“Sheila, kenapa kamu ada di sini?” Kupikir, aku akan baik-baik saja. Namun ternyata, aku terlalu lemah dan naïf. Saat mendengar nada dingin dari sapaannya di pertemuan pertama kami setelah beberapa waktu, aku tidak bisa menahan perasaan nyeri yang merangkak perlahan. Aku melirik ke belakang, berharap mereka sudah pergi, tapi tentu saja mereka masih di sana. “Apa aku sudah nggak boleh ke sini?” tanyaku, sesantai mungkin. Kak Indra menghela napas panjang. “Ayo ke ruanganku,” katanya, padahal aku yakin tadi ia akan berjalan ke luar. Decakkan dan suara entakkan sepatu Ria terdengar jelas. Itu sedikit menghibur di antara perasaan gundah yang kurasakan. “Kamu sudah dengar apa kata Pak Herianto.” Tanpa basa-basi, Kak Indra langsung berbicara setelah aku menutup pintu di belakang punggungku. Apa dia tidak penasaran bagaimana kabarku atau yang lain? Apa baginya aku benar-benar tidak terlalu penting? “Shei,” tegur Kak Indra saat aku hanya membisu. “Apa aku sudah nggak terdaftar sebagai
“Shei? Sheila.” Aku mengerjap beberapa kali. “Kamu masih di sana?” “Ya,” kataku, seraya menghela napas panjang. “Ya sudah. Hati-hati ya, nanti kami jemput di bandara.” “Oke,” jawabku singkat sebelum menutup sambungan telepon Leslie. Lagi pula pramugari sudah memberikan kode jika pesawat kami sebentar lagi akan take off. Saat pilot membawa burung besi itu mengudara, pikiranku ikut melayang bersama potongan-potongan kejadian tadi. Aku bisa saja menghentikan obrolan aneh mereka sejak pertama kali mendengarnya, tapi itu tidak kulakukan. Karena sejujurnya aku juga memiliki pertanyaan yang sama. Kabar tentang menyimpangnya orientasi seksual pria itu sudah sering terdengar. Ini kali pertama aku mengetahui jika ia juga pernah dirumorkan dengan seorang wanita. Awalnya, kupikir itu adalah Riana Miles, sepupu angkatnya, atau mungkin Amara, adiknya sendiri. Namun, meski mereka dipotret dari jarak yang cukup jauh, dan hanya memperlihatkan sebagian sisi tubuhnya di bawah temaram malam, tap
Kurasa, aku sama sekali tidak terkejut saat tidak menemukan pria itu keesokan harinya di dalam kamar. Ia datang dan pergi tanpa kata, bahkan mungkin malam bertindak lebih sopan dengan mengucapkan salam melalui senja. Namun, yang lebih mengejutkan lagi adalah kedatangan Amara pagi-pagi sekali. Aria sudah mengabari kedatangannya saat aku membuka mata. Praktis itu membuatku menunggu kapan ia akan masuk ke dalam kamar tanpa ketukan. Tapi, hingga aku selesai bersiap, ia tak kunjung muncul. Di ruang makan yang memiliki akses langsung ke kolam renang, aku juga tidak menemukan Amara. Aku berjalan berkeliling rumah, mencari keberadaan adik iparku, dan menemukannya di dalam ruang kerja pria itu, bersamanya. Jadi ia tidak menghilang lagi hari ini? Amara berdiri di depan meja pria itu saat aku mengintip dari celah pintu yang tidak tertutup sempurna. Sedang pria itu hanya fokus menatap layar ponsel. “Kakak sudah gila?!” Bentakkan itu tidak terdengar seperti sosok Amara yang kukenal. Wajahnya
Tubuhku benar-benar lelah. Seperti diperas sampai puing terakhir, lalu diratakan bersama debu. Bahkan rendaman air hangat itu sama sekali tidak membantu. Namun setidaknya, ia sedikit bertanggung jawab. Ia tidak meninggalkanku pingsan di kamar mandi setelah membuatku kelelahan seperti itu. Ia memanggil pelayan, meminta mereka memakaikan pakaianku, lalu membaringkan di atas ranjang. Mataku hampir terpejam saat melihat siluetnya menggunakan kemeja. Tak ada suara yang terengar, kecuali gerak gesit para pelayan. Beberapa menit kemudian, aku sudah terbaring bagai putri tidur yang hampir tak bisa lagi membuka mata. Bahkan meski dering ponsel terdengar berkali-kali, aku sama sekali tidak tergerak untuk meraih benda pipih itu. Sedetik kemudian, saat kupikir aku bisa terlelap kapan saja, ia mengguncang bahuku. “Sheila, bangun,” titahnya, tergesa. Erangan enggan meluncur tanpa sadar. Tubuhku letih, dan mataku sangat berat. Apa ia masih belum puas menggunakanku sekarang? “Bangun, kamu harus
“Kemuningkinan pembukaan leher rahim secara premature. Kami akan berusaha mengeluarkan bayinya sekarang.” Air mataku menitik perlahan. “Apa bayinya baik-baik aja?” tanyaku dengan suara yang entah bisa didengar atau tidak. Perih membuat seluruh saraf di dalam tubuhku tercekat. “Detak jantungnya sedeikit melemah, tapi dia akan baik-baik aja. Kita dikelilingi dokter yang hebat di sini.” Aku hanya terdiam selama beberapa saat sambil terus menatap wajah Kakak. Ia sangat cantik seperti biasa, bahkan ketika wajahnya sepucat pualam, ia terlihat semakin cantik. Meski matanya terpejam rapat, ia tetap memiliki mata terindah yang pernah kulihat. “Dia pasti senang karena kedatangan kamu, Shei.” Aku sama sekali tidak ingin menunjukkan kelemahanku di sana. “Dia mau kamu nggak terlalu cemas. Dia akan berusaha sekuat mungkin untuk bertahan.” Apa sekarang ia juga sudah menitipkanku kepada semua orang seperti dulu? Itu kah mengapa tatapan orang-orang begitu cemas kepadaku? Apakah ia tau jika aku t
675.700 bayi premature lahir di Indonesia setiap tahunnya, dan bayi Kakak akan menjadi salah satu angka tambahan untuk angka itu. Aku tau tidak ada yang menyerah di sini. Kak Indra sudah menyiapkan rencana perawatan yang terbaik. Dokter kandungan dan bedah terbaik sudah mendampingi mereka di ruang operasi, sedangkan dokter anak siaga sepenuhnya di NICU, menunggu bayi yang akan dilahirkan Kakak. Kak Ari sudah menyiapkan pengawalan khusus agar berita Kakak di rumah sakit tidak sampai ke telinga reporter. Dokter datang tak lama setelah itu. Ruang operasi sudah siap, dan mereka harus melakukan tindakan sesegera mungkin untuk menyelamatkan harapan yang mungkin masih kami miliki. Kak Indra sigap mendampingi Kakak saat dokter membawanya ke ruang operasi. Ia menawariku untuk ikut serta, tapi kutolak. “Aku akan tunggu di sini,” kataku. “Kakak harus temani Kak Bian, aku akan baik-baik aja.” Kak Indra tampak ragu sejenak. Seakan ia tidak ingin membiarkanku berada jauh dari pandangannya. T
Mohon maaf lahir batin semuanya, saya Zia.Selama bulan puasa, saya terpaksa hiatus dulu ya. ^^ (Dan maaf baru mengabari, karena belakangan saya luar biasa (sedikit) lebih sibuk. Miane...Kembali lagi, Insya Allah setelah lebaran, atau paling cepat tanggal 18 April 2022.Terima kasih banyak untuk teman-teman yang sudah mensupport cerita ini sampai di kisah SHEILA. Kalau ada kritik atau saran, feel free to say, silakan berikan komentar tentang apa pun. ^^ Karena kritik dan saran teman-teman adalah cara saya memperbaiki diri. :)Baca juga cerita lainnya di KBM APP1. Menaklukkan Ustadz Ganteng (TAMAT)2. Dua Wanita, Satu Ranjang (TAMAT)3. Bara, Hot Daddy, Sweet Husband (On going)Salam hangat,Zia.
BAB 18 BERMAIN API Siapa yang paling diuntungkan atas kematian Kakak? Kuharap pertanyaan itu bisa mengerucutkan spekulasi tentang siapa pengirim pesan gila ke ponselku. Siapa pun bisa menjadi si pengirim pesan, tapi setelah semua yang kami alami bersama, jiwaku menolak kemungkinan jika si pengirim pesan tengah berada di antara kami. Baru saja beberapa saat yang lalu aku menangisi keadaan Kakak, merasa begitu lemah karena rasa takut akan kehilangannya, tapi sekarang, semua perasaan itu mulai tergantikan oleh perasaan marah penuh waspada. Kutatap satu persatu wajah yang tampak begitu cemas itu. Jika benar salah satu dari mereka adalah orang yang mengharapkan kematian Kakak, maka mereka berhak mendapatkan penghargaan atas lakon yang sempurna. Saat seorang perawat berjalan melewati ruang tunggu kamar operasi tanpa berhenti, aku berdiri, lalu berjalan mendekati sisi lain ruang tunggu. Mereka adalah orang-orang yang paling dipercayai Kakak, praktis, juga menjadi orang yang paling kupe