"Pi, ada telepon, nih!" Langit mengulurkan ponsel yang masih menyala karena panggilan telepon masuk. "Dari siapa?" tanya Satriyo mengelap tangan setelah mencucinya. Dia berjalan ke arah Langit. "Ehm, Damar."Bola mata Satriyo terbuka lebih lebar. Dengan cepat diambilnya ponsel dari tangan Langit dan segera membawanya pergi. Mendadak jantungnya berdebar hebat. Sesuatu yang dia khawatirkan mungkin saja terjadi. Sementara Langit hanya menaikkan bahu saat Manda menatapnya seolah bertanya, siapa?"Kok telpon, sih? Kan Mas bilang nanti aja!" ucap Satriyo pelan dan sedikit berbisik setelah agak menjauh. "Aku kangen, Mas," jawab suara lembut dan mendayu di seberang sana. Suara yang sukses membuat dada Satriyo semakin berdebar."Kamu ngertiin posisi aku, dong!" ucap Satriyo lagi sedikit menekankan suaranya. "Mas kapan ngerti posisi aku?" Suara lemah Janice membuat Satriyo menghela napas panjang.Satriyo terdiam. Dia terlihat gelisah dan melirik ke dalam rumah. Dari lorong rumah dia bisa m
"Janice?" panggil Clara—sahabat wanita seksi itu—dari teras rumah. Pemilik rumah yang tengah duduk santai di sofa ruang tamu segera membukakan pintu. Clara masuk, mengibas-ngibaskan rambutnya yang basah karena kehujanan. Gadis 23 tahun itu langsung menarik sang sahabat untuk kembali duduk dan menatapnya dengan lekat. "Kamu beneran pacaran sama Pak Satriyo?"Janice mengerutkan kening. "Apa, sih?""Pak Satriyo dosen Bahasa Indonesia kita itu, lho. Kamu pacaran sama dia?" tanya Clara antusias. Janice hanya tertawa kecil. "Jawab, Nice!""Kamu tahu darimana?" Janice balik bertanya. Dia bangkit dan menuju dapur, mengambil minum. Tak sabar dan tak puas hanya mendengar, Clara membuntutinya. "Jadi ... beneran?"Janice mengerling dan tersenyum. "Kasih tahu nggak, ya?""JANICE!" bentak Clara mulai emosi. Tanpa menunggu segelas air dari Janice, Clara sudah meneguk air dari teko di sampingnya. "Kok bisa, sih?" "Apanya?" Janice mengulurkam segelas air pada Clara yang langsung diletakkan di sam
Satriyo merebahkan badan di ranjang bersprei motif bunga-bunga. Matanya berkilau menatap keindahan di depannya. Satu persatu apa yang dikenakan Janice dilepas dan dibiarkan jatuh di lantai. Menyisakan pakaian dalam saja. Wanita itu tersenyum menggoda dan meliukkan tubuhnya untuk menggoda. Satriyo gemas. Ditariknya pinggang langsing Janice dalam dekapan. Mereka saling menyalurkan kehangatan yang lama dipendam cukup lama. Seolah sudah memendam kerinduan cukup lama. Desah napas yang memburu dan jeritan kecil mewarnai kamar dengan pencahayaan syahdu milik Janice. Erangan kecil dari bibir seksi Janice memacu semangat Satriyo untuk terus menuju puncak. Jemari lentik Janice menggaruk punggung Satriyo sebagai pelampiasan hasratnya yang menggebu. Erangan panjang beradu dari mulut Satriyo dan Janice. Keduanya berpelukam erat setelah mencapai puncak. Mereka terengah-engah dan jatuh terkapar di ranjang yang berkeringat. Kenikmatan untuk kesekian kalinya yang mereka raih berdua. Kenikmatan yang
Satriyo mengerutkan kening ketika mendapati Manda yang belum tidur. Wanita itu duduk termangu menatap wajahnya di cermin. Jemarinya perlahan menyisir rambut hitamnya yang semakin tipis.l. Satriyo bergidik menatap sisir yang penuh dengan rambut. "Dari mana, Mas?" tanya Manda pelan. Satriyo melirik sekilas sembari meletakkan kunci mobil dan ponsel di meja. "Rumah temen.""Perempuan?"Satriyo terdiam. Lantas menghela napas panjang. "Temen kampus!"Manda menatap sang suami yang kini melepas pakaiannya dan meletakannya di keranjang baju kotor. "Akhir-akhir ini Mas jarang di rumah.""Kenapa memangnya?""Nggak biasanya.""Hhh, aku kan sibuk. Kamu pikir aku ngapain?"Manda terdiam. Perlahan dia menunduk menghindari tatapan tajam Satriyo yang seolah tidak suka diberi pertanyaan tersebut. Wanita itu tetap diam hingga Satriyo beranjak dan merebahkan tubuh di ranjang. Manda menyusul. "Mas?" Satriyo yang memejamkan mata hanya berdehem menjawab. Hatinya mendadak tidak nyaman dan panas ketika t
Semakin hari sikap Satriyo semakin dingin. Intensitas kepulangannya ke rumah pun semakin jarang. Sebagai wanita yang sudah puluhan tahun mendampinginya, Manda tentu hapal perubahan sikap sang suami. Begitu juga Langit dan Pelangi. Keduanya seolah kehilangan figur seorang papi akhir-akhir ini. Terlebih saat keduanya sering memergoki Manda melamun seorang diri dan bahkan menangis. Seperti pagi ini, Langit yang baru pulang dari mengantar Pelangi ke sekolah menemukan sang mami terdiam di sudut teras belakang. Wanita itu kepergok menyusut sisa air mata di pipi ketika mendengar Langit memnaggilnya. "Mami sudah sarapan?" tanya Langit berusaha tidak melihat mata merah sang mami. Manda melengos dan berpura-pura tengah menyusun tumpukkan novel di sampingnya. Sebenarnya bukan itu yang hendak ditanyakan Langit. Namun dia tidak akan kuat melihat maminya semakin sedih ketika dia menanyakan tentang sang papi. "Kamu nggak ke kampus?" tanya Manda menoleh dan mengikuti Langit yang ke ruang makan.
Pagi-pagi sekali Manda sudah terbangun. Keringatnya membanjiri seluruh tubuh. Padahal Satriyo menyalakan AC di sepanjang malam. "Mas ...," panggil Manda pelan, nyaris tak terdengar. Sekuat tenaga dia berusaha bangun dari ranjang. Niat awal yang hendak memanggil Satriyo, kini berganti menjadi permintaan tolong. "Tolong ...."Prang!Jemari Manda yang berusaha menggapai meja dan berpegangan, justru menyenggol segelas air di atas meja. Benda itu jatuh ke lantai dan pecah. "Mami?" Pelangi yang tiba-tiba sudah masuk kamar langsung menubruk tubuh Manda dan panik. "Abang! Tolong!" teriak gadis SMA itu meminta pertolongan pada sang abang. Langit yang baru saja bangun setelah tidur selepas subuh sontak bangkit dan segera menghambur keluar kamar. Lelaki itu langsung membantu Pelangi memapah sang mami kembali ke ranjang. "Badan mami dingin banget, Bang," ucap Pelangi pelan dan khawatir. Gadis itu mulai menangis. "Ayo, bawa Mami ke Rumah Sakit!"Langit membopong sang mami keluar kamar. "M
10. Dia siapa pi?Satriyo melajukan mobilnya pelan meninggalkan area parkir Rumah Sakit. Dia memutuskan pulang saja menjelang makan siang. Lagipula dia tidak terlalu kenal dengan teman Janice yang tengah terbaring sakit di Rumah Sakit. Lelaki itu pulang dengan membawa kenangan manis bersama Janice sepagi tadi, serta mencoba membuang pikiran buruk yang terus dia bawa karena Manda. Ya, masih jelas dalam ingatannya bagaimana wajah pucat dan berkeringat Manda saat tubuh atletisnya menindih tubuh sang istri. Belum juga mendekati puncak kenikmatan, wanita itu sudah menyerah. Tidak, tapi Satriyo yang memilih menyudahinya. Saat melintasi area parkir khusus sepeda motor, mata Satriyo terpaku pada sepeda motor yang terparkir paling tepi, dekat jalan. Dia mengernyit, merasa mengenali sepeda motor sport dengan gaya dan cat unik itu. Satriyo berniat berhenti untuk memastikan, tapi saat dilihatnya pengendara lain sudah menunggu, dia urungkan niat. Sesampainya di rumah
11 cukup langit yang tahu"Ehm, kamu duluan aja, ya!" Satriyo mencoba tersenyum ke arah Janice seolah memberi kode padanya untuk pergi. Sementara Langit masih mematung memperhatikan sang papi dengan wanita yang sempat dilihatnya tadi pagi. Wanita yang terasa tidak asing baginya. "Ehm, aku boleh kan, Mas, jenguk istri kamu?" ucap Janice lembut dan memegang lengan Satriyo. Satriyo terdiam dan salah tingkah. Dia berusaha menepis tangan Janice dan menatap Langit. Lelaki itu tersenyum kaku. "Udah sembuh, kok. Kamu pulang aja!"Kali ini Satriyo menepis lengan Janice lebih kuat. Bahkan dia juga mendorong tubuh Janice. Bukannya pergi, wanita itu justru semakin menempel pada Satriyo. Langit celingukan dan salah tingkah sendiri. "Pi, aku tunggu di kamar mami!"Tanpa menunggu persetujuan papinya, Langit langsung bergegas pergi. "Janice!"Janice tersentak. Dia menatap Satriyo dengan sayu. "Kamu tahu