Beranda / Romansa / Pelakor Harus Mati / (Season 2) BAB 8 - Pria Yang Tidak Jatuh Cinta

Share

(Season 2) BAB 8 - Pria Yang Tidak Jatuh Cinta

Penulis: Zia Cherry
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56
“Jaga ucapan kamu, Riana. Dia istriku.”

Deg. Jantungku hampir saja berhenti berdetak saat mendengar suara berat di belakang punggung kami.

Ia, dengan tubuh berbalut jas sehitam malam, berjalan tegas ke arah kami, lalu berhenti di sampingku yang masih ternganga tak percaya. Bukankah Aria mengatakan jika hari ini ia sangat sibuk, dan memintaku datang sendiri ke acara makan siang itu?

Dan, meski aku tau ia hanya sedang menjalankan perannya daam pernikahan kontrak kami, tapi mendengarnya memanggilku sebagai istri, membuatku merasa mendapat sedikit perlindungan.

“Ka-kak Ang-gara.” Terbata, Riana terlihat sedikit salah tingkah. Namun aku masih bisa melihat wajahnya yang sedikit merona. Ia menyelipkan helai rambutnya ke balik telinga, lalu tersenyum malu-malu.

Ini pasti lelucon, kan?

Apa Riana menyukai pria itu?

“Kakak datang?” tanya Riana penuh harap.

Ekspresi dinginnya tidak berubah, tapi ia mengulurkan tangannya untuk merangkul pinggangku. “Ya, aku harus datang bersama istriku.”

A
Bab Terkunci
Membaca bab selanjutnya di APP

Bab terkait

  • Pelakor Harus Mati   (Season 2) BAB 9 - I Don't Love You

    “Kamu?” Aku yakin ini adalah sebuah mimpi. “Halo, Sheila, apa kamu rindu Mama?” Gila. Seumur hidupku, tidak pernah sekali pun aku menganggap wanita itu sebagai pengganti ibuku. Tidak sama sekali. Saat kecil, aku menganggapnya sebagai iblis yang merebut perhatian ayah, ia juga yang selalu membuat Kakak menangis. Dan, ketika dewasa, aku membencinya karena telah membunuh ibuku. Wajah itu menyeringai dingin. “Ah, putri kecilku yang manis.” Ia mendekat. Tangan berhias nail arts berwarna merah terulur kepadaku. “Coba lihat betapa bodohnya kamu.” Ia mencengkram rahangku, menancapkan kuku panjangnya. Aku memejamkan mata. Dia sudah kalah. Dia berada di penjara dalam keadaan yang paling menyedihkan. Bahkan lidahnya cacat karena terbakar. Ini hanya sebuah mimpi. Semuanya akan baik-baik saja saat aku terbangun. Ini tidak nyata. Berkali-kali kurapal kata-kata itu bagai jampi, tapi berkali-kali juga aku mengalami kebuntuan. Ruangan itu gelap gulita, hanya ada sebuah lampu sorot yang

  • Pelakor Harus Mati   (Season 2) BAB 10 - Dua Sisi Yang Tersembunyi

    “Jadi, kapan rencana pernikahan kalian?” Pertanyaan itu seakan menampar wajahku. Aku bisa merasakan lirikan Kak Indra ke arahku. Seakan tengah mempertimbangkan keberadaanku sebelum memberikan jawaban. Padahal itu takkan mengubah rasa sakit yang terpendam, bukan? “Kakek nggak sopan deh,” ujar Riana dengan nada manja, membuat kami semua menoleh terkejut. “Masa Kakek tanya soal pernikahan Pak Indra di depan Sheila.” Apa? “Ya? Apa ada yang salah?” tanya Kakek, menatapku dan Kak Indra secara bergantian. “Kakek memangnya nggak tau? Dulu ada gosip Sheila suka sama Pak Indra.” Wush. Seperti terkena ayunan tongkat penyihir, ruangan itu hening seketika. Sebelum pecah oleh deham dan batuk kikuk dari beberapa orang. Amara menatap kebingungan. Detak jantungku mulai bertalu tak beraturan. Aku melirik Kakek yang berdeham keras sebelum menyesap minumannya. “Jadi ada juga gosip seperti itu,” katanya dengan suara berat. Riana tersenyum sinis penuh kemenangan sambil terus menatapku. Sekarang

  • Pelakor Harus Mati   (Season 2) BAB 11 -

    Kurasa, kesempurnaan mutlak memang mustahil tercipta. Bahkan mutiara yang terlihat begitu berkilau ternyata memiliki retak di bagian dalam, dan tak pernah menjadi utuh kembali. Ia indah, tapi bagi beberapa orang, itu tak lagi berharga. Ironis. Di mataku, Kak Hanna sama sekali tidak memiliki retakkan. Ia luar biasa cantik, sikapnya seelegan seorang putri mahkota yang kelak akan menjadi ratu, wawasan begitu luas, dan ia memiliki senyum selembut sapaan mentari di pagi hari. Indah, dan tak tersentuh. Ia adalah jelemaan dewi yang nyata. Tapi lihatlah betapa ia sangat tidak bernilai bagi beberapa pasang mata. Kak Hanna terpaksa mengangkat rahim dan indung telurnya karena kanker yang diderita beberapa tahun yang lalu. Pengangkatan itu memang menyelamatkan hidupnya, tapi ia tak lagi utuh. Ini bukan kali pertama. Jauh sebelum kehadiran Kak Hanna, Mariana Mahomar, adalah wanita pertama yang tidak bisa memiliki anak di dalam keluarga itu. Secara otomatis, itu memutus garis keturunan dari Ra

  • Pelakor Harus Mati   (Season 2) BAB 12 - Sebuah Rumor

    “Sheila, kenapa kamu ada di sini?” Kupikir, aku akan baik-baik saja. Namun ternyata, aku terlalu lemah dan naïf. Saat mendengar nada dingin dari sapaannya di pertemuan pertama kami setelah beberapa waktu, aku tidak bisa menahan perasaan nyeri yang merangkak perlahan. Aku melirik ke belakang, berharap mereka sudah pergi, tapi tentu saja mereka masih di sana. “Apa aku sudah nggak boleh ke sini?” tanyaku, sesantai mungkin. Kak Indra menghela napas panjang. “Ayo ke ruanganku,” katanya, padahal aku yakin tadi ia akan berjalan ke luar. Decakkan dan suara entakkan sepatu Ria terdengar jelas. Itu sedikit menghibur di antara perasaan gundah yang kurasakan. “Kamu sudah dengar apa kata Pak Herianto.” Tanpa basa-basi, Kak Indra langsung berbicara setelah aku menutup pintu di belakang punggungku. Apa dia tidak penasaran bagaimana kabarku atau yang lain? Apa baginya aku benar-benar tidak terlalu penting? “Shei,” tegur Kak Indra saat aku hanya membisu. “Apa aku sudah nggak terdaftar sebagai

  • Pelakor Harus Mati   (Season 2) BAB 12 - Wanita Dalam Bingkai

    “Shei? Sheila.” Aku mengerjap beberapa kali. “Kamu masih di sana?” “Ya,” kataku, seraya menghela napas panjang. “Ya sudah. Hati-hati ya, nanti kami jemput di bandara.” “Oke,” jawabku singkat sebelum menutup sambungan telepon Leslie. Lagi pula pramugari sudah memberikan kode jika pesawat kami sebentar lagi akan take off. Saat pilot membawa burung besi itu mengudara, pikiranku ikut melayang bersama potongan-potongan kejadian tadi. Aku bisa saja menghentikan obrolan aneh mereka sejak pertama kali mendengarnya, tapi itu tidak kulakukan. Karena sejujurnya aku juga memiliki pertanyaan yang sama. Kabar tentang menyimpangnya orientasi seksual pria itu sudah sering terdengar. Ini kali pertama aku mengetahui jika ia juga pernah dirumorkan dengan seorang wanita. Awalnya, kupikir itu adalah Riana Miles, sepupu angkatnya, atau mungkin Amara, adiknya sendiri. Namun, meski mereka dipotret dari jarak yang cukup jauh, dan hanya memperlihatkan sebagian sisi tubuhnya di bawah temaram malam, tap

  • Pelakor Harus Mati   (Season 2) BAB 14 - Seorang Mata-Mata

    Kurasa, aku sama sekali tidak terkejut saat tidak menemukan pria itu keesokan harinya di dalam kamar. Ia datang dan pergi tanpa kata, bahkan mungkin malam bertindak lebih sopan dengan mengucapkan salam melalui senja. Namun, yang lebih mengejutkan lagi adalah kedatangan Amara pagi-pagi sekali. Aria sudah mengabari kedatangannya saat aku membuka mata. Praktis itu membuatku menunggu kapan ia akan masuk ke dalam kamar tanpa ketukan. Tapi, hingga aku selesai bersiap, ia tak kunjung muncul. Di ruang makan yang memiliki akses langsung ke kolam renang, aku juga tidak menemukan Amara. Aku berjalan berkeliling rumah, mencari keberadaan adik iparku, dan menemukannya di dalam ruang kerja pria itu, bersamanya. Jadi ia tidak menghilang lagi hari ini? Amara berdiri di depan meja pria itu saat aku mengintip dari celah pintu yang tidak tertutup sempurna. Sedang pria itu hanya fokus menatap layar ponsel. “Kakak sudah gila?!” Bentakkan itu tidak terdengar seperti sosok Amara yang kukenal. Wajahnya

  • Pelakor Harus Mati   (Season 2) BAB 15 - Semuanya Akan Baik-Baik Saja

    Tubuhku benar-benar lelah. Seperti diperas sampai puing terakhir, lalu diratakan bersama debu. Bahkan rendaman air hangat itu sama sekali tidak membantu. Namun setidaknya, ia sedikit bertanggung jawab. Ia tidak meninggalkanku pingsan di kamar mandi setelah membuatku kelelahan seperti itu. Ia memanggil pelayan, meminta mereka memakaikan pakaianku, lalu membaringkan di atas ranjang. Mataku hampir terpejam saat melihat siluetnya menggunakan kemeja. Tak ada suara yang terengar, kecuali gerak gesit para pelayan. Beberapa menit kemudian, aku sudah terbaring bagai putri tidur yang hampir tak bisa lagi membuka mata. Bahkan meski dering ponsel terdengar berkali-kali, aku sama sekali tidak tergerak untuk meraih benda pipih itu. Sedetik kemudian, saat kupikir aku bisa terlelap kapan saja, ia mengguncang bahuku. “Sheila, bangun,” titahnya, tergesa. Erangan enggan meluncur tanpa sadar. Tubuhku letih, dan mataku sangat berat. Apa ia masih belum puas menggunakanku sekarang? “Bangun, kamu harus

  • Pelakor Harus Mati   (Season 2) BAB 16 - Kau Berhak Menyerah

    “Kemuningkinan pembukaan leher rahim secara premature. Kami akan berusaha mengeluarkan bayinya sekarang.” Air mataku menitik perlahan. “Apa bayinya baik-baik aja?” tanyaku dengan suara yang entah bisa didengar atau tidak. Perih membuat seluruh saraf di dalam tubuhku tercekat. “Detak jantungnya sedeikit melemah, tapi dia akan baik-baik aja. Kita dikelilingi dokter yang hebat di sini.” Aku hanya terdiam selama beberapa saat sambil terus menatap wajah Kakak. Ia sangat cantik seperti biasa, bahkan ketika wajahnya sepucat pualam, ia terlihat semakin cantik. Meski matanya terpejam rapat, ia tetap memiliki mata terindah yang pernah kulihat. “Dia pasti senang karena kedatangan kamu, Shei.” Aku sama sekali tidak ingin menunjukkan kelemahanku di sana. “Dia mau kamu nggak terlalu cemas. Dia akan berusaha sekuat mungkin untuk bertahan.” Apa sekarang ia juga sudah menitipkanku kepada semua orang seperti dulu? Itu kah mengapa tatapan orang-orang begitu cemas kepadaku? Apakah ia tau jika aku t

Bab terbaru

  • Pelakor Harus Mati   (Alternative Ending) - 2

    “Apa harus sampai begitu?” tanya Sheila sebal kepada pria yang dengan santai berjalan di sampingnya.“Apa?” tanya pria itu tak acuh.Sheila bersidekap kesal, bahkan sampai saat ini sikapnya tidak pernah berubah. “Kalau begini, Anda bisa ke kamar sendiri. Saya mau tetap di sini,” ancam Sheila sungguh-sungguh, dan seketika wajah pria itu berubah tidak suka.Ia menghentikan langkahnya, menoleh sambil berkacak pinggang. Namun, Sheila sama sekali tidak berniat mundur. Ia bersidekap, wajahnya terangkat tinggi penuh ancaman.“Shei....”“Saya nggak sendiri di sini. Ada Amara dan teman-temannya, bahkan keluarga kita di hotel ini. Dan… semua pengawal Anda ada di sini.” Sheila melirik beberapa pria berpakaian hitam yang berdiri bagai patung di koridor hotel. Dan ia yakin bukan hanya di sini, tapi di setiap sudut hotel, pria itu sudah menempatkan orang-orangnya. Rasanya sekarang lebih tepat dikatakan sebagai ajang pertemuan mafia dibanding malam sebelum pernikahan kedua mempelai.Pria itu menarik

  • Pelakor Harus Mati   (Alternative Ending) - 1

    “Oh my God! Selamat, Amara!”Plop.Seseorang baru saja menembakkan confetti popper ke udara. Serpih warna warni potongan kertasnya menghujani sang calon pengantin dengan dramatis. Di dalam kamar hotel yang sudah dihias sedemikian rupa dengan taburan mawar dan balon berwarna merah muda, gema tawa gadis-gadis terdengar begitu renyah.“YEAAAYYYYYYY, FINALLY, AMARA!!!” Seorang gadis berambut pirang sebahu memasangkan sebuah tiara ke kepala gadis cantik itu. “Selamaat! Akhirnya kamu bisa meluluhkan dinding es Simmons.”“Dia bukan dinding es lagi, Cik, tapi dinding batu! Hahahaha.”“Iya, hahahaha!”Amara, yang hari itu menjadi pemeran utama, hanya mampu tersenyum bangga sambil mengangkat gelas sampanyenya.“Kalau aku jadi kamu, aku sih sudah mundur dari dulu. Males banget deh lihat muka datarnya Simmons!” komentar salah satu sahabat Amara yang lain, yang juga memiliki rambut sebahu tapi berwarna biru.“Heh, Simmons itu sadar diri, dia paham betul siapa Amara ini!” gadis lain yang menggunaka

  • Pelakor Harus Mati   SEPATAH KATA

    Halo, semuanya…. Saya Zia. ^^ Terima kasih karena sudah membaca kisah ini sampai akhir. Huhuhuhuhuhuhuhu. Terharu, karena akhirnya saya bisa menamatkan cerita ini. T___T Dan kalau kalian tanya kenapa cerita ini lama sekali sampai bab tamat, karena sejujurnya… saya masih mencari celah untuk memperbaiki hubungan Sheila dan Anggara! Setiap bab di kisah mereka, saya tulis sambil berderai air mata. (Lebay banget ya, hahahhaha). Tapi memang begitulah. Saya mau menggambarkan betapa besarnya cinta mereka, tapi di saat yang sama, mereka juga putus asa, kecewa dengan apa yang terjadi, dan menemui jalan buntu. Sejujurnya, saya pribadi nggak setuju dengan akhir dari cerita ini. Tapi saat menulis kadang saya nggak bisa mengontrol karakter itu sepenuhnya. Walaupun saya sudah membuat plot dari awal, tapi kadang karakter tsb berkembang menjadi sosok yang tidak direncanakan, pun dengan pilihan yang diambil karakter tsb. (Ini mungkin kedengaran aneh, tapi mereka benar-benar hidup di dalam benak s

  • Pelakor Harus Mati   (Season 2) Epilog 15

    10 tahun kemudian. “Jadi? Akhirnya pangeran itu m*ti, Tante?” tanya seorang gadis 11 tahun. Suara deburan ombak mengalun merdu bersama hembusan angin beraroma garam. Mendung di luar sana mengubur cahaya rembulan dan bintang sepenuhnya. Kini yang terlihat hanyalah hamparan gelap dan suara ombak yang saling bersahut-sahutan. “Tante?” Salah satu gadis mungil mengguncangkan tangan wanita yang tengah melamun itu, memintanya melanjutkan akhir dari kisah yang dibacakannya. Mata indahnya mengedip lucu penuh penantian. “Ah, ya?” Akhirnya, wanita itu kembali. “Jadi gimana akhirnya? Pangeran itu benar-benar m*ti?” desak gadis yang 3 tahun lebih tua dari adiknya. Wanita itu menghela napas panjang, lalu menatap lembar buku di pangkuannya. “Ya, dan… nggak,” jawab wanita itu lembut. “Lho, gimana deh? Aku nggak ngerti!” “Aku juga!” “Sudah, sekarang kalian harus tidur.” “Ahhh! Selesain dulu ceritanya, Tante!” “Hm…” Wanita itu tersenyum tipis. Ia mengecup kening kedua keponakannya, lalu memp

  • Pelakor Harus Mati   (Season 2) Epilog 14

    Sheila?Seluruh indra Anggara tersentak sadar ketika ia mendengar suara Sheila. Rasanya seperti baru saja ditarik keluar dari dalamnya lautan. Ia tergagap mencari udara dalam kepanikan, tapi semua ketakutan itu enyah seketika saat mendengar suara yang paling dirindukannya.Dia hidup, dia baik-baik saja, batin Anggara. Kelegaan melebur di dalam jiwanya.Anggara ingin segera membuka mata, ia ingin memastikan keadaan Sheila dengan kedua matanya sendiri. Ia ingin melihat binar mata indah itu, ia ingin menggenggam jemarinya, ia ingin meneriaki seluruh ketakutannya saat ia pikir akan kehilangan gadis itu selamanya.Ia ingin meminta maaf karena sudah menyakitinya sedemikian dalam. Ia ingin mengatakan betapa ia sangat mencintai gadis itu, lebih… lebih dari pada yang pernah ia bayangkan.“Dia datang.”Namun, nada dingin di suara Sheila membekukan seluruh indranya kembali. Kebahagiaan yang sebelumnya merekah hangat, kini meredup sedikit demi sedikit.“Haruskah saya membiarkan dia masuk? Anda mu

  • Pelakor Harus Mati   (Season 2) Epilog 13

    “Bolehkah saya bertemu dengan Nona Sheila?”PLAK!Seperti sebuah opera sabun dengan kisah klise, wanita miskin itu ditampar oleh orang tua kekasihnya yang kaya raya. Dihujani makian, direndahkan bagai sampah, dicaci seperti pel*cur, bahkan tertuduh sebagai dalang kematian orang yang bahkan tidak dikenalinya secara langsung.“BUAT APA KAMU DATANG KE SINI?! APA KAMU MASIH BELUM PUAS MERUSAK KELUARGA SAYA?! DASAR PEREMPUAN SAMPAH!”Namun, meski mendapat penghiaan sekeras itu, ia tetap bergeming. Teguh pada pendiriannya yang salah di mata orang lain. Dan itu membuat Patricia semakin murka.Hatinya dipenuhi amarah. Bagaimana mungkin wanita yang menjadi akar dari seluruh masalah itu muncul begitu saja di hadapannya?!“PERGI! JANGAN PERNAH DATANG LAGI KE RUMAH INI! PERGI!”“Saya datang untuk menemui Nona Sheila.”PLAK!Tamparan lain melayang tanpa peringatan. “BERANI-BERANINYA KAMU SEBUT NAMA ITU DENGAN MULUT KOTORMU! PERGI! JANGAN PERNAH BERHARAP KAMU BISA TEMUI DIA! SAYA NGGAK AKAN MEMBIAR

  • Pelakor Harus Mati   (Season 2) Epilog 12

    Apakah ini surga?Ataukah neraka?Apakah ia sudah mati?Apakah akhirnya takdir sedikit berbaik hati dengan menghadirkan sosok itu di saat-saat terakhirnya?Apakah semuanya sudah selesai sekarang?Pertanyaan-pertanyaan itu menemani Sheila melayang di udara. Apakah ini sebuah mimpi? Apakah ia berhalusinasi? Jika iya, mengapa rasanya sangat nyata? Mengapa tatapan pria itu seakan menunjukkan keputus asaan yang sama dengannya? Mengapa ia ikut melompat? Mengapa ia mendekap erat seakan melindunginya?Bukankah kematiannya akan menjadi kabar yang indah untuk pria itu?BRUK!Sebuah benturan kencang menghantam tubuh Sheila. Seketika, rasa sakit memenuhi tubuhnya, seiring suara patahan tulang dan rembesan anyir darah.Sheila terhenyak, tubuhnya terhempas di atas bebaPak halaman rumah pria itu. Dengung mengisi telinganya, membuat suara lain tak terdengar satu pun. Pandangannya seakan berputar, ia bahkan tidak yakin bagian mana dari tubuhnya yang paling merasa sakit saat ini.“NONA SHEILA!”“SHEIL

  • Pelakor Harus Mati   (Season 2) Epilog 11 - Pergi Bersama

    “Ugh. B*ngsat!” Anggara mencengkram kepalanya yang nyeri. Mabuk selalu menyisakan jejak yang mengerikan di kepalanya. “Anda baik-baik saja, Pak? Apa kita harus ke rumah sakit sebelum pulang?” tanya Davin, yang ditelepon Anggara saat terbangun pagi ini untuk menjemputnya di rumah Arianto. Anggara menggeleng sambil terus memejamkan mata di kursi penumpang. Berharap nyeri di kepalanya segera enyah. “Berapa lama saya di rumah Ari?" tanya Anggara sambil menahan sakit. “Argh! Br*ngsek!” Anggara meminum air yang disediakan Davin di dalam mobil. “Sejak kemarin malam, Pak,” jawab Davin hati-hati. “Saya minta maaf karena sudah lancang menghubungi Pak Ari. Tapi kondisi Anda kemarin sangat…” Davin tidak mampu menemukan kata yang bisa menggambarkan keadaan atasannya kemarin. Ia sendiri sudah mempersiapkan diri kalau-kalau Anggara melampiaskan seluruh amarahnya karena keputusan lancangnya. “Terima kasih.” “Ya?” Davin ternganga tak percaya. Apakah pria itu b

  • Pelakor Harus Mati   (Season 2) Epilog 10 - Kenangan Terakhir

    Sehari sebelumnya.Sudah berapa lama waktu berlalu? Apakah sekarang tengah malam? Atau hari yang lain? Mengapa tidak ada bedanya? Mengapa tidak ada hal lain kecuali kegelapan di matanya?Di tengah ranjangnya yang luas, Anggara duduk dengan pandangan nyalang. Ia menenggak anggur di tangannya, lalu ketika tak menemukan tetes yang lain, ia melemparkan botol itu hingga pecah berantakan, lalu membuka botol lain, menenggaknya hingga tandas, lalu membantingnya lagi.Siklus yang sudah terjadi entah berapa lama.Kamar itu gelap, berantakan, dan hening. Anehnya, di setiap sudut ruangan itu, Anggara bisa melihat bayangan istrinya. Ketika ia berbaring di ranjang, ketika ia berjalan mengitari walk in closet, atau ketika ia berdiri menatap rembulan.Semakin lama, kenangan itu terasa semakin nyata. Setiap bayangannya mulai memudar, Anggara kembali menenggak minumannya, memaksa pikirannya untuk menghadirkan kembali sosok Sheila, meski

DMCA.com Protection Status