Plak... plak!
Maya menampar wajah bu Marni. Lalu berkata “Jaga bicara anda! Saya bisa lebih kasar dari ini.”
Bu Marni memegang wajahnya yang perih, dia tak menyangka Maya akan berani menamparnya.
Biasanya, pelakor akan ketakutan kalau di datangi. Berbeda dengan Maya, dia malah melawan.
“Pantas Danu bertekuk lutut di kakinya, wanita sia*an ini punya karisma,” batin bu Marni.
Tak menerima ibunya di tampar, Mira maju dan menarik rambut Maya, sampai dia terhuyung ke belakang.
“Jangan beraninya sama orang tua, kalau kamu mau bertarung. Ayok, lawan saya.” Mira bekata dengan penuh amarah.
Rambut panjang Maya masih dalam genggamannya.
Maya yang tak bisa menjaga keseimbangan akhirnya terjatuh.
Bugh!
Badannya menghantam meja kaca dan
Prang!
Kaca meja pecah, Maya terduduk di atas pecahan kaca.
Melihat hal itu, Mira tambah menarik rambut Maya.
Maya memegang tangan Mira, berusaha melepaskan rambutnya. Karena merasa kekuatan Mira besar, akhirnya Maya mencakar Mira dengan kukunya yang panjang.
“Aduh,” teriak Mira.
Tangannya terlepas dari rambut Maya.
“Ternyata kucingnya, kucing garong, Bu,” ucap Mira kepada ibunya.
Bu Marni yang mendengar perkataan anaknya itu ikut tersenyum, lalu berkata.
“Hati-hati, Nak! Dia bukan kucing garong. Tapi, kucing gila.”
Ejekan Mira dan bu Marni, kembali menyulut emosi Maya. Dia segera bangkit dan mendekati Mira.
Dia menendang kaki Mira, sampai Mira tersungkur. Kakinya dengan cepat menginjak punggung Mira agar tak bergerak.
Melihat hal itu, bu Marni menarik tangan Maya untuk menjauh dari Mira.
Merasakan tangannya di tarik, dia segera berbalik dan menghentakkan tangannya. Bu Mirna terhuyung ke belakang. Untung saja dia tak jatuh.
“Se*an memang kalian, beraninya keroyok. Coba satu lawan satu!” seru Maya dengan napas yang ngos-ngosan.
“Banyak bicara kamu,” timpal Mira yang tiba-tiba telah berada di belakang Maya. Lengannya dia kalungkan di leher Maya, membuat wanita cantik itu tak bisa bernapas.
Sekuat tenaga, dia memukul tangan Mira. Tapi tenaganya kalah dari tenaga adik Danu tersebut.
Wajah Maya sudah memerah, dia sudah mulai kehilangan oksigen. Tangannya masih memukul-mukul lengan lawan.
Bu Marni duduk di sofa menyaksikan kekasih anaknya kehabisan napas, dia sama sekali tak punya niat untuk melerai. Dia tau Mira tak akan membunuh wanita itu.
Hanya, dia harus di beri pelajaran fikirnya.
“Le— pas— kan,” terbata Maya berucap. Dengan sisa tenaga yang di miliki, kakinya menendang tulang kering Mira.
Mira kesakitan, tangannya terlepas dari leher Maya.
Maya jatuh terduduk.
“Uhuk... uhuk... uhuk....” Dia terbatuk, baik Maya maupun Mira, mereka sama-sama kecapaian.
Merasa sudah agak mendingan, Maya bangkit mendekati Mira, melihat hal itu bu Mira mengambil figura yang terletak di atas bufet. Lalu melemparkan ke arah Maya.
Bugh!
Punggung Maya terkena figura tersebut, tapi dia tak peduli, targetnya adalah gadis yang tadi mencoba untuk membunuhnya.
Mira yang masih berguling kesakitan pasrah, ketika rambutnya di tarik. Dia hanya bisa berteriak. “Aduh, tolong... tolong.”
“Silahkan, teriak sekencengnya. Tak akan ada yang bisa menolong kamu!” ucap Maya.
Bu Marni mendekat, mendorong Maya sampai terjatuh.
“Hentikan!”
Mereka yang mendengar teriakan tersebut, langsung berbalik ke arah sumber suara.
Terlihat, wajah Danu merah menahan amarah.
“Apa-apaan ini!” gertaknya.
Maya yang pintar membaca situasi, segera meringis lalu berkata.
“Mas, tolong! Mereka mengeroyok saya.”
Mendengar perkataan Maya, dan melihat apa yang baru saja ibunya lakukan, Danu lebih percaya pada Maya.
“Bu, apa yang Ibu perbuat? Bikin malu saja,” tegur Danu.
“Bikin malu! Siapa yang bikin malu? Ibu atau kamu?” bu Marni bertanya balik.
“Ya, Ibulah! Datang ke rumah orang, terus mengeroyok yang punya rumah,” jelas Danu.
“Heh, anak tak tau diri, kalau kamu angkat telpon, tidak akan Ibu sama Mira ke sini.” Bu Marni membela diri.
“Kok, Mas tega marahi Ibu demi ular seperti dia.” Mira yang sedari tadi diam, ikut menimpali.
“Anak kecil tidak usah ikut campur,” tegur Danu.
Maya yang melihat perdebatan kecil, antara Anak dan orang tua tersenyum dalam hati.
Tak sia-sia ektingnya, dirinya berharap Danu mengusir mereka dari rumahnya.
“Sudahlah, Ibu juga tak sudi lama-lama di sini. Sekarang kamu ikut Ibu pulang,” ajak bu Marni pada putra semata wayangnya itu.
“Danu, masih mau di sini, silahkan Ibu dan Mira pulang duluan,” tolak Danu.
“Hehehehehe.” Bu Marni tertawa. Lalu berkata. “Kalau kamu tidak pulang bersama Ibu, berarti, kamu sudah siap di coret dari daftar pewaris perusahaan Danu Reksa Perdana.”
Danu menggeleng, ibunya tau betul kelemahannya.
“Bagaimana?” tanya bu Marni ingin memastikan.
“Baiklah, Danu ikut Ibu pulang,” putus Danu Akhirnya.
“Kamu lihatkan? Kakakku lebih mencintai harta daripada kamu, SUND*L!” bisik Mira, saat dia melewati Maya.
Maya yang mendengar, hanya bisa mengepalkan tangan. Tak mungkin membalas perkataan gadis itu.
“Sial*n,” Makinya dalam hati.
Maya hanya bisa menyaksikan Danu berlalu pergi, hatinya tiba-tiba nyeri. Terbayang perjalanan untuk bersatu dengan Danu pasti berat.
“Huffft,” dia menghembuskan napas panjang.
Saat berbalik, dia melihat ruang tamunya berantakan, tambah membuat semua sendinya tambah sakit.
Baru saja hendak duduk, Maya merasakan semua siku dan tangannya perih, saat dia memperhatikan tangannya. Matanya terbelalak, telapak tangan sampai siku penuh goresan-goresan kaca, bahkan ada beberapa pecahan kaca yang menempel.
“Sepertinya, aku butuh dokter,” lirihnya.
Segera dia melangkah ke kamar, berganti pakaian. Lalu segera berangkat ke rumah sakit.
*****
“Danu, nggak usah pulang ke rumah. Langsung ke rumah sakit saja,” perintah bu Marni pada anaknya itu.
“Nggak usah, Bu! Luka Mira bisa di obati di rumah,” tolak Danu.
“Siapa yang mau mengobati Mira?” tanya bu Marni balik.
Danu melirik ibunya, wanita paruh baya itu sedang memainkan telpon genggamnya.
“Lalu, kalau bukan untuk mengobati luka Mira, terus untuk apa kita ke rumah sakit?!” tanyanya lagi.
“Sudah, nggak usah banyak tanya. Lebih baik kamu konsentrasi menyetir. Ibu tidak mau kalau karena kelalaian kamu, kita semua berakhir di kuburan,” cecar bu Marni.
Hatinya masih kesal kepada Danu. Tapi, dia tak mau Danu kembali lagi ke rumah pelakor itu.
Lebih baik, dia konsentrasi dengan rencana awalnya.
“Pelakor harus dilawan dengan pelakor,” gumam bu Marni.
“Apa, Bu?” tanya Danu, dia mendengar gumaman bu Marni.
Sesampainya di rumah sakit, mereka langsung menuju ke ruang ICU. Danu yang masih tidak tau apa yang terjadi hanya bisa mengekor ke mana Ibu dan adiknya pergi.
Sampai di ruang ICU, pintu ruangan terbuka dan sosok lelaki yang sangat di kenal oleh Danu keluar. Mereka saling bertatapan, lelaki itu mendekati Danu, lalu tersenyum dan.
Bugh!
Bugh!
Bugh!Bugh!Danu tersungkur, tak menyangka akan mendapatkan bogem di perut dari Andika, kakak Airin.“Kamu tak ingat kata-kataku?” Kalau kamu lupa, akan aku ingatkan,” teriak Andika dengan penuh amarah.Lelaki berkulit putih dan bermata elang itu memegang kerah baju Danu, dia begitu emosi mendengar kabar Airin terjatuh.Intan memang sengaja dia pekerjakan, ketika tau kalau adiknya sakit karena stroke.Niat awalnya karena tidak mungkin Danu bisa merawatnya sendirian, ternyata firasatnya sebagai seorang kakak benar.Tadi pagi, Intan menelpon dan menceritakan semua kronologi yang terjadi, sampai Airin masih kritis.“Kalau kamu sudah tak mampu menjaga adikku, ceraikan dia! Dengan senang hati akan ku Terima kembali,” ucapnya lagi.Danu tertunduk, dia pasrah di hadiahi pukulan. Kalau dia masih mau m
Maya memukul tangan yang membekapnya, dia di seret ke toilet. Setelah mereka masuk ke dalam toilet wanita, barulah bekapan di mulutnya di lepas. Maya berbalik, saat melihat siapa orang tersebut. Dia mendengus kesal. “Heh, apa sih mau kamu?” tanyanya pada orang tersebut. “Nggak salah! Harusnya aku yang nanya, ngapain kamu di sini? Ngikutin kami!” tuduh gadis yang tak lain adalah Mira. Tadi dia dan ibunya ke kantin untuk sarapan, sesampainya di kantin mereka berinisiatif menawarkan kepada Danu untuk dibelikan makanan. Tapi, saat di hubungi hapenya tak aktif. Maka Mira menyusul kakaknya itu, saat melihat Maya mendekat. Dia langsung berlari kemudian membekap dan menyeret wanita itu ke toilet. “Jangan asal ngomong, aku mau ke apotik,” ucap Maya santai. “Apotik atau apotek? Namanya pelakor nggak akan mau bicara yang sebenarnya,” ejek Mira. Maya memutar bola matanya. “Terus
"Mas Danu!!" teriak Airin tiba-tiba.Bu Marni yang sedang menjaga menantunya itu, terlonjak kaget.Terlihat mata Airin terbuka, bu Marni berteriak. "Dokter ... Dokter ... anak saya sadar!"Dokter jaga yang mendengar teriakan, langsung mendatangi tempat tidur Airin.Dokter nampak tak percaya melihat Airin membuka mata, sedikit gugup, Dokter memeriksa denyut nadi, detak jantung.Semua hal yang berhubungan dengan tanda-tanda vital manusia, menujukan bahwa Airin dalam keadaan baik-baik saja."Alhamdulillah, pasien Airin sudah melewati masa koma, tapi kami akan lakukan observasi satu kali dua puluh empat jam, untuk memantau kondisi selanjutnya. Jika, dalam kurun waktu tersebut Bu Airin tak menimbulkan penurunan k
“Siapa yang selingkuh?” Intan yang mendengar pembicaraan mereka langsung bertanya.“Aish... Intan, kamu bikin kaget saja. Jantungku hampir copot,” seru bu Marni, tangannya memukul lembut lengan Intan.“Tadi saya dengar ada yang selingkuh, siapa yah?” tanya Intan lagi.Bu Marni dan Mira saling bertatapan, mata mereka saling berbicara.“Janji, Kakak jangan bilang sama Andika.” Mira memastikan.Intan mengangguk, dia mengangkat tangannya membentuk lambang peace.Kembali Mira menatap bu Marni, anggukan yang di berikan ibunya itu sebagai tanda kalau dia mengijinkan Mira bercerita.“Mas Danu selingkuh!!” lirih Mira.“Hah... apa? Pak Danu?!” Seolah tak percaya, Intan terlihat syok.“Ish, jangan keras-keras. Nanti, ada yang dengar.” Lagi-lagi bu Marni memukul lengan Intan.Intan sp
Pisau di layangkan ke dada Danu.Untung saja seorang Polisi melihat dan segera menarik lengan Danu, pisau mengenai angin. Melihat serangannya sia-sia, orang tersebut segera berlari meninggalkan tempat kejadian.Polisi tak dapat mengejar, karena beberapa warga yang mengetahui sedang berlangsung penggerebekan. Berbondong-bondong datang, alasannya untuk melihat siapa yang tertangkap.Danu dan Maya di gelandang ke kantor Polisi, takutnya mereka di amuk massa yang semakin lama, semakin banyak.Danu hanya bisa tertunduk, dia tak habis fikir, bagaimana mungkin mereka di grebek, padahal baru kali ini dia melakukannya di rumah Maya.Biasanya mereka akan ke hotel, atau menyewa villa jika weekend.Maya pun sama, dia menutup kepalanya dengan jilbab. Tangannya gemetar, dia tak tau apa yang akan terjadi jika orang tuanya mengetahui kelakuan bejat mereka.“Huuuuuuu, tukang zi*a di tangkap, viralkan!&rd
“Airin, Kamu?!” teriak bu Marni.Semua yang berada di ruangan terkejut, Andika yang hendak membuka pintu berbalik, diam terpaku menatap adiknya yang sedang berjalan ke arahnya.“Ba— gai— ma— na, bagaimana kamu bisa jalan, Dek?!” tanya Andika terbata.Tangannya meraih tangan Airin yang sudah berada tepat di hadapannya.Airin tak menggubris Andika, dia terus berjalan, membuka pintu, lalu tersenyum.“Sudah lama menunggu, Kek?” tanyanya.Dia bergeser ke samping lalu kembali berkata. “Silahkan masuk, bisa sebentar lagi. Suami saya belum datang.”Airin berbicara sambil berjalan, sperti dia lagi bercakap-cakap dengan seseorang.Sayangnya, baik Andika, Mira, bu Marni dan Intan tak bisa melihat sosok tersebut.Intan menggeleng, tak mau larut dengan hal yang menurutnya tak masuk akal.Di dekatinya Airin. &
Namaku Airin, umurku belum genap tiga puluh tahun. Menikah dengan Danu, orang yang paling aku cintai.Kami berpacaran saat masih kuliah, aku tipe orang yang tak gampang jatuh cinta. Namun, kegigihan mas Danu merebut hatiku patut di acungi jempol. Selama menjadi pacarnya, aku selalu merasa menjadi wanita paling beruntung.Begitu pun ketika mas Danu mengutarakan niatnya untuk menikahiku, sungguh aku merasa gadis paling beruntung di dunia.Sayangnya, orang tuaku tak merestui. Alasannya klise, aku masih muda. Ku fikir saat dia di tolak oleh ayah dan ibu, mas Danu akan mundur. Nyatanya dia membuktikan cintanya dengan mengajakku kawin lari.Walau caranya salah, tapi menikah dengannya adalah kesalahan yang tak pernah ku sesali.Aku di boyong ke kota kelahirannya, di perkenalkan dengan wanita tangguh yang dia sebut ibu.Awalnya aku takut tak di terima, tapi kembali lagi semua dugaanku salah. Ibu mertuaku sangat ba
“Airin ... Airin ... Dek! Kamu kenapa?” Andika menggoncang tubuh kurus adiknya.Airin terlihat kejang, napasnya masih berbunyi, Andika memeluk tubuh adiknya, berkali-kali dia mencium kening dan tangan wanita itu.Intan yang melihat hal itu, segera menarik Andika.“Dik... hey!! Tenangin diri kamu. Airin butuh kamu, bimbing dia!”ucap Intan, tangannya mengelus kepala lelaki itu.“Tan, kita ke rumah sakit sekarang!” Andika berdiri, dia berniat untuk menyiapkan mobil.Langkahnya terhenti ketika tangannya di pegang oleh Airin, Andika berbalik.Dia melihat sang adik menatap dengan tersenyum. “Kak, jangan ti— ngg— alin,” ucap Airin dengan napas tersengal-sengal.Intan berlalu meninggalkan Andika dan Airin, dia ke ruang tamu, mengambil Alquran dan kembali ke kamar.“Dik, baca ini, tuntun dia, kalau sudah waktunya semoga Airin perg
"Kok, Mama ada disini?" tanya Bunga.Dia berjalan pincang ke arah tante Rani, wanita paruh baya itu hanya tertunduk lemas, dia malas menanggapi pertanyaan putrinya.Dari tadi dia merutuki diri, kenapa mau datang ke kantor polisi, selama ini dia memang menghindari tempat itu, semua urusan yang berkaitan dengan kantor polisi, dia selalu wakilkan kepada anak buahnya.Tak mendapatkan respon, Bunga kembali bertanya. "Ma, kok Mama disini?""Sudah, diam! Mama pusing, ini semua gara-gara kamu, kalau kamu tidak bikin ulah, tidak mungkin mama kesini, tidak mungkin mama bertemu Jo, dan tidak mungkin mama masuk penjara!" teriak tante Rani.Dia bahkan mulai menarik rambut Bunga dan mencekik wanita itu."To— lo— ng, to— long!" teriak Bunga, dia berusaha menahan tante Rani yang mencekiknya, kakinya yang masih sangat sakit, membuat gerakannya terbatas
"Silahkan!" ucap petugas.Mona mengambil hapenya di atas meja, lalu menelpon nomor pak Andreas, sayangnya nomor tersebut sudah tak aktif, Mona mencobanya berulang-ulang, tapi tetap saja tak bisa dihubungi.Wajah Mona yang tadinya tidak terlalu takut, kini menjadi pucat, merasa usahanya sia-sia, dia kembali menyimpan hapenya.Melihat hal tersebut, petugas memulai interogasi, Mona menjawab semua pertanyaan yang di lontarkan oleh petugas, setelah dua jam interogasi, Mona di nyatakan tidak ada sangkut pautnya dengan pembakaran rumah Adam, hanya dia di ganjar dengan pasal tentang penyalahgunaan narkotika. Sehingga dia tetap di tahan dan berkasnya akan segera di limpahkan setelah lengkap.Hamid juga di interogasi, dia awalnya tidak mau menjawab jika tak di dampingi pengacara, setelah menelpon pengacara dan si pengacara datang, barulah dia mau di interogasi. Sama halnya dengan Mona, Hamid di interogasi sela
"Jadi begini kelakuan kamu di belakang aku?" tanya Bunga, sebuah balok kayu dia pegang. Napasnya memburu karena emosi, wajahnya yang hitam manis berubah menjadi merah.Mata Bunga nyalang, menatap kedua manusia yang sedang berbagi peluh. Setengah meringis, Hamid bangkit lalu berdiri menghadap Bunga."Kamu apa-apaan?" tanya Hamid, dia balik marah kepada Bunga."Kamu yang apa-apaan? Kamu suami aku, kenapa berdua dengan wanita seperti ini!" Bunga maju dan menarik Mona hingga terjatuh dari Sofa."Aduh," teriak wanita itu.Tangannya memegang, tangan Bunga yang sedang menarik rambut Mona. Tak merasa puas, karena di halangi oleh Hamid. Bunga melompat dan menekan Mona yang terbaring dengan menggunakan lutut.Tangan Bunga menarik rambut Mona, lalu membenturkan kepala wanita itu ke lantai, susah payah Hamid menarik Bunga. Namun, wanita itu tak mau mengalah, dia ba
Pak Andreas dan Adam menempati apartemen milik Irfan, karena besok subuh pak Andreas akan menyusul anak dan istrinya ke Luar Negeri, maka malam itu juga dia meminta Adam untuk menemaninya ke suatu tempat.Setelah membeli tiket dan mengecek dokumen yang dibutuhkan untuk perjalanan, pak Andreas mulai menunjukkan tempat yang ingin dia datangi.Dia sudah berjanji untuk mengabulkan permintaan Adam, dia harus melakukannya malam ini, karena dia tidak bisa memastikan kapan dia akan pulang ke Indonesia.Adam mengendarai mobilnya, mengantar pak Andreas ke tempat Mona, entah apa yang ingin dilakukan lelaki itu pada sugar baby nya."Sebelum ke rumah Mona, singgah sebentar di Indoapril depan kompleks nya," pinta pak Andreas.Adam hanya mengangguk, seperti di awal, dia hanya meminta pak Andreas menghancurkan Hamid, bagaimana caranya? Ya, terserah!
Aku memandangi tubuh polos tante Rani yang kini sedang berbaring di sofa yang berwarna merah, lampu ruang kerja yang temaram membuat tubuh tante Rani terlihat indah.Berkali-kali aku harus menelan saliva, agar Junior tak meminta keluar sebelum waktunya.Sejak kecil, tante Rani merupakan salah satu orang yang menjadi fantasi ku, hanya saja sepupuku Adam tak pernah membiarkanku berduaan dengan wanita itu, dia selalu saja mengekor jika tante Rani mengajakku berbelanja atau membeli permen.Body tante Rani yang seksi dengan dua gundukan besar di dadanya membuat aku semakin penasaran.Beranjak dewasa, fantasiku tentang wanita seksi semakin menjadi, apalagi tiap malam kami di suguhi pemandangan yang sangat menggoda. Puluhan wanita akan duduk di ruang tamu menunggu pengunjung, setelah lelaki hidung belang membooking. Maka mereka akan masuk ke sebuah kamar dan tak lama terdengar la
DuarrrTerdengar bunyi tabrakan yang sangat besar, pak Andreas dan Adam terbanting, untung saja mobil tak terbalik. Hanya body belakang mobil penyok dan berasap.Tanpa aba-aba, mereka berdua kompak segera keluar dari mobil.Pak Andreas tersungkur ke tanah, tak lupa dia sujud syukur, Adam membaringkan diri di tanah, dia tak mengira bisa melakukan hal seperti tadi.Tak ingin berlama-lama di tempat itu, Adam segera menelpon seorang temannya untuk menjemput mereka. Dia melarang pak Andreas menelpon sopir ataupun orang-orang yang bekerja dengannya, takut di antara mereka adalah mata-mata."Sepertinya aku harus menyeleksi mereka lagi," gumam pak Andreas.Adam hanya melirik sesaat, dia tau bagaimana rasanya di khianati orang yang paling dipercaya."Jadi sampai kapan aku harus bersembunyi?" tanya pak Andreas."Anda tidak haru
"Pergi kamu!" usir pak Andreas, matanya nyalang menatap tak suka pada Adam.Tangannya hendak menjangkau telpon, Adam segera menahannya."Hentikan pikiran Anda untuk memanggil security, itu tak akan cukup kalau aku berniat membunuh Anda." Adam berkata sombong.Pak Andreas mengurungkan niatnya, dia duduk kembali di tempatnya dengan wajah kuyu."Mau kamu apa sebenarnya?" tanya pak Andreas."Aku sudah bilang dari awal, Anda saja tidak percaya. Sekarang, ku tanya sekali lagi. Maukah Anda menghancurkan lelaki di dalam foto, maka aku akan melindungi Anda." ucap Adam."Baiklah, aku akan membantumu," ucap pak Andreas, dia tak bisa berbuat apa-apa, dia baru tau kalau didepannya adalah si Penyair Perang, pembunuh bayaran yang terkenal dikalangan mafia."Asal Anda tau, awalnya saya yang diminta untuk membunuh Anda, hari ini adalah jadwal kematian And
"Apa ini?" tanya AIPTU Wawan."Ini pelaku pembakaran, tadi dia ada disini, aku berhasil melumpuhkannya," jelas Adam."Kalau begitu, kita segera ke kantor, untuk membuat laporan supaya bisa di proses secepatnya," ujar AIPTU Wawan."Boleh, Pak. Tapi, apakah saya bisa minta tolong untuk pelakunya tak dirilis dulu, takutnya dalangnya kabur sebelum bukti cukup untuk menangkapnya," ujar Adam."Bisa saja, nanti kita bicarakan di kantor saja." Mereka akhirnya bersama-sama ke kantor polisi, mereka memakai mobil Adam, sedangkan AIPTU Wawan mengikuti mereka dari belakang.TKP masih dalam proses pemadaman, pihak kepolisian belum berani melakukan investigasi, takut tempatnya masih berbahaya. Polisi belum mengeluarkan statement apapun terkait sebab kebakaran tersebut.Sampai di kantor polisi, Adam di arahkan untuk membuat laporan, sementara lelaki yang berada di bagasi seg
"Kebakaran, kebakaran, Tuan, kebakaran.""Aduh," teriak Adam, ketika doa membuka mata dan ingin segera bangun, dia malah terjatuh.Ternyata, apa yang tadi dia lakukan hanya mimpi, Adam semakin meringis."Tuan, kebakaran!" teriak mbak Nur yang sudah berada di depan Adam, dia membantu Adam bangkit.Peluh sudah membanjiri wajah mbak Nur, rasa panik tergambar jelas, Adam memaksakan diri untuk bangkit, rasa nyeri yang menjalar di seluruh tubuhnya berusaha dia tahan."Mbak jangan panik, cepat panggil Alika, aku akan periksa pintu dan jendela," perintah Adam."Baik, Tuan." Mbak Nur gegas berlari ke kamar Alika, dia menggedor pintu majikannya dengan sangat cepat, tak lama, muncul wajah jutek Alika."Mbak kenapa?" tanyanya."Kebakaran, Nyonya." ucap mbak Nur."Apaaaa, kebakaran?" Mata Ali