Siswa dan siswi SMAN 696 tergesa-gesa meninggalkan sekolah. Mereka masih syok. Belum pernah dalam sejarah sekolah terjadi kerasukan aneh semacam itu.
Di trotoar depan sekolah Linda menunggu angkot yang ke arah rumahnya. Ia ingin cepat-cepat pulang ke rumah. Matanya terasa perih, kering dan gatal. Di rumah mamanya bisa memperbaiki kacamatanya.
Tiba-tiba sebuah mobil BMW hitam berhenti di depan Linda. Gerung mesinnya berkata, “Milyarraann.” Aneh, mobil semewah itu berhenti di sini. Ini bukan sekolah anak-anak tajir. Ini SMAN 696. Satu kaca jendela pecah saja sebulan baru ganti.
Kaca jendela mobil itu perlahan turun. Di dalamnya tampak om-om gemuk berjas coklat, kemeja putih dan kancingnya terbuka hingga sedada. Usianya sekitar kepala empat. Ia meneguk sekaleng bir dan "Ahhh…"
Om-om itu mengangkat kacamata hitamnya. Bola matanya menelanjangi Linda dari atas hingga bawah. Ia mengangguk ke atas dan bertanya “Berapa neng sejam?”
Deg! Linda merasa tidak enak denga pertanyaan itu. Berapa? Apa maksudnya? Ia menghiraukan orang itu dan menengok ke ujung jalan, menanti angkotnya.
“Neng…neng… gue suka nih barang kayak gini, unik,” panggil om itu seraya tangannya menggapai, hendak menoel dada Linda.
“Apaan sih!” sergah Linda kaget seraya menjauh sambil terus menutupi matanya yang kering dengan tangan kiri, dan melipat tangan dengan kanan.
Pria itu mematikan mesin mobil, membuka pintu dan turun. Dari goyangan suspensi saat ia beranjak keluar, bobot orang ini kelas berat. Ia meluruskan tulang-tulangnya, hgghhh! Ketek! kretek! Lalu menggaruk selangkangannya yang gatal.
Dia meneguk tetes bir terakhir, lalu melempar kalengnya sembarangan. “Klontang! klontang” bunyi aluminium mencumbu aspal. “Errrgh!” suara sendawa. Ia berjalan mendekati Linda.
Bau alkohol tercium keras.
“Bisa CIM, gak sayang?” tanya om itu mesum.
Cim? Apa sih cim cim cim?
Om-om itu mencoba membelai rambut Linda.
Linda menepis tangan orang itu. Ia semakin bete.
“Brrrrmmm!” suara motor Vixion berhenti di depan keduanya. Pengendaranya membuka helm. Ternyata itu Beni. Ia turun dari kuda besinya, sambil memegang helm, bergegas menghalangi pria itu. “Heh, mundur om. Jangan macam-macam di sini,” ujar Beni memperingati. Kepalanya harus mendongak untuk bisa bicara dengannya.
Pria itu menatap Beni. “Cuih! Minggir, bocah!” Telapak tangannya yang besar mendorong kepala Beni ke samping. Beni terhuyung-huyung, hampir jatuh.
Om itu mendekati Linda. Tanpa basa-basi tangan kirinya meremas bokong Linda.
Alis Linda mengernyit risih. “Apaan sih!” Ia dorong perut om-om itu sekuat tenaga. Eh, malah dia yang terdorong ke belakang.
“Ahahahaha, oooh… om suka yang seperti ini! Sedikit pedas dan melawan.” Ia merendahkan pinggangnya, kemudian melangkah maju, sambil menggerakkan pinggulnya maju mundur.
“Bajingan, jangan ganggu dia!” sergah Beni. Ia melompat maju lagi.
Saking fokusnya Linda menghindari om-om itu, tak sadar kakinya sudah berada di atas saluran got yang penutup betonnya hilang tiga buah. Ia kehilangan keseimbangan.
Beni membelalakkan mata. Tanpa berpikir panjang, ia timpuk helm miliknya ke om-om itu. “BLETAK!” Pria itu terhuyung-huyung, menabrak gerobak cilok. “Aduh dagangan saya!” Secepat kilat Beni melompat ke dalam got sebelum Linda tercebur.
JEBLUB! Kedua kakinya menancap ke lumpur hingga setengah betis. Air comberan kotor menciprat celananya.
Linda jatuh ke dalam pelukan Beni. Pluk! Punggung dan kaki Linda menggantung di kedua lengan Beni yang kokoh.
Linda kaget mendapati dirinya dalam pelukan seorang cowok. Kedua bola mata mereka saling bertemu dalam batas jarak intim 50 cm. Bila ini adalah drakor, ini momen si cewek mulai merasakan getaran-getaran cinta.
Akan tetapi justru mata, bagian yang paling membuat Linda sangat insecure. Mood swing-nya menendang. Apalagi pandangan Beni sekilas melintas di area dadanya. Rasa malu berubah menjadi risih dan marah. Kontol!
Bukannya berterima kasih. “Plak!” Linda malah menghadiahkan sebuah tamparan pelak, mengejutkan sang pahlawan.
“Turunin gue, sekarang!” perintah Linda galak.
“I..iya,” jawab Beni agak syok. Ia letakkan Linda di trotoar. Lalu Linda bangkit berdiri.
Belum sempat Beni keluar dari got. Om tadi sudah maju dan menendang wajah Beni. “BAK!” “Sialan… ganggu saja monyet ini!”
Om itu beralih ke Linda dan tersenyum. Ia meraih pinggang Linda dan menariknya ke dalam pelukannya. “Ayo sayang, bilang berapa hargamu. Om dobelin, deh. Hehe…”
Linda marah sekali diperlakukan seperti itu. “Cuih!” ia ludahi wajah om cabul itu. Tapi bukannya marah, orang itu malah mengelapnya dengan telapak tangannya, lalu menjilatnya.
“Woahahaha…. kinky banget kamu yah. Kalau gitu om bayar tiga kali lipat harga kamu! “HAHAHA!” Om-om itu tergelak terangsang. Batangnya mengeras.
Amarah Linda sudah sampai ke ubun-ubun. Ia akan habisi nyawa orang itu. Jemarinya mulai mengepal. Akan tetapi belum sempat ia melaksanakan niatnya, terdengar suara dari belakang. “Lepasin dia!”
Bukan itu bukan Beni, melainkan seorang pedagang siomai. Tangannya memegang sebilah pisau. Ia tidak sendiri, melainkan bersama beberapa pedagang lain yang merasa terganggu. Ada yang bersenjatakan penggiling adonan, panci penggorengan, dan sebagainya.
“AHA…HA...HA!” Pria itu terbahak-bahak melihat mereka. Lalu ia mengeluarkan sesuatu dari balik jas, dan mengokangnya. Ceklek! Beceng G2 Elite kaliber 9 mm.
“Kyaaa!” jerit orang-orang terkaget. Tukang siomai langsung mereka jadikan tameng sambil mundur perlahan. Orang-orang di sekitar juga kocar-kacir mencari aman.
Namun Beni berbeda dengan yang lain. Ia keluar dari got dan dengan gagah menghadang beceng itu.
“Ayo shoot!” tantang Beni. Beni melirik Linda dan memberikan senyuman. Ia merasa keren sekali melakukan adegan ini di depannya. Serasa jadi superhero.
“Dah gila kamu, ya?” kata om itu.
Beni makin tidak waras. Kini ia tempelkan keningnya ke moncong laras.
“Ayo tembak…. atau masih kurang dekat?” Kali ini ia melahap ujung laras pistol. “Ayo!”
“Apa-apaan kau hah? Sudah tak sayang nyawa rupanya? Hancur kepala kau bila kubedil ini!” bentak om-om itu.
Tiba-tiba dari arah belakang terdengar suara yang berwibawa, “Hentikan!”
Perhatian Linda, Beni dan om mesum langsung teralih ke sumber suara. Ternyata itu Pak Juniadi. Ada murid yang melaporkan keributan di depan sekolah kepadanya.
Sepatu Pak Juniadi. Pantofel made in Cibaduyut. Sederhana dan terjangkau. Secepat kilat bersarang di perut Beni dengan keras. BUK!
Uhuk! Beni terbatuk, tersungkur duduk di trotoar memegang perutnya. Pak Juniadi sengaja melakukan itu agar muridnya terhindar dari bahaya.
Beceng om itu bergerak cepat, menodong kepala Pak Juniadi. “Anda jangan macam-macam,” ancamnya.
Pak Juniadi menatap orang itu dengan serius. Ia membetulkan kacamatanya dengan tangan kanannya. “Andalah yang jangan macam-macam.” Matanya memberi isyarat kepada om cabul itu untuk melihat ke bawah. Ternyata sebuah pistol sedang mengarah ke masa depan orang itu. Keduanya sedang bertaruh, siapa yang lebih berani kehilangan.
“Sekarang lepaskan siswa dan siswi saya dan letakan pistol Anda di tanah.”
“Anda tidak akan menembak saya.”
“Silahkan dicoba, jika Anda berani,” tantang Pak Juniadi.
Om-om itu berpikir sejenak. Ditembak di kepala, kemungkinan mati cepat. Tapi kalau di bawah situ, apalagi kalau dibuat sedikit miss, mati juga sih, tapi sakitnya macam apa.
“Ok, ok…” Om itu memutuskan untuk melepaskan Linda, dan perlahan meletakkan pistolnya di tanah.
“Sekarang silahkan Anda pergi dari sini, dan jangan kembali lagi. Kalau tidak saya panggil polisi,” ancam Pak Juniadi.
Pria itu mundur pelan-pelan ke mobilnya. Dengan bersungut-sungut om itu masuk ke mobil, menyalakan mesinnya dan kemudian meninggalkan area sekolah.
“Siapa nama kamu?” tanya Pak Juniadi ke Beni, sambil memungut pistol yang ditinggalkan orang itu dari tanah.
“Beni.”
“Kamu tahu, yang telah kamu lakukan itu ceroboh, Ben,” kata Pak Juniadi, mengangkat pistol itu.
“Ah paling itu hanya airsoft gun, pak. Sekarang ini banyak yang bawa pistol mainan seperti itu. Buat nakut-nakutin. Kalau gak mana saya berani, pak seperti tadi,” kata Beni tersenyum.
Pak Juniadi menekan sebuah tombol kecil di gagang pistol. “Klak!” terdengar suara mekanik pelepas magazin. Isinya merosot di depan mata Beni. “Lihat, ini peluru asli. Peluru tajam. Bukan peluru airsoft yang bulat-bulat itu,” katanya.
Beni kaget.
Pak Juniadi menyimpan pistol orang itu di belakang pinggangnya. Setelah itu dia mengarahkan pistol miliknya ke paha Beni.
“Maafkan bapak.”
“Hah, maksudnya?”
“Duar!” Pistol Pak Juniadi meletus.
“AKKKH!” Beni berguling-guling di trotoar, menjerit kesakitan, memegangi kakinya. “AAkkhhh!”
Pak Juniadi berjongkok dan menonton Beni beberapa saat. Dengan santai ia berkata, “Hei, hei itu hanya pistol airsoft gun kosong. Kamu benar, memang ada orang yang cuma bawa pistol mainan, seperti saya. Masalahnya kamu tak bisa bedakan mana yang asli, mana yang mainan. Peluru airsoft gun pun, kalau ditembak di dalam mulut tetap bisa berbahaya, paham?”
Beni memeriksa kakinya ternyata benar, kakinya tidak apa-apa.
“P...paham pak,” jawab Beni.
“Segeralah kalian berdua pulang, ke rumah. Jangan kelayapan. Bapak masih harus mengurus kejadian aneh hari ini,” kata Pak Juniadi sambil membetulkan kacamatanya.
“B...baik pak,” kata Beni.
“Kamu bisa antar Linda?” tanya Pak Juniadi agak mengkhawatirkan siswinya.
“Bi…bisa pak.”
“Ok, jalankan tugasmu sebagai laki-laki.”
Sehabis berpesan itu, Pak Juniadi kembali masuk ke dalam sekolah.
Beni mengambil helmnya dari tanah, lalu berjalan menghampiri Linda.
“Terima kasih,” ucap Linda pendek. Itu saja yang ingin diucapkannya. Ia tak mau banyak basa-basi.
“Sama-sama,” jawab Beni, “Mmm… gue antar pulang yuk.”
Linda menggeleng. Matanya langsung mencari-cari angkot. Ia ingin segera pulang agar tidak perlu ngobrol dengan Beni atau meladeni ajakannya.
“Ayolah. Lagipula matamu sepertinya harus mendapatkan penanganan segera. Takutnya di jalan banyak debu dan sebagainya. Bahaya kan. Dan akhir-akhir ini entah kenapa di sekitar sekolah banyak orang-orang seperti tadi. Dengar-dengar sudah ada beberapa siswi yang melaporkan hal itu.”
Linda dengan cepat menggeleng lagi.
Beni masih belum menyerah, “Ayolah, yuk.”
“Gak! Terima kasih,” tolak Linda dengan pedas dan jutek. Lalu dengan sengaja menutup hidung untuk memberikan sinyal-sinyal agar cowok itu merasa tak nyaman.
Beni melirik celananya yang basah dan menetes air got. Saat itu ia memang semerbak bau comberan. Beni menunjukkan wajah tidak enak. “Ya baiklah,” ucap Beni tak bersemangat. Lalu ia menaiki motornya, memakai helmnya, memutar gas dan pergi meninggalkannya.
15 menit kemudian Angkot M105 akhirnya tiba. Linda naik masuk ke dalamnya, duduk di paling belakang. Matanya terasa sangat tidak nyaman. Ia naikan cap hoodienya dan menutupi wajah dengan rambut untuk mengurangi cahaya yang menyiksa bola matanya.
Angkot baru saja jalan, tapi sudah mengerem lagi. Masih ada penumpang mau naik. Lalu terdengar orang tertawa-tawa, entah kenapa. Linda tidak peduli. Yang jelas orang yang baru naik itu duduk di sebelahnya. Saat dia duduk, Linda terasa terjepit di pojok. Wanita tapi kok gede banget?
30 menit perjalanan, Linda sampai di tujuan. Ia berdiri dari kursinya hendak keluar, mengantri sebentar di belakang pantat orang. Ketika Linda menyerahkan uangnya, supir itu berkata, “Sudah dibayar neng.”
“Hah, dibayar siapa?” tanya Linda, mengira ia salah dengar.
Supir itu menunjuk orang yang dimaksud dengan anggukan kepala.
Orang itu sudah berdiri di luar membelakangi angkot. Linda turun tepat di belakangnya.
Sepatu Linda secepat kilat menempel di pantat wanita itu dan mendorongnya hingga wanita tersebut terjungkang.
“Eh, alamak!” pekik wanita itu, tersungkur di tanah.
Linda langsung menyodorkan pengganti uang ongkos angkot kepadanya.
“Ambil, gue gak mau dibayarin, Ben.”
Ternyata wanita itu adalah… Beni.
“Gak apa-apa, Linda.”
“Gak perlu gue dibayarin!” Linda menimpuk uang itu ke dada Beni dengan kasar. “Ngapain lo pakai baju perempuan?”
Beni berdiri sambil menepuk-nepuk dress-nya. “Seragam gue kan kotor dan bau. Sementara toko baju dekat sekolah adanya Toko Sherly. Toko itu hanya menjual baju wanita. Bagaimana menurut lo apakah dress ini cocok buat gue?”
Linda hanya menatap Beni jutek.
“Buat apa lo beli baju cewek segala, kurang kerjaan!”
“Ya, supaya lo gak ke-bau-an. Supaya bisa nganterin lo.”
Linda bete dengan kegigihan Beni.
“Dah gue bilang kan, gue bisa pulang sendiri.”
“Iya, gue jaga-jaga saja, kalau ada apa-apa,” jawab Beni sekenanya. Ia melihat ke sekeliling. “Rumah lo yang mana?”
“Masih harus jalan.”
“Ya sudah, ayuk, tunggu apa lagi,” kata Beni.
“Lo pulang saja,” potong Linda cepat. “Gue bisa sendiri.”
“Ya, gue yakin, lo bisa. Tapi….”
Belum Beni menyelesaikan kalimatnya, Linda memotong, "Reseh amat sih. Cowok tolol gak ngerti Bahasa Indonesia. Goblok!" Linda memaki dengan kasar dan suara meninggi. Dia sudah tidak mau berpanjang lebar. Setelah itu dia pergi meninggalkan cowok itu.
Beni terdiam di belakang Linda, sebelum dia memanggil, “Linda, mengapa kamu menutup diri?”
Langkah kaki Linda terhenti. Alis Linda mengernyit. Kalimat Beni seperti sudah melanggar privasinya. Lalu ia membalikkan badannya. “Lo siapa sih?” bentak Linda. “Kita baru kenal hari ini. Gak perlu sok dekat, sok baik sama gue. Risih tahu!”
Linda berbalik dan lanjut melangkah meniggalkan Beni yang terbengong. Beni berdiri mematung mendapatkan omelan Linda. Tapi kemudian dia tersenyum penuh arti. Jari tangan kanannya membentuk pistol, terangkat mengarah ke Linda. Lalu dia mengedipkan matanya.
Rumah kontrakan satu lantai dengan lahan taman kecil di sekelilingnya. Di sisi kiri rumah terdapat garasi satu mobil yang beralih fungsi menjadi bengkel. Penuh peralatan dan barang, namun tertata. Tidak ada yang aneh di bengkel yang gelap itu. Kecuali, sebuah bangku terbalik di tengah ruangan dan tepat di atasnya berayun tubuh seorang wanita. Kriet…kriet… suara tali mencekik lehernya. Usia wanita tersebut sekitar 40 tahunan. Ia mengenakan kaos putih berlapis celana panjang kodok denim. Tak jauh, cahaya mentari menembus kaca jendela, menyinari sebuah bingkai foto handmade dari besi, berornamen susunan gir. Frame itu bersandar di meja, membingkai momen indah wanita itu memeluk Linda remaja yang jutek. Ya, wanita itu tak lain dan tak bukan adalah…. Ceklek! Linda membuka pintu garasi. “Mama?!” pekiknya syok. Ia segera menyalakan lampu dan melempar tasnya. Linda berlari mendekat. Alisnya mengernyit. Ia perhatikan kondisi mamanya d
Tujuh tahun yang lalu. Di sebuah rumah sakit. Satu keluarga. Suami, istri, dan dua anak mereka terbaring lemah di ranjang rumah sakit. Tubuh mereka terbalut perban di sana sini. Alat bantu nafas, sensor detak jantung, infus dan instrumen lainnya terpasang di sekujur badan mereka. Mereka tak dapat bergerak banyak karena parahnya luka-luka yang diderita. Gegar otak, patah tulang, memar, luka potong, dan sebagainya. Tiga hari yang lalu, sang ayah, tipe laki-laki yang sayang keluarga, mengangkat pemukul baseball dan hendak meremukkan kepala istri dan anak-anaknya. Seperti mimpi buruk yang orang tak bisa terbangun darinya. Semua berawal dari putri mereka bermain jelangkung. Dan yang datang dan tak mau pulang adalah satu makhluk astral yang memiliki kesenangan mempengaruhi sesama anggota keluarga untuk saling membunuh. Kini pandangan mereka tertuju pada malaikat penolong mereka yang berdiri di dekat pintu. Seorang wanita paruh baya berkulit sawo ma
Pangkaslah batang dan daun tanaman sampai habis, selama akarnya masih hidup, berilah air, maka tunas-tunas baru akan tumbuh lagi.Siska, tetangga Millia berkencan dengan mantannya, Soni di kafe jalan Amboa. Cinta lama itu bersemi kembali. Sebuah cinta yang terlarang, karena sebuah cincin telah melingkar di jari manisnya. Perjumpaan keduanya di mal empat bulan yang lalu, mengawali perselingkuhan mereka.Perpisahan Siska dan Soni bukan karena saling benci, melainkan karena tidak mendapat restu dari kedua orang tuanya. Bagi ayah dan ibu Siska, Soni bukanlah tipe laki-laki yang bertanggungjawab. Terlalu liar dan masih ingin berenang-senang, kata mereka. Namun bagi Siska, Soni adalah pria yang telah mengambil mahkota keperawanannya. Ia adalah pemilik hatinya.Orang tua Siska memperkenalkan Hans kepada Siska, seorang pria yang konservatif, kaku, mementingkan keamanan dan kepastian. Ciri-ciri laki-laki yang setia dan lebih menjamin di mata kedua orang tua Siska.
Kembali ke masa sekarang. Waktu menujukkan jam sembilan malam. Suasana sudah gelap, dan terdengar suara jangkrik mengirik.Kamar tidur Linda, dua kamar kecil yang bergabung jadi satu. Kamar yang satunya berasal dari hibah mamanya, karena tidak terpakai. Jeni lebih memilih tidur di dalam lemari ala Doraemon.Kamar anak perempuan remaja biasanya terpajang pernak-pernik yang manis dan lucu, foto-foto berisi momen-momen bahagia bersama keluarga atau teman di dinding, mungkin juga beberapa poster artis KPOP, dan di rak bukunya berbaris novel-novel romantis, atau chicklit. Akan tetapi Linda berbeda. Ia menggantung samsak 25 kg pada bracket besi yang terpasang di dinding kamarnya. Di tempat tidurnya tergeletak buku non fiksi “Portal Dunia Gaib.” Dan satu-satu foto yang ada di kamarnya adalah foto saat dia masih kecil bersama Jeni dan Millia, terbingkai dalam frame putih polos di meja. Kamar Linda nampak remang-remang. Hanya mengandalkan caha
Di halaman rumah Linda nampak sebuah gada besi kuning bergerak menyeret perlahan. Seolah ada yang menariknya, tapi tak terlihat siapa pun. Benda itu seperti pemukul baseball, tapi panjangnya setinggi bahu orang dewasa dan ujungnya menggelembung bulat sebesar dua kali tabung gas melon.“Seeeeekkkkkk,” suara ujung gada bergesekan dengan rerumputan tanpa jeda. Jejak garis tanah yang melesak dan rumput yang rata tergilas, menunjukkan berat benda itu.Gada itu berhenti pelan tepat di depan Jendela.“Kak Linda….” terdengar suara memanggil, menggema di kepala Linda. Linda bisa merasakan suara itu berbicara langsung ke dalam otaknya. Telepati. Entah kenapa suara itu membuat bulu kuduknya berdiri. Merinding seperti meriang.Linda sudah beberapa kali mengalami gangguan supranatural. Semuanya selalu memberikan pengalaman yang traumatik. Masalahnya juga dia tidak berdaya menghadapi hal-hal yang tak kasat mata. Hingga saat ini i
“Maaf, ya teman-teman gue agak lama. Gue pinjam toilet ke warga sekitar dulu.” Jessica kembali menggunakan telepati untuk berkomunikasi.Ternyata Jessica bukan meninggalkan Beni dan Linda begitu saja, melainkan mencari tempat aman untuk melakukan astral projection. Sebab saat menembakkan roh atau kesadarannya keluar badan, seseorang akan kehilangan sensasi indera dan kontrol akan tubuh fisiknya. Otot tak sadar saja yang akan terus bekerja, seperti untuk bernafas. Sangat berbahaya, jika ia tidak berada di tempat yang cukup aman.Kesadaran adalah bentuk semua makhluk gaib, termasuk roh manusia. Kesadaran pula yang membuat makhluk dapat berpikir, meskipun tanpa organ otak.Jessica menggunakan teknik hiper konsentras
Keesokan hari, pukul 06.15. Di satu sudut sekolah, di sebuah gudang terbengkalai, tempat menyimpan meja rusak, kursi buntung, dan lainnya. Debu menyelimuti secara tak merata lantai dan tumpukan barang di setiap sudut. Di mana-mana berceceran tai tikus. Aroma pesing agak tercium dari luar pintu masuk. Entah itu berasal dari urin binatang atau manusia.Dari dalam terdengar decit seekor tikus yang risau, “Cit! Cit!” dan ngeong seekor kucing yang tak sabar, “Miaaw!” Lalu menyusul suara kejar-kejaran, tubrukan, dan benda jatuh, sebelum mereka berlari keluar secepat kampret, mengagetkan beberapa murid dan guru yang sedang berdoa sambil berdiri tak jauh dari pintu masuk.Ada suatu alasan yang membuat sebagian warga sekolah berdoa di sana hampir setiap pagi dan bukan di gedung serba guna yang bersih dan tersedia fasilitas peribadatan untuk tiap-
Sifat asli manusia akan terlihat di saat ia memiliki power untuk bisa berbuat apa saja tanpa konsekuensi, bahkan sesederhana mengetikkan kata-kata di medsos. Sebagian besar akan menjadi BUAS seperti binatang. Apakah benar kita makhluk paling sempurna, atau hanya binatang yang berevolusi menjadi manusia, tetapi masih membawa insting kebinatangannya? Terutama saat hendak bertahan hidup.7 tahun yang lalu. Di depan sebuah toko kelontong. Seorang preman Geng Ular berulah."Tembak! Tembak gue!" tantang pria bertubuh kurus kering berkaos kutang, bercelana jeans sedengkul. Tangan kanannya yang memegang sebilah sabit, menepuk-nepuk dadanya. Enam petugas berbadan tegap sudah mengepungnya dan mengacungkan pistol. Tiga kali sudah tembakan peringatan keluar. Artinya tembakan berikutnya akan menyasar kepadanya.“Menyerahlah, kamu sudah terkepung. Jangan mempersulit dirimu!”Preman itu terus memprovokasi polisi untuk maju. SE
Kedua bibir Mbah Moen mengatup rapat, alisnya mengernyit, matanya menatap lekat mayat istrinya yang hancur untuk terakhir kali. Suami mana yang tak pedih melihat tubuh istrinya dikoyak-koyak tanpa hormat. Keparat! Akhirnya ia berbalik dan pergi. Tak ada yang bisa ia lakukan. “Hei! Mau kemana kau!?” hardik si Janggut melihat Mbah Moen melarikan diri. “Jangan pergi sebelum kau kasih tahu rahasiamu!” Amarah Mbah Moen berkobar seperti hutan rimba kebakaran akibat terik. Ia menyalahkan dirinya atas ketidakmampuan menyelamatkan istrinya. Semua itu harus ia tebus dengan penghukuman diri. Berlari Mbah Moen ke atas gunung secepat mungkin. Tapi langkahnya berat seperti tergandul bola besi. Nafasnya terengah-engah tak seperti biasa. Akibat perkara dunia memenuhi relung hatinya.
Meskipun dalam keadaan sekarat Mbah Asih masih bisa mengenali ekspresi suaminya. Mata yang teralih ke sana kemari, berfokus hanya kepada pendengarannya seakan ada suara datang dari berbagai arah. Setan laknat itu pasti sedang menggoda suaminya. Setan terkuat Gunung Wijen dikunci di dalam kerajaan gaibnya sendiri oleh Mbah Moen. Bukan karena Mbah Moen lebih kuat darinya melainkan makhluk itu telah salah langkah hingga terjebak. Sejak itu sosoknya tak dapat pergi meninggalkan kerajaannya sendiri. Namun demikian ia masih bisa melakukan kontak batin dari kejauhan dan kekuatannya masih bisa sedikit menggapai keluar. Itu alasan Mbah Moen mencegah orang-orang untuk naik ke gunung ini. Agar tidak ada manusia terjebak jeratan tipu muslihatnya yang sehalus jaring laba-laba dan menggoda hati manusia yang lemah. Hati yang haus dengan keinginan-keinginan yang tak tergapai. Selayak air menggoda kerongkongan yang kering. Bertetangga dengan makhluk astral semacam itu
“Selamatkan bayiku,” mohon ibu itu, mengangkat anaknya kepada Mbah Moen dengan gemetar. Kengerian tergurat di wajahnya, mengetahui kemungkinan anaknya tak kan hidup sampai esok hari. Ia tak peduli lagi dengan nyawanya. Asal buah hatinya selamat. Mbah Moen memandang bayi yang tak berdaya itu. Ia mengernyit, menghela nafas. Tak tega, tapi ia tidak mau turut campur dengan prahara dunia yang fana. Ia tak suka hatinya mendapat beban dilema seperti ini. “Anak yang tampan,” kata si Janggut dari belakang. Suara itu membuat adrenalin ibu itu banjir deras, matanya melotot lebar, alisnya mengernyit, jantungnya berdebar keras melihat tangan “malaikat pencabut nyawa” itu perlahan mencengkram kepala anaknya. Raut wajahnya semakin jelek melipat, seperti orang dipaksa meminum sesuatu yang sangat pahit. Air matanya berurai.
Mbah Moen, seorang juru kunci Gunung Merapi Wijen. Tubuhnya kurus kering. Tulang pipinya menonjol. Tingginya sudah menyusut lantaran usia. Bibirnya selalu tersenyum, seperti orang yang sudah tak memiliki beban hidup. Pekerjaan sehari-hari Mbah Moen menutup portal-portal gaib yang sering terbuka sebagai jalan masuk makhluk astral negatif ke gunung tersebut. Bila ada makhluk yang berhasil lolos, Mbah Moen akan menangkapnya dan menguncinya di satu tempat hingga tak bisa kemana-mana mengganggu. Mbah Moen sebagai seorang ahli kebatinan yang sensitif dapat merasakan energi negatif dari Hutan Terlarang yang melalang buana ke seluruh penjuru. Ia memukul-mukul tengkuknya yang terasa penat. Badannya kaku tidak enak akhir-akhir ini. Padahal sudah bertahun-tahun dia tidak pernah sakit. “Sini aku pijitin,” kata Mbah Asih, istrinya. Jari-jari tua keriput dengan ruas tulang jari menonj
Setan Kebaya Merah kembali bersemayam di Hutan Terlarang. Dari sana ia mengirimkan sinyal ke seluruh penjuru nusantara, mengundang orang-orang untuk datang. Mereka yang mengolah ilmu kebatinan pasti dapat merasakan denyut panggilan misterius yang menjalar di alam raya. Terasa begitu menggairahkan bagi mereka pencari kekuatan, namun meresahkan bagi mereka yang menginginkan kedamaian. Bencana gonjang-ganjing akan datang tak lama lagi. Hutan Terlarang. Hutan rimba misterius mistis. Hutan yang memiliki kesadaran. Siapa pun yang masuk akan tersesat berhari-hari. Kiri jadi kanan, kanan jadi kiri, depan jadi belakang, belakang jadi depan. Jauh dekat semua serba terbalik. Segala sensasi indera menipu. Tidak ada satu pun yang bisa dijadikan petunjuk di hutan itu. Masuk ke sana sama saja mati. Datang berombongan juga tak berguna. Hutan itu akan mencerai-beraikan. Teman
Di luar telah gelap. Rembulan enggan keluar. Nenek Min sedang berduka di rumah petaknya. Hanya suara jangkrik yang menemani di luar jendela. Ia duduk di depan meja. Di atasnya terdapat sebuah celupak — alat penerangan dari tanah liat berbahan bakar minyak kelapa dan minyak jarak. Api menyala di ujung sumbunya yang berbaring di cerat. Cahaya kuningnya menerangi ruangan remang-remang. Lidah api itu sedikit menari-nari, seakan mencoba menghibur wanita tua di hadapannya. Mata Nenek Min memandang ke api, cahaya itu menariknya dalam lamunan.Dua hari lalu rombongan Gatuk kembali dari pengejaran. Di belakang kudanya tergeletak tubuh Anggini yang diseret pakai tali. Kebaya merahnya compang-camping, kotor dengan darah dan debu. Wajah dan tubuhnya penuh luka beset dan baret. Rambutnya acak-acakan. Bahkan batang hidungnya sudah tak ada. Sama sekali tak terlihat, kalau dulunya ia seorang ratu sebuah negeri. Hati Nenek Min hancur melihat kondisi Anggini. Gatuk dengan bangga memperto
Pada tengah malam, Anggini dan Nenek Min menggali kuburan Zanna yang masih basah. Mereka masuk ke dalam liang, membongkar papan-papan penutupnya. Mayat anak itu sudah membengkak dan mengeluarkan bau busuk dari dalam kain kafan. Tubuhnya melunak. Darah dan cairan lain keluar dari tubuhnya. Anggini menutup hidung dan mulutnya dengan kain untuk mengurangi bau. Kemudian ia membungkus Zanna dengan kain pelapis tambahan. Kemudian Nenek Min membantu meletakkan mayat Zanna ke punggung Anggini, sambil Anggini mengikatnya ke tubuhnya dengan tali. “Aku akan pergi ke rumah orang tuanya, mempertemukan Zanna dengan keluarganya, dan menyerahkan obat ini.” “Ini gila, Anggini” Anggini memeluk Nenek Min, “Aku akan mewujudkan impian anak ini. Doakan agar aku berhasil.”
Anggini tanpa daya diseret-seret ke rumah penyiksaan Patah Arang.“Jangan, jangan bawa saya ke sana!” mohon Anggini ketakutan. Ia meronta-ronta, melawan, menahan sebisanya. Ia tak ingin kembali ke tempat itu. Rasa ngeri membuatnya gemetar.Tapi ia tak berdaya diseret dua laki-laki kekar ke sana. Rasa takutnya tak bisa dilukiskan dengan kata-kata.Setibanya mereka di rumah penyiksaan. Gatuk membuka sebuah kotak yang berukuran kecil, kurang lebih setengah badan wanita rata-rata. Terakhir kali Anggini melihat seorang wanita disiksa dan meninggal di dalamnya.“Masukkan dia ke dalam situ!”Anak buah Gatuk memaksa Anggini untuk menekuk tubuhnya, meringkuk seperti bayi dalam rahim agar ia bisa dimasukkan ke dalamnya. Baru setelah itu peti itu ditutup dan dikunci. Cahaya obor menembus sebuah lubang kecil yang berfungsi sebagai saluran udara. Tubuh Anggini hampir sama sekali tak bisa bergerak. Nafas terasa tidak nya
Hari istimewa tiba. Zanna berulang tahun. Anggini telah menyiapkan sebuah kejutan kecil untuknya. Dua buah gelang tembaga berbentuk Bunga Gladiol. Gladiol berasal dari kata Latin, Gladius yang berarti pedang. Umumnya dikenal sebagai Bunga Bakung. Bermakna ketulusan, kemurahan hati, serta pendirianteguh. Anggini sengaja memilih bunga itu sebagai simbol asa Zanna meraih mimpi, menembus segala rintangan yang ada dengan kedua tangannya, diiringi kerendahan hati dan tetap setia pada jati dirinya. Selain itu bunga itu biasanya mekar di bulan Agustus. Pas dengan bulan kelahiran Zanna.Anggini sudah tak sabar untuk menghadiahkan gelang itu, tapi ia menunggu waktu selesai bekerja. Agar ia, Nenek Min dan Zanna benar-benar dapat menikmati momen bersama itu dan membu