Manda terengah-engah setelah tangannya berhasil melepas masker oksigen yang menutupi hidung dan mulutnya. Langit yang panik langsung memasangkannya lagi. Pemuda itu berteriak memanggil tim dokter. Sementara Satriyo masih diam. Dia tidak tahu apa yang harus dilakukan.
Tim dokter yang datang langsung menangani Manda. Langit dan Satriyo diminta keluar. Keduanya berdiri panik di depan kamar Manda."Kenapa, Bang?"Pelangi yang tiba-tiba sudah berdiri di samping Langit menatap abangnya dengan bingung. Lantas mencoba mengintip dari jendela, melihat keadaan maminya."Bang ...." Tanpa menjawab pertanyaan adiknya, Langit langsung memeluk Pelangi erat dan menangis. Tanpa dijelaskanpun Pelangi tahu jika sekarang maminya pasti sedang tidak baik-baik saja. Gadis itu ikut menangis."Gimana, dok?" tanya Langit ketika tim medis keluar dari ruangan Manda. Yang ditanya menghela napas panjang dan menepuk bahu Langit."Tidak apa-apa. Dia hanyaManda koma. Langit bagai tanpa tulang. Lelaki itu menangis meraung-raung di depan ruang gawat darurat. Dia terduduk lemah di lantai dan terus menangis. Tak peduli jika banyak orang yang menatapnya heran. Sementara Pelangi duduk diam, menangis tanpa suara. Satriyo berdiri bersandar di tembok. Berkali-kali dia memukul-mukul kepalanya sendiri. Otaknya seakan hendak meledak. Bayangan Manda yang sekarat dan semakin kritis terus meremas pemikirannya. "Kalau dia sadar sore nanti, ada harapan besar untuk Bu Manda kembali sehat. Tapi kalau tidak ada perubahan ... maka kita hanya bisa menunggu keajaiban saja!"Penjelasan dokter terngiang-ngiang di telinga Langit. Lelaki itu menggeleng keras, seolah membantah ucapan dokter. "Mami harus sembuh! Mami harus liat Langit wisuda!" gumamnya pelan. Air mata tak henti mengalir sejak tadi. Hatinya nyeri dengan sesak yang menyeruak hingga ke dada, meminta keluar. Gumpalan sesak itu menjelma menjadi emosi tertahan yang akan me
Keributan kecil di depan ruang gawat darurat membuat beberapa pengunjung Rumah Sakit penasaran untuk melihat. Apalagi saat melihat Pelangi yang menangis di pelukan Langit. Keduanya masih terus menangis sembari berpelukan. Mereka sama-sama patah hati. Sama-sama kecewa dan sakit hati. Mereka tidak menyangka jika lelaki yang selama ini mereka kagumi bisa berbuat sedemikian rupa. Apalagi di saat mami mereka tengah berjuang antara hidup dan mati di dalam sana. Sementara di tempat lain. Janice menepis cekalan tangan Satriyo yang terus menariknya untuk menjauh. Wanita itu merengut marah. "Berani-beraninya dia nampar aku, Mas!""Udahlah, ini kan juga karena kamu yang seenaknya aja!""Oh, Mas bela mereka sekarang, ya?""Mereka anak-anakku, Janice!""Aku?"Satriyo diam. "Aku selalu diasingkan. Selalu tidak kamu anggap ketika sudah bersama mereka. Jahat kamu, Mas!"Janice mulai terisak. Dia menutupkan telapak t
Warning!Mengandung konten dewasa, tapi bukan vulgar, lho, ya. ."Janice?" Satriyo mengerutkan kening ketika Janice sudah berdiri di depan pintu rumahnya. Wanita yang malam itu tampil sangat seksi hanya tersenyum. Piyama tidur transparan dan pendek dikenakannya. Rambut panjangnya diikat tinggi, memperlihatkan leher jenjangnya yang menggoda. "Lagi sendirian, kan?" tanya Janice sembari mengusap dada Satriyo. Belum juga dijawab, Janice langsung melenggang memasuki rumah Satriyo dan duduk di sofa ruang tamu dengan menyilangkan kaki. "Mau ngapain kamu?" tanya Satriyo setelah menutup pintu. Tentu saja setelah memastikan jika di luar tidak ada orang yang melijat kedatangan Janice. Tentu saja tidak ada karena ini nyaris tengah malam. "Ehm, pengen ketemu kamu, Mas. Anak kita kangen, hehe," jawab Janice sembari mengusap perut ratanya. Satriyo hanya mendengkus. "Kenapa sih kamu ini?""Aku? Kenapa? Ya nggak apa-ap
Langit melangkah gontai memasuki halaman rumahnya setelah turun dari taksi yang dia tumpangi. Merasa lelah lelaki memutuskan untuk naik taksi saja menuju rumah, mengambil keperluan mami dan adiknya sembari membawa pulang pakaian kotor. Langit sampai rumah saat hari belum terlalu terang. Masih jam setengah enam. Langkahnya terhenti di depan pintu saat dilihatnya sepasang sepatu wanita. Dia mengernyit. Sepatu itu jelas bukan milik Pelangi apalagi maminya. Dia mengintip ke dalam rumah dari pintu rumah yang berbingkai kaca. Meski terutup tirai putih, Langit masih bisa melihat ke dalam. Perlahan dia membuka kunci pintu. Ternyata tidak terkunci. Langkah Langit terhent seketika. Matanya menatap nanar benda yang berserakan di lantai ruang tamu. Pakaian wanita yang jelas bukan milik adik ataupun maminya dan pakaian sang papi yang tersebar di lantai dekat sofa ruang tamu. Dadanya langsung bergemuruh dan seolah mendidih saat telinganya samar-samar mendengar suara tawa kecil
"Tangan Abang kenapa?" tanya Pelangi saat melihat perban putih yang membungkus telapak tangan kiri Langit. Pemuda itu hanya diam menatap luka yang susah payah dia perban sendiri sembaru menahan perih karena obat yang dia bubuhkan. "Ehm, Abang nyuci piring tadi, kena ... kena piring pecah."Pelangi menatap abangnya lekat. Yang dipandang seolah menghindari tatapannya. "Abang liat apa sampai emosi terus ngelukain tangan sendiri?"Langit menghela napas panjang dan mendongak. Pelangi meraih tangannya yang terluka, menempelkannya di pipi, dan mengecupnya sekilas. "Jangan sakiti diri sendiri, Bang. Pelangi nggak mau abang luka."Langit tersenyum dan merengkuh bahu sang adik, menenggelamkannya dalam pelukan. "Jangan bilang mami, ya!" Pelangi mengangguk. Sesampainya di Rumah Sakit, Langit langsung menuju kantin untuk sarapan. Tak lupa dia mengabari Pelangi untuk menemuinya di kantin. Langit hanya merasa tidak siap bertemu mam
Hampir dua hari Manda tidak sadarkan diri. Langit dan Pelangi dengan setia menemani. Sementara Satriyo ....[Papi ijin mengurus pernikahan papi.]Langit membanting ponselnya hingga pecah. Emosinya kembali memuncak. Bagaimana bisa seorang lelaki malah sibuk mengurus pernikahannya sementara sang istri tengah berjuang antara hidup dan mati. Tidak ada sanak keluarga yang menjenguk karena memang Manda sebatang kara dengan saudara yang entah di mana. Sementara dari pihak Satriyo juga tidak ada. Tinggalah Langit dan Pelangi sebagai anak angkat, anak kandung, sekaligus saudara bagi Manda. Beruntung teman kuliah Langit sering datang berkunjung. Bahkan mereka tak segan menginap, menggantikan Pelangi yang kadang pulang ke rumah. Seperti pagi itu. Dengan taksi, Pelangi pulang. Wajahnya lelah dan sedikit pucat. Tubuhnya juga semakin kurus. Gadis itu melangkah gontai memasuki halaman rumah yang sudah lima hari tidak dilihatnya. Dia tercenung ketika melihat se
"Anak kamu tuh kurang ajar, ya, Mas!" Janice mencuci mulutnya di wastafel dapur setelah mengeluarkan isi perutnya. Satriyo duduk bersandar di tembok kamar mandi setelah muntah. "Bisa-bisa dia ludahin masakan aku!"Satriyo hanya diam. Dia juga tidak menyangka jika anak gadisnya yang pendiam dan penurut akan melakukan hal itu. Masakan yang seharusnya dia bawa ke Rumah Sakit untuknya dan Langit malah diludahi. Satriyo menggeleng berusaha menghilangkan bayangan makanan menjijikkan itu. Janice yang berniat menginap dengan paksa diantar pulang oleh Satriyo. "Aku ini calon istri kamu, Mas. Aku harus ikut ke mana Mas pergi!"Satriyo menggeleng. "Mas nggak mau ada keributan lagi karena kehadiran kamu di Rumah Sakit. Cukup yang kemarin!""Nggak! Aku harus ikut!""Mau ngapain, sih?""Kasih pelajaran sama anak gadis kamu itu!""Ya Tuhan, Janice! Udahlah, jangan kayak anak kecil!""Ya biarin aj
Setelah adegan menguping pembicaraan serius mami dan selingkuhan papinya, Langit dan Pelangi berubah menjadi pendiam. Mereka tidak menyangka jika sang mami malah memberi kesempatan pada wanita yang jelas-jelas merusak rumah tangga mereka. Saat bersama Pelangi dan Langit memilih banyak diam. Tak peduli jika maminya mengajak mengbrol atau bersenda gurau. Keduanya juga semakin jarang menghabiskan waktu bersama Manda karena kini Janice diminta Satriyo untuk mengurus Manda di Rumah Sakit hingga kepulangannya. Pagi itu, Langit memasuki ruang rawat maminya. Dia baru saja pulang mengantar Pelangi yang akan membereskan rumah untuk menyambut kepulangan Manda. Lelaki itu hanya diam, tanpa ekspresi. Padahal Janice menyapa dengan lembut dan tersenyum. "Disapa dijawab, atuh, Sayang!" ucap Manda berusaha membuat Langit tersenyum. "Nggak penting!" jawab Langit cuek dan duduk di kursi tak jauh dari maminya. Manda hanya menghela napas panjang, sementara Janice