Beranda / Romansa / Pelakor Harus Mati / (Season 2) - Prolog - Perjanjian dengan Iblis

Share

(Season 2) - Prolog - Perjanjian dengan Iblis

Penulis: Zia Cherry
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56
“Bukankah ini yang Anda butuhkan? Sebuah pernikahan tanpa cinta.”

Langkah tegap pria berkemeja hitam itu berhenti sejenak, tapi tidak menoleh.

“Saya akan pastikan menjadi istri yang sesuai dengan apa yang Anda butuhkan.”

“Apa kamu sedang menjual dirimu sendiri?”

Pertanyaan itu bagai sambaran petir untuk Sheila. Mati-matian ia menyembunyikan kenyataan itu, tapi dengan lugasnya pria itu mengatakannya.

“Apa kamu sedang menjual dirimu sendiri demi setumpuk uang?” Tersirat nada cemooh dari suaranya. Andai itu adalah Sheila yang dulu tentu ia sudah melemparkan selayang tamparan. Berani-beraninya seseorang merendahkan Peruka seperti itu. Namun sekarang, ia bahkan tidak bisa mengangkat wajahnya.

“Saya sedang menawarkan bisnis kepada Anda.”

Dengusan sinis terdengar dari mulut pria itu.

“Lalu apa untungnya untukku?”

“Anda akan mendapatkan boneka pengantin yang Anda butuhkan.”

“Kamu pikir menikah denganku akan menjadi jalan singkat yang mudah?”

Tidak. Sheila tau itu tidak akan pernah m
Bab Terkunci
Membaca bab selanjutnya di APP

Bab terkait

  • Pelakor Harus Mati   (Season 2) BAB 1 - Patahan Cinta Pertama

    Apakah kita pasti bisa bahagia? Apakah pasti bisa? Apakah selalu ada terang di setiap gelap? Apakah pada akhirnya, setiap kisah memiliki satu titik terindah di lembar terakhir? Apakah aku juga akan menemukan kebahagiaan itu jika bertahan sedikit lebih lama? Apakah aku harus bertahan jika mati terasa lebih mudah? Pertanyaan-pertanyaan itu kian hari kian menumpuk. Seperti gulungan salju yang lambat laun semakin besar dan akhirnya merobohkan apa pun yang dilewatinya. Aku berdiri sambil tertunduk. Sengatan tamparan itu meremang nyeri di pipi, tapi ternyata rasanya tidak separah sesak yang terasa di dalam dadaku. Kau pernah tenggelam? Kau tau bagaimana sesaknya menggapai udara saat yang kau temukan hanya berkubik-kubik air? Kau tau rasa sakit dari sesaknya? Sekarang aku tau, meski tidak pernah tenggelam. “JAWAB, SHEI! KAMU MAU JUAL DIRI, HAH?!” Itu tuduhan yang sangat kejam, tapi aku bahkan tidak bisa membantah. “KAMU PIKIR KAKAK NGGAK MAMPU PERTAHANKAN PERUSAHAAN KITA?! KAMU PIK

  • Pelakor Harus Mati   (Season 2) BAB 2 - Pria yang Tidak Mencintai

    “Dia h*moseksual, kan?” Haruskah aku terkejut dengan pertanyaan frontal itu? Di hari pernikahanku, di ruangan tempatku mengenakan gaun putih terindah, pertanyaan itu terlontar tanpa belas kasih. Kutatap dua wajah yang muncul di cermin. Kekecewaan menyatu bersama kemarahan, tapi apa lagi yang bisa mereka lakukan? “Itu alasan dia nggak pernah menikah sampai sekarang kan, Shei? Dia penyuka sesama jenis.” Pernyataan itu menyatu dengan sebuah pernyataan yang lain. Tidakkah takdir sedikit terasa terlalu kejam. Bagaimana mungkin mereka mengatakannya tepat di hari pernikahanku? “JAWAB, SHEI!” bentak Leslie, salah satu sahabatku. Ia sudah mengenakan gaun satin berwarna merah muda dan riasan yang sempurna. Di tangannya, sebuah buket cantik tersemat indah. Ia salah satu pengiring pengantinku, tapi sekarang ia juga yang menyuarakan kemarahan karena pernikahan itu. Air mata sangat tidak sesuai dengan gaunnya, tapi ia tetap menangis. “JAWAB AKU, SHEILA!” Ia sudah berdiri di belakangku, memi

  • Pelakor Harus Mati   (Season 2) BAB 3 - Apa Kau Menyesal?

    “Perempuan nggak tau malu. Jangan-jangan dari awal itu memang rencananya.” “Pastinyalah! Perempuan kaya dia tau apa sih soal bisnis?! Dia pasti syok banget karena tiba-tiba bangkrut, dan satu-satunya hal yang dia bisa lakuin ya jual badannya.” “Cih! Padahal orang-orang di luar sana terus-terusan banggain Bianca Peruka, nggak taunya mereka cuma bermodal badan sama muka aja. Otaknya kosong!” Kupikir, etika membicarakan orang lain adalah dengan membuat pembicaraan itu tak terdengar. Namun sekarang, orang-orang sama sekali tidak ragu-ragu mengeraskan suaranya saat membicarakanku, seakan aku tuli dan buta atas apa yang mereka katakan. Sayangnya, aku bahkan tidak memiliki hak untuk marah. Secara harfiah, yang mereka katakan adalah sebuah kebenaran yang berkali kuingkari. *** “Kamu yakin nggak apa-apa, Shei?” Untuk kesekian kalinya, Leslie menanyakan hal yang sama di telepon. Aku menarik napas panjang. “Aku nggak apa-apa. Kalian tenang aja,” jawabku, yang sadar Leslie tidak sendiri. Di

  • Pelakor Harus Mati   (Season 2) BAB 4 - Malam Pertama Yang Menyakitkan

    Saat pertama kali memasuki kamar, hal pertama yang kupikirkan adalah betapa sia-sianya seluruh hiasan khusus kamar pengantin yang indah itu. Namun, demi sebuah penipuan yang sempurna, bahkan kelopak-kelopak mawar tak bersalah itu juga harus bekerja sama. Malam yang indah, mawar yang harum, sampanye yang manis, bahkan gaun malam yang seksi melengkapi malam pertama untuk pasangan pengantin, kecuali diriku. Tak ada perasaan lain saat aku mengenakan lingerie berwarna putih itu. Aku menggunakannya hanya karena tidak ada pilihan pakaian lain di kamar hotel, dan bagiku, tidak peduli setipis apa helaiannya, ia hanya serupa piyama yang kugunakan di rumah. Sampai pria itu datang dan menghancurkan malamku. Ia berdiri dengan tubuh telanjangnya. Jubah mandi jatuh menumpuk di kakinya. “Kalau begitu, jelaskan kenapa dia bisa sekeras ini?” Tubuhku membeku seketika. Secepat mungkin aku berpaling dari pemandangan asing itu. Wajahku mulai terasa memanas, ia adalah orang paling gila yang pernah kute

  • Pelakor Harus Mati   (Season 2) BAB 5 - Pagi Yang Tak Pernah Diharapkan Datang

    Siapa pun yang berkata jika bercinta adalah hal yang indah, tentu ia seorang pendusta yang keji. Mataku terbelalak lebar, menatap kosong langit-langit kamar hotel yang asing. Lelehan air mata jatuh tanpa diminta. Tidak ada isakkan, tidak terdengar raungan, tapi seluruh tubuhku remuk dalam nyeri. Tubuhku terasa begitu menjijikan, sampai kuharap aku bisa menghentikan laju waktu saat ini juga. Kuharap pagi tidak pernah datang untukku. Aku berharap, aku benar-benar mati malam itu. Sekali lagi, hidupku hancur berantakan, seakan pernah utuh sekali saja. Tidak peduli apakah aku memejamkan atau membuka mata, bayangan kejadian keji semalam terus berputar tanpa ampun, seakan noda di tubuhku belum cukup untuk membuatku merasa hina. Dan yang paling menyakitkan adalah fakta bahwa aku tidak bisa menyalahkan siapa pun. Bahkan tidak juga kepada mahluk buas yang mengoyak tubuhku. Karena, aku sendiri yang datang menghampirinya, merangkak di bawah kakinya, untuk menolongku keluar dari jurang itu.

  • Pelakor Harus Mati   (Season 2) BAB 6 - Bertemu Adik Ipar

    Keterkejutan masih memenuhi benakku. Sejujurnya, aku juga tidak pernah berniat memiliki anak bersamanya. Aku bahkan tidak pernah membayangkan jika kami harus berbagi ranjang bersama. Namun, saat mendengar Aria mengatakan intruksi terakhirnya, aku tidak bisa mengelak dari rasa nyeri. Rasanya seperti mendapat penolakan, padahal aku tidak menyatakan cinta sama sekali. “Baik,” jawabku singkat. Tidak ada gunanya mempertanyakan alasan intruksi itu dibuat. Meski mungkin ia membutuhkan penerus untuk mewarisi kekayaannya, tapi jelas ia tidak menginginkan anakku. “Saya akan menyiapkan sarapan.” Aria menutup jadwalnya. Aku menggeleng. “Ayo kita langsung berangkat. Saya akan sarapan di luar.” Karena rasanya, aku akan segera mati sesak jika tetap berada di kamar ini. Aria tidak membantah, ia menelepon seseorang, memberikan intruksi pelan, lalu membuka pintu kamar lebar-lebar. Membiarkanku keluar dari sangkar emas yang diciptakan pria itu, tapi tetap menggenggam tali kekang leherku dengan erat

  • Pelakor Harus Mati   (Season 2) BAB 7 - Dia Istriku

    BAB 7 PRIA YANG TIDAK JATUH CINTA “Amara.” Deg. Ruangan itu hening seketika. Aku bisa melihat tubuh Amara membeku, lalu ia langsung memperbaiki duduk, dan merapikan pakaiannya. Di ambang pintu, Hanna Misaki berdiri anggun. Tatapannya seperti tatapan seorang Ibu yang menangkap basah kelakuan nakal anaknya. Aku ikut menelan ludah susah payah. “Kak Hanna.” Ketika Amarah berdiri, aku mengikuti. Kak Hanna memberikan tatapan tajam kepada Amara, tapi melembut kepadaku. “Selamat datang, Sheila.” Ia tersenyum anggun. Senyuman yang kupikir hanya akan kutemukan di layar televisi. Aku yakin dia semacam reinkarnasi putri kerajaan atau sesuatu sejenisnya. Cara wanita itu berdiri, mengangguk, bahkan berkedip, semuanya terasa lembut dan anggun. Terlebih caranya berpakaian. Sekarang aku mulai mengerti pilihan pakaian yang disiapkan pria itu. “Maaf karena terlambat,” katanya, yang langsung membuatku mengerjap bingung. Amara sedikit mendekat, lalu berbisik, “Orang Jepang itu gila waktu,” katany

  • Pelakor Harus Mati   (Season 2) BAB 8 - Pria Yang Tidak Jatuh Cinta

    “Jaga ucapan kamu, Riana. Dia istriku.” Deg. Jantungku hampir saja berhenti berdetak saat mendengar suara berat di belakang punggung kami. Ia, dengan tubuh berbalut jas sehitam malam, berjalan tegas ke arah kami, lalu berhenti di sampingku yang masih ternganga tak percaya. Bukankah Aria mengatakan jika hari ini ia sangat sibuk, dan memintaku datang sendiri ke acara makan siang itu? Dan, meski aku tau ia hanya sedang menjalankan perannya daam pernikahan kontrak kami, tapi mendengarnya memanggilku sebagai istri, membuatku merasa mendapat sedikit perlindungan. “Ka-kak Ang-gara.” Terbata, Riana terlihat sedikit salah tingkah. Namun aku masih bisa melihat wajahnya yang sedikit merona. Ia menyelipkan helai rambutnya ke balik telinga, lalu tersenyum malu-malu. Ini pasti lelucon, kan? Apa Riana menyukai pria itu? “Kakak datang?” tanya Riana penuh harap. Ekspresi dinginnya tidak berubah, tapi ia mengulurkan tangannya untuk merangkul pinggangku. “Ya, aku harus datang bersama istriku.” A

Bab terbaru

  • Pelakor Harus Mati   (Alternative Ending) - 2

    “Apa harus sampai begitu?” tanya Sheila sebal kepada pria yang dengan santai berjalan di sampingnya.“Apa?” tanya pria itu tak acuh.Sheila bersidekap kesal, bahkan sampai saat ini sikapnya tidak pernah berubah. “Kalau begini, Anda bisa ke kamar sendiri. Saya mau tetap di sini,” ancam Sheila sungguh-sungguh, dan seketika wajah pria itu berubah tidak suka.Ia menghentikan langkahnya, menoleh sambil berkacak pinggang. Namun, Sheila sama sekali tidak berniat mundur. Ia bersidekap, wajahnya terangkat tinggi penuh ancaman.“Shei....”“Saya nggak sendiri di sini. Ada Amara dan teman-temannya, bahkan keluarga kita di hotel ini. Dan… semua pengawal Anda ada di sini.” Sheila melirik beberapa pria berpakaian hitam yang berdiri bagai patung di koridor hotel. Dan ia yakin bukan hanya di sini, tapi di setiap sudut hotel, pria itu sudah menempatkan orang-orangnya. Rasanya sekarang lebih tepat dikatakan sebagai ajang pertemuan mafia dibanding malam sebelum pernikahan kedua mempelai.Pria itu menarik

  • Pelakor Harus Mati   (Alternative Ending) - 1

    “Oh my God! Selamat, Amara!”Plop.Seseorang baru saja menembakkan confetti popper ke udara. Serpih warna warni potongan kertasnya menghujani sang calon pengantin dengan dramatis. Di dalam kamar hotel yang sudah dihias sedemikian rupa dengan taburan mawar dan balon berwarna merah muda, gema tawa gadis-gadis terdengar begitu renyah.“YEAAAYYYYYYY, FINALLY, AMARA!!!” Seorang gadis berambut pirang sebahu memasangkan sebuah tiara ke kepala gadis cantik itu. “Selamaat! Akhirnya kamu bisa meluluhkan dinding es Simmons.”“Dia bukan dinding es lagi, Cik, tapi dinding batu! Hahahaha.”“Iya, hahahaha!”Amara, yang hari itu menjadi pemeran utama, hanya mampu tersenyum bangga sambil mengangkat gelas sampanyenya.“Kalau aku jadi kamu, aku sih sudah mundur dari dulu. Males banget deh lihat muka datarnya Simmons!” komentar salah satu sahabat Amara yang lain, yang juga memiliki rambut sebahu tapi berwarna biru.“Heh, Simmons itu sadar diri, dia paham betul siapa Amara ini!” gadis lain yang menggunaka

  • Pelakor Harus Mati   SEPATAH KATA

    Halo, semuanya…. Saya Zia. ^^ Terima kasih karena sudah membaca kisah ini sampai akhir. Huhuhuhuhuhuhuhu. Terharu, karena akhirnya saya bisa menamatkan cerita ini. T___T Dan kalau kalian tanya kenapa cerita ini lama sekali sampai bab tamat, karena sejujurnya… saya masih mencari celah untuk memperbaiki hubungan Sheila dan Anggara! Setiap bab di kisah mereka, saya tulis sambil berderai air mata. (Lebay banget ya, hahahhaha). Tapi memang begitulah. Saya mau menggambarkan betapa besarnya cinta mereka, tapi di saat yang sama, mereka juga putus asa, kecewa dengan apa yang terjadi, dan menemui jalan buntu. Sejujurnya, saya pribadi nggak setuju dengan akhir dari cerita ini. Tapi saat menulis kadang saya nggak bisa mengontrol karakter itu sepenuhnya. Walaupun saya sudah membuat plot dari awal, tapi kadang karakter tsb berkembang menjadi sosok yang tidak direncanakan, pun dengan pilihan yang diambil karakter tsb. (Ini mungkin kedengaran aneh, tapi mereka benar-benar hidup di dalam benak s

  • Pelakor Harus Mati   (Season 2) Epilog 15

    10 tahun kemudian. “Jadi? Akhirnya pangeran itu m*ti, Tante?” tanya seorang gadis 11 tahun. Suara deburan ombak mengalun merdu bersama hembusan angin beraroma garam. Mendung di luar sana mengubur cahaya rembulan dan bintang sepenuhnya. Kini yang terlihat hanyalah hamparan gelap dan suara ombak yang saling bersahut-sahutan. “Tante?” Salah satu gadis mungil mengguncangkan tangan wanita yang tengah melamun itu, memintanya melanjutkan akhir dari kisah yang dibacakannya. Mata indahnya mengedip lucu penuh penantian. “Ah, ya?” Akhirnya, wanita itu kembali. “Jadi gimana akhirnya? Pangeran itu benar-benar m*ti?” desak gadis yang 3 tahun lebih tua dari adiknya. Wanita itu menghela napas panjang, lalu menatap lembar buku di pangkuannya. “Ya, dan… nggak,” jawab wanita itu lembut. “Lho, gimana deh? Aku nggak ngerti!” “Aku juga!” “Sudah, sekarang kalian harus tidur.” “Ahhh! Selesain dulu ceritanya, Tante!” “Hm…” Wanita itu tersenyum tipis. Ia mengecup kening kedua keponakannya, lalu memp

  • Pelakor Harus Mati   (Season 2) Epilog 14

    Sheila?Seluruh indra Anggara tersentak sadar ketika ia mendengar suara Sheila. Rasanya seperti baru saja ditarik keluar dari dalamnya lautan. Ia tergagap mencari udara dalam kepanikan, tapi semua ketakutan itu enyah seketika saat mendengar suara yang paling dirindukannya.Dia hidup, dia baik-baik saja, batin Anggara. Kelegaan melebur di dalam jiwanya.Anggara ingin segera membuka mata, ia ingin memastikan keadaan Sheila dengan kedua matanya sendiri. Ia ingin melihat binar mata indah itu, ia ingin menggenggam jemarinya, ia ingin meneriaki seluruh ketakutannya saat ia pikir akan kehilangan gadis itu selamanya.Ia ingin meminta maaf karena sudah menyakitinya sedemikian dalam. Ia ingin mengatakan betapa ia sangat mencintai gadis itu, lebih… lebih dari pada yang pernah ia bayangkan.“Dia datang.”Namun, nada dingin di suara Sheila membekukan seluruh indranya kembali. Kebahagiaan yang sebelumnya merekah hangat, kini meredup sedikit demi sedikit.“Haruskah saya membiarkan dia masuk? Anda mu

  • Pelakor Harus Mati   (Season 2) Epilog 13

    “Bolehkah saya bertemu dengan Nona Sheila?”PLAK!Seperti sebuah opera sabun dengan kisah klise, wanita miskin itu ditampar oleh orang tua kekasihnya yang kaya raya. Dihujani makian, direndahkan bagai sampah, dicaci seperti pel*cur, bahkan tertuduh sebagai dalang kematian orang yang bahkan tidak dikenalinya secara langsung.“BUAT APA KAMU DATANG KE SINI?! APA KAMU MASIH BELUM PUAS MERUSAK KELUARGA SAYA?! DASAR PEREMPUAN SAMPAH!”Namun, meski mendapat penghiaan sekeras itu, ia tetap bergeming. Teguh pada pendiriannya yang salah di mata orang lain. Dan itu membuat Patricia semakin murka.Hatinya dipenuhi amarah. Bagaimana mungkin wanita yang menjadi akar dari seluruh masalah itu muncul begitu saja di hadapannya?!“PERGI! JANGAN PERNAH DATANG LAGI KE RUMAH INI! PERGI!”“Saya datang untuk menemui Nona Sheila.”PLAK!Tamparan lain melayang tanpa peringatan. “BERANI-BERANINYA KAMU SEBUT NAMA ITU DENGAN MULUT KOTORMU! PERGI! JANGAN PERNAH BERHARAP KAMU BISA TEMUI DIA! SAYA NGGAK AKAN MEMBIAR

  • Pelakor Harus Mati   (Season 2) Epilog 12

    Apakah ini surga?Ataukah neraka?Apakah ia sudah mati?Apakah akhirnya takdir sedikit berbaik hati dengan menghadirkan sosok itu di saat-saat terakhirnya?Apakah semuanya sudah selesai sekarang?Pertanyaan-pertanyaan itu menemani Sheila melayang di udara. Apakah ini sebuah mimpi? Apakah ia berhalusinasi? Jika iya, mengapa rasanya sangat nyata? Mengapa tatapan pria itu seakan menunjukkan keputus asaan yang sama dengannya? Mengapa ia ikut melompat? Mengapa ia mendekap erat seakan melindunginya?Bukankah kematiannya akan menjadi kabar yang indah untuk pria itu?BRUK!Sebuah benturan kencang menghantam tubuh Sheila. Seketika, rasa sakit memenuhi tubuhnya, seiring suara patahan tulang dan rembesan anyir darah.Sheila terhenyak, tubuhnya terhempas di atas bebaPak halaman rumah pria itu. Dengung mengisi telinganya, membuat suara lain tak terdengar satu pun. Pandangannya seakan berputar, ia bahkan tidak yakin bagian mana dari tubuhnya yang paling merasa sakit saat ini.“NONA SHEILA!”“SHEIL

  • Pelakor Harus Mati   (Season 2) Epilog 11 - Pergi Bersama

    “Ugh. B*ngsat!” Anggara mencengkram kepalanya yang nyeri. Mabuk selalu menyisakan jejak yang mengerikan di kepalanya. “Anda baik-baik saja, Pak? Apa kita harus ke rumah sakit sebelum pulang?” tanya Davin, yang ditelepon Anggara saat terbangun pagi ini untuk menjemputnya di rumah Arianto. Anggara menggeleng sambil terus memejamkan mata di kursi penumpang. Berharap nyeri di kepalanya segera enyah. “Berapa lama saya di rumah Ari?" tanya Anggara sambil menahan sakit. “Argh! Br*ngsek!” Anggara meminum air yang disediakan Davin di dalam mobil. “Sejak kemarin malam, Pak,” jawab Davin hati-hati. “Saya minta maaf karena sudah lancang menghubungi Pak Ari. Tapi kondisi Anda kemarin sangat…” Davin tidak mampu menemukan kata yang bisa menggambarkan keadaan atasannya kemarin. Ia sendiri sudah mempersiapkan diri kalau-kalau Anggara melampiaskan seluruh amarahnya karena keputusan lancangnya. “Terima kasih.” “Ya?” Davin ternganga tak percaya. Apakah pria itu b

  • Pelakor Harus Mati   (Season 2) Epilog 10 - Kenangan Terakhir

    Sehari sebelumnya.Sudah berapa lama waktu berlalu? Apakah sekarang tengah malam? Atau hari yang lain? Mengapa tidak ada bedanya? Mengapa tidak ada hal lain kecuali kegelapan di matanya?Di tengah ranjangnya yang luas, Anggara duduk dengan pandangan nyalang. Ia menenggak anggur di tangannya, lalu ketika tak menemukan tetes yang lain, ia melemparkan botol itu hingga pecah berantakan, lalu membuka botol lain, menenggaknya hingga tandas, lalu membantingnya lagi.Siklus yang sudah terjadi entah berapa lama.Kamar itu gelap, berantakan, dan hening. Anehnya, di setiap sudut ruangan itu, Anggara bisa melihat bayangan istrinya. Ketika ia berbaring di ranjang, ketika ia berjalan mengitari walk in closet, atau ketika ia berdiri menatap rembulan.Semakin lama, kenangan itu terasa semakin nyata. Setiap bayangannya mulai memudar, Anggara kembali menenggak minumannya, memaksa pikirannya untuk menghadirkan kembali sosok Sheila, meski

DMCA.com Protection Status