Kekacauan di SMAN 696 memanggil orang nomor satu di sekolah turun gunung. Pak Juniadi, kepsek jangkung berkacamata dengan sigap mengelola keadaan, “Kumpulkan semua korban di gedung serba guna. Ruang UKS tak cukup. Berdayakan dokter kecil untuk pertolongan pertama. Telpon rumah sakit, minta ambulan. Pulangkan anak-anak lain agar jangan sampai jumlah korban, khususnya wanita, bertambah.”
Ruang serba guna di area belakang sekolah. Gedungnya paling bagus, paling baru. Bisa menampung sekitar tiga ratusan orang. Tinggi langit-langitnya mencapai 4 meter. Fasilitas ini digunakan untuk acara kelulusan, peribadatan dan sebagainya.
Pak Juniadi terlihat serius. Ada sekitar 50-an siswi yang mengalami kejadian aneh ini. Mungkin ini waktunya untuk wanita itu turun tangan lagi, pikirnya.
“Panggil Ibu Florensia dan Laskar Rohani!” perintah Pak Juniadi.
Seorang wanita tua bergegas menuju Ruang Serba Guna. Derap langkah sepatu seperti prajurit berbaris mengikuti langkahnya dari belakang. Ibu Florensia datang bersama siswa dan siswi yang tergabung dalam Organisasi Laskar Rohani. Jumlahnya sekitar tujuh puluh murid.
Laskar Rohani adalah wadah kesiswaan, berkaitan dengan agama dan spiritualitas. Terdiri dari lima divisi, Islam, Kristen, Katolik, Hindu, dan Budha. Berdiri baru tiga bulan lalu. Organisasi diharapkan bisa mengarahkan kelakuan murid-murid menjadi lebih positif.
Bu Flo bukanlah wanita biasa. Julukannya saja… wanita mujizat. Bukan tanpa sebab ia menyandang gelar itu. Salah satu mujizat kontroversialnya adalah menyembuhkan ratusan orang sakit di rumah sakit. Peristiwa itu sempat masuk berita.
Katanya, suatu hari ia terbeban untuk mendoakan orang-orang sakit. Lalu ia pergi ke rumah sakit. Tanpa seizin pihak sana ia masuk ke ruang-ruang rawat dan berdoa bersama pasien. Awalnya aktivitasnya tidak menarik perhatian, sampai ia membuat keributan di ruang UGD.
Dua orang paramedis berlari tergesa, mendorong ranjang, membawa pasien gawat darurat ke triage merah — area kondisi paling gawat.
Seorang gadis remaja terbaring tak sadarkan diri. Bu Flo menguping dokter dan paramedis. Katanya Anak itu mencoba bunuh diri dengan obat hingga overdosis.
Dokter jaga dan perawat memindahkan tubuh anak itu ke ranjang pasien. Ibunya menemani di samping, menangis kalut. “Dokter selamatkan anak saya, selamatkan anak saya.”
Perawat menarik ibu itu menjauh dan menenangkannya agar dokter bisa bekerja.
Selagi dokter dan perawat melakukan tindakan, tanpa basa-basi Bu Flo mendekati anak itu.
“Siapa Anda?” tanya dokter. Bu Flo tak menjawab. Petugas medis mengira ia kerabat dari anak itu.
Bu Flo memegang tangan anak itu dan memejamkan mata, berdoa.
“Anda siapa?” tanya ibu anak itu. Sadar Bu Flo itu orang asing, perawat segera menarik Bu Flo untuk mengusirnya.
Tiba-tiba anak itu kejang-kejang hebat. Ranjang berdecit-decit dan berderak keras. Cit! Cit! Bak! Bak! Bak!
Ibu anak itu histeris, “Apa yang sedang Anda lakukan!” Ia menarik pundak Bu Flo dengan kasar, sampai Bu Flo terjatuh.
Perawat segera memanggil security. Sebelum pihak keamanan sempat datang, Bu Flo berdiri lagi dan memegang tangan anak itu lagi. Kejang anak itu semakin jadi. CIT! BAK! BAK! BAK!
“Lepaskan dia! Lepaskan!” Ibu itu berusaha memisahkan tangan Bu Flo dari anaknya. Perawat juga menarik-narik Bu Flo. Genggamannya hampir lepas. Saat situasi sedang kacau, anak itu tahu-tahu terbangun dan langsung muntah kehitaman.
Semua orang kaget. Seharusnya dengan kondisi tubuhnya, ia tak mungkin siuman.
Usai muntah anak perempuan itu menoleh ke ibunya sambil menangis, “Mama….” Ibunya memeluk haru putrinya.
Dokter dan perawat keheranan. Karena mereka belum melakukan apa pun.
Dua security berbadan besar datang. Mereka menarik Bu Flo untuk diamankan. Di situ Bu Flo sudah tidak melawan. Di saat yang sama muncul banyak pasien bergerombol, belari-lari menimbulkan keributan. Mereka adalah orang-orang yang sekitar dua jam yang lalu didoakan oleh Bu Flo. Rupanya mereka mencari dan mengejarnya.
“Itu dia, itu orangnya!” teriak salah satu dari mereka menunjuk Bu Flo. “Dia yang menyembuhkan benjolan tumorku!” seru salah satu pasien itu. Pasien yang lain berseru, “Dia yang menyembuhkan kanker payudaraku!”
Di belakang mereka mengekor pasien-pasien yang masih sakit dan mereka berseru, “Aku juga ingin sembuh!” Mereka datang mengerubungi Bu Flo, memohon-mohon, “Doakan aku, tolong doakan aku! Aku sudah divonis mati oleh dokter, tolong aku!”
Kabar mujizat Bu Flo langsung menyebar ke pasien-pasien lain seperti api tersulut bensin. Bu Flo melayani mereka sampai ia kelelahan dan tak sanggup lagi.
Banyak pihak melakukan penyelidikan, baik dari institusi agama maupun media. Mereka mencari kemungkinan kasus penipuan, akan tetapi fakta di lapangan berkata sebaliknya. Terhitung 201 pasien mengalami kesembuhan di hari itu dan semuanya telah diuji medis. Hasilnya berkata, mereka benar-benar sembuh. Pihak rumah sakit hanya bisa berkata, “Ini mujizat.”
Orang bilang Bu Flo memiliki anugrah IQ spiritualitas yang tinggi, ia dapat melihat hal-hal rohani melebihi manusia umumnya, bak Bethoven dengan musiknya atau Albert Einstein dengan fisikanya.
Bu Flo melatih para laskar untuk berurusan dengan dunia gaib. Tak heran ketika terjadi aktivitas paranormal seperti saat ini, mereka berada di garda terdepan untuk menyelesaikan masalah.
Para siswi yang kerasukan diletakkan di lantai beralaskan sajadah. Mereka berteriak-teriak kesakitan. Para laskar segera mendampingi. Laskar muslim memanjatkan doa dengan baca-baca ayat Alquran – “Qul a'ụżu birabbil-falaq. Min syarri mā khalaq…” Laskar budhis melantunkan mantra-mantra doa, laskar kristen berteriak-teriak - “Demi nama Tuhan Yesus, kami perintahkan roh jahat keluar! Keluar!” Laskar hindu melantunkan mantra Gayatri – ‘Om bhur buwah swaha, tat sawitur warenyem….’
Sementara Ibu Florensia duduk menghadap ke para korban. Ia memejamkan mata dan mulai berdoa.
Tiga menit Bu Flo khusyuk berdoa, teriakan para siswi yang kerasukan makin menjadi. Mereka meronta-ronta dan mengelepar, seperti ikan di darat. Bola mereka memutih, bergulir ke atas. Satu per satu mereka kehilangan kesadaran.
Kerasukan total.
Semua siswi sekonyong-konyong bangun dari lantai bak dalam satu komando. Para laskar mencoba menahan mereka, tetapi kekuatan mereka jadi berlipat-lipat. Dengan mudah mereka mendorong para laskar hingga terlempar jatuh.
Para siswi kerasukan berjalan ke arah Ibu Florensia, berteriak-teriak dengan marah. Tangan mereka terangkat, menjulur ke depan hendak mencekik dia.
Para laskar mencoba mencegat, tetapi mereka tak bisa mendekat, sebab selalu ada letupan angin kuat yang mendorong mereka jatuh.
Bu Flo dalam bahaya besar.
“Bu Florensia!” teriak Pak Juniadi. Ia hendak mengevakuasi Bu Flo. Akan tetapi Bu Flo mengangkat tangannya, memberi isyarat untuk tetap tenang.
Hanya dalam hitungan menit, para kerasukan mengerubungi tubuh Bu Flo begitu rapat seperti semut menggerubungi gula. Namun ia tidak bergerak dari tempat duduknya dan tetap memejamkan matanya.
Dari dalam kerubungan itu Ibu Florensia berdoa dengan suara keras,
“Para penjaga alam semesta ada bersamaku,memagariku di setiap sudut dari Timur hingga Barat,dari Utara hingga Selatan.Kepada Sang Penguasa Jagat, hamba meminta bantuanMu,pinjamkan kekuatan untuk mengalahkan setan yang terkutuk!”
Seketika itu juga, keluar gelombang kejut dari sekitar tubuh Bu Flo. Semua siswi yang menyerang terlempar sekitar tiga meter ke belakang. Lalu mereka terpasung di udara dengan tangan dan kaki terbentang membentuk silang.
“Laskar! lakukan perang rohani!” komando Ibu Florensia.
Para Laskar segera berkumpul dan memanjatkan doa sesuai dengan kepercayaan masing-masing.
Siswi-siswi berperut bunting itu awalnya berteriak-teriak marah, tiba-tiba berubah tertawa-tawa mengerikan, seakan mengejek doa-doa mereka.
Tiba-tiba salah satu laskar tumbang muntah darah. Tawa mereka semakin keras.
“Teruskan berdoa! Jangan berhenti!” instruksi Ibu Florensia. Para laskar pun semakin khusyuk memanjatkan doa mereka.
Namun tiga laskar menyusul mengalami hal yang serupa. Alis Bu Flo mengerut kesal. Ia bangkit dari duduknya, dengan marah ia berkata, “Kalian tidak menjaga kesucian, ini akibatnya, setan menemukan celah untuk menembus kalian. Ini bukan main-main!”
Tiba-tiba mata Bu Flo membelalak. Ia melihat bahaya. Dengan cepat ia menarik kerah salah satu laskar ke belakang. Tangan kiri Bu Flo mengibas tepat di depan dadanya. Secara ajaib benda-benda logam mendadak berjatuhan ke lantai dari udara.
“Ting! Trititing! Ting!” bunyi paku berdentingan. Banyaknya sekitar seraup tangan.
Bu Florensia kemudian memanjatkan doa, “Wahai para penjaga alam semesta perluaskanlah pagar perlindungan.”
Seketika itu juga di sekitar para laskar terdengar sesuatu bertubrukan dan mengeluarkan percikan. Berbagai benda tajam berjatuhan di lantai, seperti kaca, lempengan besi tajam, paku, kayu tajam dengan berbagai bentuk dan ukuran. Rupanya dari tadi Bu Flo dan laskarnya mendapat kiriman di alam gaib, yang menyebabkan beberapa dari mereka tumbang muntah darah.
“Setan terkutuk tak kuijinkan kalian menyentuh murid-muridku! Angkat tangan kotormu dari mereka!”
Tiba-tiba saja para siswi yang kerasukan itu menjerit dengan sangat kencang. Lantai ubin pun meledak retak di mana-mana. BUM! Semua kaca jendela di gedung retak, kemudian pecah ke arah luar. “PRYANG! PRYANG! PRYANG!”
Siswi-siswi yang kesurupan itu berjatuhan ke lantai. Perlahan-lahan mereka kembali sadar. Perut mereka kempes. Meskipun rasa nyeri dan pegal menjalar di sekujur tubuh mereka. Teman-teman mereka segera menolong mereka.
Seorang siswi yang tadi kerasukan bangkit berdiri. Teman-temannya bingung ada apa. Tiba-tiba saja dia berlari dengan gaya yang aneh menuju jendela dekat pintu masuk.
Bu Flo langsung berteriak, “Tahan dia!”
Rupanya siswi itu masih kerasukan.
Teman-temannya mencoba mengejarnya. Akan tetapi terlambat. Siswi itu sudah sampai di dekat jendela dan mengayunkan lehernya ke arah pecahan kaca yang tajam.
Di saat yang genting, sebuah telunjuk putih seputih salju menyentuh kening anak itu. Jari itu membuat siswi itu berhenti bergerak. Seluruh badannya kaku. Sebelum akhirnya ia terpental sejauh enam langkah ke belakang dan jatuh ke lantai tak sadarkan diri.
Seorang siswi berambut putih, beralis putih, berkulit putih masuk ke dalam ruang serba guna hendak memeriksa siswi itu. Ia seorang manusia albino. Manusia yang tubuhnya tidak menghasilkan warna. Manusia yang zaman dulu dianggap sebagai jelmaan setan.
Para laskar segera berkumpul dan mengelilingi cewek itu. Mereka memasang tampang tidak senang. Tampaknya mereka sudah saling kenal.
“Kamu melakukan pembersihan dengan kekuatan setan! Setan tidak mungkin mengusir setan. Sebab jika demikian kerajaannya akan hancur!” teriak salah satu laskar kristen.
“Keberadaanmu di ruangan ini akan mengganggu proses pembersihan, karena dosa-dosamu, hai manusia syirik yang bersekutu dengan jin!” teriak salah seorang laskar muslim.
Siswi albino itu berdiri dan memandangi teman-teman satu sekolahnya yang menghakiminya. Padahal ia sudah menyelamatkan satu nyawa di saat paling genting. Tapi ia tidak di terima di sana. Ia berbalik dan berjalan menuju pintu ke pintu keluar. Sesampainya di pintu dia berhenti. Lalu ia tertawa tergelak, “Ha..ha..ha…,” sambil bertepuk tangan. Plok! Plok! Plok!
“Sungguh Florensia, performance-mu luar biasa. Sudah seperti aktris Hollywood.”
Mendengar ocehan siswi albino itu, panas telinga para laskar. “Heh, jangan tidak sopan ya!”
Siswi itu berbalik badan dan menunjuk ke arah Ibu Florensia seraya berkata, “Setan yang sesungguhnya sedang berdiri di ujung sana. Noh!”
Para laskar langsung naik pitam. Karena orang yang mereka hormati dituding sebagai setan. “Beraninya kamu menista!” “Sesuci-sucinya lo, tidak mungkin lebih suci dari Ibu Florensia! Bagaimana lo bisa bilang Ibu Florensia sebagai setan”
Siswi albino itu tertawa dan berkata, “Yaa…. tergantung definisi setanmu itu seperti apa. Lagipula tahu dari mana kalian kadar kesucian seseorang? Atau kalian menelan bulat-bulat propaganda yang keluar dari mulut seorang Florensia? Bahwa dia dan kalian adalah orang suci?”
“Lo, tahu apa? Apakah lo bisa membuat mujizat seperti Ibu Florensia? Hanya manusia suci yang dipilih oleh Allah dan berkenan di hadapanNya yang dapat melakukan mujizat di muka bumi!”
“Jadi hanya karena dia melakukan sesuatu yang menurut kalian aneh, luar biasa, di luar akal, kalian jadi seperti kerbau yang dicokok hidungnya dan menelan semua yang keluar dari mulutnya begitu saja?”
“Lo!”
“Bukankah Alkitab lo mengatakan iblis pun bisa menyamar sebagai malaikat terang? Pekerja-pekerjanya menyamar sebagai pekerja-pekerja kebenaran? Bukankah di Islam ada istilahnya…mmm apa tuh… talbis iblis?”
“Lo yang iblis! Munafik dan kafir! Lo urus saja YouTube channel-lo. Pakai itu ilmu lo buat cari uang dan popularitas, seperti dukun-dukun di luar sana. Ibu Florensia tidak pernah menguangkan anugerah yang ia dapatkan dari Allah. Tidak seperti kaum kalian.”
“Kaum? Wah mudah sekali ya, KAUM kalian melabel-labelkan orang. Ya setidaknya, gue kan gak minta-minta duit sama orang tua, kayak KAUM anak manja papi dan mami,” sindir si siswi albino dengan tersenyum.
“Cukup!” potong Ibu Florensia. Kemudian dia berjalan menghampiri cewek Albino itu. Namun sungguh tiada kemarahan yang tergambar di raut wajahnya. Lalu dia memeluk siswi albino itu dan berkata, “Aku mengasihimu. Terima kasih sudah menolong siswi yang tadi.”
Setelah itu ia berbalik ke murid-muridnya dengan sabar dan lembut, “Sudah, sudah… jangan nodai kesucian kalian dengan kemarahan. Kemarahan hanya akan membawa kita ke hal-hal yang negatif. Dia hanya bermaksud baik dan berpesan untuk menguji segala sesuatunya. Sekarang, kita bantu dulu teman-teman kalian. Mereka butuh pertolongan.”
Tanpa bicara lagi, Ibu Florensia dan para laskar kembali merawat siswi-siswi yang terluka.
“Cih!” Siswi albino itu hanya menggeleng-gelengkan kepala dan menghela nafas.
Kalian tertipu.
Siswa dan siswi SMAN 696 tergesa-gesa meninggalkan sekolah. Mereka masih syok. Belum pernah dalam sejarah sekolah terjadi kerasukan aneh semacam itu. Di trotoar depan sekolah Linda menunggu angkot yang ke arah rumahnya. Ia ingin cepat-cepat pulang ke rumah. Matanya terasa perih, kering dan gatal. Di rumah mamanya bisa memperbaiki kacamatanya. Tiba-tiba sebuah mobil BMW hitam berhenti di depan Linda. Gerung mesinnya berkata, “Milyarraann.” Aneh, mobil semewah itu berhenti di sini. Ini bukan sekolah anak-anak tajir. Ini SMAN 696. Satu kaca jendela pecah saja sebulan baru ganti. Kaca jendela mobil itu perlahan turun. Di dalamnya tampak om-om gemuk berjas coklat, kemeja putih dan kancingnya terbuka hingga sedada. Usianya sekitar kepala empat. Ia meneguk sekaleng bir dan "Ahhh…" Om-om itu mengangkat kacamata hitamnya. Bola matanya menelanjangi Linda dari atas hingga bawah. Ia mengangguk ke atas dan bertanya “Berapa neng sejam?” Deg! Li
Rumah kontrakan satu lantai dengan lahan taman kecil di sekelilingnya. Di sisi kiri rumah terdapat garasi satu mobil yang beralih fungsi menjadi bengkel. Penuh peralatan dan barang, namun tertata. Tidak ada yang aneh di bengkel yang gelap itu. Kecuali, sebuah bangku terbalik di tengah ruangan dan tepat di atasnya berayun tubuh seorang wanita. Kriet…kriet… suara tali mencekik lehernya. Usia wanita tersebut sekitar 40 tahunan. Ia mengenakan kaos putih berlapis celana panjang kodok denim. Tak jauh, cahaya mentari menembus kaca jendela, menyinari sebuah bingkai foto handmade dari besi, berornamen susunan gir. Frame itu bersandar di meja, membingkai momen indah wanita itu memeluk Linda remaja yang jutek. Ya, wanita itu tak lain dan tak bukan adalah…. Ceklek! Linda membuka pintu garasi. “Mama?!” pekiknya syok. Ia segera menyalakan lampu dan melempar tasnya. Linda berlari mendekat. Alisnya mengernyit. Ia perhatikan kondisi mamanya d
Tujuh tahun yang lalu. Di sebuah rumah sakit. Satu keluarga. Suami, istri, dan dua anak mereka terbaring lemah di ranjang rumah sakit. Tubuh mereka terbalut perban di sana sini. Alat bantu nafas, sensor detak jantung, infus dan instrumen lainnya terpasang di sekujur badan mereka. Mereka tak dapat bergerak banyak karena parahnya luka-luka yang diderita. Gegar otak, patah tulang, memar, luka potong, dan sebagainya. Tiga hari yang lalu, sang ayah, tipe laki-laki yang sayang keluarga, mengangkat pemukul baseball dan hendak meremukkan kepala istri dan anak-anaknya. Seperti mimpi buruk yang orang tak bisa terbangun darinya. Semua berawal dari putri mereka bermain jelangkung. Dan yang datang dan tak mau pulang adalah satu makhluk astral yang memiliki kesenangan mempengaruhi sesama anggota keluarga untuk saling membunuh. Kini pandangan mereka tertuju pada malaikat penolong mereka yang berdiri di dekat pintu. Seorang wanita paruh baya berkulit sawo ma
Pangkaslah batang dan daun tanaman sampai habis, selama akarnya masih hidup, berilah air, maka tunas-tunas baru akan tumbuh lagi.Siska, tetangga Millia berkencan dengan mantannya, Soni di kafe jalan Amboa. Cinta lama itu bersemi kembali. Sebuah cinta yang terlarang, karena sebuah cincin telah melingkar di jari manisnya. Perjumpaan keduanya di mal empat bulan yang lalu, mengawali perselingkuhan mereka.Perpisahan Siska dan Soni bukan karena saling benci, melainkan karena tidak mendapat restu dari kedua orang tuanya. Bagi ayah dan ibu Siska, Soni bukanlah tipe laki-laki yang bertanggungjawab. Terlalu liar dan masih ingin berenang-senang, kata mereka. Namun bagi Siska, Soni adalah pria yang telah mengambil mahkota keperawanannya. Ia adalah pemilik hatinya.Orang tua Siska memperkenalkan Hans kepada Siska, seorang pria yang konservatif, kaku, mementingkan keamanan dan kepastian. Ciri-ciri laki-laki yang setia dan lebih menjamin di mata kedua orang tua Siska.
Kembali ke masa sekarang. Waktu menujukkan jam sembilan malam. Suasana sudah gelap, dan terdengar suara jangkrik mengirik.Kamar tidur Linda, dua kamar kecil yang bergabung jadi satu. Kamar yang satunya berasal dari hibah mamanya, karena tidak terpakai. Jeni lebih memilih tidur di dalam lemari ala Doraemon.Kamar anak perempuan remaja biasanya terpajang pernak-pernik yang manis dan lucu, foto-foto berisi momen-momen bahagia bersama keluarga atau teman di dinding, mungkin juga beberapa poster artis KPOP, dan di rak bukunya berbaris novel-novel romantis, atau chicklit. Akan tetapi Linda berbeda. Ia menggantung samsak 25 kg pada bracket besi yang terpasang di dinding kamarnya. Di tempat tidurnya tergeletak buku non fiksi “Portal Dunia Gaib.” Dan satu-satu foto yang ada di kamarnya adalah foto saat dia masih kecil bersama Jeni dan Millia, terbingkai dalam frame putih polos di meja. Kamar Linda nampak remang-remang. Hanya mengandalkan caha
Di halaman rumah Linda nampak sebuah gada besi kuning bergerak menyeret perlahan. Seolah ada yang menariknya, tapi tak terlihat siapa pun. Benda itu seperti pemukul baseball, tapi panjangnya setinggi bahu orang dewasa dan ujungnya menggelembung bulat sebesar dua kali tabung gas melon.“Seeeeekkkkkk,” suara ujung gada bergesekan dengan rerumputan tanpa jeda. Jejak garis tanah yang melesak dan rumput yang rata tergilas, menunjukkan berat benda itu.Gada itu berhenti pelan tepat di depan Jendela.“Kak Linda….” terdengar suara memanggil, menggema di kepala Linda. Linda bisa merasakan suara itu berbicara langsung ke dalam otaknya. Telepati. Entah kenapa suara itu membuat bulu kuduknya berdiri. Merinding seperti meriang.Linda sudah beberapa kali mengalami gangguan supranatural. Semuanya selalu memberikan pengalaman yang traumatik. Masalahnya juga dia tidak berdaya menghadapi hal-hal yang tak kasat mata. Hingga saat ini i
“Maaf, ya teman-teman gue agak lama. Gue pinjam toilet ke warga sekitar dulu.” Jessica kembali menggunakan telepati untuk berkomunikasi.Ternyata Jessica bukan meninggalkan Beni dan Linda begitu saja, melainkan mencari tempat aman untuk melakukan astral projection. Sebab saat menembakkan roh atau kesadarannya keluar badan, seseorang akan kehilangan sensasi indera dan kontrol akan tubuh fisiknya. Otot tak sadar saja yang akan terus bekerja, seperti untuk bernafas. Sangat berbahaya, jika ia tidak berada di tempat yang cukup aman.Kesadaran adalah bentuk semua makhluk gaib, termasuk roh manusia. Kesadaran pula yang membuat makhluk dapat berpikir, meskipun tanpa organ otak.Jessica menggunakan teknik hiper konsentras
Keesokan hari, pukul 06.15. Di satu sudut sekolah, di sebuah gudang terbengkalai, tempat menyimpan meja rusak, kursi buntung, dan lainnya. Debu menyelimuti secara tak merata lantai dan tumpukan barang di setiap sudut. Di mana-mana berceceran tai tikus. Aroma pesing agak tercium dari luar pintu masuk. Entah itu berasal dari urin binatang atau manusia.Dari dalam terdengar decit seekor tikus yang risau, “Cit! Cit!” dan ngeong seekor kucing yang tak sabar, “Miaaw!” Lalu menyusul suara kejar-kejaran, tubrukan, dan benda jatuh, sebelum mereka berlari keluar secepat kampret, mengagetkan beberapa murid dan guru yang sedang berdoa sambil berdiri tak jauh dari pintu masuk.Ada suatu alasan yang membuat sebagian warga sekolah berdoa di sana hampir setiap pagi dan bukan di gedung serba guna yang bersih dan tersedia fasilitas peribadatan untuk tiap-
Kedua bibir Mbah Moen mengatup rapat, alisnya mengernyit, matanya menatap lekat mayat istrinya yang hancur untuk terakhir kali. Suami mana yang tak pedih melihat tubuh istrinya dikoyak-koyak tanpa hormat. Keparat! Akhirnya ia berbalik dan pergi. Tak ada yang bisa ia lakukan. “Hei! Mau kemana kau!?” hardik si Janggut melihat Mbah Moen melarikan diri. “Jangan pergi sebelum kau kasih tahu rahasiamu!” Amarah Mbah Moen berkobar seperti hutan rimba kebakaran akibat terik. Ia menyalahkan dirinya atas ketidakmampuan menyelamatkan istrinya. Semua itu harus ia tebus dengan penghukuman diri. Berlari Mbah Moen ke atas gunung secepat mungkin. Tapi langkahnya berat seperti tergandul bola besi. Nafasnya terengah-engah tak seperti biasa. Akibat perkara dunia memenuhi relung hatinya.
Meskipun dalam keadaan sekarat Mbah Asih masih bisa mengenali ekspresi suaminya. Mata yang teralih ke sana kemari, berfokus hanya kepada pendengarannya seakan ada suara datang dari berbagai arah. Setan laknat itu pasti sedang menggoda suaminya. Setan terkuat Gunung Wijen dikunci di dalam kerajaan gaibnya sendiri oleh Mbah Moen. Bukan karena Mbah Moen lebih kuat darinya melainkan makhluk itu telah salah langkah hingga terjebak. Sejak itu sosoknya tak dapat pergi meninggalkan kerajaannya sendiri. Namun demikian ia masih bisa melakukan kontak batin dari kejauhan dan kekuatannya masih bisa sedikit menggapai keluar. Itu alasan Mbah Moen mencegah orang-orang untuk naik ke gunung ini. Agar tidak ada manusia terjebak jeratan tipu muslihatnya yang sehalus jaring laba-laba dan menggoda hati manusia yang lemah. Hati yang haus dengan keinginan-keinginan yang tak tergapai. Selayak air menggoda kerongkongan yang kering. Bertetangga dengan makhluk astral semacam itu
“Selamatkan bayiku,” mohon ibu itu, mengangkat anaknya kepada Mbah Moen dengan gemetar. Kengerian tergurat di wajahnya, mengetahui kemungkinan anaknya tak kan hidup sampai esok hari. Ia tak peduli lagi dengan nyawanya. Asal buah hatinya selamat. Mbah Moen memandang bayi yang tak berdaya itu. Ia mengernyit, menghela nafas. Tak tega, tapi ia tidak mau turut campur dengan prahara dunia yang fana. Ia tak suka hatinya mendapat beban dilema seperti ini. “Anak yang tampan,” kata si Janggut dari belakang. Suara itu membuat adrenalin ibu itu banjir deras, matanya melotot lebar, alisnya mengernyit, jantungnya berdebar keras melihat tangan “malaikat pencabut nyawa” itu perlahan mencengkram kepala anaknya. Raut wajahnya semakin jelek melipat, seperti orang dipaksa meminum sesuatu yang sangat pahit. Air matanya berurai.
Mbah Moen, seorang juru kunci Gunung Merapi Wijen. Tubuhnya kurus kering. Tulang pipinya menonjol. Tingginya sudah menyusut lantaran usia. Bibirnya selalu tersenyum, seperti orang yang sudah tak memiliki beban hidup. Pekerjaan sehari-hari Mbah Moen menutup portal-portal gaib yang sering terbuka sebagai jalan masuk makhluk astral negatif ke gunung tersebut. Bila ada makhluk yang berhasil lolos, Mbah Moen akan menangkapnya dan menguncinya di satu tempat hingga tak bisa kemana-mana mengganggu. Mbah Moen sebagai seorang ahli kebatinan yang sensitif dapat merasakan energi negatif dari Hutan Terlarang yang melalang buana ke seluruh penjuru. Ia memukul-mukul tengkuknya yang terasa penat. Badannya kaku tidak enak akhir-akhir ini. Padahal sudah bertahun-tahun dia tidak pernah sakit. “Sini aku pijitin,” kata Mbah Asih, istrinya. Jari-jari tua keriput dengan ruas tulang jari menonj
Setan Kebaya Merah kembali bersemayam di Hutan Terlarang. Dari sana ia mengirimkan sinyal ke seluruh penjuru nusantara, mengundang orang-orang untuk datang. Mereka yang mengolah ilmu kebatinan pasti dapat merasakan denyut panggilan misterius yang menjalar di alam raya. Terasa begitu menggairahkan bagi mereka pencari kekuatan, namun meresahkan bagi mereka yang menginginkan kedamaian. Bencana gonjang-ganjing akan datang tak lama lagi. Hutan Terlarang. Hutan rimba misterius mistis. Hutan yang memiliki kesadaran. Siapa pun yang masuk akan tersesat berhari-hari. Kiri jadi kanan, kanan jadi kiri, depan jadi belakang, belakang jadi depan. Jauh dekat semua serba terbalik. Segala sensasi indera menipu. Tidak ada satu pun yang bisa dijadikan petunjuk di hutan itu. Masuk ke sana sama saja mati. Datang berombongan juga tak berguna. Hutan itu akan mencerai-beraikan. Teman
Di luar telah gelap. Rembulan enggan keluar. Nenek Min sedang berduka di rumah petaknya. Hanya suara jangkrik yang menemani di luar jendela. Ia duduk di depan meja. Di atasnya terdapat sebuah celupak — alat penerangan dari tanah liat berbahan bakar minyak kelapa dan minyak jarak. Api menyala di ujung sumbunya yang berbaring di cerat. Cahaya kuningnya menerangi ruangan remang-remang. Lidah api itu sedikit menari-nari, seakan mencoba menghibur wanita tua di hadapannya. Mata Nenek Min memandang ke api, cahaya itu menariknya dalam lamunan.Dua hari lalu rombongan Gatuk kembali dari pengejaran. Di belakang kudanya tergeletak tubuh Anggini yang diseret pakai tali. Kebaya merahnya compang-camping, kotor dengan darah dan debu. Wajah dan tubuhnya penuh luka beset dan baret. Rambutnya acak-acakan. Bahkan batang hidungnya sudah tak ada. Sama sekali tak terlihat, kalau dulunya ia seorang ratu sebuah negeri. Hati Nenek Min hancur melihat kondisi Anggini. Gatuk dengan bangga memperto
Pada tengah malam, Anggini dan Nenek Min menggali kuburan Zanna yang masih basah. Mereka masuk ke dalam liang, membongkar papan-papan penutupnya. Mayat anak itu sudah membengkak dan mengeluarkan bau busuk dari dalam kain kafan. Tubuhnya melunak. Darah dan cairan lain keluar dari tubuhnya. Anggini menutup hidung dan mulutnya dengan kain untuk mengurangi bau. Kemudian ia membungkus Zanna dengan kain pelapis tambahan. Kemudian Nenek Min membantu meletakkan mayat Zanna ke punggung Anggini, sambil Anggini mengikatnya ke tubuhnya dengan tali. “Aku akan pergi ke rumah orang tuanya, mempertemukan Zanna dengan keluarganya, dan menyerahkan obat ini.” “Ini gila, Anggini” Anggini memeluk Nenek Min, “Aku akan mewujudkan impian anak ini. Doakan agar aku berhasil.”
Anggini tanpa daya diseret-seret ke rumah penyiksaan Patah Arang.“Jangan, jangan bawa saya ke sana!” mohon Anggini ketakutan. Ia meronta-ronta, melawan, menahan sebisanya. Ia tak ingin kembali ke tempat itu. Rasa ngeri membuatnya gemetar.Tapi ia tak berdaya diseret dua laki-laki kekar ke sana. Rasa takutnya tak bisa dilukiskan dengan kata-kata.Setibanya mereka di rumah penyiksaan. Gatuk membuka sebuah kotak yang berukuran kecil, kurang lebih setengah badan wanita rata-rata. Terakhir kali Anggini melihat seorang wanita disiksa dan meninggal di dalamnya.“Masukkan dia ke dalam situ!”Anak buah Gatuk memaksa Anggini untuk menekuk tubuhnya, meringkuk seperti bayi dalam rahim agar ia bisa dimasukkan ke dalamnya. Baru setelah itu peti itu ditutup dan dikunci. Cahaya obor menembus sebuah lubang kecil yang berfungsi sebagai saluran udara. Tubuh Anggini hampir sama sekali tak bisa bergerak. Nafas terasa tidak nya
Hari istimewa tiba. Zanna berulang tahun. Anggini telah menyiapkan sebuah kejutan kecil untuknya. Dua buah gelang tembaga berbentuk Bunga Gladiol. Gladiol berasal dari kata Latin, Gladius yang berarti pedang. Umumnya dikenal sebagai Bunga Bakung. Bermakna ketulusan, kemurahan hati, serta pendirianteguh. Anggini sengaja memilih bunga itu sebagai simbol asa Zanna meraih mimpi, menembus segala rintangan yang ada dengan kedua tangannya, diiringi kerendahan hati dan tetap setia pada jati dirinya. Selain itu bunga itu biasanya mekar di bulan Agustus. Pas dengan bulan kelahiran Zanna.Anggini sudah tak sabar untuk menghadiahkan gelang itu, tapi ia menunggu waktu selesai bekerja. Agar ia, Nenek Min dan Zanna benar-benar dapat menikmati momen bersama itu dan membu