Satriyo menghela napas panjang menatap Manda yang terlelap di ranjang. Istrinya itu tanpa selembar pakaian pun. Meski tertidur nyenyak, napasnya tetap tersengal dan sedikit payah. Kulitnya juga semakin pucat. AC yang dimatikan Satriyo membuatnya sedikit membaik. Sementara Satriyo terdiam dengan keringat membanjir. Malam itu Manda tampak menggairahkan, bagi siapapun. Namun tidak bagi Satriyo. Baginya Manda tetap lemah dan tidak akan kuat melayaninya seperti dulu. Seperti malam ini. Kejadian malam yang lalu—yang membuat Manda harus dirawat di Rumah Sakit—terulang kembali. Belum juga sampai di puncak, Manda sudah terkapar tak berdaya. Satriyo tidak punya pilihan lain selain membiarkan Manda beristirahat, meninggalkan dia yang sudah kadung di pucuk. Seperti biasa, Satriyo harus berkhayal tubuh indah Janice sembari memainkan miliknya sendiri hingga mencapai puncak. Atau dia akan pening sepanjang hari. Sebatang rokok disulut. Asapnya dikeluarkan melalui daun jende
Pelangi menunggu dengan gelisah. Berkali-kali dia mengecek ponsel, memastikan jika pesan yang dia kirim sudah benar. Dia juga membaca ulang tempat yang dia setujui bersama seseorang. "Udah lama, ya?"Pelangi menoleh. Janice tersenyum dan langsung duduk di depannya. Pelangi memperhatikannya dari ujung kepala hingga ujung kaki. Janice mengenakan terusana melar siang itu. Terusan yang hanya sepanjang setengah paha itu memang terlihat sangat cocok di tubuh semampai dan kulit putihnya. Ya, meski terlalu terbuka bagi Pelangi. "Pelangi, kan, ya?"Pelangi mengangguk cepat. Dia hanya menatap Janice yang memperhatikan sekelilingnya. Seolah mencari seseorang. "Kamu ... sendirian?"Pelangi kembali mengangguk. Dia menyesap jus alpukatnya yang tinggal separuh. Bukan karena haus, tapi karena gugup dan perasaan yang sudah campur aduk menjadi satu. "Mau ngomong apa emangnya?" tanya Janice
"Bisa-bisanya ya anak kamu kurang ajar ke aku!"Satriyo yang baru saja memasuki rumah Janice tercenung. Dia meletakkan tas dan melepas jasnya. "Dia berani nemuin aku. Ngatain aku rendahan lah, wanita murahan lah. Kurang ajar tau nggak!""Siapa yang nemuin kamu?"Janice menoleh. Ditatapnya Satriyo yang tampak lelah. Lelaki itu meneguk setengah air di gelas, sisanya tadi pagi. "Pelangi."Satriyo terkejut. Air yang diminumnya tersembur keluar. "Kok bisa nemuin kamu?""Dia chat aku. Nggak tahu dapet nomorku darimana."Satriyo terdiam. Dia mengurut pelipisnya pelan. "Ngomong apa dia?""Dia minta aku ninggalin aku, Mas."Janice mendekat, ikut duduk di sofa, menempel pada Satriyo. "Mas nggak akan ninggalin aku, kan?" tanya Janice dengan wajah memelas. Satriyo hanya menghela napas panjang. "Aku kan sudah bilang, jangan terlalu keliatan. Ini jadinya. Iji baru Pelangi, bagaimana kal
Manda meremas kemeja kotor yang baru saja diletakkan Satriyo di keranjang baju kotor. Lelaki itu tengah mandi, sementara Manda tadi pamit akan menyiapkan makan malam. Mata Manda mendadak perih. Tanpa mendekatkan kemeja itu pun hidung Manda sudah tahu jika itu adalah aroma parfum yang berbeda dari parfum Satriyo di rumah. Dan jelas itu adalah parfum wanita.Dengan tangan yang sedikit gemetar, Manda meletakkan kembali kemaja ke keranjang ketika didengarnya Satriyo sudah selesai mandi. Wanita itu lantas duduk di tepi ranjang, menanti Satriyo. Manda terdiam menatap dirinya sendiri. Daster putih panjang dan sweater rajut yang dikenakannya mirip dengan pakaian orang jaman dahulu di film horor. Belum lagi rambut lepek dan apeknya yang dibiarkan disanggul berantakkan. Manda tersenyum getir. "Katanya mau makan?" tanya Satriyo membuka lemari dan megambil piyamanya. Manda tersenyum. "Nunggu kamu, Mas.""Kamu istirahat aja. Biar aku makan sendiri. Inu udah
"Gitu aja pingsan!" Janice melenggang pergi setelah Langit membawa Manda ke mobil maminya di garasi. Lelaki itu panik. "Bang?"Pelangi yang baru pulang sekolah langsung membantu Langit membawa mami mereka ke dalam mobil. Sempat dilihatnya Janice keluar dari pinti rumah mereka. Namun Pelangi lebih memilih menemani maminya ke Rumah Sakit. Kedunya lantas meninggalkan rumah. Meninggalkan Janice yang masih mematung di teras, menyaksikan mereka pergi. Mobil yang dibawa Langit berpapasan dengan mobil Satriyo yang memasuki halaman rumah. Mereka sempat bertatapan. Namun Langit memilih diam saja dan lagsung tancap gas. Sementara Satriyo mengerutkan kening melihat mobil Janice ada di halaman rumahnya. Dengan cepat dia turun. "Mas?"Janice tersenyum dan melangkah cepat untuk menyongsong kedatangan Satriyo. "Ngapain kamu ke sini?" tanya Satriyo penuh selidik. Janice hanya tersenyum dan bersiap memeluk Satriyo. Namun le
Langit pamit keluar untuk mencari makan. Satriyo seolah menemukan kesempatan. Dengan cepat dia memasuki ruangan di mana Manda dirawat. Dia menemukan Pelangi yang duduk diam menggenggam tangan Manda. Gadis itu menoleh saat pintu dibuka. Lantas melengos. Satriyo mendekat dengan ragu dan canggung. "Ehm, boleh papi ... papi mau bicara sama mami."Pelangi menghela napas panjang. "Nggak liat mami belum sadar?"Satriyo menelan ludah. Dia duduk di ranjang, dekat kaki Manda dengan pelan-pelan. "Nak ... Papi ...."Satriyo seolah kehabisan kata-kata. Tenggorokannya tercekat. "Papi ... Papi minta maaf, ya.""Untuk?"Satriyo menatap Pelangi yang tak menatapnya. "Semuanya. Papi tahu kalian pasti kecewa!"Pelangi diam. Perlahan dia melepas genggaman tangannya pada sang mami dan beralih menatap papinya. Mereka bersitatap. "Buat apa minta maaf kalau papi tidak tahu kesalahan papi sendiri!"Satriyo
Manda terengah-engah setelah tangannya berhasil melepas masker oksigen yang menutupi hidung dan mulutnya. Langit yang panik langsung memasangkannya lagi. Pemuda itu berteriak memanggil tim dokter. Sementara Satriyo masih diam. Dia tidak tahu apa yang harus dilakukan. Tim dokter yang datang langsung menangani Manda. Langit dan Satriyo diminta keluar. Keduanya berdiri panik di depan kamar Manda. "Kenapa, Bang?" Pelangi yang tiba-tiba sudah berdiri di samping Langit menatap abangnya dengan bingung. Lantas mencoba mengintip dari jendela, melihat keadaan maminya. "Bang ...." Tanpa menjawab pertanyaan adiknya, Langit langsung memeluk Pelangi erat dan menangis. Tanpa dijelaskanpun Pelangi tahu jika sekarang maminya pasti sedang tidak baik-baik saja. Gadis itu ikut menangis. "Gimana, dok?" tanya Langit ketika tim medis keluar dari ruangan Manda. Yang ditanya menghela napas panjang dan menepuk bahu Langit. "Tidak apa-apa. Dia hanya
Manda koma. Langit bagai tanpa tulang. Lelaki itu menangis meraung-raung di depan ruang gawat darurat. Dia terduduk lemah di lantai dan terus menangis. Tak peduli jika banyak orang yang menatapnya heran. Sementara Pelangi duduk diam, menangis tanpa suara. Satriyo berdiri bersandar di tembok. Berkali-kali dia memukul-mukul kepalanya sendiri. Otaknya seakan hendak meledak. Bayangan Manda yang sekarat dan semakin kritis terus meremas pemikirannya. "Kalau dia sadar sore nanti, ada harapan besar untuk Bu Manda kembali sehat. Tapi kalau tidak ada perubahan ... maka kita hanya bisa menunggu keajaiban saja!"Penjelasan dokter terngiang-ngiang di telinga Langit. Lelaki itu menggeleng keras, seolah membantah ucapan dokter. "Mami harus sembuh! Mami harus liat Langit wisuda!" gumamnya pelan. Air mata tak henti mengalir sejak tadi. Hatinya nyeri dengan sesak yang menyeruak hingga ke dada, meminta keluar. Gumpalan sesak itu menjelma menjadi emosi tertahan yang akan me