Semakin hari kandungan Janice semakin besar. Pun ulahnya semakin menjadi. Setiap hari ada saja yang dia keluhkan. Entah Manda yang masak kurang enak, Pelangi yang membangkang, hingga Langit yang kadang memutar musik di kamarnya terlalu kencang. Janice pun selalu rewel ketika melihat isi kulkas yang hanya itu-itu saja. Dia melaporkan Manda yang mulai malas berbelanja dan memasak masakan yang beragam.
Satriyo mencoba menengahi. Apalagi saat melihat perubahan sikap Manda yang tidak lagi penurut dan lemah seperti dulu. Wanita sakit-sakitan itu mulai berani membantah dan menjawab semua kemarahan Satriyo.Seperti pagi ini ...."Mi, kalau masak jangan terlalu asin, ya? Janice nggak suka?"Manda yang tengah mengaduk sayur lodeh menoleh. "oh, nggak suka asin, to? Kenapa nggak masak sendiri?"Satriyo terdiam. "Ehm, Janice kurang bisa masak!""Kalau nggak bisa masak, ya belajar! Jangan cuma protes!"Kali ini Langit yang menjawab."Bisa-bisanya kamu nyalahin aku atas salah yang kamu lakuin sendiri?"Satriyo mengerutkan kening saat Manda tiba-tiba angkat bicara. Nada suara wanita itu tak kalah tinggi dengan Janice. "Lihat, Mas! Istri yang kamu anggap polos, nyatanya juga ....""Sudah! Kamu di dalam saja!" Satriyo mendorong tubuh Janice pelan untuk memasuki kamar, sementara dia berjalan mendekati Manda yang masis berdiri di dapur, di depan potongan kentang yang belum juga selesai. "Manda?""Mas mau bela dia juga?"Satriyo diam. "Aku pikir, aku udah salah kasih keputusan membiarkan kalian tinggal di sini!"Manda menoleh, menatap Satriyo dengan lekat. "Oh, keputusan tersalahku adalah merestui pernikahan kalian!"Satriyo mendongak, menatap mana Manda yang berair. Tidak seperti biasanya, mata itu kali ini penuh kekecewaan. Tidak seperti biasanya yang lemah dan butuh teman. "Aku capek mengalah, Mas ...."
Satriyo masuk tanpa mengucap salam. Dilihatnya Langit dan Pelangi yang tengah menonton televisi. Keduanya hanya melirik sekilas. Dengan cepat Satriyo menemukan dompet dan memeriksa isinya. Lantas keluar kamar lagi. "Nggak mau makan dulu, Mas?"Langkah Satriyo terhenti. Ditatapnya Manda yang menyiapkan sarapan di meja makan. Air liurnya mendadak membanjir menhirup aroma masakan yang sepertinya lezat. "Mas belum sarapan, kan?" Manda menarik salah satu kursi, mempersilahkan Satriyo duduk. Merasa perlu menghargai Manda dan perutnya yang memang keroncongan, Satriyo memutuskan untuk duduk menghadap makanan di meja. "Mereka nggak sarapan?" tanya Satriyo menoleh ke arah kedua anaknya. Manda menggeleng. "Sudah tadi."Satriyo makan dengan lahap. Sementara Manda tak henti menatapnya. Lelaki yang dulu bersih terawat kini mulai menampakkan perubahannya. Rambut gondrong yang nyaris tak tersentuh perawatan, kulit yang sedikit gelap dan kasa
Dave mengulurkan tangan, mengajak Satriyo yang masih bengong untuk bersalaman. "Saya Dave! Keponakan Janice!" ucapnya sembari menoleh pada Janice yang menggigit bibir. "Kita sama-sama besar di Rusia. Saya baru pulang tiga bulan lalu. Kenapa saya nggak datang di pernikahan kalian? Ya ... saya nggak diundang."Janice menggaruk kepala dan menunduk, seolah menghindari tatapan Satriyo. "Kok kamu nggak pernah cerita?" tanya Satriyo pada Janice. "Ehm ... dia rival-ku dari kecil. Kita sering berantem!"Dave mengangguk dan tersenyum. Satriyo tetap memperhatikan keduanya dengan seksama. Hingga kemudian Janice pamit menyiapkan makan siang untuk mereka. "Maaf, kalau kemarin aku nggak ngenalin diri. Ya ... itung-itunf biar kami penasaran," ucap Dave di tengah santap siang. Satriyo hanya mengangguk dan tersenyum. Selesai makan Satriyo pamit mandi karena harus menghadiri rapat di kampus. Janice hanya mengangguk sembari memberesi b
Satriyo tidak fokus saat meeting sedang berlangsung. Pikirannya tetap pada Janice dan Dave yang terlihat aneh. Satriyo memang tidak sepenuhnya mengenal keluarga istri mudanya itu. Dia hanya tahu papa Janice bercerai dengan mamanya saat dia masih duduk di bangku TK. Keduanya berpisah. Papa Janice menetap di Rusia dan mamanya tingga di Indonesia bersama dirinya. Hubungan kurang akrab antar mama dan anak membuat Janice kecil sudah biasa hidup mandiri. Apalagi papany selalu mengirim uang banyak untuknya hidup. Sekali lagi Satriyo mengingat rupa Dave yang memang agak sedikit bule. Hidung mancung dan kulit putih bersih. Tidak mirip memang, tapi itu bukan berati dia bohong. Satriyo lantas teringat pertemuan pertamanya dengan Dave. Semua pembicaraannya saat itu terekam jelas. Dave yang menyarankan dia untuk pisah rumah saja. Selesai meeting Satriyo berniat langsung pulang. Namun diurungkan ketika dilihatnya Langit duduk di kursi ruang kerjanya. Anak bujangnya itu tengah
"Ampun, Mas!" Janice menjerit dan bersimpuh di bawah kaki Satriyo. Dia memeluk kaki Satriyo erat dan meraung-raung. Satriyo mengepalkan tangan, meredam emosinya yang memuncak. "Dia anak siapa?" Pertanyaan Satriyo tanpa jawaban. Janice masih terus menangis. Dengan kuat Satriyo mencengkeram bahu Janice, membuatnya berdiri tepat di depannya. Mata tajam dan berkilat Satriyo menatap Janice yang menangis. "Dia anak Dave, kan?"Janice sesenggukkan dan menggeleng lemah. "JAWAB JANICE!"Janice terpekik ketika Satriyo menghentakkan tubuhnya hingga jatuh terduduk di lantai. Dengan cepat dia merangkak dan memeluk kaki Satriyo lagi. Satriyo menepisnya dengan kaki. Sialnya hentakkan kecil kakinya mengenai wajah Janice. Wanita itu menjerit kesakitan. Satriyo sempat menatapnya sekilas, tapi kemudian acuh dan meninggalkan Janice ke kamar. "Mas?"Janice bangkit, berusaha mengejar Satriyo ke kamar. Dilihatnya Satriyo yang men
Satriyo diam menatap Janice yang belum juga siuman. Kata dokter detak jantungnya semakin lemah, termasuk bayi yang dikandungnya. Tim dokter tinggal menunggu persetujuan Satriyo untuk mengambil janinnya. Janin yang belum sempat melihat dunia tidak akan selamat. "Kenapa kamu tega?" ucap Satriyo pelan. Diusapnya punggung tangan Janice yang pucat. Seorang perawat mendatangi Satriyo untuk menandatangani beberapa dokumen terkait operasi dadakan Janice serta memberitahu sejumlah uang yang harus dia bayarkan. "Ini nggak salah, Bu?" tanya Satriyo tidak percaya ketika melihat jumlah nominal yang harus dia bayar. Petugas Rumah Sakit itu menggeleng dan tersenyum. "Ini perawatan terbaik, Pak. Lagipula ini juga tindakan beresiko yang kami ambil."Satriyo diam. Ditatapnya sejumlah digit angka biaya Rumah Sakit Janice. Lelaki itu mengurut kening. Diingatnya sejumlah uang di ATM yang bahkan tidak mencapai seperempat dari biaya yang harus dia bayar. Me
Menjelang tengah malam Janice siuman. Dia langsung menjerit ketika meraba perutnya yang kini rata. Manda memeluk dan menghiburnya. Wanita itu nyaris kewalahan karena Janice terus meronta dan menjerit histeris. Sementara Satriyo belum juga pulang. "Mana anakku?" gumam Janice lemah setelah dokter kembali membiusnya. Suster memasang tali pengaman agar Janice tidak menyakiti dirinya sendiri dan membuat tim dokter kewalahan. Apalagi Manda yang kini harus ditangani serius karena dicakar Janice di beberapa tempat. "Kalau dia sadar, segera panggil kami!"Manda hanya mengangguk patuh. Lantas kembali menatap Janice yang tertidur. Wajahnya semakin pucat dengan rambut berantakkan. "Bagaimana ya rasanya kehilangan anak?" Manda mengusap perutnya sendiri. Seolah di sana sesosok malaikat kecil pernah hadir dan kemudian pergi. "Pasti menyenangkan ya merasakan gerakkan mereka setiap saat?" Air mata Manda mengalir pelan. Dia mengusap
Tengah malam Satriyo mengajak Langit kembali ke Rumah Sakit. Kasihan Manda jika harus menunggu Janice sendirian. Di mobil, mereka berdua tak banyak bicara. Satriyo diam dengan pikiran yang penuh dan Langit fokus menyetir. Di Rumah Sakit, Manda baru saja melapor, Janice siuman. Kali iji wanita yang baru saja kehilangan bayinya itu tidak histeris lagi. Dia hanya menangis sesenggukkan merasa kehilangan. "Aku jahat, ya?" tanyanya pelan ketika dokter selesai memeriksanya. Tali pengikatnya sudah dilepas. Janice lebih tenang sekarang. "Nggak, kok. Allah punya rencana lain. Itu saja!" jawab Manda lembut dan mengusap lengan madunya. Janice semakin terisak. "Kenapa Mbak baik banget sama aku?"Manda menghela napas panjang dan tersenyum. "Karena aku juga wanita. Sama sepertimu!""Tapi aku nggak pernah mikir perasaan Mbak sedikit pun.""Hanya belum."Janice terdiam. Diraihnya lengan Manda dan memeluknya. Manda mendekat,