"Gitu aja pingsan!"
Janice melenggang pergi setelah Langit membawa Manda ke mobil maminya di garasi. Lelaki itu panik."Bang?"Pelangi yang baru pulang sekolah langsung membantu Langit membawa mami mereka ke dalam mobil. Sempat dilihatnya Janice keluar dari pinti rumah mereka. Namun Pelangi lebih memilih menemani maminya ke Rumah Sakit. Kedunya lantas meninggalkan rumah. Meninggalkan Janice yang masih mematung di teras, menyaksikan mereka pergi.Mobil yang dibawa Langit berpapasan dengan mobil Satriyo yang memasuki halaman rumah. Mereka sempat bertatapan. Namun Langit memilih diam saja dan lagsung tancap gas. Sementara Satriyo mengerutkan kening melihat mobil Janice ada di halaman rumahnya. Dengan cepat dia turun."Mas?"Janice tersenyum dan melangkah cepat untuk menyongsong kedatangan Satriyo."Ngapain kamu ke sini?" tanya Satriyo penuh selidik.Janice hanya tersenyum dan bersiap memeluk Satriyo. Namun leLangit pamit keluar untuk mencari makan. Satriyo seolah menemukan kesempatan. Dengan cepat dia memasuki ruangan di mana Manda dirawat. Dia menemukan Pelangi yang duduk diam menggenggam tangan Manda. Gadis itu menoleh saat pintu dibuka. Lantas melengos. Satriyo mendekat dengan ragu dan canggung. "Ehm, boleh papi ... papi mau bicara sama mami."Pelangi menghela napas panjang. "Nggak liat mami belum sadar?"Satriyo menelan ludah. Dia duduk di ranjang, dekat kaki Manda dengan pelan-pelan. "Nak ... Papi ...."Satriyo seolah kehabisan kata-kata. Tenggorokannya tercekat. "Papi ... Papi minta maaf, ya.""Untuk?"Satriyo menatap Pelangi yang tak menatapnya. "Semuanya. Papi tahu kalian pasti kecewa!"Pelangi diam. Perlahan dia melepas genggaman tangannya pada sang mami dan beralih menatap papinya. Mereka bersitatap. "Buat apa minta maaf kalau papi tidak tahu kesalahan papi sendiri!"Satriyo
Manda terengah-engah setelah tangannya berhasil melepas masker oksigen yang menutupi hidung dan mulutnya. Langit yang panik langsung memasangkannya lagi. Pemuda itu berteriak memanggil tim dokter. Sementara Satriyo masih diam. Dia tidak tahu apa yang harus dilakukan. Tim dokter yang datang langsung menangani Manda. Langit dan Satriyo diminta keluar. Keduanya berdiri panik di depan kamar Manda. "Kenapa, Bang?" Pelangi yang tiba-tiba sudah berdiri di samping Langit menatap abangnya dengan bingung. Lantas mencoba mengintip dari jendela, melihat keadaan maminya. "Bang ...." Tanpa menjawab pertanyaan adiknya, Langit langsung memeluk Pelangi erat dan menangis. Tanpa dijelaskanpun Pelangi tahu jika sekarang maminya pasti sedang tidak baik-baik saja. Gadis itu ikut menangis. "Gimana, dok?" tanya Langit ketika tim medis keluar dari ruangan Manda. Yang ditanya menghela napas panjang dan menepuk bahu Langit. "Tidak apa-apa. Dia hanya
Manda koma. Langit bagai tanpa tulang. Lelaki itu menangis meraung-raung di depan ruang gawat darurat. Dia terduduk lemah di lantai dan terus menangis. Tak peduli jika banyak orang yang menatapnya heran. Sementara Pelangi duduk diam, menangis tanpa suara. Satriyo berdiri bersandar di tembok. Berkali-kali dia memukul-mukul kepalanya sendiri. Otaknya seakan hendak meledak. Bayangan Manda yang sekarat dan semakin kritis terus meremas pemikirannya. "Kalau dia sadar sore nanti, ada harapan besar untuk Bu Manda kembali sehat. Tapi kalau tidak ada perubahan ... maka kita hanya bisa menunggu keajaiban saja!"Penjelasan dokter terngiang-ngiang di telinga Langit. Lelaki itu menggeleng keras, seolah membantah ucapan dokter. "Mami harus sembuh! Mami harus liat Langit wisuda!" gumamnya pelan. Air mata tak henti mengalir sejak tadi. Hatinya nyeri dengan sesak yang menyeruak hingga ke dada, meminta keluar. Gumpalan sesak itu menjelma menjadi emosi tertahan yang akan me
Keributan kecil di depan ruang gawat darurat membuat beberapa pengunjung Rumah Sakit penasaran untuk melihat. Apalagi saat melihat Pelangi yang menangis di pelukan Langit. Keduanya masih terus menangis sembari berpelukan. Mereka sama-sama patah hati. Sama-sama kecewa dan sakit hati. Mereka tidak menyangka jika lelaki yang selama ini mereka kagumi bisa berbuat sedemikian rupa. Apalagi di saat mami mereka tengah berjuang antara hidup dan mati di dalam sana. Sementara di tempat lain. Janice menepis cekalan tangan Satriyo yang terus menariknya untuk menjauh. Wanita itu merengut marah. "Berani-beraninya dia nampar aku, Mas!""Udahlah, ini kan juga karena kamu yang seenaknya aja!""Oh, Mas bela mereka sekarang, ya?""Mereka anak-anakku, Janice!""Aku?"Satriyo diam. "Aku selalu diasingkan. Selalu tidak kamu anggap ketika sudah bersama mereka. Jahat kamu, Mas!"Janice mulai terisak. Dia menutupkan telapak t
Warning!Mengandung konten dewasa, tapi bukan vulgar, lho, ya. ."Janice?" Satriyo mengerutkan kening ketika Janice sudah berdiri di depan pintu rumahnya. Wanita yang malam itu tampil sangat seksi hanya tersenyum. Piyama tidur transparan dan pendek dikenakannya. Rambut panjangnya diikat tinggi, memperlihatkan leher jenjangnya yang menggoda. "Lagi sendirian, kan?" tanya Janice sembari mengusap dada Satriyo. Belum juga dijawab, Janice langsung melenggang memasuki rumah Satriyo dan duduk di sofa ruang tamu dengan menyilangkan kaki. "Mau ngapain kamu?" tanya Satriyo setelah menutup pintu. Tentu saja setelah memastikan jika di luar tidak ada orang yang melijat kedatangan Janice. Tentu saja tidak ada karena ini nyaris tengah malam. "Ehm, pengen ketemu kamu, Mas. Anak kita kangen, hehe," jawab Janice sembari mengusap perut ratanya. Satriyo hanya mendengkus. "Kenapa sih kamu ini?""Aku? Kenapa? Ya nggak apa-ap
Langit melangkah gontai memasuki halaman rumahnya setelah turun dari taksi yang dia tumpangi. Merasa lelah lelaki memutuskan untuk naik taksi saja menuju rumah, mengambil keperluan mami dan adiknya sembari membawa pulang pakaian kotor. Langit sampai rumah saat hari belum terlalu terang. Masih jam setengah enam. Langkahnya terhenti di depan pintu saat dilihatnya sepasang sepatu wanita. Dia mengernyit. Sepatu itu jelas bukan milik Pelangi apalagi maminya. Dia mengintip ke dalam rumah dari pintu rumah yang berbingkai kaca. Meski terutup tirai putih, Langit masih bisa melihat ke dalam. Perlahan dia membuka kunci pintu. Ternyata tidak terkunci. Langkah Langit terhent seketika. Matanya menatap nanar benda yang berserakan di lantai ruang tamu. Pakaian wanita yang jelas bukan milik adik ataupun maminya dan pakaian sang papi yang tersebar di lantai dekat sofa ruang tamu. Dadanya langsung bergemuruh dan seolah mendidih saat telinganya samar-samar mendengar suara tawa kecil
"Tangan Abang kenapa?" tanya Pelangi saat melihat perban putih yang membungkus telapak tangan kiri Langit. Pemuda itu hanya diam menatap luka yang susah payah dia perban sendiri sembaru menahan perih karena obat yang dia bubuhkan. "Ehm, Abang nyuci piring tadi, kena ... kena piring pecah."Pelangi menatap abangnya lekat. Yang dipandang seolah menghindari tatapannya. "Abang liat apa sampai emosi terus ngelukain tangan sendiri?"Langit menghela napas panjang dan mendongak. Pelangi meraih tangannya yang terluka, menempelkannya di pipi, dan mengecupnya sekilas. "Jangan sakiti diri sendiri, Bang. Pelangi nggak mau abang luka."Langit tersenyum dan merengkuh bahu sang adik, menenggelamkannya dalam pelukan. "Jangan bilang mami, ya!" Pelangi mengangguk. Sesampainya di Rumah Sakit, Langit langsung menuju kantin untuk sarapan. Tak lupa dia mengabari Pelangi untuk menemuinya di kantin. Langit hanya merasa tidak siap bertemu mam
Hampir dua hari Manda tidak sadarkan diri. Langit dan Pelangi dengan setia menemani. Sementara Satriyo ....[Papi ijin mengurus pernikahan papi.]Langit membanting ponselnya hingga pecah. Emosinya kembali memuncak. Bagaimana bisa seorang lelaki malah sibuk mengurus pernikahannya sementara sang istri tengah berjuang antara hidup dan mati. Tidak ada sanak keluarga yang menjenguk karena memang Manda sebatang kara dengan saudara yang entah di mana. Sementara dari pihak Satriyo juga tidak ada. Tinggalah Langit dan Pelangi sebagai anak angkat, anak kandung, sekaligus saudara bagi Manda. Beruntung teman kuliah Langit sering datang berkunjung. Bahkan mereka tak segan menginap, menggantikan Pelangi yang kadang pulang ke rumah. Seperti pagi itu. Dengan taksi, Pelangi pulang. Wajahnya lelah dan sedikit pucat. Tubuhnya juga semakin kurus. Gadis itu melangkah gontai memasuki halaman rumah yang sudah lima hari tidak dilihatnya. Dia tercenung ketika melihat se