Sebulan berlalu. Janice membaik dengan cepat. Sikapnya tetap baik dan manis di depan semua orang. Kini dia tidak lagi bekerja di butik. Janice dan Satriyo memutuskan untuk menjual saja butiknya dan menggunakan uangnya untuk meneruskan kuliah Janice yang sempat tertunda. Wanita itu hanya sesekali menerima tawaran design pakaian dan dibayar kemudian. Janice senang melakukannya.
Di rumah, Janice banyak belajar pada Manda. Mengurus rumah, memasak, membuat kue, merawat tanaman, hingga membuat sulaman. Manda pun dengan senang hati mengajarinya. Selama sebulan ini Janice bersikap baik padanya. Bahkan Janice lah yanh selalu menyediakan obat terapi untuk Manda.Satriyo pun senang melihat keakraban keduanya. Meski sempay terbersit ragu rumah tangganya akan baik-baik saja dengan dua istri dalam satu rumah. Namun semua tertepis saat melihat kedamaian keduanya."Kalau terlihat baik-baik saja, berati ada yang disembunyikan.""Nggak akan baik-baik saja perasaJanice melenguh panjang saat sapuan hangat dari embusan napas lelaki di atasnya menelusuri seluruh tubuh sintalnya. Wanita 23 tahun itu meremas sprei hingga kusut. Mata lentiknya terpejam lama demi menikmati setiap detik kehangatan bersama Satriyo. Lelaki yang 20 tahun lebih tua darinya itu terus meluapkan seluruh kehangatannya pada wanita yang hampir dua minggu ini tidak ditemuinya. "Mas ... jangan tinggalin Janice lagi, ya!" ucap Janice tak berdaya saat semua kenikmatan mencapai puncaknya. Satriyo tergeletak tak berdaya di samping tubuh Janice. Lengan kokohnya memeluk pinggang aduhai milik wanita itu. Satriyo tersenyum manis di tengah kelelahannya. "Iya, Sayang." Sebuah kecupan hangat dan lama mendarat di kening sang wanita. Janice memeluk lelaki itu seolah tak ingin dipisahkan. "Mas, sih, lama nggak ke sini!" Janice merajuk. Satriyo meraih dagu belahnya dan menciumnya sekilas. Wanita itu semakin cemberut. "Kan Mas harus ngajar semester pendek, Sayang!""Ah, bohong!"Janice mele
"Pi?" panggil Langit ketika membuka daun pintu dengan nama Satriyo Singgih. Lelaki yang dipanggil Pi lantas mendongak, mengalihkan pandangan dari laptop di depannya. "Eh, Langit."Langit lantas duduk di depan meja sang papi. Lelaki semester akhir itu memperhatikan jemari papinya yang tengah sibuk. "Mami sehat?"Langit mengangguk. "Ya, kalau minum obat ya pasti baikan, Pi."Satriyo berdehem paham. "Pelangi gimana?""Tadi kuanterin, kok. Pakai mobil mama. Ujan soalnya, hehe," ucap Langit menggaruk kepala yang tidak gatal. "Nggak apa-apa!"Keduanya diam. Langit hanya terus memperhatikan sang papi yang bekerja. Sesekali dia menatap tumpukkan kertas dan map di mejanya. "Nanti papa pulang, kan?" tanya Langit ragu. "Iya. Tapi malem, ya. Masih banyak yang harus dikerjain!"Langit mengangguk. Merasa papinya tengah sibuk, mahasiswa Tekhnik Elektro itu pamit. Dia keluar ruangan papinya dan menuju fakultasnya yang lumayan jauh. Kampus tengah masa senggang karena para mahasiswa sudah melewat
"Mas pulang jam berapa semalam?" Satriyo yang baru saja menggeliat bangun langsung mengucek mata saat jemari lembut Manda mengusap pipinya. Lelaki itu menatap sang istri yang juga baru bangun. Dari jauh, sayup-sayup suara adzan terdengar mendayu. Sudah subuh rupanya, pikir Satriyo. Padahal dia baru tertidur beberapa jam saja. Lelah dan penat membuatnya tertidur dengan lelap. "Hampir jam satu. Banyak kerjaan," jawab Satriyo duduk dan mengusap jemari dingin Manda. Wanita itu meremas telapak tangan kekarnya dan mengecupnya perlahan. Ada kerinduan membuncah dari sorot mata yang semakin lemah itu. "Maaf, ya, aku sudah tidur."Satriyo mengusap rambut lembutnya dan tersenyum. "Tak apa. Kamu butuh istirahat."Satriyo lantas membimbing Manda ke kamar mandi. Dengan telaten dia menunggu sang istri mengambil wudhu. Satriyo hanya khawatir jika air dingin membuat Manda menggigil lantas tak kuat berjalan dan terjatuh seperti beberapa hari lalu. Sholat subuh dipimpin Satriyo dengan khusyuk. Langi
"Pi, ada telepon, nih!" Langit mengulurkan ponsel yang masih menyala karena panggilan telepon masuk. "Dari siapa?" tanya Satriyo mengelap tangan setelah mencucinya. Dia berjalan ke arah Langit. "Ehm, Damar."Bola mata Satriyo terbuka lebih lebar. Dengan cepat diambilnya ponsel dari tangan Langit dan segera membawanya pergi. Mendadak jantungnya berdebar hebat. Sesuatu yang dia khawatirkan mungkin saja terjadi. Sementara Langit hanya menaikkan bahu saat Manda menatapnya seolah bertanya, siapa?"Kok telpon, sih? Kan Mas bilang nanti aja!" ucap Satriyo pelan dan sedikit berbisik setelah agak menjauh. "Aku kangen, Mas," jawab suara lembut dan mendayu di seberang sana. Suara yang sukses membuat dada Satriyo semakin berdebar."Kamu ngertiin posisi aku, dong!" ucap Satriyo lagi sedikit menekankan suaranya. "Mas kapan ngerti posisi aku?" Suara lemah Janice membuat Satriyo menghela napas panjang.Satriyo terdiam. Dia terlihat gelisah dan melirik ke dalam rumah. Dari lorong rumah dia bisa m
"Janice?" panggil Clara—sahabat wanita seksi itu—dari teras rumah. Pemilik rumah yang tengah duduk santai di sofa ruang tamu segera membukakan pintu. Clara masuk, mengibas-ngibaskan rambutnya yang basah karena kehujanan. Gadis 23 tahun itu langsung menarik sang sahabat untuk kembali duduk dan menatapnya dengan lekat. "Kamu beneran pacaran sama Pak Satriyo?"Janice mengerutkan kening. "Apa, sih?""Pak Satriyo dosen Bahasa Indonesia kita itu, lho. Kamu pacaran sama dia?" tanya Clara antusias. Janice hanya tertawa kecil. "Jawab, Nice!""Kamu tahu darimana?" Janice balik bertanya. Dia bangkit dan menuju dapur, mengambil minum. Tak sabar dan tak puas hanya mendengar, Clara membuntutinya. "Jadi ... beneran?"Janice mengerling dan tersenyum. "Kasih tahu nggak, ya?""JANICE!" bentak Clara mulai emosi. Tanpa menunggu segelas air dari Janice, Clara sudah meneguk air dari teko di sampingnya. "Kok bisa, sih?" "Apanya?" Janice mengulurkam segelas air pada Clara yang langsung diletakkan di sam
Satriyo merebahkan badan di ranjang bersprei motif bunga-bunga. Matanya berkilau menatap keindahan di depannya. Satu persatu apa yang dikenakan Janice dilepas dan dibiarkan jatuh di lantai. Menyisakan pakaian dalam saja. Wanita itu tersenyum menggoda dan meliukkan tubuhnya untuk menggoda. Satriyo gemas. Ditariknya pinggang langsing Janice dalam dekapan. Mereka saling menyalurkan kehangatan yang lama dipendam cukup lama. Seolah sudah memendam kerinduan cukup lama. Desah napas yang memburu dan jeritan kecil mewarnai kamar dengan pencahayaan syahdu milik Janice. Erangan kecil dari bibir seksi Janice memacu semangat Satriyo untuk terus menuju puncak. Jemari lentik Janice menggaruk punggung Satriyo sebagai pelampiasan hasratnya yang menggebu. Erangan panjang beradu dari mulut Satriyo dan Janice. Keduanya berpelukam erat setelah mencapai puncak. Mereka terengah-engah dan jatuh terkapar di ranjang yang berkeringat. Kenikmatan untuk kesekian kalinya yang mereka raih berdua. Kenikmatan yang
Satriyo mengerutkan kening ketika mendapati Manda yang belum tidur. Wanita itu duduk termangu menatap wajahnya di cermin. Jemarinya perlahan menyisir rambut hitamnya yang semakin tipis.l. Satriyo bergidik menatap sisir yang penuh dengan rambut. "Dari mana, Mas?" tanya Manda pelan. Satriyo melirik sekilas sembari meletakkan kunci mobil dan ponsel di meja. "Rumah temen.""Perempuan?"Satriyo terdiam. Lantas menghela napas panjang. "Temen kampus!"Manda menatap sang suami yang kini melepas pakaiannya dan meletakannya di keranjang baju kotor. "Akhir-akhir ini Mas jarang di rumah.""Kenapa memangnya?""Nggak biasanya.""Hhh, aku kan sibuk. Kamu pikir aku ngapain?"Manda terdiam. Perlahan dia menunduk menghindari tatapan tajam Satriyo yang seolah tidak suka diberi pertanyaan tersebut. Wanita itu tetap diam hingga Satriyo beranjak dan merebahkan tubuh di ranjang. Manda menyusul. "Mas?" Satriyo yang memejamkan mata hanya berdehem menjawab. Hatinya mendadak tidak nyaman dan panas ketika t
Semakin hari sikap Satriyo semakin dingin. Intensitas kepulangannya ke rumah pun semakin jarang. Sebagai wanita yang sudah puluhan tahun mendampinginya, Manda tentu hapal perubahan sikap sang suami. Begitu juga Langit dan Pelangi. Keduanya seolah kehilangan figur seorang papi akhir-akhir ini. Terlebih saat keduanya sering memergoki Manda melamun seorang diri dan bahkan menangis. Seperti pagi ini, Langit yang baru pulang dari mengantar Pelangi ke sekolah menemukan sang mami terdiam di sudut teras belakang. Wanita itu kepergok menyusut sisa air mata di pipi ketika mendengar Langit memnaggilnya. "Mami sudah sarapan?" tanya Langit berusaha tidak melihat mata merah sang mami. Manda melengos dan berpura-pura tengah menyusun tumpukkan novel di sampingnya. Sebenarnya bukan itu yang hendak ditanyakan Langit. Namun dia tidak akan kuat melihat maminya semakin sedih ketika dia menanyakan tentang sang papi. "Kamu nggak ke kampus?" tanya Manda menoleh dan mengikuti Langit yang ke ruang makan.
Sebulan berlalu. Janice membaik dengan cepat. Sikapnya tetap baik dan manis di depan semua orang. Kini dia tidak lagi bekerja di butik. Janice dan Satriyo memutuskan untuk menjual saja butiknya dan menggunakan uangnya untuk meneruskan kuliah Janice yang sempat tertunda. Wanita itu hanya sesekali menerima tawaran design pakaian dan dibayar kemudian. Janice senang melakukannya. Di rumah, Janice banyak belajar pada Manda. Mengurus rumah, memasak, membuat kue, merawat tanaman, hingga membuat sulaman. Manda pun dengan senang hati mengajarinya. Selama sebulan ini Janice bersikap baik padanya. Bahkan Janice lah yanh selalu menyediakan obat terapi untuk Manda. Satriyo pun senang melihat keakraban keduanya. Meski sempay terbersit ragu rumah tangganya akan baik-baik saja dengan dua istri dalam satu rumah. Namun semua tertepis saat melihat kedamaian keduanya. "Kalau terlihat baik-baik saja, berati ada yang disembunyikan.""Nggak akan baik-baik saja perasa
Tengah malam Satriyo mengajak Langit kembali ke Rumah Sakit. Kasihan Manda jika harus menunggu Janice sendirian. Di mobil, mereka berdua tak banyak bicara. Satriyo diam dengan pikiran yang penuh dan Langit fokus menyetir. Di Rumah Sakit, Manda baru saja melapor, Janice siuman. Kali iji wanita yang baru saja kehilangan bayinya itu tidak histeris lagi. Dia hanya menangis sesenggukkan merasa kehilangan. "Aku jahat, ya?" tanyanya pelan ketika dokter selesai memeriksanya. Tali pengikatnya sudah dilepas. Janice lebih tenang sekarang. "Nggak, kok. Allah punya rencana lain. Itu saja!" jawab Manda lembut dan mengusap lengan madunya. Janice semakin terisak. "Kenapa Mbak baik banget sama aku?"Manda menghela napas panjang dan tersenyum. "Karena aku juga wanita. Sama sepertimu!""Tapi aku nggak pernah mikir perasaan Mbak sedikit pun.""Hanya belum."Janice terdiam. Diraihnya lengan Manda dan memeluknya. Manda mendekat,
Menjelang tengah malam Janice siuman. Dia langsung menjerit ketika meraba perutnya yang kini rata. Manda memeluk dan menghiburnya. Wanita itu nyaris kewalahan karena Janice terus meronta dan menjerit histeris. Sementara Satriyo belum juga pulang. "Mana anakku?" gumam Janice lemah setelah dokter kembali membiusnya. Suster memasang tali pengaman agar Janice tidak menyakiti dirinya sendiri dan membuat tim dokter kewalahan. Apalagi Manda yang kini harus ditangani serius karena dicakar Janice di beberapa tempat. "Kalau dia sadar, segera panggil kami!"Manda hanya mengangguk patuh. Lantas kembali menatap Janice yang tertidur. Wajahnya semakin pucat dengan rambut berantakkan. "Bagaimana ya rasanya kehilangan anak?" Manda mengusap perutnya sendiri. Seolah di sana sesosok malaikat kecil pernah hadir dan kemudian pergi. "Pasti menyenangkan ya merasakan gerakkan mereka setiap saat?" Air mata Manda mengalir pelan. Dia mengusap
Satriyo diam menatap Janice yang belum juga siuman. Kata dokter detak jantungnya semakin lemah, termasuk bayi yang dikandungnya. Tim dokter tinggal menunggu persetujuan Satriyo untuk mengambil janinnya. Janin yang belum sempat melihat dunia tidak akan selamat. "Kenapa kamu tega?" ucap Satriyo pelan. Diusapnya punggung tangan Janice yang pucat. Seorang perawat mendatangi Satriyo untuk menandatangani beberapa dokumen terkait operasi dadakan Janice serta memberitahu sejumlah uang yang harus dia bayarkan. "Ini nggak salah, Bu?" tanya Satriyo tidak percaya ketika melihat jumlah nominal yang harus dia bayar. Petugas Rumah Sakit itu menggeleng dan tersenyum. "Ini perawatan terbaik, Pak. Lagipula ini juga tindakan beresiko yang kami ambil."Satriyo diam. Ditatapnya sejumlah digit angka biaya Rumah Sakit Janice. Lelaki itu mengurut kening. Diingatnya sejumlah uang di ATM yang bahkan tidak mencapai seperempat dari biaya yang harus dia bayar. Me
"Ampun, Mas!" Janice menjerit dan bersimpuh di bawah kaki Satriyo. Dia memeluk kaki Satriyo erat dan meraung-raung. Satriyo mengepalkan tangan, meredam emosinya yang memuncak. "Dia anak siapa?" Pertanyaan Satriyo tanpa jawaban. Janice masih terus menangis. Dengan kuat Satriyo mencengkeram bahu Janice, membuatnya berdiri tepat di depannya. Mata tajam dan berkilat Satriyo menatap Janice yang menangis. "Dia anak Dave, kan?"Janice sesenggukkan dan menggeleng lemah. "JAWAB JANICE!"Janice terpekik ketika Satriyo menghentakkan tubuhnya hingga jatuh terduduk di lantai. Dengan cepat dia merangkak dan memeluk kaki Satriyo lagi. Satriyo menepisnya dengan kaki. Sialnya hentakkan kecil kakinya mengenai wajah Janice. Wanita itu menjerit kesakitan. Satriyo sempat menatapnya sekilas, tapi kemudian acuh dan meninggalkan Janice ke kamar. "Mas?"Janice bangkit, berusaha mengejar Satriyo ke kamar. Dilihatnya Satriyo yang men
Satriyo tidak fokus saat meeting sedang berlangsung. Pikirannya tetap pada Janice dan Dave yang terlihat aneh. Satriyo memang tidak sepenuhnya mengenal keluarga istri mudanya itu. Dia hanya tahu papa Janice bercerai dengan mamanya saat dia masih duduk di bangku TK. Keduanya berpisah. Papa Janice menetap di Rusia dan mamanya tingga di Indonesia bersama dirinya. Hubungan kurang akrab antar mama dan anak membuat Janice kecil sudah biasa hidup mandiri. Apalagi papany selalu mengirim uang banyak untuknya hidup. Sekali lagi Satriyo mengingat rupa Dave yang memang agak sedikit bule. Hidung mancung dan kulit putih bersih. Tidak mirip memang, tapi itu bukan berati dia bohong. Satriyo lantas teringat pertemuan pertamanya dengan Dave. Semua pembicaraannya saat itu terekam jelas. Dave yang menyarankan dia untuk pisah rumah saja. Selesai meeting Satriyo berniat langsung pulang. Namun diurungkan ketika dilihatnya Langit duduk di kursi ruang kerjanya. Anak bujangnya itu tengah
Dave mengulurkan tangan, mengajak Satriyo yang masih bengong untuk bersalaman. "Saya Dave! Keponakan Janice!" ucapnya sembari menoleh pada Janice yang menggigit bibir. "Kita sama-sama besar di Rusia. Saya baru pulang tiga bulan lalu. Kenapa saya nggak datang di pernikahan kalian? Ya ... saya nggak diundang."Janice menggaruk kepala dan menunduk, seolah menghindari tatapan Satriyo. "Kok kamu nggak pernah cerita?" tanya Satriyo pada Janice. "Ehm ... dia rival-ku dari kecil. Kita sering berantem!"Dave mengangguk dan tersenyum. Satriyo tetap memperhatikan keduanya dengan seksama. Hingga kemudian Janice pamit menyiapkan makan siang untuk mereka. "Maaf, kalau kemarin aku nggak ngenalin diri. Ya ... itung-itunf biar kami penasaran," ucap Dave di tengah santap siang. Satriyo hanya mengangguk dan tersenyum. Selesai makan Satriyo pamit mandi karena harus menghadiri rapat di kampus. Janice hanya mengangguk sembari memberesi b
Satriyo masuk tanpa mengucap salam. Dilihatnya Langit dan Pelangi yang tengah menonton televisi. Keduanya hanya melirik sekilas. Dengan cepat Satriyo menemukan dompet dan memeriksa isinya. Lantas keluar kamar lagi. "Nggak mau makan dulu, Mas?"Langkah Satriyo terhenti. Ditatapnya Manda yang menyiapkan sarapan di meja makan. Air liurnya mendadak membanjir menhirup aroma masakan yang sepertinya lezat. "Mas belum sarapan, kan?" Manda menarik salah satu kursi, mempersilahkan Satriyo duduk. Merasa perlu menghargai Manda dan perutnya yang memang keroncongan, Satriyo memutuskan untuk duduk menghadap makanan di meja. "Mereka nggak sarapan?" tanya Satriyo menoleh ke arah kedua anaknya. Manda menggeleng. "Sudah tadi."Satriyo makan dengan lahap. Sementara Manda tak henti menatapnya. Lelaki yang dulu bersih terawat kini mulai menampakkan perubahannya. Rambut gondrong yang nyaris tak tersentuh perawatan, kulit yang sedikit gelap dan kasa
"Bisa-bisanya kamu nyalahin aku atas salah yang kamu lakuin sendiri?"Satriyo mengerutkan kening saat Manda tiba-tiba angkat bicara. Nada suara wanita itu tak kalah tinggi dengan Janice. "Lihat, Mas! Istri yang kamu anggap polos, nyatanya juga ....""Sudah! Kamu di dalam saja!" Satriyo mendorong tubuh Janice pelan untuk memasuki kamar, sementara dia berjalan mendekati Manda yang masis berdiri di dapur, di depan potongan kentang yang belum juga selesai. "Manda?""Mas mau bela dia juga?"Satriyo diam. "Aku pikir, aku udah salah kasih keputusan membiarkan kalian tinggal di sini!"Manda menoleh, menatap Satriyo dengan lekat. "Oh, keputusan tersalahku adalah merestui pernikahan kalian!"Satriyo mendongak, menatap mana Manda yang berair. Tidak seperti biasanya, mata itu kali ini penuh kekecewaan. Tidak seperti biasanya yang lemah dan butuh teman. "Aku capek mengalah, Mas ...."