"Tangan Abang kenapa?" tanya Pelangi saat melihat perban putih yang membungkus telapak tangan kiri Langit. Pemuda itu hanya diam menatap luka yang susah payah dia perban sendiri sembaru menahan perih karena obat yang dia bubuhkan.
"Ehm, Abang nyuci piring tadi, kena ... kena piring pecah."Pelangi menatap abangnya lekat. Yang dipandang seolah menghindari tatapannya."Abang liat apa sampai emosi terus ngelukain tangan sendiri?"Langit menghela napas panjang dan mendongak. Pelangi meraih tangannya yang terluka, menempelkannya di pipi, dan mengecupnya sekilas."Jangan sakiti diri sendiri, Bang. Pelangi nggak mau abang luka."Langit tersenyum dan merengkuh bahu sang adik, menenggelamkannya dalam pelukan. "Jangan bilang mami, ya!" Pelangi mengangguk.Sesampainya di Rumah Sakit, Langit langsung menuju kantin untuk sarapan. Tak lupa dia mengabari Pelangi untuk menemuinya di kantin. Langit hanya merasa tidak siap bertemu mamHampir dua hari Manda tidak sadarkan diri. Langit dan Pelangi dengan setia menemani. Sementara Satriyo ....[Papi ijin mengurus pernikahan papi.]Langit membanting ponselnya hingga pecah. Emosinya kembali memuncak. Bagaimana bisa seorang lelaki malah sibuk mengurus pernikahannya sementara sang istri tengah berjuang antara hidup dan mati. Tidak ada sanak keluarga yang menjenguk karena memang Manda sebatang kara dengan saudara yang entah di mana. Sementara dari pihak Satriyo juga tidak ada. Tinggalah Langit dan Pelangi sebagai anak angkat, anak kandung, sekaligus saudara bagi Manda. Beruntung teman kuliah Langit sering datang berkunjung. Bahkan mereka tak segan menginap, menggantikan Pelangi yang kadang pulang ke rumah. Seperti pagi itu. Dengan taksi, Pelangi pulang. Wajahnya lelah dan sedikit pucat. Tubuhnya juga semakin kurus. Gadis itu melangkah gontai memasuki halaman rumah yang sudah lima hari tidak dilihatnya. Dia tercenung ketika melihat se
"Anak kamu tuh kurang ajar, ya, Mas!" Janice mencuci mulutnya di wastafel dapur setelah mengeluarkan isi perutnya. Satriyo duduk bersandar di tembok kamar mandi setelah muntah. "Bisa-bisa dia ludahin masakan aku!"Satriyo hanya diam. Dia juga tidak menyangka jika anak gadisnya yang pendiam dan penurut akan melakukan hal itu. Masakan yang seharusnya dia bawa ke Rumah Sakit untuknya dan Langit malah diludahi. Satriyo menggeleng berusaha menghilangkan bayangan makanan menjijikkan itu. Janice yang berniat menginap dengan paksa diantar pulang oleh Satriyo. "Aku ini calon istri kamu, Mas. Aku harus ikut ke mana Mas pergi!"Satriyo menggeleng. "Mas nggak mau ada keributan lagi karena kehadiran kamu di Rumah Sakit. Cukup yang kemarin!""Nggak! Aku harus ikut!""Mau ngapain, sih?""Kasih pelajaran sama anak gadis kamu itu!""Ya Tuhan, Janice! Udahlah, jangan kayak anak kecil!""Ya biarin aj
Setelah adegan menguping pembicaraan serius mami dan selingkuhan papinya, Langit dan Pelangi berubah menjadi pendiam. Mereka tidak menyangka jika sang mami malah memberi kesempatan pada wanita yang jelas-jelas merusak rumah tangga mereka. Saat bersama Pelangi dan Langit memilih banyak diam. Tak peduli jika maminya mengajak mengbrol atau bersenda gurau. Keduanya juga semakin jarang menghabiskan waktu bersama Manda karena kini Janice diminta Satriyo untuk mengurus Manda di Rumah Sakit hingga kepulangannya. Pagi itu, Langit memasuki ruang rawat maminya. Dia baru saja pulang mengantar Pelangi yang akan membereskan rumah untuk menyambut kepulangan Manda. Lelaki itu hanya diam, tanpa ekspresi. Padahal Janice menyapa dengan lembut dan tersenyum. "Disapa dijawab, atuh, Sayang!" ucap Manda berusaha membuat Langit tersenyum. "Nggak penting!" jawab Langit cuek dan duduk di kursi tak jauh dari maminya. Manda hanya menghela napas panjang, sementara Janice
"Papi lu mau nikah lagi?" tanya Rudi tiba-tiba ketika Langit baru saja turun dari motornya. Pemuda itu hanya diam. "Gila! Kirain lu yang mau deketin si Rusia itu, tahunya papi lu. Ckckckck, kan maen hebatnya!"Langit berlalu, meninggalkan Rudi yang masih bengong. "Woi, gue mau kasih selamat!"Langit hanya melambaikan tangan dan menuju kantor program studinya. Hari ini nilai ujian semester mereka keluar. Langit akan mengurus berkas-berkas untuk semester berikutnya. "Kok bisa sih papi lu nikah sama dia?"Langit diam sembari melihat daftar nilai di mading prodinya. "Mami lu gimana? Bukannya masih sakit, ya?"Langit duduk dan mengeluarkan nitebook-nya. Rudi ikut duduk di sampingnya. "Gimana rasanya punya mami tiri sebaya kek lu gitu?" Kali ini Rudi menoel pipi Langit dan memainkan rambut gondrongnya yanh dikucir asal-asalan. "Pemandangan yang indah banget pasti, ya? Tahan kagak lu nanti?"Kali ini Langit menutup
Kejadian tengah malam di dapur, dilupakan Janice dengan cepat. Kini dia hanya fokus pada acara pernikahannya. Ya dua jam yang lalu dia dan Satriyo sudah mengucap akad nikah sebagai suami istri. Kebahagiaan jelas terlihat di wajah keduanya. Dengan didampingi Manda, Satriyo dan Janice menyalami tamu yang hadir satu persatu. Meski tak dapat dipungkiri jika sebagian yang hadir sibuk berbisik di belakang keduanya. Mereka menatap iba pada Manda yang memasang senyum ramah seolah ikut berbahagia. Langit dan Pelangi duduk di pojokkan, menatap sepasang pengantin yang notabene adalah orang tua mereka. Lantas iba menatap maminya yang canggung dan tersenyum kaku. "Mbak Manda suruh pulang aja, sih, Mas!" bisik Janice berbisik pada Satriyo. Lelaki itu melirik Manda yang tersenyum pada tatapam tamu. "Kenapa memangnya?""Ini kan acara kita, ngapain dia ikut berdiri di situ?"Satriyo diam. Namun kemudian dia mendekati Manda dan berbisik. "Kamu istirahat
Setelah kejadian salad buah, Manda merasa amat bersalah. Apalagi saat dilihatnya Janice sering cemberut dan menatap sinis padanya. Seperti siang itu. Satriyo pamit ke kampus, sementara kedua anak mereka sudah ke sekolah dan kampusnya. "Nanti jam 1 siang, takarin dosis obat buat Manda ya, Sayang!"Janice yang sedang memoles kukunya dengan cat hanya diam. Dia melirik Manda yang tengah membereskan dapur, sisa makan siang. "Udah sehat kok minum obat terus?" "Dia emanh sehat, tapi butuh vitamin dan obat untuk selalu sehat."Janice hanya mengangguk-angguk. "Bantuin Manda gih, masak!""Ehm, iya."Setelah Satriyo pergi, Janice menuju dapur, mendekati Manda. Diperhatikannya wanita yang mengenakan dress berwarna pudar yang tengah membuat donat. "Ini kesukaan Mas Satriyo dan Langit."Janice hanya diam. "Mau bantu?" Manda menyodorkan adonan, meminta Janice membuat bulatan-bulatan kecil denga
Tiga bulan kemudian ....Janice merasakan perutnya bagai diaduk hebat. Kepalanya terasa sangat pusing dengan dunia yang seolah berputar-putar. Dia muntah di ranjang. Satriyo yang baru bangun, sigap membantu istri mudanya itu untuk menuntaskan muntahnya. "Aduh, mual, Mas," rengek Janice manja. Satriyo mengusap tepi bibir Janice dengan pelan dan penuh kasih sayang. "Sabar, ya. Kan emang gini kata dokter!"Janice diam. Dua minggu yang lalu, Janice dengan diantar Satriyo mendatangi dokter spesialis kandungan. Usia kandungan Jajice sudah 8 minggu katanya. Meski merasa tidak percaya dan kurang yakin, Janice berhasil meyankinkan Satriyo jika memang saat mereka menikah dia belum benar-benar hamil. Satriyo merasa dibohongi, tapi kemudian dia lantas senang karena itu artinya anak yang dikandung Janice bukan anak haram seperti perkiraannya. Di awal kehamilannya, Janice sering mengeluh. Tepatnya pura-pura mengeluh untuk mendapat simpati Satriyo da
Manda meringkuk memeluk tubuh di balik selimut tebal. Matanya terpejam dengan air mata yang meluncur bebas, membasahi bantal. Dia menggigit bibir sekuat mungkin, berusaha mengalihkan perhatian telinganya dari suara yang tak ingin didengar. Di luar hujan deras, suara gemericik air terdengar jelas. Namun tetap kalah dengan suara yang menyakitkan bagi Manda dari kamar di sebelahnya, kamar suami dan madunya. Janice terkikik senang diikuti rengekkan manja. Entah apa yang dilakukan suaminya itu pada madunya. Mereka terdengar bahagia dan seolah tak ingin diganggu. "Aku merindukanmu, Mas ...."Manda berbisik lirih, menyuarakan isi hatinya yang justru membuatnya semakin perih. Diremasnya kemaja panjang milik Satriyo yang dipakainya. Sejak menikah dengan Janice, Satriyo memang tidak pernah lagi tidur bersama Manda. Bahkan memasuki kamarnya pun Satriyo sepertinya enggan. Manda bisa apa jika memang dia tidak akan bisa memberikan apa yang dibutuhkan Satriyo