“AKU AKAN JADI TANTEEEE…. AKU AKAN JADI TANTEEE!!!!”
Sheila berputar-putar sambil memeluk salah satu baju bayi yang ia ambil dari tumpukan pakaian di ruang tamu. Baju bayi itu berwarna merah muda dengan aksen renda dan pita memenuhi dadanya.
“AKU AKAN JADI TANTEEE!!!!” teriaknya girang.
Dibantu Mario dan Haris, ketiga gadis muda itu mengeluarkan berkantong-kantong belanjaan dari dalam mobil. Lalu menumpahkan belanjaannya di ruang tamu apartment yang ditinggalinya bersama Bianca setelah kematian Claire 8 bulan yang lalu.
“DUUUUHHHH LIHAT LUCU BANGEEET KAAANNNN…,” teriak Sheila sambil mengeluarkan bungkusan barang belanjaannya.
“LEBIH LUCU YANG AKU BELI INI, LOH!” Leslie tidak mau kalah, ia mengeluarkan sebuah piyama bergambar dinosaurus dari kantong bawaannya.
Bianca meringis pelan saat melihat keributan di ruang tamu apartmentnya. Ia pikir, ia akan bisa istirahat setelah kepulanga
“Semua sudah siap?” untuk kesekian kalinya Indra menanyakan hal yang sama kepada panitia acara pagi itu. “Sudah, Pak.” Sheila yang menjawabnya dengan sedikit ketus. Bukan hanya memeriksa, tapi Indra juga terus mengomentari segala sesuatunya. Bahkan mereka pikir, jika bisa, Indra pasti akan mengomentari arah mata angin sebentar lagi. “Oke. Pastikan nggak ada kesalahan sama sekali,” ujar Indra tegas. Reno mengusap peluh di belakangnya. Ia yang mengekori langkah Indra dengan perut buncit dan lemak berlebih, menjadi orang yang paling tersiksa sejak kemarin. “Keamanannya?” Indra melirik Reno di belakangnya. “Sempurna, Pak.” Indra mengangguk, dan melanjutkan langkah memeriksa gedung pergudangan yang sudah disulap sebagai tempat acara peresmian cabang Peruka Miles yang baru. “Kayaknya kalau sampai ada yang salah sedikit aja, kita semua bakal dipecat deh.” “Dipecat sih lebih baik, kalau dicincang dan dijadiin pakan ayam
“Apa-apaan baju ini?” bisik Indra gusar.Akhirnya, setelah rangkaian acara utama selesai, Indra bisa membawa Bianca ke ruangannya tanpa menarik perhatian karena yang lain tengah sibuk beristirahat dan menikmati sajian makan siang yang sudah dipersiapkan di ruang training yang disulap menjadi ruang pejamuan sekelas hotel berbintang.“Kenapa sih? Ini kan baju yang pernah kupakai dulu.”“Tapi dulu nggak seketat ini!” geram Indra. Ia bahkan bisa melihat lekukan tubuh Bianca dengan sangat jelas. “Dulu nggak begini!” katanya, menunjuk dada Bianca dengan tatapannya. Ia haus dan marah dalam waktu yang bersamaan.“Memang modelnya begini kok.”“Ini terlalu seksi!”“Loh, bukannya Kakak sukanya yang seksi? Buktinya tadi tim penyambut tamunya aja seksi banget.”Indra tertegun. Ia bahkan tidak ingat siapa saja yang berdiri sebagai penyambut tamu. Reno yang menunjuk
“Saya jadi semakin yakin memilih Sheila untuk Anggara.”“Ya?” gerakan tangan Bianca langsung terhenti seketika. Ia menatap pria di sampingnya dengan pandangan penuh tanya. “Apa? Sheila dan… Anggara?”Kini Arianto yang memberikan tatapan bingung dengan reaksi wanita di hadapannya. “Anda sudah tau kan kalau mereka akan menikah? Xei Anggara Miles, adik saya satu-satunya, anda pasti sudah mengenalnya.”Bianca tergagap. Ia memang sudah mengenal Anggara, mereka pernah bertemu beberapa kali. Namun, ia tidak pernah berpikir jika Anggara dan Sheila memiliki hubungan khusus, terlebih sampai menikah.Bianca menoleh cepat, mencari Indra, sayangnya pria itu pergi ke luar karena panggilan Reno.“Bu Bianca tidak tahu?” tanya Arianto bingung.“Ma-maaf, Pak, saya harus ke belakang dulu sebentar,” ujar Bianca, lalu pergi begitu saja dengan pikiran berkecamuk.***&ldq
PLAK!“BIANCA!” Indra ternganga tidak percaya dengan apa yang baru saja dilihatnya.Sheila tertunduk, tangannya menyentuh pipi kanan yang terasa perih karena tamparan Bianca. Ini adalah kali pertama Bianca pernah menamparnya. Bahkan tidak peduli sebesar apa kekacauan yang pernah Sheila lakukan, Bianca tidak pernah marah kepadanya.Namun sekarang, wanita itu tampak begitu berbeda.Sia-sia Sheila menahan genang air mata yang berkumpul di pelupuk. Tamparan Bianca tidak terlalu keras, pipinya hanya sedikit perih, tapi hatinya remuk seketika.“A… aku minta maaf, Kak.”Napas Bianca berderu marah. Kedua tangannya terkepal begitu erat. “Kamu, kamu menjual dirimu sendiri?”“Bianca.” Indra mencoba menenangkan wanita itu. “Duduk dulu.”Bianca menepis genggaman tangan Indra. Matanya terus menatap Sheila yang semakin tertunduk di hadapannya.“JAWAB, SHEI!”
“Bukankah ini yang Anda butuhkan? Sebuah pernikahan tanpa cinta.” Langkah tegap pria berkemeja hitam itu berhenti sejenak, tapi tidak menoleh. “Saya akan pastikan menjadi istri yang sesuai dengan apa yang Anda butuhkan.” “Apa kamu sedang menjual dirimu sendiri?” Pertanyaan itu bagai sambaran petir untuk Sheila. Mati-matian ia menyembunyikan kenyataan itu, tapi dengan lugasnya pria itu mengatakannya. “Apa kamu sedang menjual dirimu sendiri demi setumpuk uang?” Tersirat nada cemooh dari suaranya. Andai itu adalah Sheila yang dulu tentu ia sudah melemparkan selayang tamparan. Berani-beraninya seseorang merendahkan Peruka seperti itu. Namun sekarang, ia bahkan tidak bisa mengangkat wajahnya. “Saya sedang menawarkan bisnis kepada Anda.” Dengusan sinis terdengar dari mulut pria itu. “Lalu apa untungnya untukku?” “Anda akan mendapatkan boneka pengantin yang Anda butuhkan.” “Kamu pikir menikah denganku akan menjadi jalan singkat yang mudah?” Tidak. Sheila tau itu tidak akan pernah m
Apakah kita pasti bisa bahagia? Apakah pasti bisa? Apakah selalu ada terang di setiap gelap? Apakah pada akhirnya, setiap kisah memiliki satu titik terindah di lembar terakhir? Apakah aku juga akan menemukan kebahagiaan itu jika bertahan sedikit lebih lama? Apakah aku harus bertahan jika mati terasa lebih mudah? Pertanyaan-pertanyaan itu kian hari kian menumpuk. Seperti gulungan salju yang lambat laun semakin besar dan akhirnya merobohkan apa pun yang dilewatinya. Aku berdiri sambil tertunduk. Sengatan tamparan itu meremang nyeri di pipi, tapi ternyata rasanya tidak separah sesak yang terasa di dalam dadaku. Kau pernah tenggelam? Kau tau bagaimana sesaknya menggapai udara saat yang kau temukan hanya berkubik-kubik air? Kau tau rasa sakit dari sesaknya? Sekarang aku tau, meski tidak pernah tenggelam. “JAWAB, SHEI! KAMU MAU JUAL DIRI, HAH?!” Itu tuduhan yang sangat kejam, tapi aku bahkan tidak bisa membantah. “KAMU PIKIR KAKAK NGGAK MAMPU PERTAHANKAN PERUSAHAAN KITA?! KAMU PIK
“Dia h*moseksual, kan?” Haruskah aku terkejut dengan pertanyaan frontal itu? Di hari pernikahanku, di ruangan tempatku mengenakan gaun putih terindah, pertanyaan itu terlontar tanpa belas kasih. Kutatap dua wajah yang muncul di cermin. Kekecewaan menyatu bersama kemarahan, tapi apa lagi yang bisa mereka lakukan? “Itu alasan dia nggak pernah menikah sampai sekarang kan, Shei? Dia penyuka sesama jenis.” Pernyataan itu menyatu dengan sebuah pernyataan yang lain. Tidakkah takdir sedikit terasa terlalu kejam. Bagaimana mungkin mereka mengatakannya tepat di hari pernikahanku? “JAWAB, SHEI!” bentak Leslie, salah satu sahabatku. Ia sudah mengenakan gaun satin berwarna merah muda dan riasan yang sempurna. Di tangannya, sebuah buket cantik tersemat indah. Ia salah satu pengiring pengantinku, tapi sekarang ia juga yang menyuarakan kemarahan karena pernikahan itu. Air mata sangat tidak sesuai dengan gaunnya, tapi ia tetap menangis. “JAWAB AKU, SHEILA!” Ia sudah berdiri di belakangku, memi
“Perempuan nggak tau malu. Jangan-jangan dari awal itu memang rencananya.” “Pastinyalah! Perempuan kaya dia tau apa sih soal bisnis?! Dia pasti syok banget karena tiba-tiba bangkrut, dan satu-satunya hal yang dia bisa lakuin ya jual badannya.” “Cih! Padahal orang-orang di luar sana terus-terusan banggain Bianca Peruka, nggak taunya mereka cuma bermodal badan sama muka aja. Otaknya kosong!” Kupikir, etika membicarakan orang lain adalah dengan membuat pembicaraan itu tak terdengar. Namun sekarang, orang-orang sama sekali tidak ragu-ragu mengeraskan suaranya saat membicarakanku, seakan aku tuli dan buta atas apa yang mereka katakan. Sayangnya, aku bahkan tidak memiliki hak untuk marah. Secara harfiah, yang mereka katakan adalah sebuah kebenaran yang berkali kuingkari. *** “Kamu yakin nggak apa-apa, Shei?” Untuk kesekian kalinya, Leslie menanyakan hal yang sama di telepon. Aku menarik napas panjang. “Aku nggak apa-apa. Kalian tenang aja,” jawabku, yang sadar Leslie tidak sendiri. Di
“Apa harus sampai begitu?” tanya Sheila sebal kepada pria yang dengan santai berjalan di sampingnya.“Apa?” tanya pria itu tak acuh.Sheila bersidekap kesal, bahkan sampai saat ini sikapnya tidak pernah berubah. “Kalau begini, Anda bisa ke kamar sendiri. Saya mau tetap di sini,” ancam Sheila sungguh-sungguh, dan seketika wajah pria itu berubah tidak suka.Ia menghentikan langkahnya, menoleh sambil berkacak pinggang. Namun, Sheila sama sekali tidak berniat mundur. Ia bersidekap, wajahnya terangkat tinggi penuh ancaman.“Shei....”“Saya nggak sendiri di sini. Ada Amara dan teman-temannya, bahkan keluarga kita di hotel ini. Dan… semua pengawal Anda ada di sini.” Sheila melirik beberapa pria berpakaian hitam yang berdiri bagai patung di koridor hotel. Dan ia yakin bukan hanya di sini, tapi di setiap sudut hotel, pria itu sudah menempatkan orang-orangnya. Rasanya sekarang lebih tepat dikatakan sebagai ajang pertemuan mafia dibanding malam sebelum pernikahan kedua mempelai.Pria itu menarik
“Oh my God! Selamat, Amara!”Plop.Seseorang baru saja menembakkan confetti popper ke udara. Serpih warna warni potongan kertasnya menghujani sang calon pengantin dengan dramatis. Di dalam kamar hotel yang sudah dihias sedemikian rupa dengan taburan mawar dan balon berwarna merah muda, gema tawa gadis-gadis terdengar begitu renyah.“YEAAAYYYYYYY, FINALLY, AMARA!!!” Seorang gadis berambut pirang sebahu memasangkan sebuah tiara ke kepala gadis cantik itu. “Selamaat! Akhirnya kamu bisa meluluhkan dinding es Simmons.”“Dia bukan dinding es lagi, Cik, tapi dinding batu! Hahahaha.”“Iya, hahahaha!”Amara, yang hari itu menjadi pemeran utama, hanya mampu tersenyum bangga sambil mengangkat gelas sampanyenya.“Kalau aku jadi kamu, aku sih sudah mundur dari dulu. Males banget deh lihat muka datarnya Simmons!” komentar salah satu sahabat Amara yang lain, yang juga memiliki rambut sebahu tapi berwarna biru.“Heh, Simmons itu sadar diri, dia paham betul siapa Amara ini!” gadis lain yang menggunaka
Halo, semuanya…. Saya Zia. ^^ Terima kasih karena sudah membaca kisah ini sampai akhir. Huhuhuhuhuhuhuhu. Terharu, karena akhirnya saya bisa menamatkan cerita ini. T___T Dan kalau kalian tanya kenapa cerita ini lama sekali sampai bab tamat, karena sejujurnya… saya masih mencari celah untuk memperbaiki hubungan Sheila dan Anggara! Setiap bab di kisah mereka, saya tulis sambil berderai air mata. (Lebay banget ya, hahahhaha). Tapi memang begitulah. Saya mau menggambarkan betapa besarnya cinta mereka, tapi di saat yang sama, mereka juga putus asa, kecewa dengan apa yang terjadi, dan menemui jalan buntu. Sejujurnya, saya pribadi nggak setuju dengan akhir dari cerita ini. Tapi saat menulis kadang saya nggak bisa mengontrol karakter itu sepenuhnya. Walaupun saya sudah membuat plot dari awal, tapi kadang karakter tsb berkembang menjadi sosok yang tidak direncanakan, pun dengan pilihan yang diambil karakter tsb. (Ini mungkin kedengaran aneh, tapi mereka benar-benar hidup di dalam benak s
10 tahun kemudian. “Jadi? Akhirnya pangeran itu m*ti, Tante?” tanya seorang gadis 11 tahun. Suara deburan ombak mengalun merdu bersama hembusan angin beraroma garam. Mendung di luar sana mengubur cahaya rembulan dan bintang sepenuhnya. Kini yang terlihat hanyalah hamparan gelap dan suara ombak yang saling bersahut-sahutan. “Tante?” Salah satu gadis mungil mengguncangkan tangan wanita yang tengah melamun itu, memintanya melanjutkan akhir dari kisah yang dibacakannya. Mata indahnya mengedip lucu penuh penantian. “Ah, ya?” Akhirnya, wanita itu kembali. “Jadi gimana akhirnya? Pangeran itu benar-benar m*ti?” desak gadis yang 3 tahun lebih tua dari adiknya. Wanita itu menghela napas panjang, lalu menatap lembar buku di pangkuannya. “Ya, dan… nggak,” jawab wanita itu lembut. “Lho, gimana deh? Aku nggak ngerti!” “Aku juga!” “Sudah, sekarang kalian harus tidur.” “Ahhh! Selesain dulu ceritanya, Tante!” “Hm…” Wanita itu tersenyum tipis. Ia mengecup kening kedua keponakannya, lalu memp
Sheila?Seluruh indra Anggara tersentak sadar ketika ia mendengar suara Sheila. Rasanya seperti baru saja ditarik keluar dari dalamnya lautan. Ia tergagap mencari udara dalam kepanikan, tapi semua ketakutan itu enyah seketika saat mendengar suara yang paling dirindukannya.Dia hidup, dia baik-baik saja, batin Anggara. Kelegaan melebur di dalam jiwanya.Anggara ingin segera membuka mata, ia ingin memastikan keadaan Sheila dengan kedua matanya sendiri. Ia ingin melihat binar mata indah itu, ia ingin menggenggam jemarinya, ia ingin meneriaki seluruh ketakutannya saat ia pikir akan kehilangan gadis itu selamanya.Ia ingin meminta maaf karena sudah menyakitinya sedemikian dalam. Ia ingin mengatakan betapa ia sangat mencintai gadis itu, lebih… lebih dari pada yang pernah ia bayangkan.“Dia datang.”Namun, nada dingin di suara Sheila membekukan seluruh indranya kembali. Kebahagiaan yang sebelumnya merekah hangat, kini meredup sedikit demi sedikit.“Haruskah saya membiarkan dia masuk? Anda mu
“Bolehkah saya bertemu dengan Nona Sheila?”PLAK!Seperti sebuah opera sabun dengan kisah klise, wanita miskin itu ditampar oleh orang tua kekasihnya yang kaya raya. Dihujani makian, direndahkan bagai sampah, dicaci seperti pel*cur, bahkan tertuduh sebagai dalang kematian orang yang bahkan tidak dikenalinya secara langsung.“BUAT APA KAMU DATANG KE SINI?! APA KAMU MASIH BELUM PUAS MERUSAK KELUARGA SAYA?! DASAR PEREMPUAN SAMPAH!”Namun, meski mendapat penghiaan sekeras itu, ia tetap bergeming. Teguh pada pendiriannya yang salah di mata orang lain. Dan itu membuat Patricia semakin murka.Hatinya dipenuhi amarah. Bagaimana mungkin wanita yang menjadi akar dari seluruh masalah itu muncul begitu saja di hadapannya?!“PERGI! JANGAN PERNAH DATANG LAGI KE RUMAH INI! PERGI!”“Saya datang untuk menemui Nona Sheila.”PLAK!Tamparan lain melayang tanpa peringatan. “BERANI-BERANINYA KAMU SEBUT NAMA ITU DENGAN MULUT KOTORMU! PERGI! JANGAN PERNAH BERHARAP KAMU BISA TEMUI DIA! SAYA NGGAK AKAN MEMBIAR
Apakah ini surga?Ataukah neraka?Apakah ia sudah mati?Apakah akhirnya takdir sedikit berbaik hati dengan menghadirkan sosok itu di saat-saat terakhirnya?Apakah semuanya sudah selesai sekarang?Pertanyaan-pertanyaan itu menemani Sheila melayang di udara. Apakah ini sebuah mimpi? Apakah ia berhalusinasi? Jika iya, mengapa rasanya sangat nyata? Mengapa tatapan pria itu seakan menunjukkan keputus asaan yang sama dengannya? Mengapa ia ikut melompat? Mengapa ia mendekap erat seakan melindunginya?Bukankah kematiannya akan menjadi kabar yang indah untuk pria itu?BRUK!Sebuah benturan kencang menghantam tubuh Sheila. Seketika, rasa sakit memenuhi tubuhnya, seiring suara patahan tulang dan rembesan anyir darah.Sheila terhenyak, tubuhnya terhempas di atas bebaPak halaman rumah pria itu. Dengung mengisi telinganya, membuat suara lain tak terdengar satu pun. Pandangannya seakan berputar, ia bahkan tidak yakin bagian mana dari tubuhnya yang paling merasa sakit saat ini.“NONA SHEILA!”“SHEIL
“Ugh. B*ngsat!” Anggara mencengkram kepalanya yang nyeri. Mabuk selalu menyisakan jejak yang mengerikan di kepalanya. “Anda baik-baik saja, Pak? Apa kita harus ke rumah sakit sebelum pulang?” tanya Davin, yang ditelepon Anggara saat terbangun pagi ini untuk menjemputnya di rumah Arianto. Anggara menggeleng sambil terus memejamkan mata di kursi penumpang. Berharap nyeri di kepalanya segera enyah. “Berapa lama saya di rumah Ari?" tanya Anggara sambil menahan sakit. “Argh! Br*ngsek!” Anggara meminum air yang disediakan Davin di dalam mobil. “Sejak kemarin malam, Pak,” jawab Davin hati-hati. “Saya minta maaf karena sudah lancang menghubungi Pak Ari. Tapi kondisi Anda kemarin sangat…” Davin tidak mampu menemukan kata yang bisa menggambarkan keadaan atasannya kemarin. Ia sendiri sudah mempersiapkan diri kalau-kalau Anggara melampiaskan seluruh amarahnya karena keputusan lancangnya. “Terima kasih.” “Ya?” Davin ternganga tak percaya. Apakah pria itu b
Sehari sebelumnya.Sudah berapa lama waktu berlalu? Apakah sekarang tengah malam? Atau hari yang lain? Mengapa tidak ada bedanya? Mengapa tidak ada hal lain kecuali kegelapan di matanya?Di tengah ranjangnya yang luas, Anggara duduk dengan pandangan nyalang. Ia menenggak anggur di tangannya, lalu ketika tak menemukan tetes yang lain, ia melemparkan botol itu hingga pecah berantakan, lalu membuka botol lain, menenggaknya hingga tandas, lalu membantingnya lagi.Siklus yang sudah terjadi entah berapa lama.Kamar itu gelap, berantakan, dan hening. Anehnya, di setiap sudut ruangan itu, Anggara bisa melihat bayangan istrinya. Ketika ia berbaring di ranjang, ketika ia berjalan mengitari walk in closet, atau ketika ia berdiri menatap rembulan.Semakin lama, kenangan itu terasa semakin nyata. Setiap bayangannya mulai memudar, Anggara kembali menenggak minumannya, memaksa pikirannya untuk menghadirkan kembali sosok Sheila, meski