Hujan.
Tetesannya kini membaur bersama angin malam, menyembunyikan bulat sang bulan di balik awan-awan kelamnya.
Sheila menatap tetesan hujan itu dari balik jendela rumah sakit. Lagi-lagi tempat yang sama, tapi duka yang lebih besar. Ia mengerjap beberapa kali, mencoba mengenyahkan genangan air di kedua matanya. Padahal ia sudah menangis berjam-jam, tapi ternyata air matanya tak juga berhenti mengalir.
Ia masih ingat kejadian siang tadi, saat tanpa sengaja melihat Indra di depan kantor. Entah itu sebuah keberuntungan atau tidak. Namun Sheila yakin, andai ia tidak secara langsung memergoki Indra, pria itu pasti tidak akan membawanya pulang.
Sheila bahkan sudah dengar jika Dinda dan Leslie diperintahkan ke Surabaya hari ini juga untuk menemaninya. Seakan mereka ingin menghibur Sheila dan menyembunyikan semua luka itu darinya.
Padahal, jika sesuatu yang buruk terjadi, dan Sheila menjadi orang terakhir yang mengetahui hal itu, tentu akan semakin menyik
Bianca membuka matanya dengan perlahan, dan sama sekali tidak terkejut saat menemukan sosok Indra yang terlelap di kursi samping ranjangnya. Kedua mata Indah Bianca menyapu ruangan itu. Ia pikir ia akan menemukan Sheila juga di sana.Selama beberapa saat Bianca hanya terdiam sambil menatap langit-langit kamar rumah sakit. Ia tidak pernah menyangka akhirnya datang juga waktu di mana ia akan menjadi pasien.Apakah sudah waktunya? Batin Bianca nyeri.Saat Bianca bangkit dari ranjang, Indra langsung terjaga.“Kamu sudah bangun, Bi? Gimana keadaanmu sekarang?” Wajah tampan Indra terlihat cemas. “Aku akan panggil dokter.”“Tunggu, Kak.” Bianca menahan lengan Indra. “Aku nggak apa-apa. Di mana Sheila? Apa Dinda dan Leslie sudah berangkat ke Surabaya?”Indra menggeleng, dan lagi-lagi Bianca tidak merasa terkejut sama sekali. Ia sedih sekaligus lega saat menyadari jika Sheila mengetahui keadaan
Tini tau ia sudah berkali-kali meminta Sheila untuk tegar dan mendukung Bianca sepenuhnya. Namun ternyata, saat mereka masuk ke ruangan Bianca setelah menangis selama beberapa waktu di taman, lalu mencari sarapan yang terlambat, ternyata keduanya sama sekali tidak bisa membendung lebur luka yang mereka miliki.Ketika pintu ruangan Bianca terbuka perlahan, mereka mendapati sosok lemah Bianca tengah duduk di hadapan makan siangnya. Saat Bianca tersenyum tipis kepada mereka berdua, Sheila lah yang pertama kali melompat memeluk Bianca.Seperti saat mereka masih kecil, setiap kali merasa sedih dan terluka, Sheila selalu melompat ke dalam pelukan Bianca, mengadukan kesedihannya.“KAK BIIANNN!!” isak Sheila keras. Ia menangis di dalam pelukan Kakaknya. Menumpahkan seluruh lukanya. “Kakak nggak boleh tinggalin aku. Aku nggak mau sendirian. Kakak nggak boleh sakit,” tangisnya pilu.Indra menghela napas panjang, lalu menggeser
“AKU AKAN JADI TANTEEEE…. AKU AKAN JADI TANTEEE!!!!”Sheila berputar-putar sambil memeluk salah satu baju bayi yang ia ambil dari tumpukan pakaian di ruang tamu. Baju bayi itu berwarna merah muda dengan aksen renda dan pita memenuhi dadanya.“AKU AKAN JADI TANTEEE!!!!” teriaknya girang.Dibantu Mario dan Haris, ketiga gadis muda itu mengeluarkan berkantong-kantong belanjaan dari dalam mobil. Lalu menumpahkan belanjaannya di ruang tamu apartment yang ditinggalinya bersama Bianca setelah kematian Claire 8 bulan yang lalu.“DUUUUHHHH LIHAT LUCU BANGEEET KAAANNNN…,” teriak Sheila sambil mengeluarkan bungkusan barang belanjaannya.“LEBIH LUCU YANG AKU BELI INI, LOH!” Leslie tidak mau kalah, ia mengeluarkan sebuah piyama bergambar dinosaurus dari kantong bawaannya.Bianca meringis pelan saat melihat keributan di ruang tamu apartmentnya. Ia pikir, ia akan bisa istirahat setelah kepulanga
“Semua sudah siap?” untuk kesekian kalinya Indra menanyakan hal yang sama kepada panitia acara pagi itu. “Sudah, Pak.” Sheila yang menjawabnya dengan sedikit ketus. Bukan hanya memeriksa, tapi Indra juga terus mengomentari segala sesuatunya. Bahkan mereka pikir, jika bisa, Indra pasti akan mengomentari arah mata angin sebentar lagi. “Oke. Pastikan nggak ada kesalahan sama sekali,” ujar Indra tegas. Reno mengusap peluh di belakangnya. Ia yang mengekori langkah Indra dengan perut buncit dan lemak berlebih, menjadi orang yang paling tersiksa sejak kemarin. “Keamanannya?” Indra melirik Reno di belakangnya. “Sempurna, Pak.” Indra mengangguk, dan melanjutkan langkah memeriksa gedung pergudangan yang sudah disulap sebagai tempat acara peresmian cabang Peruka Miles yang baru. “Kayaknya kalau sampai ada yang salah sedikit aja, kita semua bakal dipecat deh.” “Dipecat sih lebih baik, kalau dicincang dan dijadiin pakan ayam
“Apa-apaan baju ini?” bisik Indra gusar.Akhirnya, setelah rangkaian acara utama selesai, Indra bisa membawa Bianca ke ruangannya tanpa menarik perhatian karena yang lain tengah sibuk beristirahat dan menikmati sajian makan siang yang sudah dipersiapkan di ruang training yang disulap menjadi ruang pejamuan sekelas hotel berbintang.“Kenapa sih? Ini kan baju yang pernah kupakai dulu.”“Tapi dulu nggak seketat ini!” geram Indra. Ia bahkan bisa melihat lekukan tubuh Bianca dengan sangat jelas. “Dulu nggak begini!” katanya, menunjuk dada Bianca dengan tatapannya. Ia haus dan marah dalam waktu yang bersamaan.“Memang modelnya begini kok.”“Ini terlalu seksi!”“Loh, bukannya Kakak sukanya yang seksi? Buktinya tadi tim penyambut tamunya aja seksi banget.”Indra tertegun. Ia bahkan tidak ingat siapa saja yang berdiri sebagai penyambut tamu. Reno yang menunjuk
“Saya jadi semakin yakin memilih Sheila untuk Anggara.”“Ya?” gerakan tangan Bianca langsung terhenti seketika. Ia menatap pria di sampingnya dengan pandangan penuh tanya. “Apa? Sheila dan… Anggara?”Kini Arianto yang memberikan tatapan bingung dengan reaksi wanita di hadapannya. “Anda sudah tau kan kalau mereka akan menikah? Xei Anggara Miles, adik saya satu-satunya, anda pasti sudah mengenalnya.”Bianca tergagap. Ia memang sudah mengenal Anggara, mereka pernah bertemu beberapa kali. Namun, ia tidak pernah berpikir jika Anggara dan Sheila memiliki hubungan khusus, terlebih sampai menikah.Bianca menoleh cepat, mencari Indra, sayangnya pria itu pergi ke luar karena panggilan Reno.“Bu Bianca tidak tahu?” tanya Arianto bingung.“Ma-maaf, Pak, saya harus ke belakang dulu sebentar,” ujar Bianca, lalu pergi begitu saja dengan pikiran berkecamuk.***&ldq
PLAK!“BIANCA!” Indra ternganga tidak percaya dengan apa yang baru saja dilihatnya.Sheila tertunduk, tangannya menyentuh pipi kanan yang terasa perih karena tamparan Bianca. Ini adalah kali pertama Bianca pernah menamparnya. Bahkan tidak peduli sebesar apa kekacauan yang pernah Sheila lakukan, Bianca tidak pernah marah kepadanya.Namun sekarang, wanita itu tampak begitu berbeda.Sia-sia Sheila menahan genang air mata yang berkumpul di pelupuk. Tamparan Bianca tidak terlalu keras, pipinya hanya sedikit perih, tapi hatinya remuk seketika.“A… aku minta maaf, Kak.”Napas Bianca berderu marah. Kedua tangannya terkepal begitu erat. “Kamu, kamu menjual dirimu sendiri?”“Bianca.” Indra mencoba menenangkan wanita itu. “Duduk dulu.”Bianca menepis genggaman tangan Indra. Matanya terus menatap Sheila yang semakin tertunduk di hadapannya.“JAWAB, SHEI!”
“Bukankah ini yang Anda butuhkan? Sebuah pernikahan tanpa cinta.” Langkah tegap pria berkemeja hitam itu berhenti sejenak, tapi tidak menoleh. “Saya akan pastikan menjadi istri yang sesuai dengan apa yang Anda butuhkan.” “Apa kamu sedang menjual dirimu sendiri?” Pertanyaan itu bagai sambaran petir untuk Sheila. Mati-matian ia menyembunyikan kenyataan itu, tapi dengan lugasnya pria itu mengatakannya. “Apa kamu sedang menjual dirimu sendiri demi setumpuk uang?” Tersirat nada cemooh dari suaranya. Andai itu adalah Sheila yang dulu tentu ia sudah melemparkan selayang tamparan. Berani-beraninya seseorang merendahkan Peruka seperti itu. Namun sekarang, ia bahkan tidak bisa mengangkat wajahnya. “Saya sedang menawarkan bisnis kepada Anda.” Dengusan sinis terdengar dari mulut pria itu. “Lalu apa untungnya untukku?” “Anda akan mendapatkan boneka pengantin yang Anda butuhkan.” “Kamu pikir menikah denganku akan menjadi jalan singkat yang mudah?” Tidak. Sheila tau itu tidak akan pernah m