Drrrt... drrrt... drrrt.
Ponsel Danu bergetar, tapi di abaikan olehnya. Setelah tau kalau yang menelpon adalah Mira.
"Pasti dia sudah melihat Airin," gumam Danu.
Tangannya mencengkram setir mobil dengan erat, hatinya masih panas.
Dia tak menyangka, kalau Airin yang selama ini pendiam, bisa dengan lantangnya berteriak.
"Pasti ini ulah ibu," Fikirnya.
Drrrt... drrrt... drrrt.
Kembali ponselnya bergetar. Di rasanya benda pipih yang sedari tadi berada di kursi samping.
Di usapnya layar enam inci tersebut, foto dia dan Maya yang sedang berpelukan jadi wallpapernya.
Kembali terpampang nama Mira di layar panggilan sebagai panggilan tak terjawab.
Di tekan tombol power di samping, kemudian memilih matikan. Danu tak ingin di ganggu.
Karena tak tahu hendak ke mana, dia memilih melajukan mobilnya ke rumah Maya.
Baginya, Maya adalah obat di kala hatinya gundah.
Tiga puluh menit kemudian, Danu telah sampai di sebuah rumah tipe 34, bercat putih dan berpagar besi berwarna hitam.
Motor Maya terparkir, berarti dia juga sudah pulang dari hotel.
Setelah memarkir mobil, Danu melangkah menuju pintu.
Merogoh kantong celananya, mencari kunci duplikat rumah Maya.
Hanya sekali putar, pintu itu terbuka. Nampaklah ruang tamu yang masih gelap, Danu langsung saja masuk, tak lupa dia menutup pintu.
Tujuannya adalah kamar Maya, hanya perlu beberapa langkah. Dia sudah berada di pintu kamar kekasih gelapnya itu.
Dipegangnya handel pintu dan di putar.
Ceklek!
Pintu terbuka lebar setelah di dorong pelan, Danu menggeleng. "Maya suka sekali tak mengunci pintu."
Kamar juga nampak gelap, tapi siluet tubuh Maya yang sedang berbaring cukup jelas terlihat.
Danu mendekat, kemudian ikut berbaring di samping Maya.
Tak butuh waktu lama, Danu telah terlelap di samping kekasihnya itu.
*****
“Bagaimana, Mir? Kakakmu bisa di hubungi?” tanya bu Marni.
Dia memerintahkan Mira untuk memberi tahu Danu kalau Airin mereka bawa ke rumah sakit.
“Masih belum aktif, Bu,” jawab Mira.
“Dimana sih itu anak, istri jatuh malah dia tinggalkan,” omel bu Mirna.
Dia sama sekali tak berfikir kalau Danu yang membuat Airin seperti itu.
“Coba, telpon semua temannya yang kamu kenal,” titahnya lagi.
“Untuk apa sih Bu? Mas Danu di kasih tau. Jelas-jelas dia tak peduli.” Protes Mira.
Mira memang jengkel dengan kelakuan kakaknya itu, dia sangat menyayangi Airin.
Bahkan dia lebih menganggap Airin sebagai saudara daripada Danu.
“Dia kan, suaminya.” Bu Marni menjawab sambil berlalu.
Niatnya, bu Marni hendak ke kantin. Kantuk sudah datang bertamu, dia tak mau tidur sebelum tau bagaimana kondisi menantunya.
Belum beberapa langkah dia berjalan, pintu tempat Airin di tangani terbuka. Seorang
Dokter berpakaian APD lengkap keluar dari ruangan tersebut.
“Keluarga saudara Airin!” ucapnya.“Kami, dok!” seru Mira sambil mengangkat tangan.
Bu Mirna yang mendengar panggilan dokter, juga ikut mendekat.
“Pasien Airin sedang dalam kondisi kritis, sempat tadi selama penanganan dia anfal. Untungnya kami masih bisa mengembalikannya. Jadi, untuk penanganan lebih intensif, kami akan memindahkan pasien ke ruang ICU. Mohon keluarga mengurus administrasinya segera.” Jelas dokter.
“Baik, Dok! Kami urus sekarang. Tapi, tolong selamatkan menantuku.” Balas bu Marni.
“Kami usahakan yang terbaik, Bu! Mungkin itu saja, saya permisi, mau kembali menangani pasien.” Kedua tangan dia tangkupkan di depan dada, lalu dia beranjak pergi.
“Mir, tolong hubungi siapapun teman kakakmu yang kau kenal.” Kembali, bu Marni memerintahkan anaknya itu.
“Kenapa bukan Ibu, yang telpon orang di kantor kak Danu. Dijamin pasti Ibu langsung dapat info konkret.” Mira memberi saran.
“Iya... ya, kok Ibu nggak kepikiran.” Di rogohnya tas merek gincu, lalu mengeluarkan telpon merek apel tergigit.
Entah siapa yang dia hubungi, setelah berbasa basi sejenak. Bu Marni mulai menanyakan tentang Danu.
Orang yang bu Marni telpon bercerita tentang apa yang dia tau.
Hampir setengah jam, bu Marni menelpon.
Ekspresi wajahnya sering berubah-ubah, ketika mendengarkan cerita orang tersebut.
Setelah menutup panggilan telponnya, Mira mendekati ibunya tersebut.
“Bagaimana, Bu? Dapat kak Danu di mana?” Mira bertanya kepada ibunya.“Sudah, benar dugaan Ibu. Kakakmu itu selingkuh, Mir. Selama ini dia telah membohongi kita,” ucap bu Marni, tangisnya pecah.
Dia tak menyangka, kalau anaknya sebesar itu. “Semua orang di perusahaan sudah tau,” lanjutnya lagi.
“Jadi, Ibu akan berbuat apa?” tanya Mira.
Sebenarnya, Mira sudah lama tau kalau Danu punya selingkuhan.
Tapi, saat bertanya kepada kakaknya. Dia malah di ancam. Kalau dia memberi tahu kepada ibu mereka, maka Danu akan menceraikan Airin.
Danu tahu betul kekhawatiran Mira.
“Sebentar juga, kamu akan tau,” jawab bu Marni.
*****
Maya merasakan sebuah tangan memeluk pinggangnya.
Saat berbalik, dia tersentak kaget. Melihat Danu telah terlelap di sampingnya.
Pelan-pelan di pindahkan tangan kokoh itu dari pinggangnya. Dia bangkit menuju kamar mandi.
Sejujurnya, dia masih marah kepada Danu. Karena, meninggalkannya sendiri di kamar hotel.
Dia sudah berjanji dalam hati, untuk tak bertemu lagi dengan suami orang tersebut.
Tapi, ketika melihat Danu tertidur di sampingnya, keinginan rersebut pergi entah kemana.
Maya membersihkan diri dengan cepat, dia berencana membuat sarapan untuk Danu.
Saat keluar dari kamar mandi, Danu masih tertidur. Nampaknya dia terlihat lelah, Maya tak ingin mengganggunya.
Setelah berpakaian, dia melangkah ke dapur. Membuka kulkas, mengeluarkan semua bahan makanan untuk membuat nasi goreng sea food. Makanan favoritnya dan Danu.
Sedang asyik berkutat di dapur, terdengar ketukan di pintu luar.
Maya menghentikan kegiatannya, mempertajam pendengaran. Jangan sampai dia salah dengar, kembali pintu depan di ketuk.
“Siapa sih, pagi-pagi sudah bertamu!” gerutunya.
Diletakkannya pisau dengan sembarangan, lalu mencuci tangan.
“Sabar!” teriaknya ketika ketukan di pintu semakin cepat dan keras. Lebih tepatnya di gedor.
Setengah berlari Maya membuka pintu, saat pintu terbuka, dia melihat seorang wanita paruh baya, bersama seorang anak gadis berdiri di depan pintunya.
“Ogh, ini pelac*r yang berani menggoda anak saya?” tanya bu Marni ketika pintu rumah Maya terbuka.
Dia memegang gagang pintu, mendorongnya. Lalu memaksa masuk, Maya yang tak siap dengan perlakuan bu Marni tak bisa berbuat apa-apa.
“Di mana kamu sembunyikan anak saya?” tanya bu Marni sambil tersenyum. Tapi, dari intonasi suaranya jelas tersimpan amarah yang siap di salurkan.
“Maaf, saya tidak tau siapa anak Ibu!” elak Maya.
Padahal, dia tau jelas kalau wanita itu Ibu kekasih gelapnya.
“Selain pelakor, kamu ternyata pembohong juga!” sindir bu Marni.
“Jaga mulut Ibu! Saya tidak kenal anda. Jadi, tolong pergi dari rumah saya,” usir Maya.
“Hehehehehe, rumah kamu? Rumah ini di beli dari uang saya, jangan mimpi kamu punya rumah,” bu Marni tertawa, lalu mencemooh wanita yang ada di depannya.
“Apa buktinya?” tantang Maya.
“Dasar, wanita jala*g. Jangankan rumah, bahkan perabotan rumah, baju, sampai BH dan Celana da*am kamu di beli pake uang saya,” cecar bu Marni.
Plak... plak!
*****Plak... plak!Maya menampar wajah bu Marni. Lalu berkata “Jaga bicara anda! Saya bisa lebih kasar dari ini.”Bu Marni memegang wajahnya yang perih, dia tak menyangka Maya akan berani menamparnya.Biasanya, pelakor akan ketakutan kalau di datangi. Berbeda dengan Maya, dia malah melawan.“Pantas Danu bertekuk lutut di kakinya, wanita sia*an ini punya karisma,” batin bu Marni.Tak menerima ibunya di tampar, Mira maju dan menarik rambut Maya, sampai dia terhuyung ke belakang.“Jangan beraninya sama orang tua, kalau kamu mau bertarung. Ayok, lawan saya.” Mira bekata dengan penuh amarah.Rambut panjang Maya masih dalam genggamannya.Maya yang tak bisa menjaga keseimbangan akhirnya terjatuh.Bugh!Badannya menghantam meja kaca danPrang!Kaca meja pecah, Maya terduduk di atas pecahan kaca.Melihat hal itu,
Bugh!Bugh!Danu tersungkur, tak menyangka akan mendapatkan bogem di perut dari Andika, kakak Airin.“Kamu tak ingat kata-kataku?” Kalau kamu lupa, akan aku ingatkan,” teriak Andika dengan penuh amarah.Lelaki berkulit putih dan bermata elang itu memegang kerah baju Danu, dia begitu emosi mendengar kabar Airin terjatuh.Intan memang sengaja dia pekerjakan, ketika tau kalau adiknya sakit karena stroke.Niat awalnya karena tidak mungkin Danu bisa merawatnya sendirian, ternyata firasatnya sebagai seorang kakak benar.Tadi pagi, Intan menelpon dan menceritakan semua kronologi yang terjadi, sampai Airin masih kritis.“Kalau kamu sudah tak mampu menjaga adikku, ceraikan dia! Dengan senang hati akan ku Terima kembali,” ucapnya lagi.Danu tertunduk, dia pasrah di hadiahi pukulan. Kalau dia masih mau m
Maya memukul tangan yang membekapnya, dia di seret ke toilet. Setelah mereka masuk ke dalam toilet wanita, barulah bekapan di mulutnya di lepas. Maya berbalik, saat melihat siapa orang tersebut. Dia mendengus kesal. “Heh, apa sih mau kamu?” tanyanya pada orang tersebut. “Nggak salah! Harusnya aku yang nanya, ngapain kamu di sini? Ngikutin kami!” tuduh gadis yang tak lain adalah Mira. Tadi dia dan ibunya ke kantin untuk sarapan, sesampainya di kantin mereka berinisiatif menawarkan kepada Danu untuk dibelikan makanan. Tapi, saat di hubungi hapenya tak aktif. Maka Mira menyusul kakaknya itu, saat melihat Maya mendekat. Dia langsung berlari kemudian membekap dan menyeret wanita itu ke toilet. “Jangan asal ngomong, aku mau ke apotik,” ucap Maya santai. “Apotik atau apotek? Namanya pelakor nggak akan mau bicara yang sebenarnya,” ejek Mira. Maya memutar bola matanya. “Terus
"Mas Danu!!" teriak Airin tiba-tiba.Bu Marni yang sedang menjaga menantunya itu, terlonjak kaget.Terlihat mata Airin terbuka, bu Marni berteriak. "Dokter ... Dokter ... anak saya sadar!"Dokter jaga yang mendengar teriakan, langsung mendatangi tempat tidur Airin.Dokter nampak tak percaya melihat Airin membuka mata, sedikit gugup, Dokter memeriksa denyut nadi, detak jantung.Semua hal yang berhubungan dengan tanda-tanda vital manusia, menujukan bahwa Airin dalam keadaan baik-baik saja."Alhamdulillah, pasien Airin sudah melewati masa koma, tapi kami akan lakukan observasi satu kali dua puluh empat jam, untuk memantau kondisi selanjutnya. Jika, dalam kurun waktu tersebut Bu Airin tak menimbulkan penurunan k
“Siapa yang selingkuh?” Intan yang mendengar pembicaraan mereka langsung bertanya.“Aish... Intan, kamu bikin kaget saja. Jantungku hampir copot,” seru bu Marni, tangannya memukul lembut lengan Intan.“Tadi saya dengar ada yang selingkuh, siapa yah?” tanya Intan lagi.Bu Marni dan Mira saling bertatapan, mata mereka saling berbicara.“Janji, Kakak jangan bilang sama Andika.” Mira memastikan.Intan mengangguk, dia mengangkat tangannya membentuk lambang peace.Kembali Mira menatap bu Marni, anggukan yang di berikan ibunya itu sebagai tanda kalau dia mengijinkan Mira bercerita.“Mas Danu selingkuh!!” lirih Mira.“Hah... apa? Pak Danu?!” Seolah tak percaya, Intan terlihat syok.“Ish, jangan keras-keras. Nanti, ada yang dengar.” Lagi-lagi bu Marni memukul lengan Intan.Intan sp
Pisau di layangkan ke dada Danu.Untung saja seorang Polisi melihat dan segera menarik lengan Danu, pisau mengenai angin. Melihat serangannya sia-sia, orang tersebut segera berlari meninggalkan tempat kejadian.Polisi tak dapat mengejar, karena beberapa warga yang mengetahui sedang berlangsung penggerebekan. Berbondong-bondong datang, alasannya untuk melihat siapa yang tertangkap.Danu dan Maya di gelandang ke kantor Polisi, takutnya mereka di amuk massa yang semakin lama, semakin banyak.Danu hanya bisa tertunduk, dia tak habis fikir, bagaimana mungkin mereka di grebek, padahal baru kali ini dia melakukannya di rumah Maya.Biasanya mereka akan ke hotel, atau menyewa villa jika weekend.Maya pun sama, dia menutup kepalanya dengan jilbab. Tangannya gemetar, dia tak tau apa yang akan terjadi jika orang tuanya mengetahui kelakuan bejat mereka.“Huuuuuuu, tukang zi*a di tangkap, viralkan!&rd
“Airin, Kamu?!” teriak bu Marni.Semua yang berada di ruangan terkejut, Andika yang hendak membuka pintu berbalik, diam terpaku menatap adiknya yang sedang berjalan ke arahnya.“Ba— gai— ma— na, bagaimana kamu bisa jalan, Dek?!” tanya Andika terbata.Tangannya meraih tangan Airin yang sudah berada tepat di hadapannya.Airin tak menggubris Andika, dia terus berjalan, membuka pintu, lalu tersenyum.“Sudah lama menunggu, Kek?” tanyanya.Dia bergeser ke samping lalu kembali berkata. “Silahkan masuk, bisa sebentar lagi. Suami saya belum datang.”Airin berbicara sambil berjalan, sperti dia lagi bercakap-cakap dengan seseorang.Sayangnya, baik Andika, Mira, bu Marni dan Intan tak bisa melihat sosok tersebut.Intan menggeleng, tak mau larut dengan hal yang menurutnya tak masuk akal.Di dekatinya Airin. &
Namaku Airin, umurku belum genap tiga puluh tahun. Menikah dengan Danu, orang yang paling aku cintai.Kami berpacaran saat masih kuliah, aku tipe orang yang tak gampang jatuh cinta. Namun, kegigihan mas Danu merebut hatiku patut di acungi jempol. Selama menjadi pacarnya, aku selalu merasa menjadi wanita paling beruntung.Begitu pun ketika mas Danu mengutarakan niatnya untuk menikahiku, sungguh aku merasa gadis paling beruntung di dunia.Sayangnya, orang tuaku tak merestui. Alasannya klise, aku masih muda. Ku fikir saat dia di tolak oleh ayah dan ibu, mas Danu akan mundur. Nyatanya dia membuktikan cintanya dengan mengajakku kawin lari.Walau caranya salah, tapi menikah dengannya adalah kesalahan yang tak pernah ku sesali.Aku di boyong ke kota kelahirannya, di perkenalkan dengan wanita tangguh yang dia sebut ibu.Awalnya aku takut tak di terima, tapi kembali lagi semua dugaanku salah. Ibu mertuaku sangat ba
"Kok, Mama ada disini?" tanya Bunga.Dia berjalan pincang ke arah tante Rani, wanita paruh baya itu hanya tertunduk lemas, dia malas menanggapi pertanyaan putrinya.Dari tadi dia merutuki diri, kenapa mau datang ke kantor polisi, selama ini dia memang menghindari tempat itu, semua urusan yang berkaitan dengan kantor polisi, dia selalu wakilkan kepada anak buahnya.Tak mendapatkan respon, Bunga kembali bertanya. "Ma, kok Mama disini?""Sudah, diam! Mama pusing, ini semua gara-gara kamu, kalau kamu tidak bikin ulah, tidak mungkin mama kesini, tidak mungkin mama bertemu Jo, dan tidak mungkin mama masuk penjara!" teriak tante Rani.Dia bahkan mulai menarik rambut Bunga dan mencekik wanita itu."To— lo— ng, to— long!" teriak Bunga, dia berusaha menahan tante Rani yang mencekiknya, kakinya yang masih sangat sakit, membuat gerakannya terbatas
"Silahkan!" ucap petugas.Mona mengambil hapenya di atas meja, lalu menelpon nomor pak Andreas, sayangnya nomor tersebut sudah tak aktif, Mona mencobanya berulang-ulang, tapi tetap saja tak bisa dihubungi.Wajah Mona yang tadinya tidak terlalu takut, kini menjadi pucat, merasa usahanya sia-sia, dia kembali menyimpan hapenya.Melihat hal tersebut, petugas memulai interogasi, Mona menjawab semua pertanyaan yang di lontarkan oleh petugas, setelah dua jam interogasi, Mona di nyatakan tidak ada sangkut pautnya dengan pembakaran rumah Adam, hanya dia di ganjar dengan pasal tentang penyalahgunaan narkotika. Sehingga dia tetap di tahan dan berkasnya akan segera di limpahkan setelah lengkap.Hamid juga di interogasi, dia awalnya tidak mau menjawab jika tak di dampingi pengacara, setelah menelpon pengacara dan si pengacara datang, barulah dia mau di interogasi. Sama halnya dengan Mona, Hamid di interogasi sela
"Jadi begini kelakuan kamu di belakang aku?" tanya Bunga, sebuah balok kayu dia pegang. Napasnya memburu karena emosi, wajahnya yang hitam manis berubah menjadi merah.Mata Bunga nyalang, menatap kedua manusia yang sedang berbagi peluh. Setengah meringis, Hamid bangkit lalu berdiri menghadap Bunga."Kamu apa-apaan?" tanya Hamid, dia balik marah kepada Bunga."Kamu yang apa-apaan? Kamu suami aku, kenapa berdua dengan wanita seperti ini!" Bunga maju dan menarik Mona hingga terjatuh dari Sofa."Aduh," teriak wanita itu.Tangannya memegang, tangan Bunga yang sedang menarik rambut Mona. Tak merasa puas, karena di halangi oleh Hamid. Bunga melompat dan menekan Mona yang terbaring dengan menggunakan lutut.Tangan Bunga menarik rambut Mona, lalu membenturkan kepala wanita itu ke lantai, susah payah Hamid menarik Bunga. Namun, wanita itu tak mau mengalah, dia ba
Pak Andreas dan Adam menempati apartemen milik Irfan, karena besok subuh pak Andreas akan menyusul anak dan istrinya ke Luar Negeri, maka malam itu juga dia meminta Adam untuk menemaninya ke suatu tempat.Setelah membeli tiket dan mengecek dokumen yang dibutuhkan untuk perjalanan, pak Andreas mulai menunjukkan tempat yang ingin dia datangi.Dia sudah berjanji untuk mengabulkan permintaan Adam, dia harus melakukannya malam ini, karena dia tidak bisa memastikan kapan dia akan pulang ke Indonesia.Adam mengendarai mobilnya, mengantar pak Andreas ke tempat Mona, entah apa yang ingin dilakukan lelaki itu pada sugar baby nya."Sebelum ke rumah Mona, singgah sebentar di Indoapril depan kompleks nya," pinta pak Andreas.Adam hanya mengangguk, seperti di awal, dia hanya meminta pak Andreas menghancurkan Hamid, bagaimana caranya? Ya, terserah!
Aku memandangi tubuh polos tante Rani yang kini sedang berbaring di sofa yang berwarna merah, lampu ruang kerja yang temaram membuat tubuh tante Rani terlihat indah.Berkali-kali aku harus menelan saliva, agar Junior tak meminta keluar sebelum waktunya.Sejak kecil, tante Rani merupakan salah satu orang yang menjadi fantasi ku, hanya saja sepupuku Adam tak pernah membiarkanku berduaan dengan wanita itu, dia selalu saja mengekor jika tante Rani mengajakku berbelanja atau membeli permen.Body tante Rani yang seksi dengan dua gundukan besar di dadanya membuat aku semakin penasaran.Beranjak dewasa, fantasiku tentang wanita seksi semakin menjadi, apalagi tiap malam kami di suguhi pemandangan yang sangat menggoda. Puluhan wanita akan duduk di ruang tamu menunggu pengunjung, setelah lelaki hidung belang membooking. Maka mereka akan masuk ke sebuah kamar dan tak lama terdengar la
DuarrrTerdengar bunyi tabrakan yang sangat besar, pak Andreas dan Adam terbanting, untung saja mobil tak terbalik. Hanya body belakang mobil penyok dan berasap.Tanpa aba-aba, mereka berdua kompak segera keluar dari mobil.Pak Andreas tersungkur ke tanah, tak lupa dia sujud syukur, Adam membaringkan diri di tanah, dia tak mengira bisa melakukan hal seperti tadi.Tak ingin berlama-lama di tempat itu, Adam segera menelpon seorang temannya untuk menjemput mereka. Dia melarang pak Andreas menelpon sopir ataupun orang-orang yang bekerja dengannya, takut di antara mereka adalah mata-mata."Sepertinya aku harus menyeleksi mereka lagi," gumam pak Andreas.Adam hanya melirik sesaat, dia tau bagaimana rasanya di khianati orang yang paling dipercaya."Jadi sampai kapan aku harus bersembunyi?" tanya pak Andreas."Anda tidak haru
"Pergi kamu!" usir pak Andreas, matanya nyalang menatap tak suka pada Adam.Tangannya hendak menjangkau telpon, Adam segera menahannya."Hentikan pikiran Anda untuk memanggil security, itu tak akan cukup kalau aku berniat membunuh Anda." Adam berkata sombong.Pak Andreas mengurungkan niatnya, dia duduk kembali di tempatnya dengan wajah kuyu."Mau kamu apa sebenarnya?" tanya pak Andreas."Aku sudah bilang dari awal, Anda saja tidak percaya. Sekarang, ku tanya sekali lagi. Maukah Anda menghancurkan lelaki di dalam foto, maka aku akan melindungi Anda." ucap Adam."Baiklah, aku akan membantumu," ucap pak Andreas, dia tak bisa berbuat apa-apa, dia baru tau kalau didepannya adalah si Penyair Perang, pembunuh bayaran yang terkenal dikalangan mafia."Asal Anda tau, awalnya saya yang diminta untuk membunuh Anda, hari ini adalah jadwal kematian And
"Apa ini?" tanya AIPTU Wawan."Ini pelaku pembakaran, tadi dia ada disini, aku berhasil melumpuhkannya," jelas Adam."Kalau begitu, kita segera ke kantor, untuk membuat laporan supaya bisa di proses secepatnya," ujar AIPTU Wawan."Boleh, Pak. Tapi, apakah saya bisa minta tolong untuk pelakunya tak dirilis dulu, takutnya dalangnya kabur sebelum bukti cukup untuk menangkapnya," ujar Adam."Bisa saja, nanti kita bicarakan di kantor saja." Mereka akhirnya bersama-sama ke kantor polisi, mereka memakai mobil Adam, sedangkan AIPTU Wawan mengikuti mereka dari belakang.TKP masih dalam proses pemadaman, pihak kepolisian belum berani melakukan investigasi, takut tempatnya masih berbahaya. Polisi belum mengeluarkan statement apapun terkait sebab kebakaran tersebut.Sampai di kantor polisi, Adam di arahkan untuk membuat laporan, sementara lelaki yang berada di bagasi seg
"Kebakaran, kebakaran, Tuan, kebakaran.""Aduh," teriak Adam, ketika doa membuka mata dan ingin segera bangun, dia malah terjatuh.Ternyata, apa yang tadi dia lakukan hanya mimpi, Adam semakin meringis."Tuan, kebakaran!" teriak mbak Nur yang sudah berada di depan Adam, dia membantu Adam bangkit.Peluh sudah membanjiri wajah mbak Nur, rasa panik tergambar jelas, Adam memaksakan diri untuk bangkit, rasa nyeri yang menjalar di seluruh tubuhnya berusaha dia tahan."Mbak jangan panik, cepat panggil Alika, aku akan periksa pintu dan jendela," perintah Adam."Baik, Tuan." Mbak Nur gegas berlari ke kamar Alika, dia menggedor pintu majikannya dengan sangat cepat, tak lama, muncul wajah jutek Alika."Mbak kenapa?" tanyanya."Kebakaran, Nyonya." ucap mbak Nur."Apaaaa, kebakaran?" Mata Ali