"Papi lu mau nikah lagi?" tanya Rudi tiba-tiba ketika Langit baru saja turun dari motornya. Pemuda itu hanya diam. "Gila! Kirain lu yang mau deketin si Rusia itu, tahunya papi lu. Ckckckck, kan maen hebatnya!"
Langit berlalu, meninggalkan Rudi yang masih bengong. "Woi, gue mau kasih selamat!"Langit hanya melambaikan tangan dan menuju kantor program studinya. Hari ini nilai ujian semester mereka keluar. Langit akan mengurus berkas-berkas untuk semester berikutnya."Kok bisa sih papi lu nikah sama dia?"Langit diam sembari melihat daftar nilai di mading prodinya."Mami lu gimana? Bukannya masih sakit, ya?"Langit duduk dan mengeluarkan nitebook-nya. Rudi ikut duduk di sampingnya."Gimana rasanya punya mami tiri sebaya kek lu gitu?" Kali ini Rudi menoel pipi Langit dan memainkan rambut gondrongnya yanh dikucir asal-asalan. "Pemandangan yang indah banget pasti, ya? Tahan kagak lu nanti?"Kali ini Langit menutupKejadian tengah malam di dapur, dilupakan Janice dengan cepat. Kini dia hanya fokus pada acara pernikahannya. Ya dua jam yang lalu dia dan Satriyo sudah mengucap akad nikah sebagai suami istri. Kebahagiaan jelas terlihat di wajah keduanya. Dengan didampingi Manda, Satriyo dan Janice menyalami tamu yang hadir satu persatu. Meski tak dapat dipungkiri jika sebagian yang hadir sibuk berbisik di belakang keduanya. Mereka menatap iba pada Manda yang memasang senyum ramah seolah ikut berbahagia. Langit dan Pelangi duduk di pojokkan, menatap sepasang pengantin yang notabene adalah orang tua mereka. Lantas iba menatap maminya yang canggung dan tersenyum kaku. "Mbak Manda suruh pulang aja, sih, Mas!" bisik Janice berbisik pada Satriyo. Lelaki itu melirik Manda yang tersenyum pada tatapam tamu. "Kenapa memangnya?""Ini kan acara kita, ngapain dia ikut berdiri di situ?"Satriyo diam. Namun kemudian dia mendekati Manda dan berbisik. "Kamu istirahat
Setelah kejadian salad buah, Manda merasa amat bersalah. Apalagi saat dilihatnya Janice sering cemberut dan menatap sinis padanya. Seperti siang itu. Satriyo pamit ke kampus, sementara kedua anak mereka sudah ke sekolah dan kampusnya. "Nanti jam 1 siang, takarin dosis obat buat Manda ya, Sayang!"Janice yang sedang memoles kukunya dengan cat hanya diam. Dia melirik Manda yang tengah membereskan dapur, sisa makan siang. "Udah sehat kok minum obat terus?" "Dia emanh sehat, tapi butuh vitamin dan obat untuk selalu sehat."Janice hanya mengangguk-angguk. "Bantuin Manda gih, masak!""Ehm, iya."Setelah Satriyo pergi, Janice menuju dapur, mendekati Manda. Diperhatikannya wanita yang mengenakan dress berwarna pudar yang tengah membuat donat. "Ini kesukaan Mas Satriyo dan Langit."Janice hanya diam. "Mau bantu?" Manda menyodorkan adonan, meminta Janice membuat bulatan-bulatan kecil denga
Tiga bulan kemudian ....Janice merasakan perutnya bagai diaduk hebat. Kepalanya terasa sangat pusing dengan dunia yang seolah berputar-putar. Dia muntah di ranjang. Satriyo yang baru bangun, sigap membantu istri mudanya itu untuk menuntaskan muntahnya. "Aduh, mual, Mas," rengek Janice manja. Satriyo mengusap tepi bibir Janice dengan pelan dan penuh kasih sayang. "Sabar, ya. Kan emang gini kata dokter!"Janice diam. Dua minggu yang lalu, Janice dengan diantar Satriyo mendatangi dokter spesialis kandungan. Usia kandungan Jajice sudah 8 minggu katanya. Meski merasa tidak percaya dan kurang yakin, Janice berhasil meyankinkan Satriyo jika memang saat mereka menikah dia belum benar-benar hamil. Satriyo merasa dibohongi, tapi kemudian dia lantas senang karena itu artinya anak yang dikandung Janice bukan anak haram seperti perkiraannya. Di awal kehamilannya, Janice sering mengeluh. Tepatnya pura-pura mengeluh untuk mendapat simpati Satriyo da
Manda meringkuk memeluk tubuh di balik selimut tebal. Matanya terpejam dengan air mata yang meluncur bebas, membasahi bantal. Dia menggigit bibir sekuat mungkin, berusaha mengalihkan perhatian telinganya dari suara yang tak ingin didengar. Di luar hujan deras, suara gemericik air terdengar jelas. Namun tetap kalah dengan suara yang menyakitkan bagi Manda dari kamar di sebelahnya, kamar suami dan madunya. Janice terkikik senang diikuti rengekkan manja. Entah apa yang dilakukan suaminya itu pada madunya. Mereka terdengar bahagia dan seolah tak ingin diganggu. "Aku merindukanmu, Mas ...."Manda berbisik lirih, menyuarakan isi hatinya yang justru membuatnya semakin perih. Diremasnya kemaja panjang milik Satriyo yang dipakainya. Sejak menikah dengan Janice, Satriyo memang tidak pernah lagi tidur bersama Manda. Bahkan memasuki kamarnya pun Satriyo sepertinya enggan. Manda bisa apa jika memang dia tidak akan bisa memberikan apa yang dibutuhkan Satriyo
"Jangan telpon aku kalau aku di rumah!" Satriyo menghentikan langkah. Dia yang baru kembali dari Manda terdiam di depan pinti saat mendengar Janice berbisik. "Iya, nanti aku selesaikam pembayarannya!"Satriyo masih diam. "Iya ... iya. Ingat, jangan hubungi aku kalau lagi di rumah. Apalagi ada suamiku!"Satriyo bergerak cepat, bersembunyi di balik lemari ketika terdengar daun pintu dibuka dari dalam. Janice memperhatikan sekeliling sebelum akhirnya dia keluar. Wanita yang hanya mengenakan kimono tidur seksi itu menuju kulkas dan mengambil beberapa makanan. Setelah memastikan tidak ada siapa-siapa dia lantas membawa sekotak biskuit cokelat, beberapa buah-buahan, dan sebotol kecil susu cokelat. Dia berjingkat memasuki kamarnya lagi. Kali ini dia menguncinya. Satriyo menghela napas ketika mendengar pintu dikunci. Itu artinya dia tidak bisa masuk ke kamar hingga Janice bangun. Kembali ke kamar Manda? Tidak mungkin!Akhirnya Satriyo
Satriyo duduk diam di tepi ranjang. Pikirannya terus terfokus pada ucapan Manda baru saja. "Dia pikir Janice hamil dengan siapa? Jelas-jelas dia istriku!" sungutnya mendengkus. Mata Satriyo beredar, berharap menemukan sesuatu. "Ah, iya!"Merasa teringat sesuatu, Satriyo segera menaikkan kasur dan mengambil sesuatu dari sana. Sebelum akhirnya diambil Janice, Satriyo sempat menulis nomor ponsel yang dia curigai dari ponsel Janice. Nomor yang menelpon istri mudanya di jam dini hari. Satriyo dengan cepat menyalin nomor di ponselnya dan ....Tuutt ....Satriyo menunggu seseorang mengankat teleponnya. Hingga akhirnya ...."Halo? Ini siapa?"Satriyo mengerutkan kening. Suara seorang wanita terdengar merdu menjawab telepon. "Ada yang bisa saya bantu? Dengan Janice Boutique di sini!"Satriyo menghela napas panjang. "Oh, ehm ... nggak ada. Terima kasih!"Satriyo dengan cepat memutu
Semakin hari kandungan Janice semakin besar. Pun ulahnya semakin menjadi. Setiap hari ada saja yang dia keluhkan. Entah Manda yang masak kurang enak, Pelangi yang membangkang, hingga Langit yang kadang memutar musik di kamarnya terlalu kencang. Janice pun selalu rewel ketika melihat isi kulkas yang hanya itu-itu saja. Dia melaporkan Manda yang mulai malas berbelanja dan memasak masakan yang beragam. Satriyo mencoba menengahi. Apalagi saat melihat perubahan sikap Manda yang tidak lagi penurut dan lemah seperti dulu. Wanita sakit-sakitan itu mulai berani membantah dan menjawab semua kemarahan Satriyo. Seperti pagi ini ...."Mi, kalau masak jangan terlalu asin, ya? Janice nggak suka?"Manda yang tengah mengaduk sayur lodeh menoleh. "oh, nggak suka asin, to? Kenapa nggak masak sendiri?"Satriyo terdiam. "Ehm, Janice kurang bisa masak!""Kalau nggak bisa masak, ya belajar! Jangan cuma protes!"Kali ini Langit yang menjawab.
"Bisa-bisanya kamu nyalahin aku atas salah yang kamu lakuin sendiri?"Satriyo mengerutkan kening saat Manda tiba-tiba angkat bicara. Nada suara wanita itu tak kalah tinggi dengan Janice. "Lihat, Mas! Istri yang kamu anggap polos, nyatanya juga ....""Sudah! Kamu di dalam saja!" Satriyo mendorong tubuh Janice pelan untuk memasuki kamar, sementara dia berjalan mendekati Manda yang masis berdiri di dapur, di depan potongan kentang yang belum juga selesai. "Manda?""Mas mau bela dia juga?"Satriyo diam. "Aku pikir, aku udah salah kasih keputusan membiarkan kalian tinggal di sini!"Manda menoleh, menatap Satriyo dengan lekat. "Oh, keputusan tersalahku adalah merestui pernikahan kalian!"Satriyo mendongak, menatap mana Manda yang berair. Tidak seperti biasanya, mata itu kali ini penuh kekecewaan. Tidak seperti biasanya yang lemah dan butuh teman. "Aku capek mengalah, Mas ...."