Beranda / Horor / Pekik Ketakutan / BAB 5: Millia

Share

BAB 5: Millia

Penulis: Eka Juan
last update Terakhir Diperbarui: 2021-07-28 16:38:57

Tujuh tahun yang lalu. Di sebuah rumah sakit.

Satu keluarga. Suami, istri, dan dua anak mereka terbaring lemah di ranjang rumah sakit. Tubuh mereka terbalut perban di sana sini. Alat bantu nafas, sensor detak jantung, infus dan instrumen lainnya terpasang di sekujur badan mereka. Mereka tak dapat bergerak banyak karena parahnya luka-luka yang diderita. Gegar otak, patah tulang, memar, luka potong, dan sebagainya.

Tiga hari yang lalu, sang ayah, tipe laki-laki yang sayang keluarga, mengangkat pemukul baseball dan hendak meremukkan kepala istri dan anak-anaknya. Seperti mimpi buruk yang orang tak bisa terbangun darinya.

Semua berawal dari putri mereka bermain jelangkung. Dan yang datang dan tak mau pulang adalah satu makhluk astral yang memiliki kesenangan mempengaruhi sesama anggota keluarga untuk saling membunuh.

Kini pandangan mereka tertuju pada malaikat penolong mereka yang berdiri di dekat pintu. Seorang wanita paruh baya berkulit sawo matang. Rambutnya bagian atas diikat ke belakang, sementara sisanya dibiarkan terurai sebahu.

Bola mata satu keluarga itu berkaca-kaca. Sang istri sampai meneteskan air matanya. Lalu mereka semua mengangguk lemah kepadanya. Rasa haru meyelimuti perasaan wanita tersebut. Apalagi ketika si kecil yang perempuan memberikan simbol hati jari kepadanya. Ia senang mereka sekeluarga selamat. Kemudian ia membalas dengan anggukan dan senyuman, sebelum akhirnya memohon diri.

Saat wanita itu melangkah keluar dari kamar rawat, seorang wanita bercelana kodok bangkit dari bangku tunggu, menghampirinya dan berjalan di sampingnya. Ia bertanya, “Bagaimana tingkat harapan hidup mereka?”

“Mereka akan bertahan, Jeni.”

Jeni mengatup bibirnya rapat beberapa saat. Ia ragu untuk mengutarakan sesuatu yang dikandung hatinya. Akan tetapi kepedulian terhadap sahabatnya mendorongnya untuk bicara. “Lo harus berhenti membantu orang, Millia.”

Millia menghela nafas. Sahabatnya sudah sering memberikan nasihat yang sama seperti tombol replay di aplikasi audio.

“Bagaimana gue tidak membantu, Jen. Lo lihat kan kondisi mereka. Kematian sudah hampir di ujung mata. Jika waktu itu gue gak turun tangan…..” Millia berhenti sejenak, memikirkan opsi itu dan konsekuensinya. Lalu ia menggeleng. “Gak bisa, nurani gue bakal tersiksa, mengetahui ada orang yang akan celaka, sementara gue punya kekuatan untuk mencegahnya,” argumen Millia.

Jeni terdiam, ia paham sifat sahabatnya yang punya kepedulian yang hiper. Sifat yang mulia namun pada akhirnya akan merugikan dirinya sendiri.

“Tapi, bagaimana dengan anak lo? Dia masih kecil. Sementara tubuh lo sudah hampir mencapai batas maks. Lo bisa mati, minimal gila lah. Lo sudah terlampau banyak menyerap makhluk gaib. Bisa lo ngerawat dia, kalau kondisi lo berantakan?” ujar Jeni, mencoba memberikan alasan emosional yang logis.

Kekhawatiran Jeni bukan tanpa alasan. Memasukkan makhluk gaib berhawa negatif, mempengaruhi kestablian mental sahabatnya. Belum lama ini ia melihat amarah Millia meledak, hanya karena anaknya menumpahkan air putih di meja. Millia menggampar buah hatinya sampai sempoyongan.

“Gue terpaksa Jen. Lagipula semua yang masuk ke tubuh gue, gak bisa lagi keluar. Tak tahu pula gue cara mengeluarkan mereka. Dan kalau pun gue tahu dan mereka keluar, mereka akan mengacau dunia lagi,” ujar Millia beralasan.

Jeni mendongkol dengan keras kepalanya Millia. “Anak lo akan kehilangan seorang ibu. Lo gak akan selamat di kasus berikutnya. Jangan egois. Lo gak hidup sendiri. Kalau ini berlanjut, terus-terang, gue juga was-was membiarkan lo bersama anak lo. Ingat waktu itu, dia sampai masuk ke rumah sakit. Karena lo lepas kendali.”

Langkah Millia berhenti di jalan setapak yang membelah taman rumah sakit. Ia berkacak pinggang dan menghela nafas. Lalu menengok ke Jeni, “Lo curang, bawa-bawa anak gue ke masalah ini.”

“Biarin. Wanita keras kepala, harus ditusuk di titik yang menyakitkan biar sadar.”

Millia tersenyum dengan mata setengah menutup.

“Apakah metode gue berhasil?” tanya Jeni.

Millia diam sejenak, sebelum berkata, “Berhasil.” Lalu Millia memiting leher Jeni. “Ok, ok gue berjanji kasus kemarin itu, adalah kasus terakhir. Mulai hari ini gue akan menjadi manusia biasa seperti penduduk bumi lainnya.”

Jeni mengangkat tangan sedada dengan telapaknya menghadap ke atas, meminta sesuatu dari Millia.

“Apa?” tanya Millia.

Jeni hanya menggoyang-goyangkan jemarinya seperti belalai gurita.

Millia menggulirkan matanya memutar. “Baiklah..,” Ia memahami maksud tarian jari-jari itu. Millia membuka tasnya dan mengeluarkan sebuah hape yang berstiker Ghostbuster. Benda itu sudah cacat di sana-sini akibat ia gunakan dalam menyelesaikan kasus-kasusnya selama ini. “Ini, kukembalikan. Harusnya lo jual saja penemuan lo ini. Pasti kaya raya.”

“Yah. Bisa saja sih. Masalahnya semua penemuan di dunia ini, selalu digunakan untuk militer. Gue gak mau orang mati karena penemuan gue. Gue cukup idealis mengenai hal itu. Kalau boleh sombong, penemuan gue ini sejajar levelnya dengan artificial intelligent dan rekayasa genetika. Bisa merevolusi segala bidang.”

“Lo memang JENI-US. Mungkin lo satu-satunya orang di bumi yang membuat penemuan di bidang supranatural. Lo bisa memenangkan hadiah nobel kategori baru.”

“Kelihatannya begitu, hahahaha….” Jeni memejamkan matanya tersenyum, membayangkan dirinya mendapatkan penghargaan bergengsi itu.

Jeni adalah seorang peneliti dunia gaib. Berbeda dengan penggiat supranatural lainnya yang melakukan pendekatan secara spiritual, ia mendekatinya dari sisi ilmiah. Menurutnya dunia gaib itu adalah parrarel universe atau multiverse yang sering diperdebatkan oleh para ilmuwan. Alam kembaran yang memiliki hukum alam yang berbeda.

Sebenarnya berbagai kitab suci telah menuliskan kesaksian tentang persinggungan interaksi antara alam tersebut dengan alam manusia. Hanya saja agama bukan ilmu pengetahuan yang dapat dipegang. Hanya sebatas kepercayaan yang bahkan kebenarannya dipeributkan di antara pemeluknya.

Saat ini dunia ilmu pengetahuan menganggap parrarel universe masih sebatas teori. Namun Jeni telah membuktikan keberadaannya secara ilmiah dan membuat teknologi dunia gaib, seperti hape dengan kamera yang bisa melihat makhluk-makhluk astral.

Millia dan Jeni berjalan keluar dari rumah sakit. Lalu Millia berkata, “Ngafe, yuk?”

Jeni tersenyum. “Traktir yak…”

“Traktir gak ya?” Millia berpikir dengan keras. “Hemm….”

Jeni memicingkan matanya, lalu ia nyerocos dengan cepat, “Menurut teori relativitas, ruang dan waktu tidaklah konstan. Karena itu, benda yang memiliki panjang L0 akan teramati sebesar L oleh pengamat yang bergerak sejajar dengan benda tersebut dengan kecepatan v. Semakin besar kecepatan pengamat…..”

“Ampun! Ampun ok, gue traktir. Tolong hentikan mantra saktimu itu. Rasanya gue jadi seperti Sun Wu Kong dibacain mantra oleh Pendeta Tong,” seru Millia, menutup kuping.

“Amitaba….” Jeni tersenyum. “He..he..”

Akhirnya Millia dan Jeni mengunjungi sebuah kafe bernuansa modern terletak di Jalan Amboa. Begitu pintu masuk dibuka, semerbak harum kopi langsung menyambut. Lebih cepat dibanding pelayan berdasi yang memandu mereka ke meja kosong. Warna coklat yang dominan, hitam dan kuning, terasa kental menyapu funitur, tembok, dan langit-langit serta lantai.

Millia duduk di kursi anyaman rotan, dengan bantalan bermotif floral. Sementara Jeni duduk di kursi sofa yang memanjang untuk beberapa meja. Mata mereka berkeliling memperhatikan ruangan kafe yang cukup luas dan agak penuh.

Sisi depan kafe terbuat dari kaca seluruhnya, sehingga cahaya matahari menerangi seluruh isi ruangan.

Di dinding sebuah jam ukuran jumbo tanpa kerangka, hanya jarum jam, dan batang-batang lurus penunjuk jam, menunjukkan pukul 10:17

“Brrr... ini kafe dingin amat, ya?” kometar Millia, “Salah pilih tempat nih.”

“Dingin? Yaelah ini paling cuma…” Jeni membasahi ujung telunjuknya dengan lidah, lalu mengukur temperatur ruangan dengan ujung syaraf jarinya. “18 derajat celsius. Lemah kali kau kedinginan,” ejek Jeni.

Millia cemberut, memajukan bibir bawahnya. Ia pegang cangkir kopi yang panas untuk menghangatkan telapaknya.

Tak sengaja mata Millia menangkap sosok yang ia kenal. Siska, tetangganya. Posisi duduknya memang berseberangan agak jauh. Jadi Siska tidak mengetahui keberadaannya.

Siska tidak datang sendiri. Ada seorang laki-laki bersamanya, tapi bukan suaminya. Millia tak dapat mendengar percakapan mereka, namun ia melihat sesuatu yang membuatnya melotot. Siska mencium lelaki itu di bibir.

Buru-buru Millia menutupi matanya dengan tangan. Ia berharap ia tak melihat perselingkuhan yang barusan saja ia lihat. Ia tak ingin tahu urusan rumah tangga orang.

“Hei, ada apa?” tanya Jeni.

Millia menggeleng. “Tak ada apa-apa.”

“Eh, apa lo tahu, hari ini, hari apa?” tanya Jeni.

“Sabtu?”

Jeni menggeleng, “Bukan.”

Millia membuka hapenya untuk memastikan. “Sabtu tuh?” katanya sambil menunjuk-nunjuk layar hape.

Jeni tersenyum, “Hari ini hari Bulan Gerhana Merah.”

“Memang kenapa?” tanya Millia.

“Ini fenomena alam yang jarang terjadi loh. Spesial. Posisi matahari, bumi dan bulan akan berada sejajar, dalam fase Supermoon. Jarak bulan dengan bumi berada dalam jarak yang terdekat. Sehingga ukurannya menjadi 30% lebih besar dari biasanya. Dan ini berlangsung hanya beberapa saat saja.”

“Terus kenapa?” tanya Millia, mengantuk mendengarkan hobi temannya yang senang dengan hal-hal semacam itu.

“Ah kau ini, tidak pernah tertarik dengan hal-hal penting. Dalam fenomena alam seperti ini akan ada sesuatu yang terjadi.”

“Apa tuh?”

“Makhluk-makhluk halus akan tampak.”

“Ah, yang benar?”

“Yaa, tidak terlalu kelihatan jelas sih. Ada sesuatu yang membuat tubuh halus mereka menjadi lebih memantulkan cahaya di momen itu. Mungkin sekitar 10%. Jadi terlihat samar-samar.”

“Kalau fenomena ini jarang terjadi, bagaimana lo bisa tahu akan hal seperti ini?”

“Dari internet.”

“Wow, okay,” kata Millia menggulirkan matanya memutar.

“Hei, lo pikir, ilmu dari mana gue bisa membuat hape yang lo gunakan selama ini. Jangan meremehkan internet.”

Jeni memang tidak pernah kuliah formal. Paling hanya sampai SMU. Setelah itu dia mempelajari hal-hal yang dia sukai dari internet. Millia seringkali kagum dengan kecerdasan sahabatnya.

“Terus kalau nampak, kenapa? Gue ajak kenalan?” kelakar Millia.

Jeni tertawa sambil berseloroh, “Yaaa, cuma info saja. Supaya lo gak kaget ntar kalau di WC, pas mau boker, tahu-tahu ada kepala kakek-kakek lagi mangap di lubang toilet.”

“Ih!” Millia melempar kertas tissue ke wajah temannya. Geli dia membayangkan itu. “Ha..ha..ha..”

Saat Millia tertawa, Jeni menyadari sesuatu. Asap putih yang keluar dari mulut sahabatnya makin ketara. Aneh.

Seharusnya suhu di ruangan itu tidak cukup dingin untuk membuat orang mengeluarkan uap seperti itu.

Apakah itu artinya….?

Millia berhenti tertawa. Ia juga menyadari hal yang sama. Ia memandang sahabatnya sesaat, lalu melirik ke hape Ghostbuster yang tergeletak di atas meja.

“Tidak,” potong Jeni sambil mengambil hape itu cepat-cepat dan menyimpannya di kantong. Ia tahu apa yang ada di pikiran Millia.

Mata Millia dan Jeni saling beradu. Seolah mereka sedang bertempur lewat pandangan. Masing-masing mencoba saling melancarkan tekanan tanpa berkedip. Siapa yang berkedip kalah dan harus tunduk pada keinginan lawannya.  

Energi yang terpancar dari mata keduanya seakan berkata,

“Berikan hape itu.”

“Tidak, lo dah janji.”

“Berikan hape itu.”

“Lewati mayat gue.”

“Hapeee…”

Fuck you!”

Selagi keduanya panco mata, Siska, tetangga Millia pergi meninggal meja. Ia dan selingkuhannya keluar dari kafe.  

Tak berapa lama kemudian Millia tersenyum. Ia mengedipkan mata, mengalah dan  berkata, “Ok. Kamu menang. Yuk, kita pulang.”

Jeni berbalas senyum. “Ok.”

Akan tetapi, senyuman Jeni bukanlah senyuman kemenangan, melainkan kecurigaan.

Jeni tidak menerima bendera putih Millia begitu saja. Ia merasa sahabatnya sedang merencanakan sesuatu. Ia sudah berteman cukup lama dengannya untuk bisa membaca nada suara Millia. Seolah ada satu set kombinasi nada tertentu yang bila tertangkap oleh kuping Jeni, menandakan ada sesuatu yang patut untuk dicurigai.

Bab terkait

  • Pekik Ketakutan   BAB 6: Selingkuh Maut

    Pangkaslah batang dan daun tanaman sampai habis, selama akarnya masih hidup, berilah air, maka tunas-tunas baru akan tumbuh lagi.Siska, tetangga Millia berkencan dengan mantannya, Soni di kafe jalan Amboa. Cinta lama itu bersemi kembali. Sebuah cinta yang terlarang, karena sebuah cincin telah melingkar di jari manisnya. Perjumpaan keduanya di mal empat bulan yang lalu, mengawali perselingkuhan mereka.Perpisahan Siska dan Soni bukan karena saling benci, melainkan karena tidak mendapat restu dari kedua orang tuanya. Bagi ayah dan ibu Siska, Soni bukanlah tipe laki-laki yang bertanggungjawab. Terlalu liar dan masih ingin berenang-senang, kata mereka. Namun bagi Siska, Soni adalah pria yang telah mengambil mahkota keperawanannya. Ia adalah pemilik hatinya.Orang tua Siska memperkenalkan Hans kepada Siska, seorang pria yang konservatif, kaku, mementingkan keamanan dan kepastian. Ciri-ciri laki-laki yang setia dan lebih menjamin di mata kedua orang tua Siska.

    Terakhir Diperbarui : 2021-07-28
  • Pekik Ketakutan   BAB 7: Cinta dan Pertemanan is a Bullshit!

    Kembali ke masa sekarang. Waktu menujukkan jam sembilan malam. Suasana sudah gelap, dan terdengar suara jangkrik mengirik.Kamar tidur Linda, dua kamar kecil yang bergabung jadi satu. Kamar yang satunya berasal dari hibah mamanya, karena tidak terpakai. Jeni lebih memilih tidur di dalam lemari ala Doraemon.Kamar anak perempuan remaja biasanya terpajang pernak-pernik yang manis dan lucu, foto-foto berisi momen-momen bahagia bersama keluarga atau teman di dinding, mungkin juga beberapa poster artis KPOP, dan di rak bukunya berbaris novel-novel romantis, atau chicklit. Akan tetapi Linda berbeda. Ia menggantung samsak 25 kg pada bracket besi yang terpasang di dinding kamarnya. Di tempat tidurnya tergeletak buku non fiksi “Portal Dunia Gaib.” Dan satu-satu foto yang ada di kamarnya adalah foto saat dia masih kecil bersama Jeni dan Millia, terbingkai dalam frame putih polos di meja. Kamar Linda nampak remang-remang. Hanya mengandalkan caha

    Terakhir Diperbarui : 2021-07-28
  • Pekik Ketakutan   BAB 8: Hampir Mati

    Di halaman rumah Linda nampak sebuah gada besi kuning bergerak menyeret perlahan. Seolah ada yang menariknya, tapi tak terlihat siapa pun. Benda itu seperti pemukul baseball, tapi panjangnya setinggi bahu orang dewasa dan ujungnya menggelembung bulat sebesar dua kali tabung gas melon.“Seeeeekkkkkk,” suara ujung gada bergesekan dengan rerumputan tanpa jeda. Jejak garis tanah yang melesak dan rumput yang rata tergilas, menunjukkan berat benda itu.Gada itu berhenti pelan tepat di depan Jendela.“Kak Linda….” terdengar suara memanggil, menggema di kepala Linda. Linda bisa merasakan suara itu berbicara langsung ke dalam otaknya. Telepati. Entah kenapa suara itu membuat bulu kuduknya berdiri. Merinding seperti meriang.Linda sudah beberapa kali mengalami gangguan supranatural. Semuanya selalu memberikan pengalaman yang traumatik. Masalahnya juga dia tidak berdaya menghadapi hal-hal yang tak kasat mata. Hingga saat ini i

    Terakhir Diperbarui : 2021-07-28
  • Pekik Ketakutan   BAB 9: Astral Projection

    “Maaf, ya teman-teman gue agak lama. Gue pinjam toilet ke warga sekitar dulu.” Jessica kembali menggunakan telepati untuk berkomunikasi.Ternyata Jessica bukan meninggalkan Beni dan Linda begitu saja, melainkan mencari tempat aman untuk melakukan astral projection. Sebab saat menembakkan roh atau kesadarannya keluar badan, seseorang akan kehilangan sensasi indera dan kontrol akan tubuh fisiknya. Otot tak sadar saja yang akan terus bekerja, seperti untuk bernafas. Sangat berbahaya, jika ia tidak berada di tempat yang cukup aman.Kesadaran adalah bentuk semua makhluk gaib, termasuk roh manusia. Kesadaran pula yang membuat makhluk dapat berpikir, meskipun tanpa organ otak.Jessica menggunakan teknik hiper konsentras

    Terakhir Diperbarui : 2021-08-11
  • Pekik Ketakutan   BAB 10: Ruang Maha Suci

    Keesokan hari, pukul 06.15. Di satu sudut sekolah, di sebuah gudang terbengkalai, tempat menyimpan meja rusak, kursi buntung, dan lainnya. Debu menyelimuti secara tak merata lantai dan tumpukan barang di setiap sudut. Di mana-mana berceceran tai tikus. Aroma pesing agak tercium dari luar pintu masuk. Entah itu berasal dari urin binatang atau manusia.Dari dalam terdengar decit seekor tikus yang risau, “Cit! Cit!” dan ngeong seekor kucing yang tak sabar, “Miaaw!” Lalu menyusul suara kejar-kejaran, tubrukan, dan benda jatuh, sebelum mereka berlari keluar secepat kampret, mengagetkan beberapa murid dan guru yang sedang berdoa sambil berdiri tak jauh dari pintu masuk.Ada suatu alasan yang membuat sebagian warga sekolah berdoa di sana hampir setiap pagi dan bukan di gedung serba guna yang bersih dan tersedia fasilitas peribadatan untuk tiap-

    Terakhir Diperbarui : 2021-08-11
  • Pekik Ketakutan   BAB 11: Geng Ular

    Sifat asli manusia akan terlihat di saat ia memiliki power untuk bisa berbuat apa saja tanpa konsekuensi, bahkan sesederhana mengetikkan kata-kata di medsos. Sebagian besar akan menjadi BUAS seperti binatang. Apakah benar kita makhluk paling sempurna, atau hanya binatang yang berevolusi menjadi manusia, tetapi masih membawa insting kebinatangannya? Terutama saat hendak bertahan hidup.7 tahun yang lalu. Di depan sebuah toko kelontong. Seorang preman Geng Ular berulah."Tembak! Tembak gue!" tantang pria bertubuh kurus kering berkaos kutang, bercelana jeans sedengkul. Tangan kanannya yang memegang sebilah sabit, menepuk-nepuk dadanya. Enam petugas berbadan tegap sudah mengepungnya dan mengacungkan pistol. Tiga kali sudah tembakan peringatan keluar. Artinya tembakan berikutnya akan menyasar kepadanya.“Menyerahlah, kamu sudah terkepung. Jangan mempersulit dirimu!”Preman itu terus memprovokasi polisi untuk maju. SE

    Terakhir Diperbarui : 2021-08-12
  • Pekik Ketakutan   BAB 12: Big Brother

    Ibu manajer memeriksa tanda tangan tersebut itu. Semenit kemudian ia tersenyum dan memberi kode kepada si kumis tebal untuk mengurus keperluan selanjutnya. Penjaga itu mengangguk dan membawa wanita itu keluar. “Ayah, ibu mau dibawa kemana?” tanya anak itu. “Ibu hanya pergi sebentar,” kata ayahnya berbohong. Wanita manajer mengangkat sebuah koper, meletakkannya di atas meja dan membukanya. Isinya tumpukan uang lembaran merah. “Lima puluh juta.” Lalu ia menutupnya kembali dan menyerahkannya kepada laki-laki itu. “Ok, urusan kita sudah selesai. Kalian boleh keluar.” “Anu…” “Apa lagi?” “Saya dengar di sini juga ada Big Brother?

    Terakhir Diperbarui : 2021-08-12
  • Pekik Ketakutan   BAB 13: Jessica Iskandar

    Rumah Linda sedang dalam kondisi lumayan parah. Tembok bolong. Genteng hancur. Pohon tumbang nankring di atap. Hemm… parah, parah. Oleh sebab itu Jessica menawarkan Linda untuk menginap di rumahnya. “Ide yang baik bukan?” Linda yang merasa canggung dan tidak enak dengan niat baik Jessica. Akan tetapi Jeni justru merasa itu usulan yang luar biasa, agar anaknya bisa punya teman dan bersosialisasi. Keesokan hari, Jeni mengepak segala keperluan Linda di bawah hangatnya sinar mentari yang menembus atap. “Hemm..hem…,” Jeni bersenandung ceria, meskipun lengan kiri tengah berbalut perban, dan tergantung pada alat penyangga tangan. Sementara Linda duduk cemberut di kursi dalam bayang-bayang, hanya memperhatikan saja, sengaja tidak membantu. “Mama sedang mengusir aku ya?” Satu kalimat dengan diksi yang sengaja Linda pilih untuk memprovokasi perasaan bersalah mamanya. “Mmm…. secara teknis, ya,” jawab Jeni cuek, menampik serangan anaknya. “Linda ga

    Terakhir Diperbarui : 2021-08-12

Bab terbaru

  • Pekik Ketakutan   BAB 50: Balas Dendam

    Kedua bibir Mbah Moen mengatup rapat, alisnya mengernyit, matanya menatap lekat mayat istrinya yang hancur untuk terakhir kali. Suami mana yang tak pedih melihat tubuh istrinya dikoyak-koyak tanpa hormat. Keparat! Akhirnya ia berbalik dan pergi. Tak ada yang bisa ia lakukan. “Hei! Mau kemana kau!?” hardik si Janggut melihat Mbah Moen melarikan diri. “Jangan pergi sebelum kau kasih tahu rahasiamu!” Amarah Mbah Moen berkobar seperti hutan rimba kebakaran akibat terik. Ia menyalahkan dirinya atas ketidakmampuan menyelamatkan istrinya. Semua itu harus ia tebus dengan penghukuman diri. Berlari Mbah Moen ke atas gunung secepat mungkin. Tapi langkahnya berat seperti tergandul bola besi. Nafasnya terengah-engah tak seperti biasa. Akibat perkara dunia memenuhi relung hatinya.

  • Pekik Ketakutan   BAB 49: Perpisahan

    Meskipun dalam keadaan sekarat Mbah Asih masih bisa mengenali ekspresi suaminya. Mata yang teralih ke sana kemari, berfokus hanya kepada pendengarannya seakan ada suara datang dari berbagai arah. Setan laknat itu pasti sedang menggoda suaminya. Setan terkuat Gunung Wijen dikunci di dalam kerajaan gaibnya sendiri oleh Mbah Moen. Bukan karena Mbah Moen lebih kuat darinya melainkan makhluk itu telah salah langkah hingga terjebak. Sejak itu sosoknya tak dapat pergi meninggalkan kerajaannya sendiri. Namun demikian ia masih bisa melakukan kontak batin dari kejauhan dan kekuatannya masih bisa sedikit menggapai keluar. Itu alasan Mbah Moen mencegah orang-orang untuk naik ke gunung ini. Agar tidak ada manusia terjebak jeratan tipu muslihatnya yang sehalus jaring laba-laba dan menggoda hati manusia yang lemah. Hati yang haus dengan keinginan-keinginan yang tak tergapai. Selayak air menggoda kerongkongan yang kering. Bertetangga dengan makhluk astral semacam itu

  • Pekik Ketakutan   BAB 48: Pilihan

    “Selamatkan bayiku,” mohon ibu itu, mengangkat anaknya kepada Mbah Moen dengan gemetar. Kengerian tergurat di wajahnya, mengetahui kemungkinan anaknya tak kan hidup sampai esok hari. Ia tak peduli lagi dengan nyawanya. Asal buah hatinya selamat. Mbah Moen memandang bayi yang tak berdaya itu. Ia mengernyit, menghela nafas. Tak tega, tapi ia tidak mau turut campur dengan prahara dunia yang fana. Ia tak suka hatinya mendapat beban dilema seperti ini. “Anak yang tampan,” kata si Janggut dari belakang. Suara itu membuat adrenalin ibu itu banjir deras, matanya melotot lebar, alisnya mengernyit, jantungnya berdebar keras melihat tangan “malaikat pencabut nyawa” itu perlahan mencengkram kepala anaknya. Raut wajahnya semakin jelek melipat, seperti orang dipaksa meminum sesuatu yang sangat pahit. Air matanya berurai.

  • Pekik Ketakutan   BAB 47: Mbah Moen

    Mbah Moen, seorang juru kunci Gunung Merapi Wijen. Tubuhnya kurus kering. Tulang pipinya menonjol. Tingginya sudah menyusut lantaran usia. Bibirnya selalu tersenyum, seperti orang yang sudah tak memiliki beban hidup. Pekerjaan sehari-hari Mbah Moen menutup portal-portal gaib yang sering terbuka sebagai jalan masuk makhluk astral negatif ke gunung tersebut. Bila ada makhluk yang berhasil lolos, Mbah Moen akan menangkapnya dan menguncinya di satu tempat hingga tak bisa kemana-mana mengganggu. Mbah Moen sebagai seorang ahli kebatinan yang sensitif dapat merasakan energi negatif dari Hutan Terlarang yang melalang buana ke seluruh penjuru. Ia memukul-mukul tengkuknya yang terasa penat. Badannya kaku tidak enak akhir-akhir ini. Padahal sudah bertahun-tahun dia tidak pernah sakit. “Sini aku pijitin,” kata Mbah Asih, istrinya. Jari-jari tua keriput dengan ruas tulang jari menonj

  • Pekik Ketakutan   BAB 46: Kontrak

    Setan Kebaya Merah kembali bersemayam di Hutan Terlarang. Dari sana ia mengirimkan sinyal ke seluruh penjuru nusantara, mengundang orang-orang untuk datang. Mereka yang mengolah ilmu kebatinan pasti dapat merasakan denyut panggilan misterius yang menjalar di alam raya. Terasa begitu menggairahkan bagi mereka pencari kekuatan, namun meresahkan bagi mereka yang menginginkan kedamaian. Bencana gonjang-ganjing akan datang tak lama lagi. Hutan Terlarang. Hutan rimba misterius mistis. Hutan yang memiliki kesadaran. Siapa pun yang masuk akan tersesat berhari-hari. Kiri jadi kanan, kanan jadi kiri, depan jadi belakang, belakang jadi depan. Jauh dekat semua serba terbalik. Segala sensasi indera menipu. Tidak ada satu pun yang bisa dijadikan petunjuk di hutan itu. Masuk ke sana sama saja mati. Datang berombongan juga tak berguna. Hutan itu akan mencerai-beraikan. Teman

  • Pekik Ketakutan   BAB 45: Keris

    Di luar telah gelap. Rembulan enggan keluar. Nenek Min sedang berduka di rumah petaknya. Hanya suara jangkrik yang menemani di luar jendela. Ia duduk di depan meja. Di atasnya terdapat sebuah celupak — alat penerangan dari tanah liat berbahan bakar minyak kelapa dan minyak jarak. Api menyala di ujung sumbunya yang berbaring di cerat. Cahaya kuningnya menerangi ruangan remang-remang. Lidah api itu sedikit menari-nari, seakan mencoba menghibur wanita tua di hadapannya. Mata Nenek Min memandang ke api, cahaya itu menariknya dalam lamunan.Dua hari lalu rombongan Gatuk kembali dari pengejaran. Di belakang kudanya tergeletak tubuh Anggini yang diseret pakai tali. Kebaya merahnya compang-camping, kotor dengan darah dan debu. Wajah dan tubuhnya penuh luka beset dan baret. Rambutnya acak-acakan. Bahkan batang hidungnya sudah tak ada. Sama sekali tak terlihat, kalau dulunya ia seorang ratu sebuah negeri. Hati Nenek Min hancur melihat kondisi Anggini. Gatuk dengan bangga memperto

  • Pekik Ketakutan   BAB 44: Mewujudkan Impian Mentari dan Lahirnya Setan Kebaya Merah

    Pada tengah malam, Anggini dan Nenek Min menggali kuburan Zanna yang masih basah. Mereka masuk ke dalam liang, membongkar papan-papan penutupnya. Mayat anak itu sudah membengkak dan mengeluarkan bau busuk dari dalam kain kafan. Tubuhnya melunak. Darah dan cairan lain keluar dari tubuhnya. Anggini menutup hidung dan mulutnya dengan kain untuk mengurangi bau. Kemudian ia membungkus Zanna dengan kain pelapis tambahan. Kemudian Nenek Min membantu meletakkan mayat Zanna ke punggung Anggini, sambil Anggini mengikatnya ke tubuhnya dengan tali. “Aku akan pergi ke rumah orang tuanya, mempertemukan Zanna dengan keluarganya, dan menyerahkan obat ini.” “Ini gila, Anggini” Anggini memeluk Nenek Min, “Aku akan mewujudkan impian anak ini. Doakan agar aku berhasil.”

  • Pekik Ketakutan   BAB 43: Mentari itu Sirna

    Anggini tanpa daya diseret-seret ke rumah penyiksaan Patah Arang.“Jangan, jangan bawa saya ke sana!” mohon Anggini ketakutan. Ia meronta-ronta, melawan, menahan sebisanya. Ia tak ingin kembali ke tempat itu. Rasa ngeri membuatnya gemetar.Tapi ia tak berdaya diseret dua laki-laki kekar ke sana. Rasa takutnya tak bisa dilukiskan dengan kata-kata.Setibanya mereka di rumah penyiksaan. Gatuk membuka sebuah kotak yang berukuran kecil, kurang lebih setengah badan wanita rata-rata. Terakhir kali Anggini melihat seorang wanita disiksa dan meninggal di dalamnya.“Masukkan dia ke dalam situ!”Anak buah Gatuk memaksa Anggini untuk menekuk tubuhnya, meringkuk seperti bayi dalam rahim agar ia bisa dimasukkan ke dalamnya. Baru setelah itu peti itu ditutup dan dikunci. Cahaya obor menembus sebuah lubang kecil yang berfungsi sebagai saluran udara. Tubuh Anggini hampir sama sekali tak bisa bergerak. Nafas terasa tidak nya

  • Pekik Ketakutan    BAB 42: Selamat Ulang Tahun

    Hari istimewa tiba. Zanna berulang tahun. Anggini telah menyiapkan sebuah kejutan kecil untuknya. Dua buah gelang tembaga berbentuk Bunga Gladiol. Gladiol berasal dari kata Latin, Gladius yang berarti pedang. Umumnya dikenal sebagai Bunga Bakung. Bermakna ketulusan, kemurahan hati, serta pendirianteguh. Anggini sengaja memilih bunga itu sebagai simbol asa Zanna meraih mimpi, menembus segala rintangan yang ada dengan kedua tangannya, diiringi kerendahan hati dan tetap setia pada jati dirinya. Selain itu bunga itu biasanya mekar di bulan Agustus. Pas dengan bulan kelahiran Zanna.Anggini sudah tak sabar untuk menghadiahkan gelang itu, tapi ia menunggu waktu selesai bekerja. Agar ia, Nenek Min dan Zanna benar-benar dapat menikmati momen bersama itu dan membu

DMCA.com Protection Status