang,” panggil Tristan tiba-tiba. Cordelia terlonjak terkejut dan refleks menarik kakinya, hingga tak sengaja membuat tubuhnya tergelincir ke belakang. Dia jatuh duduk di lantai, dan seketika itu juga, perasaan aneh menghantam dirinya. Air ketubannya pecah, mengalir ke lantai di bawahnya.“Ah,” rintih Cordelia. Tristan langsung panik, kedua matanya membesar melihat cairan di lantai. “Cordelia! Kau kenapa? Ada apa ini?” Tangannya gemetar saat dia membantu Cordelia berdiri.Cordelia yang masih berusaha menahan rasa sakit, berusaha tersenyum. “A-aku tidak ap-apa. Sekarang lebih baik kita segera ke rumah sakit.” Tanpa pikir panjang, Tristan langsung menggendong Cordelia ke mobil dan melaju secepat mungkin ke rumah sakit. Tepat sesampainya di sana, beberapa dokter dan perawat l
Cordelia tersenyum hangat saat mobil berhenti di depan hotel. Namun, senyuman itu seketika berubah gugup ketika dia menyadari semua orang sudah menunggu mereka di dalam, terlihat dari beberapa wajah akrab yang melirik keluar jendela. Mereka memang terlambat—lebih terlambat dari yang dikira.Saat Cordelia dan Tristan melangkah masuk, tatapan mata dari orang-orang terdekat langsung menyapa mereka. Bernard tersenyum bijaksana, sedangkan Tony dan Alstair menyeringai penuh arti. Alstair yang sejak sibuk mengelola Pharton Inc. nyaris tak pernah muncul, langsung mengejek mereka.“Aku rasa kalian sedang berusaha keras memberiku keponakan, ya? Setiap pertemuan pagi, pasti kalian yang paling akhir,” sindir Alstair dengan nada menggoda. Cordelia memerah, merasa malu dengan sindiran itu, sedangkan Tristan tak mengindakan ucapan adiknya itu. Hal yang dilakukan Tristan adalah menggenggam erat tangan Cordelia seolah tidak peduli dengan olokan itu.Semua orang tertawa lepas mendengar ledekan yang te
Pagi yang tenang menyelimuti kamar Cordelia dan Tristan. Matahari baru saja muncul, menyorotkan cahaya lembut ke wajah mereka. Cordelia terbangun melihat Tristan yang masih tertidur di sampingnya. Dia tersenyum, hatinya terasa penuh. Beberapa bulan pernikahan berjalan dengan begitu indah. Tristan benar-benar menepati janji padanya. Suaminya itu pergi ke psikiater dan perlahan sindrom tidur berjalannya mulai terkendali. Cordelia memperhatikan wajah suaminya yang damai, menyadari betapa beruntungnya dia memiliki seseorang yang berusaha untuk terus menjadi lebih baik. Tristan adalah sosok yang mencintainya dengan luar biasa. Pun dia selalu merasa beruntung, karena diperilakukan dengan begitu istimewa oleh suaminya itu. “Kau benar-benar tampan,” bisik Cordelia lembut seraya membelai pipi Tristan. “Dan kau benar-benar cantik.” Tristan yang tadi memejamkan mata, tiba-tiba membuka mata, dan menarik tubuh Cordelia masuk ke dalam pelukannya. Cordelia terkejut mendapatkan pelukan dari Trist
Mansion megah Tristan terasa sangat sunyi saat Cordelia menatap Tristan dari ujung ruangan. Keduanya bertemu di aula besar, dan selama beberapa detik yang terasa seperti selamanya, mereka hanya berdiri diam. Tristan akhirnya bicara, suaranya rendah dan pelan tapi terdengar tegas.“Aku ingin bicara denganmu, Cordelia,” ujar Tristan sambil memberi isyarat agar dia mengikutinya ke taman belakang mansion. Cordelia mengangguk menuruti permintaan Tristan, dan melangkah bersama pria itu melihat sekeliling taman yang sunyi—di mana angin membawa aroma mawar dan daun berguguran.Saat Cordelia dan Tristan berhenti di bawah pohon tua, Tristan menatap Cordelia dengan tatapan penuh tekad. “Aku tahu kau mungkin masih meragukanku,” kata Tristan perlahan, dan tenang. “Tapi aku sudah menutup bab masa laluku. Aku tidak ingin kau terluka lebih jauh karena bayang-bayang Leony atau hal lain yang kulakukan selama ini.”Cordelia menatap Tristan memastikan kebenaran di balik ucapannya. “Jadi, kau yakin semua
Cordelia berdiri di lorong, memperhatikan persiapan konferensi pers yang akan segera dilakukan Tristan. Wanita itu tidak terlibat kali ini karena tahu ini adalah masalah Tristan dan Leony, dan mungkin, momen bagi Tristan untuk benar-benar menyelesaikan masa lalunya. Namun tak menampik di dalam hatinya, perasaan yang selama ini dia simpan justru datang menyerbu. Cordelia tidak yakin apa itu benar-benar cinta atau sekadar perasaan nyaman bercampur kasihan saat melihat Tristan terjebak dalam kesulitan. Kadang jantungnya berdebar saat di dekat Tristan, tapi kadang juga hatinya berkata bahwa mereka berdua mungkin memang tidak bisa bersama, dan mungkin itu memang jalan yang tepat.Saat Cordelia tenggelam dalam pikirannya, tiba-tiba Rowen muncul di sisinya tanpa suara, seperti biasa.“Kau bimbang, ya?” Rowen bertanya dengan nada lembut tapi menusuk, tatapannya seolah bisa menembus jauh ke dalam perasaannya.Cordelia menoleh, terkejut tapi tidak menjawab. “Jangan bimbang, Cordelia.” Rowen m
Cordelia terbangun dengan terkejut di kala mendengar keributan dari lantai bawah. Suara langkah kaki dan teriakan samar memecah kesunyian malam. Dengan napas tertahan, dia segera turun dari kamar, mengikuti sumber suara yang datang dari ruang tamu utama di lantai satu.Saat Cordelia muncul di tangga, mata Leony langsung menyala-nyala penuh amarah. Tanpa peringatan tiba-tiba, Leony berlari menghampirinya.“Dasar jalang murahan!” Leony berteriak, menarik rambut Cordelia dengan kasar, membuat tubuh Cordelia terhuyung. “Kau pikir bisa merebut suami orang?!”Semua pelayan yang berada di ruangan itu terkejut. Bahkan Tristan terperangah, tak menyangka Leony akan bertindak segila ini. Cordelia mencoba melepaskan diri, tapi cengkeraman Leony terlalu kuat.Leony menambah kekuatan tarikannya. “Kau bukan siapa-siapa di sini! Aku sempat menyerah, tapi kali ini tidak! Tristan hanya milikku!” Cordelia meringis kesakitan, dan saat itu Tristan bergerak cepat. Dalam satu gerakan brutal, Tristan memuku