Bina sibuk menyeret Langit ke mana dia mau. Langit juga terlihat pasrah dan mengikuti kemanapun Bina pergi. Baginya, ini hal yang positif, yang mampu mendekatkan dirinya dan juga Bina. "Om, Bina mau lihat di sana." "Di mana, Bi?" "Di sana!!" Bina menunjuk menggunakan tangannya sebuah tangga untuk melihat atraksi tong setan. Kening Langit sempat berkerut. Ia melirik Senja yang bersendekap di belakangnya. Tatapan sungguh tak bersahabat dengan bibir manyun yang menggemaskan. "Ayo, Om!!!" Ketika Bina hendak kembali menyeret tangannya, Langit mencegahnya. Bina menoleh ke arah Langit penuh tanya. "Kenapa om? Om takut?" Langit menggeleng. "Bukan takut, Sayang. Lebih takut jika mama marah." Bina melongokkan kepalanya untuk melihat sang mama yang berada di belakang Langit. Ia langsung tersenyum lebar menampilkan gigi yang berjajar rapi saat Senja menatapnya dengan tatapan tajam bak ingin menerkam. "Boleh ya, Ma?" tanya Bina penuh permohonan.
Wajah keduanya nampak terlihat sangat sumringah. Bahkan, Senja sampai menundukkan kepalanya untuk menyembunyikan wajahnya yang merona karena mendengar godaan Langit. "Kenapa kamu menundukkan, Nja?" Langit masih tetap menggoda Senja melalui kaca spion sebelah kiri. Ia sengaja menghadapkan spion itu kebelakang untu melihat wajah Senja. "Apa sih?" tanya Senja tidak bisa menahan senyumnya lagi. Ia sampai membuang muka saking malunya. Entah kenapa perasaannya berbeda. Ia merasa bagaikan anak muda yang tengah jatuh cinta. Ya, Senja menerima cinta dari Langit. Bener kata sang ibu jika ia harus belajar membuka hati untuk orang baru. Tidak mungkin selamanya kita akan terpuruk dalam duka. Setiap pria memiliki karakter yang berbeda. Dan ibunya selalu mendoakan jika Langit ini adalah jodoh terakhirnya. Sebagai seorang ibu, Fatimah bisa melihat ketulusan dari Langit. Dan Senja juga melihat itu ketika Langit bermain dengan Bina. Meski Bina bukan darah dagingnya, tapi terlihat
Setelah subuh Senja dan Langit berangkat ke kota. Dingin dan sejuk menjadi satu. Mata yang tadinya berat, sekarang terbuka dengan lebarnya ketika melihat kecantikan Senja saat ia membuka mata. "Apakah kita sudah menikah?" tanya Langit ketika Senja membangunkannya. "Hust, ngawur!! Ayo bangun. Kita harus berangkat pagi-pagi agar tidak terkena macet," ucap Senja seraya berlalu ketika Langit sudah mulai beranjak bangun. Bina, anaknya sempat menangis ketika mereka berpamitan. Bukan karena Senja, tapi Langit yang sudah merebut posisi Senja di hati Bina. Senja sampai terheran jika mengingat itu. Karena ketika bersama sang papa, Bina hampir tidak pernah seperti. Duhgt!! Helm mereka saling bertabrakan ketika Langit mengerem motornya tiba-tiba. "Aduh!! Kenapa ngerem mendadak sih?" gerutu Senja. Memang tidak sakit, tapi ia sungguh dibuat kaget karena ulah Langit. Langit hanya diam seraya menepikan motornya. Kemudian Ia melepas helmnya dan menaruh di tangki motornya. "Kamu
"Ayo cepat, Mas!!" Senja semakin mengeratkan pelukannya. Ia ketakutan saat melihat bayangan mantan suaminya tepat berada di samping motor yang ia tumpangi. Langit menambah kecepatan motornya atas permintaan Senja. Langit yang masih belum menyadari jika dibuntuti pun masih fokus ke arah depan. Sampai tiba-tiba sebuah mobil mempepetnya, membuat ia sedikit kehilangan fokusnya. "Hoi, berhenti!!!" teriak Han dari dalam mobil. Ia membuka kaca mobilnya lebar agar kedua orang itu tau keberadaannya. Langit yang mengetahui jika itu mantan suami Senja, langsung menambah kecepatan untuk meninggalkan mobil Han. Sebuah senyuman tipis terbit di bibir Langit karena berhasil membuat Han ketinggalan jauh di belakang. Satu hal yang baru disadari oleh Langit jika Senja merasa ketakutan karena ada mobil Han di belakangnya. Pantas saja Senja semakin mengeratkan pelukannya tadi. Ternyata oh ternyata. Tapi tidak apa, itu pertanda jika hanya dirinya yang bisa melindungi Senja dari
Langit terdiam di tempatnya seraya mengumpat tak karuan. "Sialan. Kenapa dia ada di sini? Brengsek!!" Langit tidak bisa menyembunyikan moodnya yang tiba-tiba buruk ketika melihat wanita itu. "Kenapa berhenti, Pak?" Melihat keterdiaman Langit, membuat Benji mengikuti kemana arah padangan pria itu. Matanya membuka sempurna saat melihat seorang wanita yang tengah berlari menuju ke arah mereka dengan senyum mengembang di bibirnya yang bergincu merah. "Langit!!! Aku merindukanmu." Brught!! Wanita itu dengan lancangnya langsung memeluk Langit di depan umum. Tanpa malu, bahkan dia berniat mengecup pipi Langit jika saja pria itu tak lekas menghindar. "Jangan gila kamu, Melly. Ini di depan umum. Jangan buat saya malu dengan perbuatanmu." Kalimat sinis Langit membuat Melly perlahan melepaskan pelukannya. Ia salah tingkah karena malu dengan respon negatif dari Langit. Apalagi banyak pasang mata yang menatap ke arah mereka berdua. "Maaf, Langit. Saking bahagianya aku samp
Pintu lift sudah tertutup. Tapi tangan Langit masih melingkar. Bahkan saat ini sudah melingkar di perut Senja seolah melarangnya untuk pergi. Langit menarik tubuh Senja kebelakang, sampai tubuhnya sendiri sedikit membentur dinding lift. Bught!! Langit kembali meringis. Senja dengan cepat menggerakkan tubuhnya untuk menoleh ke belakang. "Kamu tidak apa-apa, Mas?" Senja khawatir karena bunyi itu sangat nyaring ketika tubuh Langit membentur dinding lift. Langit hanya meringis. "Tidak sakit, Sayang. Kami tenang saja." Lagi-lagi Senja di buat malu oleh panggilan itu. Panggilan yang masih asing di telinganya. Langit memutar tubuh Senja hingga menatap ke depan. Lalu kembali menariknya dan memeluknya dari belakang. Wajahnya bertumpu pada bahu Senja. Nampak sangat romantis. Senja tidak nyaman ketika Langit mengendus leher bagian belakangnya. Yang membuatnya merinding. "Mas, jangan!!" cegah Senja dengan sedikit mendesah. Langit tersenyum tipis. "
"Wah, makanan sebanyak ini siapa yang makan, Mas?" Senja takjub melihat banyaknya makanan yang terhidang di sana. Kalau untuk berdua, mustahil akan menghabiskan dalam waktu singkat. "Ya kita yang menghabiskan. Lalu siapa lagi?" Senja mengerjapkan matanya. Detik kemudian terdengar tawa dari bibir Langit karena melihat ekspresi lucu kekasihnya. Pria itu mendekat dan duduk di samping Senja. "Kita makan yang ingin kita makan saja. Yang lainnya, bisa kamu bawa pulang. Entah kamu makan sama Sisil atau Vivi, itu terserah." "Benarkah?" Mata Senja langsung berbinar mendengarnya. Langit mengangguk. Tanpa sadar ia langsung memeluk Langit yang bisa mengertikan apa yang ia inginkan tanpa diungkapkan. Mereka berdua seperti sudah tau apa yang mereka mau satu sama lain. Setelah itu mereka makan dengan sesekali bercanda. Mereka tampak bahagia sekali. Tak terasa, waktu makan siang telah habis. Senja berniat untuk kembali bekerja tapi Langit melarangnya. Tangannya m
Sherly berlari sembari menangis keluar dari hotel. Ia sangat kecewa karena calon suaminya masih memendam rasa kepada mantan istrinya. Ia benar-benar marah seolah dipermainkan oleh Han setelah apa yang ia lakukan. Begitu besar rasa cintanya kepada pria itu sampai ia rela menjadi seorang pelakor demi mendapatkan cinta Han seutuhnya. Tapi apa yang ia dapatkan, sebuah kesakitan saat cintanya bertepuk sebelah tangan. "Kamu mau kemana?" Sherly masih tak menghentikan langkahnya. Ia terus berjalan yang hampir sampai di jalan raya. "Jangan gila kamu, Sherly!!" hardik Han saat Sherly akan menyebrang jalan tanpa melihat situasi jalan yang padat dengan kendaraan. "Apa kamu mau mengakhiri hidupmu sekarang?" Han yang sudah menahan tangan Sherly, berhasil membuat wanita itu menghentikan langkahnya. Mendengar kalimat Han, sontak Sherly langsung menatap Han penuh kebencian. "Lalu jika aku mati, apa kamu masih perduli?" "Tentu. Karena kamu adalah calon istriku, She
"Kenapa dia cantik sekali saat tidur begini?' tanya Langit dalam hati. Memang Senja terlihat lebih manis dan kalem saat menutup matanya. "Tidak salah aku menjadikanmu istriku, Nja," sambungnya yang lagi-lagi dalam hati saja. Merasakan sapuan lembut di wajahnya, membuat Senja perlahan menggerakkan matanya. Ia menutup mulutnya yang menguap lebar seraya berusaha membuka matanya yang seolah masih merekat. "Nyenyak sekali tidurmu, Sayang. Sampai membuatku harus menunggu lama hanya untuk melihatmu membuka mata untuk pertama kalinya." Suara Langit membuat Senja menoleh ke arah suaminya. "Kamu sudah bangun, Mas?" tanya Senja, menyipitkan kedua matanya yang masih melihat dengan buram. Langit hanya berdehem. Kemudian ia kembali memeluk Senja dengan erat dan membau aroma dari tubuh istrinya yang entah sejak kapan menjadi candu baru baginya. Senja yang mengendus aroma bahaya, berniat bergegas untuk bangkit dari tidurnya. Karena jika tidak, akan ada olahraga lagi menantiny
Percintaan yang terjadi di antara mereka beberapa jam yang lalu diakhiri dengan sebuah kecupan yang cukup lama. Rasa lelah dan lega yang semula tertahankan kini sudah tumpah menjadi satu. Ya, dengan susah payah Langit membujuk Senja untuk kembali bertukar keringat di atas ranjang untuk yang kesekian kalinya. Meski sempat mendapatkan penolakan dari Senja dengan alasan lelah, tapi akhirnya Senja menerimanya setelah Langit mengeluarkan dalil-dalil panjang yang membuat Senja berubah pikiran. Dada mereka kembang kempis saling berebut oksigen untuk mengisi paru-parunya agar pernafasan mereka teratur seperti sedia kala. Senyum manis tersungging di sana. Tangan Langit menarik selimut tebal untuk menutupi sebagian tubuhnya dan juga tubuh istrinya. Rasa lelah karena penyatuan yang menguras tenaga, membuat mereka enggan beranjak walau hanya untuk memakai pakaian mereka saja. Mereka lebih memilih mengistirahatkan tubuh mereka. Walau itu tidak mudah karena sisa-sisa kenikmatan
"Sayang, buka pintunya!!" Langit mengetuk pintu dengan lesu. Beberapa kali ia mencoba membuka pintu, tapi terkunci. Langit dibuat frustasi karenanya. Apalagi ketika melihat baju yang dikenakan Senja, ia yakin jika itu sebuah kode dari istrinya. Sekarang, karena kebodohannya, hal ternikmat yang dia idam-idamkan melayang dengan sia-sia. Tubuhnya merosot, terduduk di depan pintu dengan wajah sendu. Jika bisa, ia ingin menangis saat ini. "Sayang!!!" Tangannya mencoba menggapai pintu, tapi tubuhnya sudah lemas. Kepalanya bersandar di daun pintu, matanya terpejam karena rasa lelah yang mendera setelah jutaan bujuk rayuan tidak mempan membuat Senja luluh. Baru saja ia akan menuju ke alam mimpi, terasa pintu tiba-tiba terbuka. Hampir saja tubuh Langit terguling jika saja ia tidak cepat-cepat sadar dan mengendalikan tubuhnya. "Sayang." Langit langsung beranjak berdiri ketika melihat Senja yang sudah berdiri dengan tangan terlipat di dada. Wajahnya belum juga ted
"Ayo buka bajunya. Biar aku periksa." Perkataan Langit itu tentu saja membuat Senja mendelik tak terima. Tangannya langsung menutup area dadanya. "Kamu jangan ngawur ya, Mas!!" Senja menatap galak ketika mendapati tatapan Langit yang mesum. Langit tertawa. Pria itu semakin gemas melihat istrinya. Pletak.. Langit menyentil pelan kening Senja. "Memangnya apa yang kamu pikirkan, Sayang? Aku hanya ingin mengobati lukamu, bukan yang lain." Senja gelagapan. Ternyata Langit salah tangkap atas sikapnya. "Bukan itu, Mas. Tapi aku malu jika harus buka baju. Kamu sendiri tau jika luka itu lebih banyak di dada dan bagian pundakku." Tangannya terangkat dan membelai wajah istrinya. "Tidak usah malu, Sayang. Aku akan lebih senang jika kamu mau menuruti apa yang aku katakan. Semua ini untukmu. Demi kesembuhanmu." Senja terdiam. Benar apa kata suaminya. Luka lebam masih butuh diberi obat agar tidak membengkak. Tapi jujur dia malu jika Langit harus melihat tubuh polosnya. "Aku j
"Kamu sudah yakin akan keputusan kamu, Sayang?" tanya Langit yang tengah duduk di sisi ranjang. Matanya menatap lekat pada sang istri yang tengah berkemas. Senja menatap sekilas, kemudian fokus memasukkan bajunya untuk dimasukkan ke dalam koper. "Aku serius, mas!" "Kamu tega ninggalin Bina?" Gerakan Senja terhenti. Ia menghela nafas panjang. Sebagai ibu Ia pun tidak tega jika harus meninggalkan anaknya yang masih membutuhkan dirinya. Belum juga nanti para omongan tetangga yang mungkin akan menjelekkan suaminya yang dikira ingin ibunya saja tapi anaknya enggan diterima. "Kamu sendiri sudah mendengar ibu berbicara seperti apa tadi pagi. Aku sudah berusaha membawa Bina untuk pergi bersama kita tapi Ibu melarangnya bukan? Lalu aku harus bagaimana, Mas?" Mata Senja mulai berkaca-kaca. Pagi itu setelah sarapan, Senja menemui ibunya secara langsung untuk meminta izin membawa Bina ke rumah yang sudah disiapkan Langit untuknya. Tapi jawaban ibunya sungguh m
"Saya terima nikahnya dan kawinnya Senja Kamila Binti Ahmad Arhandi dengan mas kawin satu set perhiasan, uang seratus juta dan seperangkat alat sholat dibayar tunai!!" "Bagaimana para saksi? Sah?" "Saahh!!!" Lantunan doa mengalun merdu mengiringi pergantian status mereka secara agama dan negara. Setelah menggelar acara ijab qobul, mereka melakukan sungkem pada ibu mereka masing-masing. Tangis haru tidak bisa dihindari ketika anak-anak mereka bersimpuh untuk memohon doa restu. Bahkan, Yuke sampai tergugu dalam tangisnya yang sampai membuat beberapa hadirin yang datang ikut menitikkan air mata. Seolah ikut terseret dalam alur penuh keharuan. "Mama, maafkan Langit yang selama ini belum bisa menjadi putra yang baik bagi mama. Belum bisa membahagiakan mama sebagai mestinya. Mah, berilah doa restu untuk Langit, agar Langit bisa mengarungi samudra kehidupan rumah tangga dengan baik bersama wanita pilihan Langit." Jujur, inilah hal yang paling membuat dirinya emosional
Senja mendesis ketika pundaknya disentuh oleh Langit. Langit yang penasaran langsung membukanya meski Senja awalnya menolak. Seketika matanya memerah ketika melihat bekas luka yang masih terlihat ada bekas darah. Di periksanya lagi di bagian dada. Seketika giginya bergemelutuk melihat bekas apa yang dilakukan oleh Han. "Apakah ini sakit?" Senja menggelengkan kepala. "Sama sekali tidak, Mas. " "Jangan bohong." Senja terdiam. Lebih sakit ia melihat Langit yang terluka seperti itu. Semenjak kenal dengan Langit, baru kali ini ia melihat Langit yang menahan amarah seperti itu. Ia takut jika dia akan menyakiti Han dan membuat Langit harus terjerat kasus hukum karena dirinya. "Aku mohon, jangan lagi berurusan dengan dia, Mas. Aku takut kamu terjerat hukum karena dia." Senja langsung memeluk Langit dengan erat. Ia berharap pria itu akan mengerti apa yang Ia maksud. Tangan Langit terangkat dan membalas pelukan Senja tak kalah erat. "Dia harus membay
Senja memaku ketika melihat seseorang datang menolongnya. Dengan cepat Langit menutup tubuh Senja menggunakan selimut. "Brengsek lo!!" Benji menendang perut Han dengan brutal. Pria yang biasanya kalem, berubah bringas bak hewan buas. Han tak berkutik karena tiba-tiba mendapatkan serangan bertubi-tubi. Sementara Langit melepaskan ikatan tali di kaki dan tangan Senja. Setelah itu mengangkat tubuh calon istrinya untuk keluar dari sana. "Tolong bawa dia pergi, Rik," kata Langit pada Riki. Setelah itu ia langsung berlari menuju ke dalam untuk melampiaskan amarahnya. Mobil polisi datang setelah mobil Senja bergerak pergi meninggalkan tempat kejadian. Di dalam mobil, Senja menangis dalam pelukan Melly. Melly tak kuasa menahan air matanya melihat adik iparnya yang nampak berantakan. Tangan Riki mencengkeram erat kemudinya, merasakan amarah yang membuncah ketika melihat adiknya disakiti untuk yang kedua kali dengan pria yang sama. "Akan aku pastikan dia
Sementara di tempat kerja, perasaan Langit mendadak tidak tenang. Entah kenapa pikirannya hanya tertuju pada Senja. Terlebih pagi ini Senja sama sekali belum menghubunginya sekedar menanyakan sudah sarapan atau belum seperti biasanya. "Bapak kenapa? Atau perlu sesuatu?" tanya Benji yang melihat gelagat Langit yang aneh menurutnya. Langit hanya menggeleng. Lantas ia meraih ponselnya untuk menghubungi Senja sekedar menanyakan kabarnya hari ini agar hatinya bisa kembali tenang. Tapi sayangnya ponsel Senja tidak aktif. "Kenapa ponselnya tidak aktif? Tumben!!" "Kenapa, Pak?" Benji yang tengah duduk di depan Langit mendengarnya bergumam. "Aku telepon Senja tapi kenapa nomornya tidak aktif." "Bapak bisa menghubungi pak Riki untuk menanyakan kabar bu Senja. Siapa tahu Pak Riki bisa menjawab kegelisahan anda hari ini." Langit segera menghubungi Riki untuk menanyakan kabar Senja. Dan Riki mengatakan jika Senja sedang ke pasar serta membawa ponselnya. "Sial, kenapa pe