675.700 bayi premature lahir di Indonesia setiap tahunnya, dan bayi Kakak akan menjadi salah satu angka tambahan untuk angka itu. Aku tau tidak ada yang menyerah di sini. Kak Indra sudah menyiapkan rencana perawatan yang terbaik. Dokter kandungan dan bedah terbaik sudah mendampingi mereka di ruang operasi, sedangkan dokter anak siaga sepenuhnya di NICU, menunggu bayi yang akan dilahirkan Kakak. Kak Ari sudah menyiapkan pengawalan khusus agar berita Kakak di rumah sakit tidak sampai ke telinga reporter. Dokter datang tak lama setelah itu. Ruang operasi sudah siap, dan mereka harus melakukan tindakan sesegera mungkin untuk menyelamatkan harapan yang mungkin masih kami miliki. Kak Indra sigap mendampingi Kakak saat dokter membawanya ke ruang operasi. Ia menawariku untuk ikut serta, tapi kutolak. “Aku akan tunggu di sini,” kataku. “Kakak harus temani Kak Bian, aku akan baik-baik aja.” Kak Indra tampak ragu sejenak. Seakan ia tidak ingin membiarkanku berada jauh dari pandangannya. T
Mohon maaf lahir batin semuanya, saya Zia.Selama bulan puasa, saya terpaksa hiatus dulu ya. ^^ (Dan maaf baru mengabari, karena belakangan saya luar biasa (sedikit) lebih sibuk. Miane...Kembali lagi, Insya Allah setelah lebaran, atau paling cepat tanggal 18 April 2022.Terima kasih banyak untuk teman-teman yang sudah mensupport cerita ini sampai di kisah SHEILA. Kalau ada kritik atau saran, feel free to say, silakan berikan komentar tentang apa pun. ^^ Karena kritik dan saran teman-teman adalah cara saya memperbaiki diri. :)Baca juga cerita lainnya di KBM APP1. Menaklukkan Ustadz Ganteng (TAMAT)2. Dua Wanita, Satu Ranjang (TAMAT)3. Bara, Hot Daddy, Sweet Husband (On going)Salam hangat,Zia.
BAB 18 BERMAIN API Siapa yang paling diuntungkan atas kematian Kakak? Kuharap pertanyaan itu bisa mengerucutkan spekulasi tentang siapa pengirim pesan gila ke ponselku. Siapa pun bisa menjadi si pengirim pesan, tapi setelah semua yang kami alami bersama, jiwaku menolak kemungkinan jika si pengirim pesan tengah berada di antara kami. Baru saja beberapa saat yang lalu aku menangisi keadaan Kakak, merasa begitu lemah karena rasa takut akan kehilangannya, tapi sekarang, semua perasaan itu mulai tergantikan oleh perasaan marah penuh waspada. Kutatap satu persatu wajah yang tampak begitu cemas itu. Jika benar salah satu dari mereka adalah orang yang mengharapkan kematian Kakak, maka mereka berhak mendapatkan penghargaan atas lakon yang sempurna. Saat seorang perawat berjalan melewati ruang tunggu kamar operasi tanpa berhenti, aku berdiri, lalu berjalan mendekati sisi lain ruang tunggu. Mereka adalah orang-orang yang paling dipercayai Kakak, praktis, juga menjadi orang yang paling kupe
Pintu hermetic terbuka seketika. Aku harusnya tidak terkejut saat melihat Kak Indra melangkah keluar dari ruangan itu. Tidak ada satu orang pun yang mengabari ia tentang berita ini, dan aku yakin ia tentu terlalu sibuk mengurusi Kakak di dalam sana. Namun, saat keluar dari ruang operasi, wajahnya seakan menyiratkan jika ia mengetahui semuanya. “Kak Indra, gimana keadaan Kakak?” tanyaku, berharap kedatangan Kak Indra akan membawa kabar yang kami harapkan. Sejenak, Kak Indra hanya bersitatap dengan pria itu. Tatapan keduanya begitu dingin, tajam, dan misterius. Seakan ada begitu banyak aksara tak tersirat yang mereka bincangkan satu sama lain. “Kamu ikut saya, Sheila, kami akan mewakili Peruka.” Suaranya penuh kewaspadaan. Tapi itu bukan jawaban atas pertanyaanku. Aku bisa melihat Amara sempat hendak mengajukan keberatan yang lain, tapi tatapan pria itu membuatnya bungkam. Sejujurnya, meski kedatangan Kak Indra yang tiba-tiba memberikanku perasaan aman seperti biasa, tapi itu tidak
Apa yang akan Kakak lakukan dalam posisi ini?Itu adalah pertanyaan yang terus terngiang saat kakiku melangkah masuk ke lobi Miles Tower yang megah. Namun harus kuakui, aku semakin mengagumi Kak Indra. Saat rasanya aku bisa muntah kapan saja karena perasaan muak ini, Kak Indra tetap terlihat tenang dan dingin. Seakan ia memang sudah terlatih untuk menghadapi semua kemungkinan.“Panggil seluruh tim pengembang ke ruang meeting di lantai 7,” ujar Kak Indra kepada Kak Tini. Itu bukan titah kepada Haris, yang artinya Kak Indra ingin pesan itu tersebar hanya di dalam tim pengembang internal Peruka Cosmetics.“Ya, Pak.” Kak Tini langsung mengirim pesan di grup ponselnya. Aku tau sampai saat ini ia masih memiliki grup yang berisi tim pengembang Peruka Cosmetics yang lama, dan satu lagi, grup berisi tim pengembang gabungan dari Peruka dan Miles group.Tentu saja grup yang lama hanya berisi keluh kesah pengembang Peruka saat mengeluhkan tentang orang-orang Miles group. Dan kuharap kami tidak me
BAB 21 I’M NOT OKAY “Di dalam dunia bisnis, hal ini bukan masalah kecil yang bisa ditolerir. Seperti tubuh manusia, kadang untuk mempertahankannya kita harus mengamputasi bagian tubuh yang rusak.” Aku menangkap tatapan panik Poppy Lestari, orang yang dengan sengaja Kakak pertahankan saat ia membersihkan Peruka dari orang-orang ayah. Ia menggeleng panik, meneriakkan ketakutannya tanpa suara. Padahal aku belum mengatakan apa pun. “Mungkin ada oknum yang membuat kosmetik palsu.” “Dan mereka bisa menjual di klinik Peruka yang resmi?” Riana melipat tangan di dada. Wajahnya terlihat sangat puas atas pertanyaan dermatolog yang mengintrogasi kami bagai penjahat. Jika semua ini terbukti, kami akan kehilangan Peruka Cosmetics, dan pernikahan memuakkanku dengan pria itu lenyap tak berbekas. Sejujurnya, aku benar-benar menyesal karena menikah dengan pria itu. Mereka mendapatkan apa yang mereka inginkan, saat kami akan jatuh sekali lagi, dan itu karena kesalahanku. “Mungkin kalian belum m
“Shei? Sheila?! Shei!”Deg.Pernahkah kau merasa kepalamu kosong seketika, lalu karena sebuah entakkan kesadaranmu kembali muncul, tapi itu tidak menjadi lebih baik.“Shei?!”“Ya-ya?”“F*ck! Aku hampir kena serangan jantung! Sekarang kamu di mana? Kamu masih sama Kak Tini?” Aku menggeleng. “Dia di lift.”“Kamu?”“Aku diluar.”“Bagus. Sekarang kamu harus cari Pak Indra.”Sejujurnya, kepalaku masih terlalu pening untuk memahami apa yang terjadi. Sebenarnya siapa dokter Sherin ini?Ketika aku masih mencoba berpikir, tiba-tiba saja angka di lift kembali berubah, bukannya turun, angka itu justru kembali naik. Mataku membulat, lalu berdasarkan insting aku mulai berlari masuk ke ruangan tak terkunci yang terdekat.Ting.Aku bisa mendengar suara pintu lift terbuka, lalu seseorang berjalan ke luar lift. Ketukan sepatu hak tingginya semakin keras ketika langkahnya mendekat. Aku menahan mulut dan menurunkan volume suara Dinda yang masih memanggil di seberang telepon.Ketika suara hak sepatu itu
“MINGGIR, S*ALAN! SAYA HARUS KETEMU PAK ANGGARA! SAYA HARUS LIHAT KONDISINYA! KALIAN PIKIR KALIAN SIAPA, HAH?! SAYA BISA PECAT KALIAN SEMUA SEKARANG JUGA!”Dari kejauhan, suara itu terdengar gaduh. Aku bersyukur ruangan presiden direktur tidak berdampingan dengan ruangan-ruangan lainnya. Ada lorong yang cukup panjang, dengan pintu-pintu ruang meeting yang tertutup rapat. Bahkan beberapa di antaranya sengaja dibuat kedap suara.Di ujung lorong, terdapat sebuah ruangan berpintu hitam yang kokoh, di dampingi dua meja sekretaris, beberapa meja untuk asistennya, sebuah lounge mewah untuk tamu, dan sebuah pantry lengkap yang tersembunyi di balik dinding kaca.Gedung ini benar-benar menunjukkan tingkatan kasta dengan sempurna.Dan di depan pintu hitam itu lah keributan terjadi. Beberapa orang tampak berusaha menyibukan diri, mereka cukup pintar untuk tidak melibatkan diri dengan sosok yang menurutku paling br*ngsek, dan kurasa semua orang akan setuju.Riana Miles memang sosok pebisnis yang p
“Apa harus sampai begitu?” tanya Sheila sebal kepada pria yang dengan santai berjalan di sampingnya.“Apa?” tanya pria itu tak acuh.Sheila bersidekap kesal, bahkan sampai saat ini sikapnya tidak pernah berubah. “Kalau begini, Anda bisa ke kamar sendiri. Saya mau tetap di sini,” ancam Sheila sungguh-sungguh, dan seketika wajah pria itu berubah tidak suka.Ia menghentikan langkahnya, menoleh sambil berkacak pinggang. Namun, Sheila sama sekali tidak berniat mundur. Ia bersidekap, wajahnya terangkat tinggi penuh ancaman.“Shei....”“Saya nggak sendiri di sini. Ada Amara dan teman-temannya, bahkan keluarga kita di hotel ini. Dan… semua pengawal Anda ada di sini.” Sheila melirik beberapa pria berpakaian hitam yang berdiri bagai patung di koridor hotel. Dan ia yakin bukan hanya di sini, tapi di setiap sudut hotel, pria itu sudah menempatkan orang-orangnya. Rasanya sekarang lebih tepat dikatakan sebagai ajang pertemuan mafia dibanding malam sebelum pernikahan kedua mempelai.Pria itu menarik
“Oh my God! Selamat, Amara!”Plop.Seseorang baru saja menembakkan confetti popper ke udara. Serpih warna warni potongan kertasnya menghujani sang calon pengantin dengan dramatis. Di dalam kamar hotel yang sudah dihias sedemikian rupa dengan taburan mawar dan balon berwarna merah muda, gema tawa gadis-gadis terdengar begitu renyah.“YEAAAYYYYYYY, FINALLY, AMARA!!!” Seorang gadis berambut pirang sebahu memasangkan sebuah tiara ke kepala gadis cantik itu. “Selamaat! Akhirnya kamu bisa meluluhkan dinding es Simmons.”“Dia bukan dinding es lagi, Cik, tapi dinding batu! Hahahaha.”“Iya, hahahaha!”Amara, yang hari itu menjadi pemeran utama, hanya mampu tersenyum bangga sambil mengangkat gelas sampanyenya.“Kalau aku jadi kamu, aku sih sudah mundur dari dulu. Males banget deh lihat muka datarnya Simmons!” komentar salah satu sahabat Amara yang lain, yang juga memiliki rambut sebahu tapi berwarna biru.“Heh, Simmons itu sadar diri, dia paham betul siapa Amara ini!” gadis lain yang menggunaka
Halo, semuanya…. Saya Zia. ^^ Terima kasih karena sudah membaca kisah ini sampai akhir. Huhuhuhuhuhuhuhu. Terharu, karena akhirnya saya bisa menamatkan cerita ini. T___T Dan kalau kalian tanya kenapa cerita ini lama sekali sampai bab tamat, karena sejujurnya… saya masih mencari celah untuk memperbaiki hubungan Sheila dan Anggara! Setiap bab di kisah mereka, saya tulis sambil berderai air mata. (Lebay banget ya, hahahhaha). Tapi memang begitulah. Saya mau menggambarkan betapa besarnya cinta mereka, tapi di saat yang sama, mereka juga putus asa, kecewa dengan apa yang terjadi, dan menemui jalan buntu. Sejujurnya, saya pribadi nggak setuju dengan akhir dari cerita ini. Tapi saat menulis kadang saya nggak bisa mengontrol karakter itu sepenuhnya. Walaupun saya sudah membuat plot dari awal, tapi kadang karakter tsb berkembang menjadi sosok yang tidak direncanakan, pun dengan pilihan yang diambil karakter tsb. (Ini mungkin kedengaran aneh, tapi mereka benar-benar hidup di dalam benak s
10 tahun kemudian. “Jadi? Akhirnya pangeran itu m*ti, Tante?” tanya seorang gadis 11 tahun. Suara deburan ombak mengalun merdu bersama hembusan angin beraroma garam. Mendung di luar sana mengubur cahaya rembulan dan bintang sepenuhnya. Kini yang terlihat hanyalah hamparan gelap dan suara ombak yang saling bersahut-sahutan. “Tante?” Salah satu gadis mungil mengguncangkan tangan wanita yang tengah melamun itu, memintanya melanjutkan akhir dari kisah yang dibacakannya. Mata indahnya mengedip lucu penuh penantian. “Ah, ya?” Akhirnya, wanita itu kembali. “Jadi gimana akhirnya? Pangeran itu benar-benar m*ti?” desak gadis yang 3 tahun lebih tua dari adiknya. Wanita itu menghela napas panjang, lalu menatap lembar buku di pangkuannya. “Ya, dan… nggak,” jawab wanita itu lembut. “Lho, gimana deh? Aku nggak ngerti!” “Aku juga!” “Sudah, sekarang kalian harus tidur.” “Ahhh! Selesain dulu ceritanya, Tante!” “Hm…” Wanita itu tersenyum tipis. Ia mengecup kening kedua keponakannya, lalu memp
Sheila?Seluruh indra Anggara tersentak sadar ketika ia mendengar suara Sheila. Rasanya seperti baru saja ditarik keluar dari dalamnya lautan. Ia tergagap mencari udara dalam kepanikan, tapi semua ketakutan itu enyah seketika saat mendengar suara yang paling dirindukannya.Dia hidup, dia baik-baik saja, batin Anggara. Kelegaan melebur di dalam jiwanya.Anggara ingin segera membuka mata, ia ingin memastikan keadaan Sheila dengan kedua matanya sendiri. Ia ingin melihat binar mata indah itu, ia ingin menggenggam jemarinya, ia ingin meneriaki seluruh ketakutannya saat ia pikir akan kehilangan gadis itu selamanya.Ia ingin meminta maaf karena sudah menyakitinya sedemikian dalam. Ia ingin mengatakan betapa ia sangat mencintai gadis itu, lebih… lebih dari pada yang pernah ia bayangkan.“Dia datang.”Namun, nada dingin di suara Sheila membekukan seluruh indranya kembali. Kebahagiaan yang sebelumnya merekah hangat, kini meredup sedikit demi sedikit.“Haruskah saya membiarkan dia masuk? Anda mu
“Bolehkah saya bertemu dengan Nona Sheila?”PLAK!Seperti sebuah opera sabun dengan kisah klise, wanita miskin itu ditampar oleh orang tua kekasihnya yang kaya raya. Dihujani makian, direndahkan bagai sampah, dicaci seperti pel*cur, bahkan tertuduh sebagai dalang kematian orang yang bahkan tidak dikenalinya secara langsung.“BUAT APA KAMU DATANG KE SINI?! APA KAMU MASIH BELUM PUAS MERUSAK KELUARGA SAYA?! DASAR PEREMPUAN SAMPAH!”Namun, meski mendapat penghiaan sekeras itu, ia tetap bergeming. Teguh pada pendiriannya yang salah di mata orang lain. Dan itu membuat Patricia semakin murka.Hatinya dipenuhi amarah. Bagaimana mungkin wanita yang menjadi akar dari seluruh masalah itu muncul begitu saja di hadapannya?!“PERGI! JANGAN PERNAH DATANG LAGI KE RUMAH INI! PERGI!”“Saya datang untuk menemui Nona Sheila.”PLAK!Tamparan lain melayang tanpa peringatan. “BERANI-BERANINYA KAMU SEBUT NAMA ITU DENGAN MULUT KOTORMU! PERGI! JANGAN PERNAH BERHARAP KAMU BISA TEMUI DIA! SAYA NGGAK AKAN MEMBIAR
Apakah ini surga?Ataukah neraka?Apakah ia sudah mati?Apakah akhirnya takdir sedikit berbaik hati dengan menghadirkan sosok itu di saat-saat terakhirnya?Apakah semuanya sudah selesai sekarang?Pertanyaan-pertanyaan itu menemani Sheila melayang di udara. Apakah ini sebuah mimpi? Apakah ia berhalusinasi? Jika iya, mengapa rasanya sangat nyata? Mengapa tatapan pria itu seakan menunjukkan keputus asaan yang sama dengannya? Mengapa ia ikut melompat? Mengapa ia mendekap erat seakan melindunginya?Bukankah kematiannya akan menjadi kabar yang indah untuk pria itu?BRUK!Sebuah benturan kencang menghantam tubuh Sheila. Seketika, rasa sakit memenuhi tubuhnya, seiring suara patahan tulang dan rembesan anyir darah.Sheila terhenyak, tubuhnya terhempas di atas bebaPak halaman rumah pria itu. Dengung mengisi telinganya, membuat suara lain tak terdengar satu pun. Pandangannya seakan berputar, ia bahkan tidak yakin bagian mana dari tubuhnya yang paling merasa sakit saat ini.“NONA SHEILA!”“SHEIL
“Ugh. B*ngsat!” Anggara mencengkram kepalanya yang nyeri. Mabuk selalu menyisakan jejak yang mengerikan di kepalanya. “Anda baik-baik saja, Pak? Apa kita harus ke rumah sakit sebelum pulang?” tanya Davin, yang ditelepon Anggara saat terbangun pagi ini untuk menjemputnya di rumah Arianto. Anggara menggeleng sambil terus memejamkan mata di kursi penumpang. Berharap nyeri di kepalanya segera enyah. “Berapa lama saya di rumah Ari?" tanya Anggara sambil menahan sakit. “Argh! Br*ngsek!” Anggara meminum air yang disediakan Davin di dalam mobil. “Sejak kemarin malam, Pak,” jawab Davin hati-hati. “Saya minta maaf karena sudah lancang menghubungi Pak Ari. Tapi kondisi Anda kemarin sangat…” Davin tidak mampu menemukan kata yang bisa menggambarkan keadaan atasannya kemarin. Ia sendiri sudah mempersiapkan diri kalau-kalau Anggara melampiaskan seluruh amarahnya karena keputusan lancangnya. “Terima kasih.” “Ya?” Davin ternganga tak percaya. Apakah pria itu b
Sehari sebelumnya.Sudah berapa lama waktu berlalu? Apakah sekarang tengah malam? Atau hari yang lain? Mengapa tidak ada bedanya? Mengapa tidak ada hal lain kecuali kegelapan di matanya?Di tengah ranjangnya yang luas, Anggara duduk dengan pandangan nyalang. Ia menenggak anggur di tangannya, lalu ketika tak menemukan tetes yang lain, ia melemparkan botol itu hingga pecah berantakan, lalu membuka botol lain, menenggaknya hingga tandas, lalu membantingnya lagi.Siklus yang sudah terjadi entah berapa lama.Kamar itu gelap, berantakan, dan hening. Anehnya, di setiap sudut ruangan itu, Anggara bisa melihat bayangan istrinya. Ketika ia berbaring di ranjang, ketika ia berjalan mengitari walk in closet, atau ketika ia berdiri menatap rembulan.Semakin lama, kenangan itu terasa semakin nyata. Setiap bayangannya mulai memudar, Anggara kembali menenggak minumannya, memaksa pikirannya untuk menghadirkan kembali sosok Sheila, meski