PRANG!!
Bu Mira melemparkan asbak tepat ke wajah Danu. Untung saja, Danu sempat mengelak.
"Apa-apaan sih, Bu!" protes Danu.
"Makanya, jawab! Kamu dari mana? Sama siapa? Kalau tidak, jangan salahkan Ibu. Kalau semua barang di dalam rumahmu hancur!!" ancamnya lagi.
"Bukan urusan, Ibu!" hardik Danu.
"Apa katamu? Bukan urusan Ibu! Kalau kamu masih hidup dengan uangku! Semua urusan kamu, jadi urusan Ibu," ucap bu Marni sambil berkacak pinggang.
Danu terdiam, tak ingin memperpanjang masalah. Dia melangkah memasuki kamar. Meninggalkan yang lain di ruang tamu.
Melihat Danu melangkah, semakin membuat bu Marni emosi. "Anak durhaka, set*n kamu!"l
Mira mengusap lembut lengan ibunya. "Sabar, Bu! Nanti besok marahnya di lanjutkan."
Airin yang melihat hal itu, tak bisa berbuat banyak.
"Bu, Airin ke kamar dulu," pamit Airin, kemudian berlalu menyusul suaminya.
Airin membuka pintu. Terlihat Danu sedang terduduk di pinggir tempat tidur, tangannya menutup muka.
Pelan Airin mendekati suaminya.
"Mas... ."
"Tinggalkan, Aku! Jangan berpura-pura peduli. Semua ini gara-gara kamu!" potong Danu, saat mendengar suara istrinya.
"Ma— af," ucap Airin terbata.
"Aku tidak butuh kata itu. Aku butuh kamu, pergi selamanya dari hidupku!" Penuh penekan Danu berkata seperti itu.
"Astaghfirullah," lirih Airin. Air mata tak mampu dia bendung.
Selama ini dia bersabar dengan kelakuan suaminya. Tapi, ucapannya barusan. Membuatnya sadar. Dia sama sekali tak ada artinya lagi.
"Salahku apa, Mas?! Apa kurang baktiku padamu? Apa tak cukup pengorbananku selama ini? Sampai-sampai, aku rela tak di anggap oleh kedua orang tuaku," protes Airin, sambil sesenggukan karena menangis.
"Kau tanya kurangmu? Heh, Airin Putri Wijaya! Kamu tak sadar dengan dirimu yang sekarang? Apa yang bisa aku harapkan dari Wanita cacat sepertimu?! Tak ada!!" Maki Danu.
Hening, kata-kata Danu tepat menancap di lubuk hati Airin. Air mata yang sedari tadi sudah mengalir di pipi tirusnya, hilang tak bersisa. Bak di tarik kembali masuk ke kelopak matanya.
"Terus apa maumu sekarang, Mas?" tanya Airin tegar.
"Mauku? Aku ingin bersama Maya, dan kalau kamu masih mau hidup bersamaku. Jangan banyak tingkah!" ucap Danu, terang-terangan.
"Jangan harap! Selama aku masih hidup kamu tak akan pernah bisa bersatu dengan pelac*r itu!!" teriak Airin, dia tak mau kalah dengan Danu.
Danu yang mendengar kata-kata istrinya itu hanya terdiam, matanya memancarkan amarah, dia berdiri dari duduknya, melangkah pelan mendekati Airin, tubuhnya sedikit membungkuk, tangannya menumpu pada kursi roda, wajahnya mendekati telinga Airin, lalu berbisik. "Kalau begitu, semoga kau cepat MATI."
Tangan Danu mendorong kursi roda yang diduduki Airin dengan keras.
Kursi tersebut mundur, dan menghantam dinding.
Kursi Roda terbalik dan Airin terjungkang ke samping.
Danu melangkah keluar, meninggalkan istrinya dalam keadaan tidak sadarkan diri.
Saat melintasi ruang tamu, terlihat ibu Marni dan Mira sedang berbincang.
"Mau kemana kamu?" cegah bu Marni ketika melihat Danu.
"Cari hiburan, di sini suntuk." Jawab Danu tapi tak menghentikan langkahnya.
Tak berapa lama, terdengar bunyi mobil berlalu.
"Mir, kamu tidur sama mbak mu saja! kasian dia tidur sendiri, pasti dia sedih," perintah bu Marni.
"Iya, Bu. Kalau begitu, Mira ke kamar saja, liat kondisi mbak Airin."
Bu Marni mengangguk, lalu kembali menonton TV.
Mereka sengaja tak tidur, sebentar lagi suara adzan subuh berkumandang. Jangan sampai kalau tidur sekarang, kebablasan. Sampai tak sholat subuh.
"Bu... Ibu... tolong, tolong." Terdengar teriakan dari dalam kamar Danu. Sesaat setelah Mira berlalu.
Bu Marni yang mendengar teriakan anaknya, berlari menuju kamar.
Di pintu masuk, dia hampir saja bertabrakan dengan Intan, perawat yang selama ini menjaga Airin.
Di depan pintu bu Marni berhenti, dia syok melihat menantunya tergeletak. Kursi roda menindih tubuhnya yang kurus.
Intan yang juga melihat hal itu, segera menggeser tubuh bu Marni, agar dia bisa masuk.
"Mir, bantu angkat bu Airin ke tempat tidur," ucap Intan, tangannya menepuk pelan bahu Mira.
Mira tersentak, kemudian mengikuti arahan Intan.
Dengan susah payah, mereka berdua berhasil membaringkan Airin di tempat tidur.
"Bu, boleh minta tolong telpon ambulance! Bu Airin harus segera mendapatkan penanganan medis yang serius," pinta Intan.
"Ehh... nggak usah telpon ambulance," tolak bu Marni.
"Ta—"
"Saya tau, biar kita saja yang bawa Airin kalau tunggu mobil, kelamaan," jelas bu Marni.
Intan bernapas lega, tadinya dia berfikir bu Marni tak mau Airin di bawa ke rumah sakit. Ternyata yang dia fikirkan salah.
"Mir, siapkan mobil, nanti Ibu dan Intan yang angkat Airin." Bu Marni memberi instruksi kepada anak bungsunya itu.
Mira bangkit, gegas berlari keluar kamar, menyambar kunci mobil Airin yang tergantung di dinding dan menuju garasi untuk menyiapkan mobil.
Tak sampai lima belas menit, mobil telah membela jalan raya yang sunyi dengan kecepatan tinggi.
Tujuan mereka, Rumah sakit terdekat.
"Mir, berapa lama lagi sampai rumah sakit? Darah tak berhenti mengalir dari kepala kakakmu," tanya Airin.
Sebentar lagi, tinggal satu tikungan, kita sudah sampai.
Mira kembali menambah kecepatan, dia sudah melihat papan nama rumah sakit yang mereka tuju.
Mobil membelok, memasuki rumah sakit.
"Langsung, ke IGD," titah Intan.
Sesampainya di IGD, mereka di sambut oleh beberapa petugas yang dengan cekatan menurunkan Airin dari mobil.
Mengangkat dan memindahkan ke brangkar, Airin di dorong masuk ke ruang penanganan.
Dokter telah standby, mereka langsung memeriksa denyut nadi dan jantung Airin.
Dokter memerintahkan memasang Alat monitor untuk memantau denyut jantung dan tekanan darah.
Saat pemasangan tiba-tiba.
Tiiiiiiiit... tiiiiiiiiiiiiit!
"Dok... pasien dok!"
( Hayooooo... Apa Airin meninggal? Yang penasaran boleh lanjut ke bab 👉)
Drrrt... drrrt... drrrt.Ponsel Danu bergetar, tapi di abaikan olehnya. Setelah tau kalau yang menelpon adalah Mira."Pasti dia sudah melihat Airin," gumam Danu.Tangannya mencengkram setir mobil dengan erat, hatinya masih panas.Dia tak menyangka, kalau Airin yang selama ini pendiam, bisa dengan lantangnya berteriak."Pasti ini ulah ibu," Fikirnya.Drrrt... drrrt... drrrt.Kembali ponselnya bergetar. Di rasanya benda pipih yang sedari tadi berada di kursi samping.Di usapnya layar enam inci tersebut, foto dia dan Maya yang sedang berpelukan jadi wallpapernya.Kembali terpampang nama Mira di layar panggilan sebagai panggilan tak terjawab.Di tekan tombol power di samping, kemudian memilih matikan. Danu tak ingin di ganggu.Karena tak tahu hendak ke mana, dia memilih melajukan mobilnya ke rumah Maya.Baginya, Maya adalah obat di k
Plak... plak!Maya menampar wajah bu Marni. Lalu berkata “Jaga bicara anda! Saya bisa lebih kasar dari ini.”Bu Marni memegang wajahnya yang perih, dia tak menyangka Maya akan berani menamparnya.Biasanya, pelakor akan ketakutan kalau di datangi. Berbeda dengan Maya, dia malah melawan.“Pantas Danu bertekuk lutut di kakinya, wanita sia*an ini punya karisma,” batin bu Marni.Tak menerima ibunya di tampar, Mira maju dan menarik rambut Maya, sampai dia terhuyung ke belakang.“Jangan beraninya sama orang tua, kalau kamu mau bertarung. Ayok, lawan saya.” Mira bekata dengan penuh amarah.Rambut panjang Maya masih dalam genggamannya.Maya yang tak bisa menjaga keseimbangan akhirnya terjatuh.Bugh!Badannya menghantam meja kaca danPrang!Kaca meja pecah, Maya terduduk di atas pecahan kaca.Melihat hal itu,
Bugh!Bugh!Danu tersungkur, tak menyangka akan mendapatkan bogem di perut dari Andika, kakak Airin.“Kamu tak ingat kata-kataku?” Kalau kamu lupa, akan aku ingatkan,” teriak Andika dengan penuh amarah.Lelaki berkulit putih dan bermata elang itu memegang kerah baju Danu, dia begitu emosi mendengar kabar Airin terjatuh.Intan memang sengaja dia pekerjakan, ketika tau kalau adiknya sakit karena stroke.Niat awalnya karena tidak mungkin Danu bisa merawatnya sendirian, ternyata firasatnya sebagai seorang kakak benar.Tadi pagi, Intan menelpon dan menceritakan semua kronologi yang terjadi, sampai Airin masih kritis.“Kalau kamu sudah tak mampu menjaga adikku, ceraikan dia! Dengan senang hati akan ku Terima kembali,” ucapnya lagi.Danu tertunduk, dia pasrah di hadiahi pukulan. Kalau dia masih mau m
Maya memukul tangan yang membekapnya, dia di seret ke toilet. Setelah mereka masuk ke dalam toilet wanita, barulah bekapan di mulutnya di lepas. Maya berbalik, saat melihat siapa orang tersebut. Dia mendengus kesal. “Heh, apa sih mau kamu?” tanyanya pada orang tersebut. “Nggak salah! Harusnya aku yang nanya, ngapain kamu di sini? Ngikutin kami!” tuduh gadis yang tak lain adalah Mira. Tadi dia dan ibunya ke kantin untuk sarapan, sesampainya di kantin mereka berinisiatif menawarkan kepada Danu untuk dibelikan makanan. Tapi, saat di hubungi hapenya tak aktif. Maka Mira menyusul kakaknya itu, saat melihat Maya mendekat. Dia langsung berlari kemudian membekap dan menyeret wanita itu ke toilet. “Jangan asal ngomong, aku mau ke apotik,” ucap Maya santai. “Apotik atau apotek? Namanya pelakor nggak akan mau bicara yang sebenarnya,” ejek Mira. Maya memutar bola matanya. “Terus
"Mas Danu!!" teriak Airin tiba-tiba.Bu Marni yang sedang menjaga menantunya itu, terlonjak kaget.Terlihat mata Airin terbuka, bu Marni berteriak. "Dokter ... Dokter ... anak saya sadar!"Dokter jaga yang mendengar teriakan, langsung mendatangi tempat tidur Airin.Dokter nampak tak percaya melihat Airin membuka mata, sedikit gugup, Dokter memeriksa denyut nadi, detak jantung.Semua hal yang berhubungan dengan tanda-tanda vital manusia, menujukan bahwa Airin dalam keadaan baik-baik saja."Alhamdulillah, pasien Airin sudah melewati masa koma, tapi kami akan lakukan observasi satu kali dua puluh empat jam, untuk memantau kondisi selanjutnya. Jika, dalam kurun waktu tersebut Bu Airin tak menimbulkan penurunan k
“Siapa yang selingkuh?” Intan yang mendengar pembicaraan mereka langsung bertanya.“Aish... Intan, kamu bikin kaget saja. Jantungku hampir copot,” seru bu Marni, tangannya memukul lembut lengan Intan.“Tadi saya dengar ada yang selingkuh, siapa yah?” tanya Intan lagi.Bu Marni dan Mira saling bertatapan, mata mereka saling berbicara.“Janji, Kakak jangan bilang sama Andika.” Mira memastikan.Intan mengangguk, dia mengangkat tangannya membentuk lambang peace.Kembali Mira menatap bu Marni, anggukan yang di berikan ibunya itu sebagai tanda kalau dia mengijinkan Mira bercerita.“Mas Danu selingkuh!!” lirih Mira.“Hah... apa? Pak Danu?!” Seolah tak percaya, Intan terlihat syok.“Ish, jangan keras-keras. Nanti, ada yang dengar.” Lagi-lagi bu Marni memukul lengan Intan.Intan sp
Pisau di layangkan ke dada Danu.Untung saja seorang Polisi melihat dan segera menarik lengan Danu, pisau mengenai angin. Melihat serangannya sia-sia, orang tersebut segera berlari meninggalkan tempat kejadian.Polisi tak dapat mengejar, karena beberapa warga yang mengetahui sedang berlangsung penggerebekan. Berbondong-bondong datang, alasannya untuk melihat siapa yang tertangkap.Danu dan Maya di gelandang ke kantor Polisi, takutnya mereka di amuk massa yang semakin lama, semakin banyak.Danu hanya bisa tertunduk, dia tak habis fikir, bagaimana mungkin mereka di grebek, padahal baru kali ini dia melakukannya di rumah Maya.Biasanya mereka akan ke hotel, atau menyewa villa jika weekend.Maya pun sama, dia menutup kepalanya dengan jilbab. Tangannya gemetar, dia tak tau apa yang akan terjadi jika orang tuanya mengetahui kelakuan bejat mereka.“Huuuuuuu, tukang zi*a di tangkap, viralkan!&rd
“Airin, Kamu?!” teriak bu Marni.Semua yang berada di ruangan terkejut, Andika yang hendak membuka pintu berbalik, diam terpaku menatap adiknya yang sedang berjalan ke arahnya.“Ba— gai— ma— na, bagaimana kamu bisa jalan, Dek?!” tanya Andika terbata.Tangannya meraih tangan Airin yang sudah berada tepat di hadapannya.Airin tak menggubris Andika, dia terus berjalan, membuka pintu, lalu tersenyum.“Sudah lama menunggu, Kek?” tanyanya.Dia bergeser ke samping lalu kembali berkata. “Silahkan masuk, bisa sebentar lagi. Suami saya belum datang.”Airin berbicara sambil berjalan, sperti dia lagi bercakap-cakap dengan seseorang.Sayangnya, baik Andika, Mira, bu Marni dan Intan tak bisa melihat sosok tersebut.Intan menggeleng, tak mau larut dengan hal yang menurutnya tak masuk akal.Di dekatinya Airin. &
"Kok, Mama ada disini?" tanya Bunga.Dia berjalan pincang ke arah tante Rani, wanita paruh baya itu hanya tertunduk lemas, dia malas menanggapi pertanyaan putrinya.Dari tadi dia merutuki diri, kenapa mau datang ke kantor polisi, selama ini dia memang menghindari tempat itu, semua urusan yang berkaitan dengan kantor polisi, dia selalu wakilkan kepada anak buahnya.Tak mendapatkan respon, Bunga kembali bertanya. "Ma, kok Mama disini?""Sudah, diam! Mama pusing, ini semua gara-gara kamu, kalau kamu tidak bikin ulah, tidak mungkin mama kesini, tidak mungkin mama bertemu Jo, dan tidak mungkin mama masuk penjara!" teriak tante Rani.Dia bahkan mulai menarik rambut Bunga dan mencekik wanita itu."To— lo— ng, to— long!" teriak Bunga, dia berusaha menahan tante Rani yang mencekiknya, kakinya yang masih sangat sakit, membuat gerakannya terbatas
"Silahkan!" ucap petugas.Mona mengambil hapenya di atas meja, lalu menelpon nomor pak Andreas, sayangnya nomor tersebut sudah tak aktif, Mona mencobanya berulang-ulang, tapi tetap saja tak bisa dihubungi.Wajah Mona yang tadinya tidak terlalu takut, kini menjadi pucat, merasa usahanya sia-sia, dia kembali menyimpan hapenya.Melihat hal tersebut, petugas memulai interogasi, Mona menjawab semua pertanyaan yang di lontarkan oleh petugas, setelah dua jam interogasi, Mona di nyatakan tidak ada sangkut pautnya dengan pembakaran rumah Adam, hanya dia di ganjar dengan pasal tentang penyalahgunaan narkotika. Sehingga dia tetap di tahan dan berkasnya akan segera di limpahkan setelah lengkap.Hamid juga di interogasi, dia awalnya tidak mau menjawab jika tak di dampingi pengacara, setelah menelpon pengacara dan si pengacara datang, barulah dia mau di interogasi. Sama halnya dengan Mona, Hamid di interogasi sela
"Jadi begini kelakuan kamu di belakang aku?" tanya Bunga, sebuah balok kayu dia pegang. Napasnya memburu karena emosi, wajahnya yang hitam manis berubah menjadi merah.Mata Bunga nyalang, menatap kedua manusia yang sedang berbagi peluh. Setengah meringis, Hamid bangkit lalu berdiri menghadap Bunga."Kamu apa-apaan?" tanya Hamid, dia balik marah kepada Bunga."Kamu yang apa-apaan? Kamu suami aku, kenapa berdua dengan wanita seperti ini!" Bunga maju dan menarik Mona hingga terjatuh dari Sofa."Aduh," teriak wanita itu.Tangannya memegang, tangan Bunga yang sedang menarik rambut Mona. Tak merasa puas, karena di halangi oleh Hamid. Bunga melompat dan menekan Mona yang terbaring dengan menggunakan lutut.Tangan Bunga menarik rambut Mona, lalu membenturkan kepala wanita itu ke lantai, susah payah Hamid menarik Bunga. Namun, wanita itu tak mau mengalah, dia ba
Pak Andreas dan Adam menempati apartemen milik Irfan, karena besok subuh pak Andreas akan menyusul anak dan istrinya ke Luar Negeri, maka malam itu juga dia meminta Adam untuk menemaninya ke suatu tempat.Setelah membeli tiket dan mengecek dokumen yang dibutuhkan untuk perjalanan, pak Andreas mulai menunjukkan tempat yang ingin dia datangi.Dia sudah berjanji untuk mengabulkan permintaan Adam, dia harus melakukannya malam ini, karena dia tidak bisa memastikan kapan dia akan pulang ke Indonesia.Adam mengendarai mobilnya, mengantar pak Andreas ke tempat Mona, entah apa yang ingin dilakukan lelaki itu pada sugar baby nya."Sebelum ke rumah Mona, singgah sebentar di Indoapril depan kompleks nya," pinta pak Andreas.Adam hanya mengangguk, seperti di awal, dia hanya meminta pak Andreas menghancurkan Hamid, bagaimana caranya? Ya, terserah!
Aku memandangi tubuh polos tante Rani yang kini sedang berbaring di sofa yang berwarna merah, lampu ruang kerja yang temaram membuat tubuh tante Rani terlihat indah.Berkali-kali aku harus menelan saliva, agar Junior tak meminta keluar sebelum waktunya.Sejak kecil, tante Rani merupakan salah satu orang yang menjadi fantasi ku, hanya saja sepupuku Adam tak pernah membiarkanku berduaan dengan wanita itu, dia selalu saja mengekor jika tante Rani mengajakku berbelanja atau membeli permen.Body tante Rani yang seksi dengan dua gundukan besar di dadanya membuat aku semakin penasaran.Beranjak dewasa, fantasiku tentang wanita seksi semakin menjadi, apalagi tiap malam kami di suguhi pemandangan yang sangat menggoda. Puluhan wanita akan duduk di ruang tamu menunggu pengunjung, setelah lelaki hidung belang membooking. Maka mereka akan masuk ke sebuah kamar dan tak lama terdengar la
DuarrrTerdengar bunyi tabrakan yang sangat besar, pak Andreas dan Adam terbanting, untung saja mobil tak terbalik. Hanya body belakang mobil penyok dan berasap.Tanpa aba-aba, mereka berdua kompak segera keluar dari mobil.Pak Andreas tersungkur ke tanah, tak lupa dia sujud syukur, Adam membaringkan diri di tanah, dia tak mengira bisa melakukan hal seperti tadi.Tak ingin berlama-lama di tempat itu, Adam segera menelpon seorang temannya untuk menjemput mereka. Dia melarang pak Andreas menelpon sopir ataupun orang-orang yang bekerja dengannya, takut di antara mereka adalah mata-mata."Sepertinya aku harus menyeleksi mereka lagi," gumam pak Andreas.Adam hanya melirik sesaat, dia tau bagaimana rasanya di khianati orang yang paling dipercaya."Jadi sampai kapan aku harus bersembunyi?" tanya pak Andreas."Anda tidak haru
"Pergi kamu!" usir pak Andreas, matanya nyalang menatap tak suka pada Adam.Tangannya hendak menjangkau telpon, Adam segera menahannya."Hentikan pikiran Anda untuk memanggil security, itu tak akan cukup kalau aku berniat membunuh Anda." Adam berkata sombong.Pak Andreas mengurungkan niatnya, dia duduk kembali di tempatnya dengan wajah kuyu."Mau kamu apa sebenarnya?" tanya pak Andreas."Aku sudah bilang dari awal, Anda saja tidak percaya. Sekarang, ku tanya sekali lagi. Maukah Anda menghancurkan lelaki di dalam foto, maka aku akan melindungi Anda." ucap Adam."Baiklah, aku akan membantumu," ucap pak Andreas, dia tak bisa berbuat apa-apa, dia baru tau kalau didepannya adalah si Penyair Perang, pembunuh bayaran yang terkenal dikalangan mafia."Asal Anda tau, awalnya saya yang diminta untuk membunuh Anda, hari ini adalah jadwal kematian And
"Apa ini?" tanya AIPTU Wawan."Ini pelaku pembakaran, tadi dia ada disini, aku berhasil melumpuhkannya," jelas Adam."Kalau begitu, kita segera ke kantor, untuk membuat laporan supaya bisa di proses secepatnya," ujar AIPTU Wawan."Boleh, Pak. Tapi, apakah saya bisa minta tolong untuk pelakunya tak dirilis dulu, takutnya dalangnya kabur sebelum bukti cukup untuk menangkapnya," ujar Adam."Bisa saja, nanti kita bicarakan di kantor saja." Mereka akhirnya bersama-sama ke kantor polisi, mereka memakai mobil Adam, sedangkan AIPTU Wawan mengikuti mereka dari belakang.TKP masih dalam proses pemadaman, pihak kepolisian belum berani melakukan investigasi, takut tempatnya masih berbahaya. Polisi belum mengeluarkan statement apapun terkait sebab kebakaran tersebut.Sampai di kantor polisi, Adam di arahkan untuk membuat laporan, sementara lelaki yang berada di bagasi seg
"Kebakaran, kebakaran, Tuan, kebakaran.""Aduh," teriak Adam, ketika doa membuka mata dan ingin segera bangun, dia malah terjatuh.Ternyata, apa yang tadi dia lakukan hanya mimpi, Adam semakin meringis."Tuan, kebakaran!" teriak mbak Nur yang sudah berada di depan Adam, dia membantu Adam bangkit.Peluh sudah membanjiri wajah mbak Nur, rasa panik tergambar jelas, Adam memaksakan diri untuk bangkit, rasa nyeri yang menjalar di seluruh tubuhnya berusaha dia tahan."Mbak jangan panik, cepat panggil Alika, aku akan periksa pintu dan jendela," perintah Adam."Baik, Tuan." Mbak Nur gegas berlari ke kamar Alika, dia menggedor pintu majikannya dengan sangat cepat, tak lama, muncul wajah jutek Alika."Mbak kenapa?" tanyanya."Kebakaran, Nyonya." ucap mbak Nur."Apaaaa, kebakaran?" Mata Ali