Setelah subuh Senja dan Langit berangkat ke kota. Dingin dan sejuk menjadi satu. Mata yang tadinya berat, sekarang terbuka dengan lebarnya ketika melihat kecantikan Senja saat ia membuka mata. "Apakah kita sudah menikah?" tanya Langit ketika Senja membangunkannya. "Hust, ngawur!! Ayo bangun. Kita harus berangkat pagi-pagi agar tidak terkena macet," ucap Senja seraya berlalu ketika Langit sudah mulai beranjak bangun. Bina, anaknya sempat menangis ketika mereka berpamitan. Bukan karena Senja, tapi Langit yang sudah merebut posisi Senja di hati Bina. Senja sampai terheran jika mengingat itu. Karena ketika bersama sang papa, Bina hampir tidak pernah seperti. Duhgt!! Helm mereka saling bertabrakan ketika Langit mengerem motornya tiba-tiba. "Aduh!! Kenapa ngerem mendadak sih?" gerutu Senja. Memang tidak sakit, tapi ia sungguh dibuat kaget karena ulah Langit. Langit hanya diam seraya menepikan motornya. Kemudian Ia melepas helmnya dan menaruh di tangki motornya. "Kamu
"Ayo cepat, Mas!!" Senja semakin mengeratkan pelukannya. Ia ketakutan saat melihat bayangan mantan suaminya tepat berada di samping motor yang ia tumpangi. Langit menambah kecepatan motornya atas permintaan Senja. Langit yang masih belum menyadari jika dibuntuti pun masih fokus ke arah depan. Sampai tiba-tiba sebuah mobil mempepetnya, membuat ia sedikit kehilangan fokusnya. "Hoi, berhenti!!!" teriak Han dari dalam mobil. Ia membuka kaca mobilnya lebar agar kedua orang itu tau keberadaannya. Langit yang mengetahui jika itu mantan suami Senja, langsung menambah kecepatan untuk meninggalkan mobil Han. Sebuah senyuman tipis terbit di bibir Langit karena berhasil membuat Han ketinggalan jauh di belakang. Satu hal yang baru disadari oleh Langit jika Senja merasa ketakutan karena ada mobil Han di belakangnya. Pantas saja Senja semakin mengeratkan pelukannya tadi. Ternyata oh ternyata. Tapi tidak apa, itu pertanda jika hanya dirinya yang bisa melindungi Senja dari
Langit terdiam di tempatnya seraya mengumpat tak karuan. "Sialan. Kenapa dia ada di sini? Brengsek!!" Langit tidak bisa menyembunyikan moodnya yang tiba-tiba buruk ketika melihat wanita itu. "Kenapa berhenti, Pak?" Melihat keterdiaman Langit, membuat Benji mengikuti kemana arah padangan pria itu. Matanya membuka sempurna saat melihat seorang wanita yang tengah berlari menuju ke arah mereka dengan senyum mengembang di bibirnya yang bergincu merah. "Langit!!! Aku merindukanmu." Brught!! Wanita itu dengan lancangnya langsung memeluk Langit di depan umum. Tanpa malu, bahkan dia berniat mengecup pipi Langit jika saja pria itu tak lekas menghindar. "Jangan gila kamu, Melly. Ini di depan umum. Jangan buat saya malu dengan perbuatanmu." Kalimat sinis Langit membuat Melly perlahan melepaskan pelukannya. Ia salah tingkah karena malu dengan respon negatif dari Langit. Apalagi banyak pasang mata yang menatap ke arah mereka berdua. "Maaf, Langit. Saking bahagianya aku samp
Pintu lift sudah tertutup. Tapi tangan Langit masih melingkar. Bahkan saat ini sudah melingkar di perut Senja seolah melarangnya untuk pergi. Langit menarik tubuh Senja kebelakang, sampai tubuhnya sendiri sedikit membentur dinding lift. Bught!! Langit kembali meringis. Senja dengan cepat menggerakkan tubuhnya untuk menoleh ke belakang. "Kamu tidak apa-apa, Mas?" Senja khawatir karena bunyi itu sangat nyaring ketika tubuh Langit membentur dinding lift. Langit hanya meringis. "Tidak sakit, Sayang. Kami tenang saja." Lagi-lagi Senja di buat malu oleh panggilan itu. Panggilan yang masih asing di telinganya. Langit memutar tubuh Senja hingga menatap ke depan. Lalu kembali menariknya dan memeluknya dari belakang. Wajahnya bertumpu pada bahu Senja. Nampak sangat romantis. Senja tidak nyaman ketika Langit mengendus leher bagian belakangnya. Yang membuatnya merinding. "Mas, jangan!!" cegah Senja dengan sedikit mendesah. Langit tersenyum tipis. "
"Wah, makanan sebanyak ini siapa yang makan, Mas?" Senja takjub melihat banyaknya makanan yang terhidang di sana. Kalau untuk berdua, mustahil akan menghabiskan dalam waktu singkat. "Ya kita yang menghabiskan. Lalu siapa lagi?" Senja mengerjapkan matanya. Detik kemudian terdengar tawa dari bibir Langit karena melihat ekspresi lucu kekasihnya. Pria itu mendekat dan duduk di samping Senja. "Kita makan yang ingin kita makan saja. Yang lainnya, bisa kamu bawa pulang. Entah kamu makan sama Sisil atau Vivi, itu terserah." "Benarkah?" Mata Senja langsung berbinar mendengarnya. Langit mengangguk. Tanpa sadar ia langsung memeluk Langit yang bisa mengertikan apa yang ia inginkan tanpa diungkapkan. Mereka berdua seperti sudah tau apa yang mereka mau satu sama lain. Setelah itu mereka makan dengan sesekali bercanda. Mereka tampak bahagia sekali. Tak terasa, waktu makan siang telah habis. Senja berniat untuk kembali bekerja tapi Langit melarangnya. Tangannya m
Sherly berlari sembari menangis keluar dari hotel. Ia sangat kecewa karena calon suaminya masih memendam rasa kepada mantan istrinya. Ia benar-benar marah seolah dipermainkan oleh Han setelah apa yang ia lakukan. Begitu besar rasa cintanya kepada pria itu sampai ia rela menjadi seorang pelakor demi mendapatkan cinta Han seutuhnya. Tapi apa yang ia dapatkan, sebuah kesakitan saat cintanya bertepuk sebelah tangan. "Kamu mau kemana?" Sherly masih tak menghentikan langkahnya. Ia terus berjalan yang hampir sampai di jalan raya. "Jangan gila kamu, Sherly!!" hardik Han saat Sherly akan menyebrang jalan tanpa melihat situasi jalan yang padat dengan kendaraan. "Apa kamu mau mengakhiri hidupmu sekarang?" Han yang sudah menahan tangan Sherly, berhasil membuat wanita itu menghentikan langkahnya. Mendengar kalimat Han, sontak Sherly langsung menatap Han penuh kebencian. "Lalu jika aku mati, apa kamu masih perduli?" "Tentu. Karena kamu adalah calon istriku, She
"Ka_kamu?" Pria itu tersenyum lebar seraya mengangkat kantong kresek berisi martabak. "Martabak?" Langit mengangguk. Vivi yang mendengar kata martabak, langsung bangkit dan berlari ke depan pintu. "Mana kang martabaknya?" tanyanya dengan antusias. Saat Vivi menoleh, ia langsung kicep, mundur selangkah. Ternyata kang martabak yang dimaksud Senja adalah_ "Pak Langit," Vivi tergagap. Saat sadar, ia langsung mengangguk hormat dengan senyuman paksa. "Mampus aku! Salah lagi!!" rutuk Vivi dalam hati. Jangan sampai sikap kurang ajarnya ini bisa mempengaruhi kinerjanya di hotel. Bisa-bisa ia dipecat. Sedangkan saat Vivi mengatakan kang martabak, Langit menatapnya datar sehingga membuat Vivi sungkan. "Mari, Pak. Silahkan masuk!!" Ketika Vivi hendak membuka lebar pintunya, dengan cepat Senja menahannya. "Eh, kamu mau apa, Vi?" "Pak Langit tamu, Nja. Sudah kewajiban kita untuk menyuruh pak Langit masuk." "Hey, kamu mau digrebek warga di sini karena memasukkan seorang
Sepanjang perjalanan pulang, Langit senyum-senyum sendiri seperti orang gila. Hatinya terlalu bahagia sampai membuat bibirnya selalu merekah indah. "Inikah yang dinamakan jatuh cinta? Memang benar apa kata pujangga jika jatuh cinta bisa membuat gila. Dan aku gila karena cinta!!!" serunya di dalam mobil. "Senja, I Love you!!!" serunya lagi sambil berteriak di dalam mobil. Ia membesarkan volume music di dalam mobilnya dan ikut bernyanyi. Seolah tiada alasan baginya untuk tidak berbahagia karena sudah bertemu dengan sang kekasih hati. Setelah sampai di kediamannya, Langit melangkah ringan seraya bersenandung kecil untuk menuju ke kamarnya. "Langit!!" Suara sang mama membuat Langit menghentikan langkahnya tepat di anak tangga pertama. "Mama," kata Langit setelah menolehkan wajahnya. "Dari mana kamu? Kenapa baru pulang?" Kening Langit berkerut. Sejak kapan sang Mama ingin tahu urusannya? Biasanya mamanya itu tidak pernah bertanya ia pulang jam berapa dan