Satriyo tidak fokus saat meeting sedang berlangsung. Pikirannya tetap pada Janice dan Dave yang terlihat aneh. Satriyo memang tidak sepenuhnya mengenal keluarga istri mudanya itu. Dia hanya tahu papa Janice bercerai dengan mamanya saat dia masih duduk di bangku TK. Keduanya berpisah. Papa Janice menetap di Rusia dan mamanya tingga di Indonesia bersama dirinya. Hubungan kurang akrab antar mama dan anak membuat Janice kecil sudah biasa hidup mandiri. Apalagi papany selalu mengirim uang banyak untuknya hidup.
Sekali lagi Satriyo mengingat rupa Dave yang memang agak sedikit bule. Hidung mancung dan kulit putih bersih. Tidak mirip memang, tapi itu bukan berati dia bohong. Satriyo lantas teringat pertemuan pertamanya dengan Dave. Semua pembicaraannya saat itu terekam jelas. Dave yang menyarankan dia untuk pisah rumah saja.Selesai meeting Satriyo berniat langsung pulang. Namun diurungkan ketika dilihatnya Langit duduk di kursi ruang kerjanya. Anak bujangnya itu tengah"Ampun, Mas!" Janice menjerit dan bersimpuh di bawah kaki Satriyo. Dia memeluk kaki Satriyo erat dan meraung-raung. Satriyo mengepalkan tangan, meredam emosinya yang memuncak. "Dia anak siapa?" Pertanyaan Satriyo tanpa jawaban. Janice masih terus menangis. Dengan kuat Satriyo mencengkeram bahu Janice, membuatnya berdiri tepat di depannya. Mata tajam dan berkilat Satriyo menatap Janice yang menangis. "Dia anak Dave, kan?"Janice sesenggukkan dan menggeleng lemah. "JAWAB JANICE!"Janice terpekik ketika Satriyo menghentakkan tubuhnya hingga jatuh terduduk di lantai. Dengan cepat dia merangkak dan memeluk kaki Satriyo lagi. Satriyo menepisnya dengan kaki. Sialnya hentakkan kecil kakinya mengenai wajah Janice. Wanita itu menjerit kesakitan. Satriyo sempat menatapnya sekilas, tapi kemudian acuh dan meninggalkan Janice ke kamar. "Mas?"Janice bangkit, berusaha mengejar Satriyo ke kamar. Dilihatnya Satriyo yang men
Satriyo diam menatap Janice yang belum juga siuman. Kata dokter detak jantungnya semakin lemah, termasuk bayi yang dikandungnya. Tim dokter tinggal menunggu persetujuan Satriyo untuk mengambil janinnya. Janin yang belum sempat melihat dunia tidak akan selamat. "Kenapa kamu tega?" ucap Satriyo pelan. Diusapnya punggung tangan Janice yang pucat. Seorang perawat mendatangi Satriyo untuk menandatangani beberapa dokumen terkait operasi dadakan Janice serta memberitahu sejumlah uang yang harus dia bayarkan. "Ini nggak salah, Bu?" tanya Satriyo tidak percaya ketika melihat jumlah nominal yang harus dia bayar. Petugas Rumah Sakit itu menggeleng dan tersenyum. "Ini perawatan terbaik, Pak. Lagipula ini juga tindakan beresiko yang kami ambil."Satriyo diam. Ditatapnya sejumlah digit angka biaya Rumah Sakit Janice. Lelaki itu mengurut kening. Diingatnya sejumlah uang di ATM yang bahkan tidak mencapai seperempat dari biaya yang harus dia bayar. Me
Menjelang tengah malam Janice siuman. Dia langsung menjerit ketika meraba perutnya yang kini rata. Manda memeluk dan menghiburnya. Wanita itu nyaris kewalahan karena Janice terus meronta dan menjerit histeris. Sementara Satriyo belum juga pulang. "Mana anakku?" gumam Janice lemah setelah dokter kembali membiusnya. Suster memasang tali pengaman agar Janice tidak menyakiti dirinya sendiri dan membuat tim dokter kewalahan. Apalagi Manda yang kini harus ditangani serius karena dicakar Janice di beberapa tempat. "Kalau dia sadar, segera panggil kami!"Manda hanya mengangguk patuh. Lantas kembali menatap Janice yang tertidur. Wajahnya semakin pucat dengan rambut berantakkan. "Bagaimana ya rasanya kehilangan anak?" Manda mengusap perutnya sendiri. Seolah di sana sesosok malaikat kecil pernah hadir dan kemudian pergi. "Pasti menyenangkan ya merasakan gerakkan mereka setiap saat?" Air mata Manda mengalir pelan. Dia mengusap
Tengah malam Satriyo mengajak Langit kembali ke Rumah Sakit. Kasihan Manda jika harus menunggu Janice sendirian. Di mobil, mereka berdua tak banyak bicara. Satriyo diam dengan pikiran yang penuh dan Langit fokus menyetir. Di Rumah Sakit, Manda baru saja melapor, Janice siuman. Kali iji wanita yang baru saja kehilangan bayinya itu tidak histeris lagi. Dia hanya menangis sesenggukkan merasa kehilangan. "Aku jahat, ya?" tanyanya pelan ketika dokter selesai memeriksanya. Tali pengikatnya sudah dilepas. Janice lebih tenang sekarang. "Nggak, kok. Allah punya rencana lain. Itu saja!" jawab Manda lembut dan mengusap lengan madunya. Janice semakin terisak. "Kenapa Mbak baik banget sama aku?"Manda menghela napas panjang dan tersenyum. "Karena aku juga wanita. Sama sepertimu!""Tapi aku nggak pernah mikir perasaan Mbak sedikit pun.""Hanya belum."Janice terdiam. Diraihnya lengan Manda dan memeluknya. Manda mendekat,
Sebulan berlalu. Janice membaik dengan cepat. Sikapnya tetap baik dan manis di depan semua orang. Kini dia tidak lagi bekerja di butik. Janice dan Satriyo memutuskan untuk menjual saja butiknya dan menggunakan uangnya untuk meneruskan kuliah Janice yang sempat tertunda. Wanita itu hanya sesekali menerima tawaran design pakaian dan dibayar kemudian. Janice senang melakukannya. Di rumah, Janice banyak belajar pada Manda. Mengurus rumah, memasak, membuat kue, merawat tanaman, hingga membuat sulaman. Manda pun dengan senang hati mengajarinya. Selama sebulan ini Janice bersikap baik padanya. Bahkan Janice lah yanh selalu menyediakan obat terapi untuk Manda. Satriyo pun senang melihat keakraban keduanya. Meski sempay terbersit ragu rumah tangganya akan baik-baik saja dengan dua istri dalam satu rumah. Namun semua tertepis saat melihat kedamaian keduanya. "Kalau terlihat baik-baik saja, berati ada yang disembunyikan.""Nggak akan baik-baik saja perasa
Janice melenguh panjang saat sapuan hangat dari embusan napas lelaki di atasnya menelusuri seluruh tubuh sintalnya. Wanita 23 tahun itu meremas sprei hingga kusut. Mata lentiknya terpejam lama demi menikmati setiap detik kehangatan bersama Satriyo. Lelaki yang 20 tahun lebih tua darinya itu terus meluapkan seluruh kehangatannya pada wanita yang hampir dua minggu ini tidak ditemuinya. "Mas ... jangan tinggalin Janice lagi, ya!" ucap Janice tak berdaya saat semua kenikmatan mencapai puncaknya. Satriyo tergeletak tak berdaya di samping tubuh Janice. Lengan kokohnya memeluk pinggang aduhai milik wanita itu. Satriyo tersenyum manis di tengah kelelahannya. "Iya, Sayang." Sebuah kecupan hangat dan lama mendarat di kening sang wanita. Janice memeluk lelaki itu seolah tak ingin dipisahkan. "Mas, sih, lama nggak ke sini!" Janice merajuk. Satriyo meraih dagu belahnya dan menciumnya sekilas. Wanita itu semakin cemberut. "Kan Mas harus ngajar semester pendek, Sayang!""Ah, bohong!"Janice mele
"Pi?" panggil Langit ketika membuka daun pintu dengan nama Satriyo Singgih. Lelaki yang dipanggil Pi lantas mendongak, mengalihkan pandangan dari laptop di depannya. "Eh, Langit."Langit lantas duduk di depan meja sang papi. Lelaki semester akhir itu memperhatikan jemari papinya yang tengah sibuk. "Mami sehat?"Langit mengangguk. "Ya, kalau minum obat ya pasti baikan, Pi."Satriyo berdehem paham. "Pelangi gimana?""Tadi kuanterin, kok. Pakai mobil mama. Ujan soalnya, hehe," ucap Langit menggaruk kepala yang tidak gatal. "Nggak apa-apa!"Keduanya diam. Langit hanya terus memperhatikan sang papi yang bekerja. Sesekali dia menatap tumpukkan kertas dan map di mejanya. "Nanti papa pulang, kan?" tanya Langit ragu. "Iya. Tapi malem, ya. Masih banyak yang harus dikerjain!"Langit mengangguk. Merasa papinya tengah sibuk, mahasiswa Tekhnik Elektro itu pamit. Dia keluar ruangan papinya dan menuju fakultasnya yang lumayan jauh. Kampus tengah masa senggang karena para mahasiswa sudah melewat
"Mas pulang jam berapa semalam?" Satriyo yang baru saja menggeliat bangun langsung mengucek mata saat jemari lembut Manda mengusap pipinya. Lelaki itu menatap sang istri yang juga baru bangun. Dari jauh, sayup-sayup suara adzan terdengar mendayu. Sudah subuh rupanya, pikir Satriyo. Padahal dia baru tertidur beberapa jam saja. Lelah dan penat membuatnya tertidur dengan lelap. "Hampir jam satu. Banyak kerjaan," jawab Satriyo duduk dan mengusap jemari dingin Manda. Wanita itu meremas telapak tangan kekarnya dan mengecupnya perlahan. Ada kerinduan membuncah dari sorot mata yang semakin lemah itu. "Maaf, ya, aku sudah tidur."Satriyo mengusap rambut lembutnya dan tersenyum. "Tak apa. Kamu butuh istirahat."Satriyo lantas membimbing Manda ke kamar mandi. Dengan telaten dia menunggu sang istri mengambil wudhu. Satriyo hanya khawatir jika air dingin membuat Manda menggigil lantas tak kuat berjalan dan terjatuh seperti beberapa hari lalu. Sholat subuh dipimpin Satriyo dengan khusyuk. Langi