"Sudah saya bilang jangan bercanda, Pak. Saya tidak ingin terluka lagi untuk yang kedua kalinya karena seorang pria." "Siapa yang bercanda. Saya serius, Nja. Aku cinta sama kamu makanya aku ingin kamu jadi istriku." Senja menggeleng. "Saya tidak sesempurna yang bapak pikirkan. Saya seorang janda yang penuh dengan kekurangan, makanya suami saya sampai meninggalkanku dan memilih selingkuhannya." "Bukan kamu yang kurang, tapi mantan kamu yang kurang ajar dan tidak pandai untuk bersyukur." Langit menyangkal. Karena jika dilihat, Senja sungguh sempurna menjadi seorang wanita. Bukan hanya paras yang cantik, tapi juga hatinya. Sebagai lelaki, tentu Langit mencari sosok istri seperti Senja yang notabene adalah wanita idamannya. "Meski sejuta kali kamu menjelekkan dirimu sendiri, sejuta kali juga aku akan tetap menunggumu menjawab penantianku, Nja." Senja terdiam. Bukan hanya arogan, tapi bos-nya ini juga pemaksa. Tentu Langit tidak ingin rugi. Pengorbanannya ini tentu ia jadikan ajang u
Bina sibuk menyeret Langit ke mana dia mau. Langit juga terlihat pasrah dan mengikuti kemanapun Bina pergi. Baginya, ini hal yang positif, yang mampu mendekatkan dirinya dan juga Bina. "Om, Bina mau lihat di sana." "Di mana, Bi?" "Di sana!!" Bina menunjuk menggunakan tangannya sebuah tangga untuk melihat atraksi tong setan. Kening Langit sempat berkerut. Ia melirik Senja yang bersendekap di belakangnya. Tatapan sungguh tak bersahabat dengan bibir manyun yang menggemaskan. "Ayo, Om!!!" Ketika Bina hendak kembali menyeret tangannya, Langit mencegahnya. Bina menoleh ke arah Langit penuh tanya. "Kenapa om? Om takut?" Langit menggeleng. "Bukan takut, Sayang. Lebih takut jika mama marah." Bina melongokkan kepalanya untuk melihat sang mama yang berada di belakang Langit. Ia langsung tersenyum lebar menampilkan gigi yang berjajar rapi saat Senja menatapnya dengan tatapan tajam bak ingin menerkam. "Boleh ya, Ma?" tanya Bina penuh permohonan.
Wajah keduanya nampak terlihat sangat sumringah. Bahkan, Senja sampai menundukkan kepalanya untuk menyembunyikan wajahnya yang merona karena mendengar godaan Langit. "Kenapa kamu menundukkan, Nja?" Langit masih tetap menggoda Senja melalui kaca spion sebelah kiri. Ia sengaja menghadapkan spion itu kebelakang untu melihat wajah Senja. "Apa sih?" tanya Senja tidak bisa menahan senyumnya lagi. Ia sampai membuang muka saking malunya. Entah kenapa perasaannya berbeda. Ia merasa bagaikan anak muda yang tengah jatuh cinta. Ya, Senja menerima cinta dari Langit. Bener kata sang ibu jika ia harus belajar membuka hati untuk orang baru. Tidak mungkin selamanya kita akan terpuruk dalam duka. Setiap pria memiliki karakter yang berbeda. Dan ibunya selalu mendoakan jika Langit ini adalah jodoh terakhirnya. Sebagai seorang ibu, Fatimah bisa melihat ketulusan dari Langit. Dan Senja juga melihat itu ketika Langit bermain dengan Bina. Meski Bina bukan darah dagingnya, tapi terlihat
Setelah subuh Senja dan Langit berangkat ke kota. Dingin dan sejuk menjadi satu. Mata yang tadinya berat, sekarang terbuka dengan lebarnya ketika melihat kecantikan Senja saat ia membuka mata. "Apakah kita sudah menikah?" tanya Langit ketika Senja membangunkannya. "Hust, ngawur!! Ayo bangun. Kita harus berangkat pagi-pagi agar tidak terkena macet," ucap Senja seraya berlalu ketika Langit sudah mulai beranjak bangun. Bina, anaknya sempat menangis ketika mereka berpamitan. Bukan karena Senja, tapi Langit yang sudah merebut posisi Senja di hati Bina. Senja sampai terheran jika mengingat itu. Karena ketika bersama sang papa, Bina hampir tidak pernah seperti. Duhgt!! Helm mereka saling bertabrakan ketika Langit mengerem motornya tiba-tiba. "Aduh!! Kenapa ngerem mendadak sih?" gerutu Senja. Memang tidak sakit, tapi ia sungguh dibuat kaget karena ulah Langit. Langit hanya diam seraya menepikan motornya. Kemudian Ia melepas helmnya dan menaruh di tangki motornya. "Kamu
"Ayo cepat, Mas!!" Senja semakin mengeratkan pelukannya. Ia ketakutan saat melihat bayangan mantan suaminya tepat berada di samping motor yang ia tumpangi. Langit menambah kecepatan motornya atas permintaan Senja. Langit yang masih belum menyadari jika dibuntuti pun masih fokus ke arah depan. Sampai tiba-tiba sebuah mobil mempepetnya, membuat ia sedikit kehilangan fokusnya. "Hoi, berhenti!!!" teriak Han dari dalam mobil. Ia membuka kaca mobilnya lebar agar kedua orang itu tau keberadaannya. Langit yang mengetahui jika itu mantan suami Senja, langsung menambah kecepatan untuk meninggalkan mobil Han. Sebuah senyuman tipis terbit di bibir Langit karena berhasil membuat Han ketinggalan jauh di belakang. Satu hal yang baru disadari oleh Langit jika Senja merasa ketakutan karena ada mobil Han di belakangnya. Pantas saja Senja semakin mengeratkan pelukannya tadi. Ternyata oh ternyata. Tapi tidak apa, itu pertanda jika hanya dirinya yang bisa melindungi Senja dari
Langit terdiam di tempatnya seraya mengumpat tak karuan. "Sialan. Kenapa dia ada di sini? Brengsek!!" Langit tidak bisa menyembunyikan moodnya yang tiba-tiba buruk ketika melihat wanita itu. "Kenapa berhenti, Pak?" Melihat keterdiaman Langit, membuat Benji mengikuti kemana arah padangan pria itu. Matanya membuka sempurna saat melihat seorang wanita yang tengah berlari menuju ke arah mereka dengan senyum mengembang di bibirnya yang bergincu merah. "Langit!!! Aku merindukanmu." Brught!! Wanita itu dengan lancangnya langsung memeluk Langit di depan umum. Tanpa malu, bahkan dia berniat mengecup pipi Langit jika saja pria itu tak lekas menghindar. "Jangan gila kamu, Melly. Ini di depan umum. Jangan buat saya malu dengan perbuatanmu." Kalimat sinis Langit membuat Melly perlahan melepaskan pelukannya. Ia salah tingkah karena malu dengan respon negatif dari Langit. Apalagi banyak pasang mata yang menatap ke arah mereka berdua. "Maaf, Langit. Saking bahagianya aku samp
Pintu lift sudah tertutup. Tapi tangan Langit masih melingkar. Bahkan saat ini sudah melingkar di perut Senja seolah melarangnya untuk pergi. Langit menarik tubuh Senja kebelakang, sampai tubuhnya sendiri sedikit membentur dinding lift. Bught!! Langit kembali meringis. Senja dengan cepat menggerakkan tubuhnya untuk menoleh ke belakang. "Kamu tidak apa-apa, Mas?" Senja khawatir karena bunyi itu sangat nyaring ketika tubuh Langit membentur dinding lift. Langit hanya meringis. "Tidak sakit, Sayang. Kami tenang saja." Lagi-lagi Senja di buat malu oleh panggilan itu. Panggilan yang masih asing di telinganya. Langit memutar tubuh Senja hingga menatap ke depan. Lalu kembali menariknya dan memeluknya dari belakang. Wajahnya bertumpu pada bahu Senja. Nampak sangat romantis. Senja tidak nyaman ketika Langit mengendus leher bagian belakangnya. Yang membuatnya merinding. "Mas, jangan!!" cegah Senja dengan sedikit mendesah. Langit tersenyum tipis. "
"Wah, makanan sebanyak ini siapa yang makan, Mas?" Senja takjub melihat banyaknya makanan yang terhidang di sana. Kalau untuk berdua, mustahil akan menghabiskan dalam waktu singkat. "Ya kita yang menghabiskan. Lalu siapa lagi?" Senja mengerjapkan matanya. Detik kemudian terdengar tawa dari bibir Langit karena melihat ekspresi lucu kekasihnya. Pria itu mendekat dan duduk di samping Senja. "Kita makan yang ingin kita makan saja. Yang lainnya, bisa kamu bawa pulang. Entah kamu makan sama Sisil atau Vivi, itu terserah." "Benarkah?" Mata Senja langsung berbinar mendengarnya. Langit mengangguk. Tanpa sadar ia langsung memeluk Langit yang bisa mengertikan apa yang ia inginkan tanpa diungkapkan. Mereka berdua seperti sudah tau apa yang mereka mau satu sama lain. Setelah itu mereka makan dengan sesekali bercanda. Mereka tampak bahagia sekali. Tak terasa, waktu makan siang telah habis. Senja berniat untuk kembali bekerja tapi Langit melarangnya. Tangannya m