11 cukup langit yang tahu
"Ehm, kamu duluan aja, ya!"Satriyo mencoba tersenyum ke arah Janice seolah memberi kode padanya untuk pergi. Sementara Langit masih mematung memperhatikan sang papi dengan wanita yang sempat dilihatnya tadi pagi. Wanita yang terasa tidak asing baginya."Ehm, aku boleh kan, Mas, jenguk istri kamu?" ucap Janice lembut dan memegang lengan Satriyo. Satriyo terdiam dan salah tingkah. Dia berusaha menepis tangan Janice dan menatap Langit. Lelaki itu tersenyum kaku."Udah sembuh, kok. Kamu pulang aja!"Kali ini Satriyo menepis lengan Janice lebih kuat. Bahkan dia juga mendorong tubuh Janice. Bukannya pergi, wanita itu justru semakin menempel pada Satriyo. Langit celingukan dan salah tingkah sendiri."Pi, aku tunggu di kamar mami!"Tanpa menunggu persetujuan papinya, Langit langsung bergegas pergi."Janice!"Janice tersentak. Dia menatap Satriyo dengan sayu."Kamu tahuLangit sampai rumah hampir tengah malam. Tenggorokannya serak dan sakit akibat terlalu banyak berteriak dan menangis. Lelaki itu berharap tidak bertemu sang mami yang mungkin akan curiga. Atau pun Pelangi yang pasti akan mengintrogasinya. Nyatanya, sampai rumah Langit disambut papinya yang duduk di teras. Satriyo sengaja menunggunya. "Dari mana?" tanya Satriyo berusaha selembut mungkin. Yang ditanya hanya diam dan memasuki rumah dengan cuek. Langit sengaja melepas helm dan memperlihatkan wajah sembabnya di depan sang papi. Satriyo diam ketika tahu bagaimana keadaan wajah sang putra. Lelaki itu hanya menghela napas panjang. Pertanyaannya tanpa jawaban. "Dari mana? Terserah saya!" jawab Langit akhirnya setelah meletakkam helm. Langit lantas berlalu. Meninggalkan Satriyo yang menghela napas panjang. Di kamar, Langit duduk diam di tepi ranjang. Sesaknya kembali terasa ketika saat memasuki rumah dia tak sengaja melihat kamar maminya. Daun pintu yang sedikit terbuka membuat Langit bisa
"Papi nggak denger ya pas Pelangi panggil tadi?" Satriyo yang tengah menyesap kopi menoleh. Juga Manda yang duduk di samping Satriyo, menonton televisi. Langit yang duduk di samping Pelangi hanya diam dan fokus pada layar ponsel. "Di mana? Kapan?" tanya Satriyo menatap Pelangi dengan modul sekolahnya yang terbuka. Yang ditatap lantas mendongak dan berpikir sejenak. "Tadi siang pas jam Pelangi pulang. Papi keluar dari rumah cat warna merah muda, kan?" tanya Pelangi melanjutkan. Wajah Satriyo mendadak pias. Dia celingukan dan salah tingkah. Dia melirik Manda yang terlihat bingung. Sementara Langit hanya tersenyum sinis ketika meliriknya. "Oh, papi ... papi nggak tahu, Nak," jawab Satriyo gelagapan. "Ehm ... kamu kurang kuat manggil kayaknya. Papi nggak dengar!" lanjut Satriyo berusaha setenang mungkin. Pelangi hanya berdehem dan mengangguk lantas melanjutkan membaca modulnya. "Papi punya temen di sekitar sekola
Manda masih diam dengan tangan yang dibiarkan terbuka. Di telapak tangan itu terdapat lipstick yang sudah patah. Benda yang sudah bertahun-tahun tidak dia pakai. Benda yang teronggok begitu saja bersama deretan botol alat kecantikan yang sebagian sudah berdebu. Botol yang kini digantikan dengan botol minyak urut, minyak aromaterapi, dan botol obat. "Aku memang istri yang tidak berguna!"Perlahan Manda menggoreskan sisa lipstick ke cermin. Dia menggurat nama Satriyo di sana. Semakin tulisan itu terbaca, hatinya semakin sakit. "Tidak! Siapa tahu itu memang dia beli untukku!"Tiba-tiba Manda tersenyum dan dengan cepat menghapus tulisan merah di cermin. Dia lantas memberesi semua benda di meja dan membersihkannya satu persatu. Sepagian itu Manda menyibukkan diri dengan memberesi kamar. Sprei diganti dengan yang lebih cerah, meja rias kembali rapi dan penuh dengan alat make-up baru, botol dan obat-obat dia letakkan di tas kecil dan dis
Satriyo menghela napas panjang menatap Manda yang terlelap di ranjang. Istrinya itu tanpa selembar pakaian pun. Meski tertidur nyenyak, napasnya tetap tersengal dan sedikit payah. Kulitnya juga semakin pucat. AC yang dimatikan Satriyo membuatnya sedikit membaik. Sementara Satriyo terdiam dengan keringat membanjir. Malam itu Manda tampak menggairahkan, bagi siapapun. Namun tidak bagi Satriyo. Baginya Manda tetap lemah dan tidak akan kuat melayaninya seperti dulu. Seperti malam ini. Kejadian malam yang lalu—yang membuat Manda harus dirawat di Rumah Sakit—terulang kembali. Belum juga sampai di puncak, Manda sudah terkapar tak berdaya. Satriyo tidak punya pilihan lain selain membiarkan Manda beristirahat, meninggalkan dia yang sudah kadung di pucuk. Seperti biasa, Satriyo harus berkhayal tubuh indah Janice sembari memainkan miliknya sendiri hingga mencapai puncak. Atau dia akan pening sepanjang hari. Sebatang rokok disulut. Asapnya dikeluarkan melalui daun jende
Pelangi menunggu dengan gelisah. Berkali-kali dia mengecek ponsel, memastikan jika pesan yang dia kirim sudah benar. Dia juga membaca ulang tempat yang dia setujui bersama seseorang. "Udah lama, ya?"Pelangi menoleh. Janice tersenyum dan langsung duduk di depannya. Pelangi memperhatikannya dari ujung kepala hingga ujung kaki. Janice mengenakan terusana melar siang itu. Terusan yang hanya sepanjang setengah paha itu memang terlihat sangat cocok di tubuh semampai dan kulit putihnya. Ya, meski terlalu terbuka bagi Pelangi. "Pelangi, kan, ya?"Pelangi mengangguk cepat. Dia hanya menatap Janice yang memperhatikan sekelilingnya. Seolah mencari seseorang. "Kamu ... sendirian?"Pelangi kembali mengangguk. Dia menyesap jus alpukatnya yang tinggal separuh. Bukan karena haus, tapi karena gugup dan perasaan yang sudah campur aduk menjadi satu. "Mau ngomong apa emangnya?" tanya Janice
"Bisa-bisanya ya anak kamu kurang ajar ke aku!"Satriyo yang baru saja memasuki rumah Janice tercenung. Dia meletakkan tas dan melepas jasnya. "Dia berani nemuin aku. Ngatain aku rendahan lah, wanita murahan lah. Kurang ajar tau nggak!""Siapa yang nemuin kamu?"Janice menoleh. Ditatapnya Satriyo yang tampak lelah. Lelaki itu meneguk setengah air di gelas, sisanya tadi pagi. "Pelangi."Satriyo terkejut. Air yang diminumnya tersembur keluar. "Kok bisa nemuin kamu?""Dia chat aku. Nggak tahu dapet nomorku darimana."Satriyo terdiam. Dia mengurut pelipisnya pelan. "Ngomong apa dia?""Dia minta aku ninggalin aku, Mas."Janice mendekat, ikut duduk di sofa, menempel pada Satriyo. "Mas nggak akan ninggalin aku, kan?" tanya Janice dengan wajah memelas. Satriyo hanya menghela napas panjang. "Aku kan sudah bilang, jangan terlalu keliatan. Ini jadinya. Iji baru Pelangi, bagaimana kal
Manda meremas kemeja kotor yang baru saja diletakkan Satriyo di keranjang baju kotor. Lelaki itu tengah mandi, sementara Manda tadi pamit akan menyiapkan makan malam. Mata Manda mendadak perih. Tanpa mendekatkan kemeja itu pun hidung Manda sudah tahu jika itu adalah aroma parfum yang berbeda dari parfum Satriyo di rumah. Dan jelas itu adalah parfum wanita.Dengan tangan yang sedikit gemetar, Manda meletakkan kembali kemaja ke keranjang ketika didengarnya Satriyo sudah selesai mandi. Wanita itu lantas duduk di tepi ranjang, menanti Satriyo. Manda terdiam menatap dirinya sendiri. Daster putih panjang dan sweater rajut yang dikenakannya mirip dengan pakaian orang jaman dahulu di film horor. Belum lagi rambut lepek dan apeknya yang dibiarkan disanggul berantakkan. Manda tersenyum getir. "Katanya mau makan?" tanya Satriyo membuka lemari dan megambil piyamanya. Manda tersenyum. "Nunggu kamu, Mas.""Kamu istirahat aja. Biar aku makan sendiri. Inu udah
"Gitu aja pingsan!" Janice melenggang pergi setelah Langit membawa Manda ke mobil maminya di garasi. Lelaki itu panik. "Bang?"Pelangi yang baru pulang sekolah langsung membantu Langit membawa mami mereka ke dalam mobil. Sempat dilihatnya Janice keluar dari pinti rumah mereka. Namun Pelangi lebih memilih menemani maminya ke Rumah Sakit. Kedunya lantas meninggalkan rumah. Meninggalkan Janice yang masih mematung di teras, menyaksikan mereka pergi. Mobil yang dibawa Langit berpapasan dengan mobil Satriyo yang memasuki halaman rumah. Mereka sempat bertatapan. Namun Langit memilih diam saja dan lagsung tancap gas. Sementara Satriyo mengerutkan kening melihat mobil Janice ada di halaman rumahnya. Dengan cepat dia turun. "Mas?"Janice tersenyum dan melangkah cepat untuk menyongsong kedatangan Satriyo. "Ngapain kamu ke sini?" tanya Satriyo penuh selidik. Janice hanya tersenyum dan bersiap memeluk Satriyo. Namun le
Sebulan berlalu. Janice membaik dengan cepat. Sikapnya tetap baik dan manis di depan semua orang. Kini dia tidak lagi bekerja di butik. Janice dan Satriyo memutuskan untuk menjual saja butiknya dan menggunakan uangnya untuk meneruskan kuliah Janice yang sempat tertunda. Wanita itu hanya sesekali menerima tawaran design pakaian dan dibayar kemudian. Janice senang melakukannya. Di rumah, Janice banyak belajar pada Manda. Mengurus rumah, memasak, membuat kue, merawat tanaman, hingga membuat sulaman. Manda pun dengan senang hati mengajarinya. Selama sebulan ini Janice bersikap baik padanya. Bahkan Janice lah yanh selalu menyediakan obat terapi untuk Manda. Satriyo pun senang melihat keakraban keduanya. Meski sempay terbersit ragu rumah tangganya akan baik-baik saja dengan dua istri dalam satu rumah. Namun semua tertepis saat melihat kedamaian keduanya. "Kalau terlihat baik-baik saja, berati ada yang disembunyikan.""Nggak akan baik-baik saja perasa
Tengah malam Satriyo mengajak Langit kembali ke Rumah Sakit. Kasihan Manda jika harus menunggu Janice sendirian. Di mobil, mereka berdua tak banyak bicara. Satriyo diam dengan pikiran yang penuh dan Langit fokus menyetir. Di Rumah Sakit, Manda baru saja melapor, Janice siuman. Kali iji wanita yang baru saja kehilangan bayinya itu tidak histeris lagi. Dia hanya menangis sesenggukkan merasa kehilangan. "Aku jahat, ya?" tanyanya pelan ketika dokter selesai memeriksanya. Tali pengikatnya sudah dilepas. Janice lebih tenang sekarang. "Nggak, kok. Allah punya rencana lain. Itu saja!" jawab Manda lembut dan mengusap lengan madunya. Janice semakin terisak. "Kenapa Mbak baik banget sama aku?"Manda menghela napas panjang dan tersenyum. "Karena aku juga wanita. Sama sepertimu!""Tapi aku nggak pernah mikir perasaan Mbak sedikit pun.""Hanya belum."Janice terdiam. Diraihnya lengan Manda dan memeluknya. Manda mendekat,
Menjelang tengah malam Janice siuman. Dia langsung menjerit ketika meraba perutnya yang kini rata. Manda memeluk dan menghiburnya. Wanita itu nyaris kewalahan karena Janice terus meronta dan menjerit histeris. Sementara Satriyo belum juga pulang. "Mana anakku?" gumam Janice lemah setelah dokter kembali membiusnya. Suster memasang tali pengaman agar Janice tidak menyakiti dirinya sendiri dan membuat tim dokter kewalahan. Apalagi Manda yang kini harus ditangani serius karena dicakar Janice di beberapa tempat. "Kalau dia sadar, segera panggil kami!"Manda hanya mengangguk patuh. Lantas kembali menatap Janice yang tertidur. Wajahnya semakin pucat dengan rambut berantakkan. "Bagaimana ya rasanya kehilangan anak?" Manda mengusap perutnya sendiri. Seolah di sana sesosok malaikat kecil pernah hadir dan kemudian pergi. "Pasti menyenangkan ya merasakan gerakkan mereka setiap saat?" Air mata Manda mengalir pelan. Dia mengusap
Satriyo diam menatap Janice yang belum juga siuman. Kata dokter detak jantungnya semakin lemah, termasuk bayi yang dikandungnya. Tim dokter tinggal menunggu persetujuan Satriyo untuk mengambil janinnya. Janin yang belum sempat melihat dunia tidak akan selamat. "Kenapa kamu tega?" ucap Satriyo pelan. Diusapnya punggung tangan Janice yang pucat. Seorang perawat mendatangi Satriyo untuk menandatangani beberapa dokumen terkait operasi dadakan Janice serta memberitahu sejumlah uang yang harus dia bayarkan. "Ini nggak salah, Bu?" tanya Satriyo tidak percaya ketika melihat jumlah nominal yang harus dia bayar. Petugas Rumah Sakit itu menggeleng dan tersenyum. "Ini perawatan terbaik, Pak. Lagipula ini juga tindakan beresiko yang kami ambil."Satriyo diam. Ditatapnya sejumlah digit angka biaya Rumah Sakit Janice. Lelaki itu mengurut kening. Diingatnya sejumlah uang di ATM yang bahkan tidak mencapai seperempat dari biaya yang harus dia bayar. Me
"Ampun, Mas!" Janice menjerit dan bersimpuh di bawah kaki Satriyo. Dia memeluk kaki Satriyo erat dan meraung-raung. Satriyo mengepalkan tangan, meredam emosinya yang memuncak. "Dia anak siapa?" Pertanyaan Satriyo tanpa jawaban. Janice masih terus menangis. Dengan kuat Satriyo mencengkeram bahu Janice, membuatnya berdiri tepat di depannya. Mata tajam dan berkilat Satriyo menatap Janice yang menangis. "Dia anak Dave, kan?"Janice sesenggukkan dan menggeleng lemah. "JAWAB JANICE!"Janice terpekik ketika Satriyo menghentakkan tubuhnya hingga jatuh terduduk di lantai. Dengan cepat dia merangkak dan memeluk kaki Satriyo lagi. Satriyo menepisnya dengan kaki. Sialnya hentakkan kecil kakinya mengenai wajah Janice. Wanita itu menjerit kesakitan. Satriyo sempat menatapnya sekilas, tapi kemudian acuh dan meninggalkan Janice ke kamar. "Mas?"Janice bangkit, berusaha mengejar Satriyo ke kamar. Dilihatnya Satriyo yang men
Satriyo tidak fokus saat meeting sedang berlangsung. Pikirannya tetap pada Janice dan Dave yang terlihat aneh. Satriyo memang tidak sepenuhnya mengenal keluarga istri mudanya itu. Dia hanya tahu papa Janice bercerai dengan mamanya saat dia masih duduk di bangku TK. Keduanya berpisah. Papa Janice menetap di Rusia dan mamanya tingga di Indonesia bersama dirinya. Hubungan kurang akrab antar mama dan anak membuat Janice kecil sudah biasa hidup mandiri. Apalagi papany selalu mengirim uang banyak untuknya hidup. Sekali lagi Satriyo mengingat rupa Dave yang memang agak sedikit bule. Hidung mancung dan kulit putih bersih. Tidak mirip memang, tapi itu bukan berati dia bohong. Satriyo lantas teringat pertemuan pertamanya dengan Dave. Semua pembicaraannya saat itu terekam jelas. Dave yang menyarankan dia untuk pisah rumah saja. Selesai meeting Satriyo berniat langsung pulang. Namun diurungkan ketika dilihatnya Langit duduk di kursi ruang kerjanya. Anak bujangnya itu tengah
Dave mengulurkan tangan, mengajak Satriyo yang masih bengong untuk bersalaman. "Saya Dave! Keponakan Janice!" ucapnya sembari menoleh pada Janice yang menggigit bibir. "Kita sama-sama besar di Rusia. Saya baru pulang tiga bulan lalu. Kenapa saya nggak datang di pernikahan kalian? Ya ... saya nggak diundang."Janice menggaruk kepala dan menunduk, seolah menghindari tatapan Satriyo. "Kok kamu nggak pernah cerita?" tanya Satriyo pada Janice. "Ehm ... dia rival-ku dari kecil. Kita sering berantem!"Dave mengangguk dan tersenyum. Satriyo tetap memperhatikan keduanya dengan seksama. Hingga kemudian Janice pamit menyiapkan makan siang untuk mereka. "Maaf, kalau kemarin aku nggak ngenalin diri. Ya ... itung-itunf biar kami penasaran," ucap Dave di tengah santap siang. Satriyo hanya mengangguk dan tersenyum. Selesai makan Satriyo pamit mandi karena harus menghadiri rapat di kampus. Janice hanya mengangguk sembari memberesi b
Satriyo masuk tanpa mengucap salam. Dilihatnya Langit dan Pelangi yang tengah menonton televisi. Keduanya hanya melirik sekilas. Dengan cepat Satriyo menemukan dompet dan memeriksa isinya. Lantas keluar kamar lagi. "Nggak mau makan dulu, Mas?"Langkah Satriyo terhenti. Ditatapnya Manda yang menyiapkan sarapan di meja makan. Air liurnya mendadak membanjir menhirup aroma masakan yang sepertinya lezat. "Mas belum sarapan, kan?" Manda menarik salah satu kursi, mempersilahkan Satriyo duduk. Merasa perlu menghargai Manda dan perutnya yang memang keroncongan, Satriyo memutuskan untuk duduk menghadap makanan di meja. "Mereka nggak sarapan?" tanya Satriyo menoleh ke arah kedua anaknya. Manda menggeleng. "Sudah tadi."Satriyo makan dengan lahap. Sementara Manda tak henti menatapnya. Lelaki yang dulu bersih terawat kini mulai menampakkan perubahannya. Rambut gondrong yang nyaris tak tersentuh perawatan, kulit yang sedikit gelap dan kasa
"Bisa-bisanya kamu nyalahin aku atas salah yang kamu lakuin sendiri?"Satriyo mengerutkan kening saat Manda tiba-tiba angkat bicara. Nada suara wanita itu tak kalah tinggi dengan Janice. "Lihat, Mas! Istri yang kamu anggap polos, nyatanya juga ....""Sudah! Kamu di dalam saja!" Satriyo mendorong tubuh Janice pelan untuk memasuki kamar, sementara dia berjalan mendekati Manda yang masis berdiri di dapur, di depan potongan kentang yang belum juga selesai. "Manda?""Mas mau bela dia juga?"Satriyo diam. "Aku pikir, aku udah salah kasih keputusan membiarkan kalian tinggal di sini!"Manda menoleh, menatap Satriyo dengan lekat. "Oh, keputusan tersalahku adalah merestui pernikahan kalian!"Satriyo mendongak, menatap mana Manda yang berair. Tidak seperti biasanya, mata itu kali ini penuh kekecewaan. Tidak seperti biasanya yang lemah dan butuh teman. "Aku capek mengalah, Mas ...."