Mbah Moen, seorang juru kunci Gunung Merapi Wijen. Tubuhnya kurus kering. Tulang pipinya menonjol. Tingginya sudah menyusut lantaran usia. Bibirnya selalu tersenyum, seperti orang yang sudah tak memiliki beban hidup.
Pekerjaan sehari-hari Mbah Moen menutup portal-portal gaib yang sering terbuka sebagai jalan masuk makhluk astral negatif ke gunung tersebut. Bila ada makhluk yang berhasil lolos, Mbah Moen akan menangkapnya dan menguncinya di satu tempat hingga tak bisa kemana-mana mengganggu.
Mbah Moen sebagai seorang ahli kebatinan yang sensitif dapat merasakan energi negatif dari Hutan Terlarang yang melalang buana ke seluruh penjuru. Ia memukul-mukul tengkuknya yang terasa penat. Badannya kaku tidak enak akhir-akhir ini. Padahal sudah bertahun-tahun dia tidak pernah sakit.
“Sini aku pijitin,” kata Mbah Asih, istrinya. Jari-jari tua keriput dengan ruas tulang jari menonj
“Selamatkan bayiku,” mohon ibu itu, mengangkat anaknya kepada Mbah Moen dengan gemetar. Kengerian tergurat di wajahnya, mengetahui kemungkinan anaknya tak kan hidup sampai esok hari. Ia tak peduli lagi dengan nyawanya. Asal buah hatinya selamat. Mbah Moen memandang bayi yang tak berdaya itu. Ia mengernyit, menghela nafas. Tak tega, tapi ia tidak mau turut campur dengan prahara dunia yang fana. Ia tak suka hatinya mendapat beban dilema seperti ini. “Anak yang tampan,” kata si Janggut dari belakang. Suara itu membuat adrenalin ibu itu banjir deras, matanya melotot lebar, alisnya mengernyit, jantungnya berdebar keras melihat tangan “malaikat pencabut nyawa” itu perlahan mencengkram kepala anaknya. Raut wajahnya semakin jelek melipat, seperti orang dipaksa meminum sesuatu yang sangat pahit. Air matanya berurai.
Meskipun dalam keadaan sekarat Mbah Asih masih bisa mengenali ekspresi suaminya. Mata yang teralih ke sana kemari, berfokus hanya kepada pendengarannya seakan ada suara datang dari berbagai arah. Setan laknat itu pasti sedang menggoda suaminya. Setan terkuat Gunung Wijen dikunci di dalam kerajaan gaibnya sendiri oleh Mbah Moen. Bukan karena Mbah Moen lebih kuat darinya melainkan makhluk itu telah salah langkah hingga terjebak. Sejak itu sosoknya tak dapat pergi meninggalkan kerajaannya sendiri. Namun demikian ia masih bisa melakukan kontak batin dari kejauhan dan kekuatannya masih bisa sedikit menggapai keluar. Itu alasan Mbah Moen mencegah orang-orang untuk naik ke gunung ini. Agar tidak ada manusia terjebak jeratan tipu muslihatnya yang sehalus jaring laba-laba dan menggoda hati manusia yang lemah. Hati yang haus dengan keinginan-keinginan yang tak tergapai. Selayak air menggoda kerongkongan yang kering. Bertetangga dengan makhluk astral semacam itu
Kedua bibir Mbah Moen mengatup rapat, alisnya mengernyit, matanya menatap lekat mayat istrinya yang hancur untuk terakhir kali. Suami mana yang tak pedih melihat tubuh istrinya dikoyak-koyak tanpa hormat. Keparat! Akhirnya ia berbalik dan pergi. Tak ada yang bisa ia lakukan. “Hei! Mau kemana kau!?” hardik si Janggut melihat Mbah Moen melarikan diri. “Jangan pergi sebelum kau kasih tahu rahasiamu!” Amarah Mbah Moen berkobar seperti hutan rimba kebakaran akibat terik. Ia menyalahkan dirinya atas ketidakmampuan menyelamatkan istrinya. Semua itu harus ia tebus dengan penghukuman diri. Berlari Mbah Moen ke atas gunung secepat mungkin. Tapi langkahnya berat seperti tergandul bola besi. Nafasnya terengah-engah tak seperti biasa. Akibat perkara dunia memenuhi relung hatinya.
Hari menjelang malam. Lampu-lampu penerangan menyala. Jalan-jalan di Jakarta terlihat lenggang. Situasinya sama seperti saat Ramadan dan semua warga sudah pulang kampung. Hanya debu dan Bus Transjakarta saja yang berseliweran. Tetapi tidak di Stadion Gelora Bung Karno, gelanggang olahraga Jakarta. Detik ini 77.000+ bangku di area tribun dan lapangannya terisi penuh. Orang-orang sedang berpesta akbar dalam event - NeroXXX. Di setiap sudut GBK itu lautan manusia sedang asyik berjoget-joget esek-esek, saling berpelukan menggesek-gesek bagian privat sambil mengikuti irama bit konser musik, “Jedag! Jedug! Jedag! Jedug! Tetetet…!” Suaranya membahana menggedor-gedor langit. Mereka yang berdiri dekat speaker sampai merasakan jantungnya seperti terpukul-pukul oleh gelombang suaranya. Sinar-sinar lampu laser warna-warni ikut menari, berkedap-kedip, berayun ke kiri dan ke kanan, menembak angkasa. Di lapangan bola orang-orang mengelilingi panggung berukuran 24 x 9 x 2 mete
Tujuh tahun kemudian. SMAN 696. Sekolah macam anak tiri tak terurus. Temboknya dekil, cat mengelupas, cemong sana-sini dengan coretan grafiti di tembok luarnya, kayu kusen-kusen pintu dan jendela sudah pucat dan retak kena terik dan hujan, memohon untuk kena dempul dan pelitur lagi. Para murid berpakaian suka-suka. Yang adam kerahnya terangkat, kancingnya terbuka sedada, rambutnya mengkilap tersemir pomade. Sementara yang hawa, bajunya ketat-ketat, menonjolkan perbukitan kembar berdiameter rupa-rupa, roknya pendek-pendek, yang bila orangnya membungkuk, membuat kaum adam bersiul-siul mengagumi ciptaan Yang Maha Kuasa dengan gemas. Di sudut lain, asap putih rokok mengepul di anak tangga. Puntung-puntung rokok berserakan di lantai. Guru-guru yang lewat tak berani menegur mereka. Mereka hanya menatap sebentar dan geleng-geleng. Tatapan mereka pun dibalas dengan tatapan - “Apa loh lihat-lihat…” Guru-guru wanita yang terbilang masih muda mereka goda dengan siulan-siulan genit dan pandang
Linda sedang berada di ruang BK untuk mengurus izin untuk pulang lebih awal kepada Bu Lope. Guru BK yang badannya seperti jelly. Lemak-lemaknya tak dapat bersembunyi dari pakaiannya dan bergoyang-goyang memantul jika dia bergerak atau berjalan. Selagi keduanya berbicara, Linda mulai merasa menggigil. Uap putih keluar dari mulutnya. “Apakah kamu tak apa-apa?” tanya guru BK. Linda menatap ke atas ke arah pendingin ruangan. Tapi AC itu mati. Sementara di luar matahari juga bersinar cerah. Linda menggeleng merespon pertanyaan Bu Lope. Ia menghela nafas. Ia selalu mengalami kedinginan bila ada sesuatu yang tidak baik. Energi astral negatif yang kuat. Setelah ini biasanya akan ada kejadian yang tidak baik, cepat atau lambat. Bisa dikatakan mirip Spider-sense milik manusia laba-laba. Fitur khusus yang bisa merasakan adanya bahaya. Ia memiliki kelebihan ini sudah sejak kecil. Biasanya ia selalu menghindar dan tidak mau tahu. Kemampuannya ini membuat
Kekacauan di SMAN 696 memanggil orang nomor satu di sekolah turun gunung. Pak Juniadi, kepsek jangkung berkacamata dengan sigap mengelola keadaan, “Kumpulkan semua korban di gedung serba guna. Ruang UKS tak cukup. Berdayakan dokter kecil untuk pertolongan pertama. Telpon rumah sakit, minta ambulan. Pulangkan anak-anak lain agar jangan sampai jumlah korban, khususnya wanita, bertambah.” Ruang serba guna di area belakang sekolah. Gedungnya paling bagus, paling baru. Bisa menampung sekitar tiga ratusan orang. Tinggi langit-langitnya mencapai 4 meter. Fasilitas ini digunakan untuk acara kelulusan, peribadatan dan sebagainya. Pak Juniadi terlihat serius. Ada sekitar 50-an siswi yang mengalami kejadian aneh ini. Mungkin ini waktunya untuk wanita itu turun tangan lagi, pikirnya. “Panggil Ibu Florensia dan Laskar Rohani!” perintah Pak Juniadi. Seorang wanita tua bergegas menuju Ruang Serba Guna. Derap langkah sepatu seperti prajurit berbaris mengikut
Siswa dan siswi SMAN 696 tergesa-gesa meninggalkan sekolah. Mereka masih syok. Belum pernah dalam sejarah sekolah terjadi kerasukan aneh semacam itu. Di trotoar depan sekolah Linda menunggu angkot yang ke arah rumahnya. Ia ingin cepat-cepat pulang ke rumah. Matanya terasa perih, kering dan gatal. Di rumah mamanya bisa memperbaiki kacamatanya. Tiba-tiba sebuah mobil BMW hitam berhenti di depan Linda. Gerung mesinnya berkata, “Milyarraann.” Aneh, mobil semewah itu berhenti di sini. Ini bukan sekolah anak-anak tajir. Ini SMAN 696. Satu kaca jendela pecah saja sebulan baru ganti. Kaca jendela mobil itu perlahan turun. Di dalamnya tampak om-om gemuk berjas coklat, kemeja putih dan kancingnya terbuka hingga sedada. Usianya sekitar kepala empat. Ia meneguk sekaleng bir dan "Ahhh…" Om-om itu mengangkat kacamata hitamnya. Bola matanya menelanjangi Linda dari atas hingga bawah. Ia mengangguk ke atas dan bertanya “Berapa neng sejam?” Deg! Li