Siapa pun yang berkata jika bercinta adalah hal yang indah, tentu ia seorang pendusta yang keji. Mataku terbelalak lebar, menatap kosong langit-langit kamar hotel yang asing. Lelehan air mata jatuh tanpa diminta. Tidak ada isakkan, tidak terdengar raungan, tapi seluruh tubuhku remuk dalam nyeri. Tubuhku terasa begitu menjijikan, sampai kuharap aku bisa menghentikan laju waktu saat ini juga. Kuharap pagi tidak pernah datang untukku. Aku berharap, aku benar-benar mati malam itu. Sekali lagi, hidupku hancur berantakan, seakan pernah utuh sekali saja. Tidak peduli apakah aku memejamkan atau membuka mata, bayangan kejadian keji semalam terus berputar tanpa ampun, seakan noda di tubuhku belum cukup untuk membuatku merasa hina. Dan yang paling menyakitkan adalah fakta bahwa aku tidak bisa menyalahkan siapa pun. Bahkan tidak juga kepada mahluk buas yang mengoyak tubuhku. Karena, aku sendiri yang datang menghampirinya, merangkak di bawah kakinya, untuk menolongku keluar dari jurang itu.
Keterkejutan masih memenuhi benakku. Sejujurnya, aku juga tidak pernah berniat memiliki anak bersamanya. Aku bahkan tidak pernah membayangkan jika kami harus berbagi ranjang bersama. Namun, saat mendengar Aria mengatakan intruksi terakhirnya, aku tidak bisa mengelak dari rasa nyeri. Rasanya seperti mendapat penolakan, padahal aku tidak menyatakan cinta sama sekali. “Baik,” jawabku singkat. Tidak ada gunanya mempertanyakan alasan intruksi itu dibuat. Meski mungkin ia membutuhkan penerus untuk mewarisi kekayaannya, tapi jelas ia tidak menginginkan anakku. “Saya akan menyiapkan sarapan.” Aria menutup jadwalnya. Aku menggeleng. “Ayo kita langsung berangkat. Saya akan sarapan di luar.” Karena rasanya, aku akan segera mati sesak jika tetap berada di kamar ini. Aria tidak membantah, ia menelepon seseorang, memberikan intruksi pelan, lalu membuka pintu kamar lebar-lebar. Membiarkanku keluar dari sangkar emas yang diciptakan pria itu, tapi tetap menggenggam tali kekang leherku dengan erat
BAB 7 PRIA YANG TIDAK JATUH CINTA “Amara.” Deg. Ruangan itu hening seketika. Aku bisa melihat tubuh Amara membeku, lalu ia langsung memperbaiki duduk, dan merapikan pakaiannya. Di ambang pintu, Hanna Misaki berdiri anggun. Tatapannya seperti tatapan seorang Ibu yang menangkap basah kelakuan nakal anaknya. Aku ikut menelan ludah susah payah. “Kak Hanna.” Ketika Amarah berdiri, aku mengikuti. Kak Hanna memberikan tatapan tajam kepada Amara, tapi melembut kepadaku. “Selamat datang, Sheila.” Ia tersenyum anggun. Senyuman yang kupikir hanya akan kutemukan di layar televisi. Aku yakin dia semacam reinkarnasi putri kerajaan atau sesuatu sejenisnya. Cara wanita itu berdiri, mengangguk, bahkan berkedip, semuanya terasa lembut dan anggun. Terlebih caranya berpakaian. Sekarang aku mulai mengerti pilihan pakaian yang disiapkan pria itu. “Maaf karena terlambat,” katanya, yang langsung membuatku mengerjap bingung. Amara sedikit mendekat, lalu berbisik, “Orang Jepang itu gila waktu,” katany
“Jaga ucapan kamu, Riana. Dia istriku.” Deg. Jantungku hampir saja berhenti berdetak saat mendengar suara berat di belakang punggung kami. Ia, dengan tubuh berbalut jas sehitam malam, berjalan tegas ke arah kami, lalu berhenti di sampingku yang masih ternganga tak percaya. Bukankah Aria mengatakan jika hari ini ia sangat sibuk, dan memintaku datang sendiri ke acara makan siang itu? Dan, meski aku tau ia hanya sedang menjalankan perannya daam pernikahan kontrak kami, tapi mendengarnya memanggilku sebagai istri, membuatku merasa mendapat sedikit perlindungan. “Ka-kak Ang-gara.” Terbata, Riana terlihat sedikit salah tingkah. Namun aku masih bisa melihat wajahnya yang sedikit merona. Ia menyelipkan helai rambutnya ke balik telinga, lalu tersenyum malu-malu. Ini pasti lelucon, kan? Apa Riana menyukai pria itu? “Kakak datang?” tanya Riana penuh harap. Ekspresi dinginnya tidak berubah, tapi ia mengulurkan tangannya untuk merangkul pinggangku. “Ya, aku harus datang bersama istriku.” A
“Kamu?” Aku yakin ini adalah sebuah mimpi. “Halo, Sheila, apa kamu rindu Mama?” Gila. Seumur hidupku, tidak pernah sekali pun aku menganggap wanita itu sebagai pengganti ibuku. Tidak sama sekali. Saat kecil, aku menganggapnya sebagai iblis yang merebut perhatian ayah, ia juga yang selalu membuat Kakak menangis. Dan, ketika dewasa, aku membencinya karena telah membunuh ibuku. Wajah itu menyeringai dingin. “Ah, putri kecilku yang manis.” Ia mendekat. Tangan berhias nail arts berwarna merah terulur kepadaku. “Coba lihat betapa bodohnya kamu.” Ia mencengkram rahangku, menancapkan kuku panjangnya. Aku memejamkan mata. Dia sudah kalah. Dia berada di penjara dalam keadaan yang paling menyedihkan. Bahkan lidahnya cacat karena terbakar. Ini hanya sebuah mimpi. Semuanya akan baik-baik saja saat aku terbangun. Ini tidak nyata. Berkali-kali kurapal kata-kata itu bagai jampi, tapi berkali-kali juga aku mengalami kebuntuan. Ruangan itu gelap gulita, hanya ada sebuah lampu sorot yang
“Jadi, kapan rencana pernikahan kalian?” Pertanyaan itu seakan menampar wajahku. Aku bisa merasakan lirikan Kak Indra ke arahku. Seakan tengah mempertimbangkan keberadaanku sebelum memberikan jawaban. Padahal itu takkan mengubah rasa sakit yang terpendam, bukan? “Kakek nggak sopan deh,” ujar Riana dengan nada manja, membuat kami semua menoleh terkejut. “Masa Kakek tanya soal pernikahan Pak Indra di depan Sheila.” Apa? “Ya? Apa ada yang salah?” tanya Kakek, menatapku dan Kak Indra secara bergantian. “Kakek memangnya nggak tau? Dulu ada gosip Sheila suka sama Pak Indra.” Wush. Seperti terkena ayunan tongkat penyihir, ruangan itu hening seketika. Sebelum pecah oleh deham dan batuk kikuk dari beberapa orang. Amara menatap kebingungan. Detak jantungku mulai bertalu tak beraturan. Aku melirik Kakek yang berdeham keras sebelum menyesap minumannya. “Jadi ada juga gosip seperti itu,” katanya dengan suara berat. Riana tersenyum sinis penuh kemenangan sambil terus menatapku. Sekarang
Kurasa, kesempurnaan mutlak memang mustahil tercipta. Bahkan mutiara yang terlihat begitu berkilau ternyata memiliki retak di bagian dalam, dan tak pernah menjadi utuh kembali. Ia indah, tapi bagi beberapa orang, itu tak lagi berharga. Ironis. Di mataku, Kak Hanna sama sekali tidak memiliki retakkan. Ia luar biasa cantik, sikapnya seelegan seorang putri mahkota yang kelak akan menjadi ratu, wawasan begitu luas, dan ia memiliki senyum selembut sapaan mentari di pagi hari. Indah, dan tak tersentuh. Ia adalah jelemaan dewi yang nyata. Tapi lihatlah betapa ia sangat tidak bernilai bagi beberapa pasang mata. Kak Hanna terpaksa mengangkat rahim dan indung telurnya karena kanker yang diderita beberapa tahun yang lalu. Pengangkatan itu memang menyelamatkan hidupnya, tapi ia tak lagi utuh. Ini bukan kali pertama. Jauh sebelum kehadiran Kak Hanna, Mariana Mahomar, adalah wanita pertama yang tidak bisa memiliki anak di dalam keluarga itu. Secara otomatis, itu memutus garis keturunan dari Ra
“Sheila, kenapa kamu ada di sini?” Kupikir, aku akan baik-baik saja. Namun ternyata, aku terlalu lemah dan naïf. Saat mendengar nada dingin dari sapaannya di pertemuan pertama kami setelah beberapa waktu, aku tidak bisa menahan perasaan nyeri yang merangkak perlahan. Aku melirik ke belakang, berharap mereka sudah pergi, tapi tentu saja mereka masih di sana. “Apa aku sudah nggak boleh ke sini?” tanyaku, sesantai mungkin. Kak Indra menghela napas panjang. “Ayo ke ruanganku,” katanya, padahal aku yakin tadi ia akan berjalan ke luar. Decakkan dan suara entakkan sepatu Ria terdengar jelas. Itu sedikit menghibur di antara perasaan gundah yang kurasakan. “Kamu sudah dengar apa kata Pak Herianto.” Tanpa basa-basi, Kak Indra langsung berbicara setelah aku menutup pintu di belakang punggungku. Apa dia tidak penasaran bagaimana kabarku atau yang lain? Apa baginya aku benar-benar tidak terlalu penting? “Shei,” tegur Kak Indra saat aku hanya membisu. “Apa aku sudah nggak terdaftar sebagai