Langit pamit keluar untuk mencari makan. Satriyo seolah menemukan kesempatan. Dengan cepat dia memasuki ruangan di mana Manda dirawat. Dia menemukan Pelangi yang duduk diam menggenggam tangan Manda. Gadis itu menoleh saat pintu dibuka. Lantas melengos. Satriyo mendekat dengan ragu dan canggung.
"Ehm, boleh papi ... papi mau bicara sama mami."Pelangi menghela napas panjang. "Nggak liat mami belum sadar?"Satriyo menelan ludah. Dia duduk di ranjang, dekat kaki Manda dengan pelan-pelan."Nak ... Papi ...."Satriyo seolah kehabisan kata-kata. Tenggorokannya tercekat."Papi ... Papi minta maaf, ya.""Untuk?"Satriyo menatap Pelangi yang tak menatapnya. "Semuanya. Papi tahu kalian pasti kecewa!"Pelangi diam. Perlahan dia melepas genggaman tangannya pada sang mami dan beralih menatap papinya. Mereka bersitatap."Buat apa minta maaf kalau papi tidak tahu kesalahan papi sendiri!"SatriyoManda terengah-engah setelah tangannya berhasil melepas masker oksigen yang menutupi hidung dan mulutnya. Langit yang panik langsung memasangkannya lagi. Pemuda itu berteriak memanggil tim dokter. Sementara Satriyo masih diam. Dia tidak tahu apa yang harus dilakukan. Tim dokter yang datang langsung menangani Manda. Langit dan Satriyo diminta keluar. Keduanya berdiri panik di depan kamar Manda. "Kenapa, Bang?" Pelangi yang tiba-tiba sudah berdiri di samping Langit menatap abangnya dengan bingung. Lantas mencoba mengintip dari jendela, melihat keadaan maminya. "Bang ...." Tanpa menjawab pertanyaan adiknya, Langit langsung memeluk Pelangi erat dan menangis. Tanpa dijelaskanpun Pelangi tahu jika sekarang maminya pasti sedang tidak baik-baik saja. Gadis itu ikut menangis. "Gimana, dok?" tanya Langit ketika tim medis keluar dari ruangan Manda. Yang ditanya menghela napas panjang dan menepuk bahu Langit. "Tidak apa-apa. Dia hanya
Manda koma. Langit bagai tanpa tulang. Lelaki itu menangis meraung-raung di depan ruang gawat darurat. Dia terduduk lemah di lantai dan terus menangis. Tak peduli jika banyak orang yang menatapnya heran. Sementara Pelangi duduk diam, menangis tanpa suara. Satriyo berdiri bersandar di tembok. Berkali-kali dia memukul-mukul kepalanya sendiri. Otaknya seakan hendak meledak. Bayangan Manda yang sekarat dan semakin kritis terus meremas pemikirannya. "Kalau dia sadar sore nanti, ada harapan besar untuk Bu Manda kembali sehat. Tapi kalau tidak ada perubahan ... maka kita hanya bisa menunggu keajaiban saja!"Penjelasan dokter terngiang-ngiang di telinga Langit. Lelaki itu menggeleng keras, seolah membantah ucapan dokter. "Mami harus sembuh! Mami harus liat Langit wisuda!" gumamnya pelan. Air mata tak henti mengalir sejak tadi. Hatinya nyeri dengan sesak yang menyeruak hingga ke dada, meminta keluar. Gumpalan sesak itu menjelma menjadi emosi tertahan yang akan me
Keributan kecil di depan ruang gawat darurat membuat beberapa pengunjung Rumah Sakit penasaran untuk melihat. Apalagi saat melihat Pelangi yang menangis di pelukan Langit. Keduanya masih terus menangis sembari berpelukan. Mereka sama-sama patah hati. Sama-sama kecewa dan sakit hati. Mereka tidak menyangka jika lelaki yang selama ini mereka kagumi bisa berbuat sedemikian rupa. Apalagi di saat mami mereka tengah berjuang antara hidup dan mati di dalam sana. Sementara di tempat lain. Janice menepis cekalan tangan Satriyo yang terus menariknya untuk menjauh. Wanita itu merengut marah. "Berani-beraninya dia nampar aku, Mas!""Udahlah, ini kan juga karena kamu yang seenaknya aja!""Oh, Mas bela mereka sekarang, ya?""Mereka anak-anakku, Janice!""Aku?"Satriyo diam. "Aku selalu diasingkan. Selalu tidak kamu anggap ketika sudah bersama mereka. Jahat kamu, Mas!"Janice mulai terisak. Dia menutupkan telapak t
Warning!Mengandung konten dewasa, tapi bukan vulgar, lho, ya. ."Janice?" Satriyo mengerutkan kening ketika Janice sudah berdiri di depan pintu rumahnya. Wanita yang malam itu tampil sangat seksi hanya tersenyum. Piyama tidur transparan dan pendek dikenakannya. Rambut panjangnya diikat tinggi, memperlihatkan leher jenjangnya yang menggoda. "Lagi sendirian, kan?" tanya Janice sembari mengusap dada Satriyo. Belum juga dijawab, Janice langsung melenggang memasuki rumah Satriyo dan duduk di sofa ruang tamu dengan menyilangkan kaki. "Mau ngapain kamu?" tanya Satriyo setelah menutup pintu. Tentu saja setelah memastikan jika di luar tidak ada orang yang melijat kedatangan Janice. Tentu saja tidak ada karena ini nyaris tengah malam. "Ehm, pengen ketemu kamu, Mas. Anak kita kangen, hehe," jawab Janice sembari mengusap perut ratanya. Satriyo hanya mendengkus. "Kenapa sih kamu ini?""Aku? Kenapa? Ya nggak apa-ap
Langit melangkah gontai memasuki halaman rumahnya setelah turun dari taksi yang dia tumpangi. Merasa lelah lelaki memutuskan untuk naik taksi saja menuju rumah, mengambil keperluan mami dan adiknya sembari membawa pulang pakaian kotor. Langit sampai rumah saat hari belum terlalu terang. Masih jam setengah enam. Langkahnya terhenti di depan pintu saat dilihatnya sepasang sepatu wanita. Dia mengernyit. Sepatu itu jelas bukan milik Pelangi apalagi maminya. Dia mengintip ke dalam rumah dari pintu rumah yang berbingkai kaca. Meski terutup tirai putih, Langit masih bisa melihat ke dalam. Perlahan dia membuka kunci pintu. Ternyata tidak terkunci. Langkah Langit terhent seketika. Matanya menatap nanar benda yang berserakan di lantai ruang tamu. Pakaian wanita yang jelas bukan milik adik ataupun maminya dan pakaian sang papi yang tersebar di lantai dekat sofa ruang tamu. Dadanya langsung bergemuruh dan seolah mendidih saat telinganya samar-samar mendengar suara tawa kecil
"Tangan Abang kenapa?" tanya Pelangi saat melihat perban putih yang membungkus telapak tangan kiri Langit. Pemuda itu hanya diam menatap luka yang susah payah dia perban sendiri sembaru menahan perih karena obat yang dia bubuhkan. "Ehm, Abang nyuci piring tadi, kena ... kena piring pecah."Pelangi menatap abangnya lekat. Yang dipandang seolah menghindari tatapannya. "Abang liat apa sampai emosi terus ngelukain tangan sendiri?"Langit menghela napas panjang dan mendongak. Pelangi meraih tangannya yang terluka, menempelkannya di pipi, dan mengecupnya sekilas. "Jangan sakiti diri sendiri, Bang. Pelangi nggak mau abang luka."Langit tersenyum dan merengkuh bahu sang adik, menenggelamkannya dalam pelukan. "Jangan bilang mami, ya!" Pelangi mengangguk. Sesampainya di Rumah Sakit, Langit langsung menuju kantin untuk sarapan. Tak lupa dia mengabari Pelangi untuk menemuinya di kantin. Langit hanya merasa tidak siap bertemu mam
Hampir dua hari Manda tidak sadarkan diri. Langit dan Pelangi dengan setia menemani. Sementara Satriyo ....[Papi ijin mengurus pernikahan papi.]Langit membanting ponselnya hingga pecah. Emosinya kembali memuncak. Bagaimana bisa seorang lelaki malah sibuk mengurus pernikahannya sementara sang istri tengah berjuang antara hidup dan mati. Tidak ada sanak keluarga yang menjenguk karena memang Manda sebatang kara dengan saudara yang entah di mana. Sementara dari pihak Satriyo juga tidak ada. Tinggalah Langit dan Pelangi sebagai anak angkat, anak kandung, sekaligus saudara bagi Manda. Beruntung teman kuliah Langit sering datang berkunjung. Bahkan mereka tak segan menginap, menggantikan Pelangi yang kadang pulang ke rumah. Seperti pagi itu. Dengan taksi, Pelangi pulang. Wajahnya lelah dan sedikit pucat. Tubuhnya juga semakin kurus. Gadis itu melangkah gontai memasuki halaman rumah yang sudah lima hari tidak dilihatnya. Dia tercenung ketika melihat se
"Anak kamu tuh kurang ajar, ya, Mas!" Janice mencuci mulutnya di wastafel dapur setelah mengeluarkan isi perutnya. Satriyo duduk bersandar di tembok kamar mandi setelah muntah. "Bisa-bisa dia ludahin masakan aku!"Satriyo hanya diam. Dia juga tidak menyangka jika anak gadisnya yang pendiam dan penurut akan melakukan hal itu. Masakan yang seharusnya dia bawa ke Rumah Sakit untuknya dan Langit malah diludahi. Satriyo menggeleng berusaha menghilangkan bayangan makanan menjijikkan itu. Janice yang berniat menginap dengan paksa diantar pulang oleh Satriyo. "Aku ini calon istri kamu, Mas. Aku harus ikut ke mana Mas pergi!"Satriyo menggeleng. "Mas nggak mau ada keributan lagi karena kehadiran kamu di Rumah Sakit. Cukup yang kemarin!""Nggak! Aku harus ikut!""Mau ngapain, sih?""Kasih pelajaran sama anak gadis kamu itu!""Ya Tuhan, Janice! Udahlah, jangan kayak anak kecil!""Ya biarin aj
Sebulan berlalu. Janice membaik dengan cepat. Sikapnya tetap baik dan manis di depan semua orang. Kini dia tidak lagi bekerja di butik. Janice dan Satriyo memutuskan untuk menjual saja butiknya dan menggunakan uangnya untuk meneruskan kuliah Janice yang sempat tertunda. Wanita itu hanya sesekali menerima tawaran design pakaian dan dibayar kemudian. Janice senang melakukannya. Di rumah, Janice banyak belajar pada Manda. Mengurus rumah, memasak, membuat kue, merawat tanaman, hingga membuat sulaman. Manda pun dengan senang hati mengajarinya. Selama sebulan ini Janice bersikap baik padanya. Bahkan Janice lah yanh selalu menyediakan obat terapi untuk Manda. Satriyo pun senang melihat keakraban keduanya. Meski sempay terbersit ragu rumah tangganya akan baik-baik saja dengan dua istri dalam satu rumah. Namun semua tertepis saat melihat kedamaian keduanya. "Kalau terlihat baik-baik saja, berati ada yang disembunyikan.""Nggak akan baik-baik saja perasa
Tengah malam Satriyo mengajak Langit kembali ke Rumah Sakit. Kasihan Manda jika harus menunggu Janice sendirian. Di mobil, mereka berdua tak banyak bicara. Satriyo diam dengan pikiran yang penuh dan Langit fokus menyetir. Di Rumah Sakit, Manda baru saja melapor, Janice siuman. Kali iji wanita yang baru saja kehilangan bayinya itu tidak histeris lagi. Dia hanya menangis sesenggukkan merasa kehilangan. "Aku jahat, ya?" tanyanya pelan ketika dokter selesai memeriksanya. Tali pengikatnya sudah dilepas. Janice lebih tenang sekarang. "Nggak, kok. Allah punya rencana lain. Itu saja!" jawab Manda lembut dan mengusap lengan madunya. Janice semakin terisak. "Kenapa Mbak baik banget sama aku?"Manda menghela napas panjang dan tersenyum. "Karena aku juga wanita. Sama sepertimu!""Tapi aku nggak pernah mikir perasaan Mbak sedikit pun.""Hanya belum."Janice terdiam. Diraihnya lengan Manda dan memeluknya. Manda mendekat,
Menjelang tengah malam Janice siuman. Dia langsung menjerit ketika meraba perutnya yang kini rata. Manda memeluk dan menghiburnya. Wanita itu nyaris kewalahan karena Janice terus meronta dan menjerit histeris. Sementara Satriyo belum juga pulang. "Mana anakku?" gumam Janice lemah setelah dokter kembali membiusnya. Suster memasang tali pengaman agar Janice tidak menyakiti dirinya sendiri dan membuat tim dokter kewalahan. Apalagi Manda yang kini harus ditangani serius karena dicakar Janice di beberapa tempat. "Kalau dia sadar, segera panggil kami!"Manda hanya mengangguk patuh. Lantas kembali menatap Janice yang tertidur. Wajahnya semakin pucat dengan rambut berantakkan. "Bagaimana ya rasanya kehilangan anak?" Manda mengusap perutnya sendiri. Seolah di sana sesosok malaikat kecil pernah hadir dan kemudian pergi. "Pasti menyenangkan ya merasakan gerakkan mereka setiap saat?" Air mata Manda mengalir pelan. Dia mengusap
Satriyo diam menatap Janice yang belum juga siuman. Kata dokter detak jantungnya semakin lemah, termasuk bayi yang dikandungnya. Tim dokter tinggal menunggu persetujuan Satriyo untuk mengambil janinnya. Janin yang belum sempat melihat dunia tidak akan selamat. "Kenapa kamu tega?" ucap Satriyo pelan. Diusapnya punggung tangan Janice yang pucat. Seorang perawat mendatangi Satriyo untuk menandatangani beberapa dokumen terkait operasi dadakan Janice serta memberitahu sejumlah uang yang harus dia bayarkan. "Ini nggak salah, Bu?" tanya Satriyo tidak percaya ketika melihat jumlah nominal yang harus dia bayar. Petugas Rumah Sakit itu menggeleng dan tersenyum. "Ini perawatan terbaik, Pak. Lagipula ini juga tindakan beresiko yang kami ambil."Satriyo diam. Ditatapnya sejumlah digit angka biaya Rumah Sakit Janice. Lelaki itu mengurut kening. Diingatnya sejumlah uang di ATM yang bahkan tidak mencapai seperempat dari biaya yang harus dia bayar. Me
"Ampun, Mas!" Janice menjerit dan bersimpuh di bawah kaki Satriyo. Dia memeluk kaki Satriyo erat dan meraung-raung. Satriyo mengepalkan tangan, meredam emosinya yang memuncak. "Dia anak siapa?" Pertanyaan Satriyo tanpa jawaban. Janice masih terus menangis. Dengan kuat Satriyo mencengkeram bahu Janice, membuatnya berdiri tepat di depannya. Mata tajam dan berkilat Satriyo menatap Janice yang menangis. "Dia anak Dave, kan?"Janice sesenggukkan dan menggeleng lemah. "JAWAB JANICE!"Janice terpekik ketika Satriyo menghentakkan tubuhnya hingga jatuh terduduk di lantai. Dengan cepat dia merangkak dan memeluk kaki Satriyo lagi. Satriyo menepisnya dengan kaki. Sialnya hentakkan kecil kakinya mengenai wajah Janice. Wanita itu menjerit kesakitan. Satriyo sempat menatapnya sekilas, tapi kemudian acuh dan meninggalkan Janice ke kamar. "Mas?"Janice bangkit, berusaha mengejar Satriyo ke kamar. Dilihatnya Satriyo yang men
Satriyo tidak fokus saat meeting sedang berlangsung. Pikirannya tetap pada Janice dan Dave yang terlihat aneh. Satriyo memang tidak sepenuhnya mengenal keluarga istri mudanya itu. Dia hanya tahu papa Janice bercerai dengan mamanya saat dia masih duduk di bangku TK. Keduanya berpisah. Papa Janice menetap di Rusia dan mamanya tingga di Indonesia bersama dirinya. Hubungan kurang akrab antar mama dan anak membuat Janice kecil sudah biasa hidup mandiri. Apalagi papany selalu mengirim uang banyak untuknya hidup. Sekali lagi Satriyo mengingat rupa Dave yang memang agak sedikit bule. Hidung mancung dan kulit putih bersih. Tidak mirip memang, tapi itu bukan berati dia bohong. Satriyo lantas teringat pertemuan pertamanya dengan Dave. Semua pembicaraannya saat itu terekam jelas. Dave yang menyarankan dia untuk pisah rumah saja. Selesai meeting Satriyo berniat langsung pulang. Namun diurungkan ketika dilihatnya Langit duduk di kursi ruang kerjanya. Anak bujangnya itu tengah
Dave mengulurkan tangan, mengajak Satriyo yang masih bengong untuk bersalaman. "Saya Dave! Keponakan Janice!" ucapnya sembari menoleh pada Janice yang menggigit bibir. "Kita sama-sama besar di Rusia. Saya baru pulang tiga bulan lalu. Kenapa saya nggak datang di pernikahan kalian? Ya ... saya nggak diundang."Janice menggaruk kepala dan menunduk, seolah menghindari tatapan Satriyo. "Kok kamu nggak pernah cerita?" tanya Satriyo pada Janice. "Ehm ... dia rival-ku dari kecil. Kita sering berantem!"Dave mengangguk dan tersenyum. Satriyo tetap memperhatikan keduanya dengan seksama. Hingga kemudian Janice pamit menyiapkan makan siang untuk mereka. "Maaf, kalau kemarin aku nggak ngenalin diri. Ya ... itung-itunf biar kami penasaran," ucap Dave di tengah santap siang. Satriyo hanya mengangguk dan tersenyum. Selesai makan Satriyo pamit mandi karena harus menghadiri rapat di kampus. Janice hanya mengangguk sembari memberesi b
Satriyo masuk tanpa mengucap salam. Dilihatnya Langit dan Pelangi yang tengah menonton televisi. Keduanya hanya melirik sekilas. Dengan cepat Satriyo menemukan dompet dan memeriksa isinya. Lantas keluar kamar lagi. "Nggak mau makan dulu, Mas?"Langkah Satriyo terhenti. Ditatapnya Manda yang menyiapkan sarapan di meja makan. Air liurnya mendadak membanjir menhirup aroma masakan yang sepertinya lezat. "Mas belum sarapan, kan?" Manda menarik salah satu kursi, mempersilahkan Satriyo duduk. Merasa perlu menghargai Manda dan perutnya yang memang keroncongan, Satriyo memutuskan untuk duduk menghadap makanan di meja. "Mereka nggak sarapan?" tanya Satriyo menoleh ke arah kedua anaknya. Manda menggeleng. "Sudah tadi."Satriyo makan dengan lahap. Sementara Manda tak henti menatapnya. Lelaki yang dulu bersih terawat kini mulai menampakkan perubahannya. Rambut gondrong yang nyaris tak tersentuh perawatan, kulit yang sedikit gelap dan kasa
"Bisa-bisanya kamu nyalahin aku atas salah yang kamu lakuin sendiri?"Satriyo mengerutkan kening saat Manda tiba-tiba angkat bicara. Nada suara wanita itu tak kalah tinggi dengan Janice. "Lihat, Mas! Istri yang kamu anggap polos, nyatanya juga ....""Sudah! Kamu di dalam saja!" Satriyo mendorong tubuh Janice pelan untuk memasuki kamar, sementara dia berjalan mendekati Manda yang masis berdiri di dapur, di depan potongan kentang yang belum juga selesai. "Manda?""Mas mau bela dia juga?"Satriyo diam. "Aku pikir, aku udah salah kasih keputusan membiarkan kalian tinggal di sini!"Manda menoleh, menatap Satriyo dengan lekat. "Oh, keputusan tersalahku adalah merestui pernikahan kalian!"Satriyo mendongak, menatap mana Manda yang berair. Tidak seperti biasanya, mata itu kali ini penuh kekecewaan. Tidak seperti biasanya yang lemah dan butuh teman. "Aku capek mengalah, Mas ...."