“Apa-apaan baju ini?” bisik Indra gusar.
Akhirnya, setelah rangkaian acara utama selesai, Indra bisa membawa Bianca ke ruangannya tanpa menarik perhatian karena yang lain tengah sibuk beristirahat dan menikmati sajian makan siang yang sudah dipersiapkan di ruang training yang disulap menjadi ruang pejamuan sekelas hotel berbintang.
“Kenapa sih? Ini kan baju yang pernah kupakai dulu.”
“Tapi dulu nggak seketat ini!” geram Indra. Ia bahkan bisa melihat lekukan tubuh Bianca dengan sangat jelas. “Dulu nggak begini!” katanya, menunjuk dada Bianca dengan tatapannya. Ia haus dan marah dalam waktu yang bersamaan.
“Memang modelnya begini kok.”
“Ini terlalu seksi!”
“Loh, bukannya Kakak sukanya yang seksi? Buktinya tadi tim penyambut tamunya aja seksi banget.”
Indra tertegun. Ia bahkan tidak ingat siapa saja yang berdiri sebagai penyambut tamu. Reno yang menunjuk
“Saya jadi semakin yakin memilih Sheila untuk Anggara.”“Ya?” gerakan tangan Bianca langsung terhenti seketika. Ia menatap pria di sampingnya dengan pandangan penuh tanya. “Apa? Sheila dan… Anggara?”Kini Arianto yang memberikan tatapan bingung dengan reaksi wanita di hadapannya. “Anda sudah tau kan kalau mereka akan menikah? Xei Anggara Miles, adik saya satu-satunya, anda pasti sudah mengenalnya.”Bianca tergagap. Ia memang sudah mengenal Anggara, mereka pernah bertemu beberapa kali. Namun, ia tidak pernah berpikir jika Anggara dan Sheila memiliki hubungan khusus, terlebih sampai menikah.Bianca menoleh cepat, mencari Indra, sayangnya pria itu pergi ke luar karena panggilan Reno.“Bu Bianca tidak tahu?” tanya Arianto bingung.“Ma-maaf, Pak, saya harus ke belakang dulu sebentar,” ujar Bianca, lalu pergi begitu saja dengan pikiran berkecamuk.***&ldq
PLAK!“BIANCA!” Indra ternganga tidak percaya dengan apa yang baru saja dilihatnya.Sheila tertunduk, tangannya menyentuh pipi kanan yang terasa perih karena tamparan Bianca. Ini adalah kali pertama Bianca pernah menamparnya. Bahkan tidak peduli sebesar apa kekacauan yang pernah Sheila lakukan, Bianca tidak pernah marah kepadanya.Namun sekarang, wanita itu tampak begitu berbeda.Sia-sia Sheila menahan genang air mata yang berkumpul di pelupuk. Tamparan Bianca tidak terlalu keras, pipinya hanya sedikit perih, tapi hatinya remuk seketika.“A… aku minta maaf, Kak.”Napas Bianca berderu marah. Kedua tangannya terkepal begitu erat. “Kamu, kamu menjual dirimu sendiri?”“Bianca.” Indra mencoba menenangkan wanita itu. “Duduk dulu.”Bianca menepis genggaman tangan Indra. Matanya terus menatap Sheila yang semakin tertunduk di hadapannya.“JAWAB, SHEI!”
“Bukankah ini yang Anda butuhkan? Sebuah pernikahan tanpa cinta.” Langkah tegap pria berkemeja hitam itu berhenti sejenak, tapi tidak menoleh. “Saya akan pastikan menjadi istri yang sesuai dengan apa yang Anda butuhkan.” “Apa kamu sedang menjual dirimu sendiri?” Pertanyaan itu bagai sambaran petir untuk Sheila. Mati-matian ia menyembunyikan kenyataan itu, tapi dengan lugasnya pria itu mengatakannya. “Apa kamu sedang menjual dirimu sendiri demi setumpuk uang?” Tersirat nada cemooh dari suaranya. Andai itu adalah Sheila yang dulu tentu ia sudah melemparkan selayang tamparan. Berani-beraninya seseorang merendahkan Peruka seperti itu. Namun sekarang, ia bahkan tidak bisa mengangkat wajahnya. “Saya sedang menawarkan bisnis kepada Anda.” Dengusan sinis terdengar dari mulut pria itu. “Lalu apa untungnya untukku?” “Anda akan mendapatkan boneka pengantin yang Anda butuhkan.” “Kamu pikir menikah denganku akan menjadi jalan singkat yang mudah?” Tidak. Sheila tau itu tidak akan pernah m
Apakah kita pasti bisa bahagia? Apakah pasti bisa? Apakah selalu ada terang di setiap gelap? Apakah pada akhirnya, setiap kisah memiliki satu titik terindah di lembar terakhir? Apakah aku juga akan menemukan kebahagiaan itu jika bertahan sedikit lebih lama? Apakah aku harus bertahan jika mati terasa lebih mudah? Pertanyaan-pertanyaan itu kian hari kian menumpuk. Seperti gulungan salju yang lambat laun semakin besar dan akhirnya merobohkan apa pun yang dilewatinya. Aku berdiri sambil tertunduk. Sengatan tamparan itu meremang nyeri di pipi, tapi ternyata rasanya tidak separah sesak yang terasa di dalam dadaku. Kau pernah tenggelam? Kau tau bagaimana sesaknya menggapai udara saat yang kau temukan hanya berkubik-kubik air? Kau tau rasa sakit dari sesaknya? Sekarang aku tau, meski tidak pernah tenggelam. “JAWAB, SHEI! KAMU MAU JUAL DIRI, HAH?!” Itu tuduhan yang sangat kejam, tapi aku bahkan tidak bisa membantah. “KAMU PIKIR KAKAK NGGAK MAMPU PERTAHANKAN PERUSAHAAN KITA?! KAMU PIK
“Dia h*moseksual, kan?” Haruskah aku terkejut dengan pertanyaan frontal itu? Di hari pernikahanku, di ruangan tempatku mengenakan gaun putih terindah, pertanyaan itu terlontar tanpa belas kasih. Kutatap dua wajah yang muncul di cermin. Kekecewaan menyatu bersama kemarahan, tapi apa lagi yang bisa mereka lakukan? “Itu alasan dia nggak pernah menikah sampai sekarang kan, Shei? Dia penyuka sesama jenis.” Pernyataan itu menyatu dengan sebuah pernyataan yang lain. Tidakkah takdir sedikit terasa terlalu kejam. Bagaimana mungkin mereka mengatakannya tepat di hari pernikahanku? “JAWAB, SHEI!” bentak Leslie, salah satu sahabatku. Ia sudah mengenakan gaun satin berwarna merah muda dan riasan yang sempurna. Di tangannya, sebuah buket cantik tersemat indah. Ia salah satu pengiring pengantinku, tapi sekarang ia juga yang menyuarakan kemarahan karena pernikahan itu. Air mata sangat tidak sesuai dengan gaunnya, tapi ia tetap menangis. “JAWAB AKU, SHEILA!” Ia sudah berdiri di belakangku, memi
“Perempuan nggak tau malu. Jangan-jangan dari awal itu memang rencananya.” “Pastinyalah! Perempuan kaya dia tau apa sih soal bisnis?! Dia pasti syok banget karena tiba-tiba bangkrut, dan satu-satunya hal yang dia bisa lakuin ya jual badannya.” “Cih! Padahal orang-orang di luar sana terus-terusan banggain Bianca Peruka, nggak taunya mereka cuma bermodal badan sama muka aja. Otaknya kosong!” Kupikir, etika membicarakan orang lain adalah dengan membuat pembicaraan itu tak terdengar. Namun sekarang, orang-orang sama sekali tidak ragu-ragu mengeraskan suaranya saat membicarakanku, seakan aku tuli dan buta atas apa yang mereka katakan. Sayangnya, aku bahkan tidak memiliki hak untuk marah. Secara harfiah, yang mereka katakan adalah sebuah kebenaran yang berkali kuingkari. *** “Kamu yakin nggak apa-apa, Shei?” Untuk kesekian kalinya, Leslie menanyakan hal yang sama di telepon. Aku menarik napas panjang. “Aku nggak apa-apa. Kalian tenang aja,” jawabku, yang sadar Leslie tidak sendiri. Di
Saat pertama kali memasuki kamar, hal pertama yang kupikirkan adalah betapa sia-sianya seluruh hiasan khusus kamar pengantin yang indah itu. Namun, demi sebuah penipuan yang sempurna, bahkan kelopak-kelopak mawar tak bersalah itu juga harus bekerja sama. Malam yang indah, mawar yang harum, sampanye yang manis, bahkan gaun malam yang seksi melengkapi malam pertama untuk pasangan pengantin, kecuali diriku. Tak ada perasaan lain saat aku mengenakan lingerie berwarna putih itu. Aku menggunakannya hanya karena tidak ada pilihan pakaian lain di kamar hotel, dan bagiku, tidak peduli setipis apa helaiannya, ia hanya serupa piyama yang kugunakan di rumah. Sampai pria itu datang dan menghancurkan malamku. Ia berdiri dengan tubuh telanjangnya. Jubah mandi jatuh menumpuk di kakinya. “Kalau begitu, jelaskan kenapa dia bisa sekeras ini?” Tubuhku membeku seketika. Secepat mungkin aku berpaling dari pemandangan asing itu. Wajahku mulai terasa memanas, ia adalah orang paling gila yang pernah kute
Siapa pun yang berkata jika bercinta adalah hal yang indah, tentu ia seorang pendusta yang keji. Mataku terbelalak lebar, menatap kosong langit-langit kamar hotel yang asing. Lelehan air mata jatuh tanpa diminta. Tidak ada isakkan, tidak terdengar raungan, tapi seluruh tubuhku remuk dalam nyeri. Tubuhku terasa begitu menjijikan, sampai kuharap aku bisa menghentikan laju waktu saat ini juga. Kuharap pagi tidak pernah datang untukku. Aku berharap, aku benar-benar mati malam itu. Sekali lagi, hidupku hancur berantakan, seakan pernah utuh sekali saja. Tidak peduli apakah aku memejamkan atau membuka mata, bayangan kejadian keji semalam terus berputar tanpa ampun, seakan noda di tubuhku belum cukup untuk membuatku merasa hina. Dan yang paling menyakitkan adalah fakta bahwa aku tidak bisa menyalahkan siapa pun. Bahkan tidak juga kepada mahluk buas yang mengoyak tubuhku. Karena, aku sendiri yang datang menghampirinya, merangkak di bawah kakinya, untuk menolongku keluar dari jurang itu.