Share

Bab 4. Kau Adalah Aib!

#Flashback On

Cordelia duduk di ruang tamu besar, perasaan tidak menentu mengisi pikirannya. Telepon dari salah satu direksi perwakilan perusahaan masih terngiang jelas di kepalanya.

“Nona Cordelia, Anda harus menghadiri Rapat Umum Pemegang Saham besok. Ada keputusan penting yang membutuhkan persetujuan Anda sebagai pewaris utama Redford Group. Kami akan membahas siapa yang akan menjabat sebagai CEO sementara,” ujar Harland kala panggilan terhubung.

Cordelia mengerutkan kening. Carter—ayahnya—meninggal mendadak tiga bulan yang lalu, meninggalkan kekosongan di pucuk pimpinan perusahaan yang dibangunnya dari nol. Tidak ada yang tahu siapa yang akan menggantikannya secara permanen, tapi rumor sudah beredar.

“Siapa yang diusulkan?” tanya Cordelia dengan nada datar.

“Alan. Anda mengenalnya,” jawab Harland dengan ragu-ragu. “Anak asuh Tuan Carter.”

Cordelia tertegun mendengar nama itu. Alan … Nama itu membawa kilasan kenangan masa kecilnya—seseorang yang jarang dia lihat di rumah, tapi selalu ada di balik bayang-bayang. Alan adalah anak asuh yang dibesarkan oleh Carter dengan diam-diam, jauh dari sorotan publik maupun keluarganya. Cordelia tidak pernah benar-benar dekat dengannya, tapi ayahnya tampak percaya penuh pada Alan.

“Dad sudah memutuskan ini, bukan?” gumam Cordelia lebih kepada dirinya sendiri. “Alan, sebagai CEO sementara?”

“Ya, tapi dia membutuhkan persetujuan dari Anda. Anda adalah satu-satunya yang bisa memutuskan hal ini.”

Cordelia menggigit bibirnya. Bagaimana mungkin ayahnya menyiapkan seseorang yang hampir tak dikenal oleh keluarga untuk memimpin perusahaan sebesar ini? Namun, di sisi lain, jika Carter yang selalu penuh perhitungan, memilih Alan mungkin ada alasan yang kuat.

Esok malamnya, Cordelia melangkah masuk ke ruang rapat gedung perusahaan Redford Group. Wajah-wajah serius para pemegang saham menatapnya ketika dia mengambil tempat di meja panjang. Harland berada di ujung meja, mengangguk ke arahnya. Di sudut ruangan, Alan berdiri tegak, wajahnya tenang, tapi pandangannya tajam.

“Kita akan mulai,” kata Harland membuka rapat. “Seperti yang Anda semua tahu, mendiang Tuan Carter Redford telah menunjuk Alan sebagai calon CEO sementara, tapi agar keputusan ini resmi, maka kita memerlukan persetujuan dari pewaris tunggalnya yaitu Nona Cordelia.”

Suasana ruangan terasa berat. Semua mata tertuju pada Cordelia. Gadis cantik itu merasa beban di pundaknya semakin berat. Ayahnya telah memercayakan keputusan ini kepadanya, tapi dia merasa belum siap. Alan menatapnya, dan sejenak, Cordelia merasakan tatapan yang pernah dilihatnya bertahun-tahun lalu—sebuah tatapan penuh harapan, seperti ketika Alan pertama kali datang ke rumah mereka.

Cordelia mengembuskan napas berat, berusaha berpikir sejenak, tapi dengan lugas dia berkata, “Jika Dad sudah memutuskan, maka aku akan menghormati keputusan Dad. Aku yakin ada tujuan baik di balik semua ini.”

Suara bisik-bisik mulai terdengar di ruangan, beberapa pemegang saham tampak terkejut, sementara yang lain mengangguk setuju. Cordelia menandatangani dokumen itu, menyelesaikan keputusan besar yang akan mengubah arah perusahaan.

“Terima kasih, Cordelia,” ucap Alan dengan suara tenang, tapi jelas penuh arti. Tatapan mereka bertemu sejenak, dan Cordelia tahu, sebuah babak baru dalam kehidupannya akan dimulai.

“Tentu, aku harap kau tidak mengkhianatiku, Alan.” Dengan senyum profesionalnya Cordelia meninggalkan ruangan rapat.

Sepulang dari RUPS, Cordelia memutuskan untuk berjalan kaki menuju tempat parkir. Udara malam terasa segar, sedikit menenangkan pikirannya yang masih berputar-putar setelah keputusan besar yang baru saja diambilnya.

Namun, tiba-tiba, langkahnya terhenti. Suara langkah kaki dari belakang membuatnya merinding. Dia memutar kepalanya, tapi tidak melihat siapa pun. Sebelum dia bisa bereaksi lebih lanjut, sebuah kain kasar menutupi mulutnya. Bau menyengat memenuhi inderanya. Cordelia mencoba melawan, tapi tubuhnya semakin lemah. Dalam beberapa detik, kesadarannya mulai menghilang.

#Flashback Off

***

Malam yang dingin menusuk ke sekujur tubuh Cordelia. Gadis cantik itu berlari, tubuhnya merintih setiap kali kakinya menyentuh tanah dingin. Setiap detik terasa seperti cobaan, tapi dia terus maju, menuju rumah yang dia harapkan bisa memberi sedikit kenyamanan.

Saat tiba di rumah, Cordelia meraih handle pintu dengan tangan gemetar. Dia memasuki rumahnya dengan susah payah, napasnya tersengal-sengal. Tepatnya di ruang tamu  ada Brittany—ibu tirinya duduk di sana, bersama dengan Veronica—saudara tirinya.

“Ah, kau baru pulang? Kau rupanya ingin belajar liar?” Brittany tersenyum sinis, menatap Cordelia.

Cordelia menelan salivanya susah payah. “M-mon … a-aku—”

“Duduk!” titah Brittany menegaskan.

Cordelia duduk di ruang tamu megah, dia menggigit bibirnya yang bergetar. Terlihat Brittany menatapnya dengan penuh kebencian. Sementara Veronica, duduk di sampingnya dengan tangan terlipat, wajahnya tampak jijik. Suasana ruangan terasa berat, penuh dengan ketegangan yang membuat Cordelia sesak napas.

“Apa kau tidak punya rasa malu, Cordelia?” suara dingin Brittany tiba-tiba memecah keheningan. Mata tajamnya menusuk Cordelia yang duduk dengan canggung. “Beraninya kau mencemarkan nama baik keluarga Redford dengan berbuat seperti itu!”

Cordelia menatap Brittany dengan penuh kebingungan, air matanya mulai menggenang di sudut matanya. “Aku ... Aku tidak mengerti, Mom. Apa maksudmu?”

Veronica mendengkus, mencondongkan tubuhnya ke depan, pandangannya penuh dengan kemarahan. “Ada orang yang melihatmu masuk ke hotel bersama seorang pria tua, Cordelia! Apa kau tidak punya rasa malu sedikit pun? Ayahmu belum lama meninggal dan kau sudah seperti ini?”

Cordelia terkejut, jantungnya berdegup lebih kencang. “Pria tua? Tidak, Veronica, itu tidak benar! Aku diculik! Aku tidak masuk hotel dengan siapa pun secara suka rela! Kalian harus mendengarkanku!”

Brittany mengangkat tangan, menyuruh Cordelia diam. “Sudah cukup! Tidak perlu beralasan. Kau pikir kami akan percaya dengan cerita bodoh itu? Semua orang tahu apa yang mereka lihat. Kau mempermalukan keluarga kita. Apa kau sadar betapa hancurnya reputasi kita sekarang?”

Cordelia terisak, air mata mulai jatuh di pipinya. “Mom, tolong dengarkan aku! Aku tidak melakukan apa yang kalian pikirkan. Ada kesalahpahaman di sini. Aku tidak tahu bagaimana ini terjadi, tapi aku diserang, dan aku—”

“Kau ingin memberikan kebohongan pada kami?” potong Veronica dengan suara yang tajam. “Kau sungguh naif, Cordelia. Kau pikir kami bodoh? Tidak ada yang peduli dengan alasanmu. Fakta bahwa orang-orang sudah membicarakan hal ini cukup untuk menghancurkan nama baik kita. Kau adalah aib!”

Cordelia merasa dunianya runtuh mendengar kata-kata kejam kakak tirinya itu. Dia mencoba meraih tangan Brittany, tapi ibu tirinya dengan cepat menarik tangannya, seolah enggan disentuh.

“Aku tidak melakukan apa-apa! Aku … aku hanya korban! Demi Tuhan, aku hanya korban. Aku mohon percaya padaku,” isak Cordelia sesenggukan, berusaha menjelaskan.

Cordelia sudah tidak lagi memiliki keluarga. Ibunya lebih dulu meninggal, lalu ayahnya menikah dengan mantan sekretaris ayahnya. Namun, sayangnya takdir seakan sangat kejam. Ayah kandung Cordelia meninggal dunia. Sekarang Cordelia hidup bersama dengan ibu tiri serta kakak tiri—yang mana anak dari ibu tirinya dengan suami lama. Dalam arti Veronica hanya memakai nama keluarga Cordelia, tapi bukan bagian keluarga Redford sesungguhnya.

Wajah Brittany mengeras. “Karena kau adalah beban bagi kami, Cordelia. Sejak ayahmu meninggal, kau hanya membawa masalah. Sekarang, kau sudah menghancurkan reputasi kami! Keluarga Redford tidak bisa terus menanggung aib sepertimu.”

“Tapi aku tidak bersalah, Mom,” isak Cordelia, tubuhnya bergetar karena emosi dan keputusasaan. “Aku tidak melakukan apa pun yang memalukan. Aku tidak tahu siapa yang menyebarkan cerita itu, tapi itu tidak benar. Aku hanya ingin kalian percaya padaku.”

“Cukup, Cordelia! Kami tidak ingin mendengar lebih banyak omong kosongmu. Kau pikir kami akan percaya pada omong kosong ini?” seru Veronica penuh emosi.

Cordelia memandangi mereka dengan tatapan penuh putus asa. Dalam hati kecilnya, dia berharap ibu dan kakak tirinya akan memberinya kesempatan untuk menjelaskan. Dia masih naif, berpikir bahwa ini hanya kesalahpahaman yang bisa diselesaikan. Namun, ekspresi dingin di wajah mereka sudah cukup untuk menghancurkan harapannya.

“Aku tidak ingin melihat wajahmu lagi,” kata Brittany dengan nada dingin yang menusuk hati. “Veronica, bawa dia ke kamarnya. Pastikan dia tidak keluar sampai kami memutuskan apa yang harus dilakukan dengan aib ini.”

Veronica tersenyum dingin, lalu berdiri dan menarik lengan Cordelia dengan kasar. Cordelia yang lemah dan terkejut hanya bisa mengikutinya tanpa perlawanan, air mata gadis itu terus mengalir tanpa henti.

Veronica membawa Cordelia masuk ke dalam ke kamar, lalu menutup pintu dengan keras, mengurung Cordelia di dalam tanpa belas kasihan. Tepat di kala pintu sudah terkunci, Cordelia menjatuhkan tubuhnya ke lantai dengan tubuh gemetar. Tangannya menutup wajahnya yang basah oleh air mata.

“Kenapa ini terjadi padaku?” lirih Cordelia pilu.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status