Pangkaslah batang dan daun tanaman sampai habis, selama akarnya masih hidup, berilah air, maka tunas-tunas baru akan tumbuh lagi.
Siska, tetangga Millia berkencan dengan mantannya, Soni di kafe jalan Amboa. Cinta lama itu bersemi kembali. Sebuah cinta yang terlarang, karena sebuah cincin telah melingkar di jari manisnya. Perjumpaan keduanya di mal empat bulan yang lalu, mengawali perselingkuhan mereka.
Perpisahan Siska dan Soni bukan karena saling benci, melainkan karena tidak mendapat restu dari kedua orang tuanya. Bagi ayah dan ibu Siska, Soni bukanlah tipe laki-laki yang bertanggungjawab. Terlalu liar dan masih ingin berenang-senang, kata mereka. Namun bagi Siska, Soni adalah pria yang telah mengambil mahkota keperawanannya. Ia adalah pemilik hatinya.
Orang tua Siska memperkenalkan Hans kepada Siska, seorang pria yang konservatif, kaku, mementingkan keamanan dan kepastian. Ciri-ciri laki-laki yang setia dan lebih menjamin di mata kedua orang tua Siska.
Perbedaan usia yang terlampau jauh, yaitu 20 tahun membuat Siska berpikir 1000 kali untuk menerima Hans. Sifat Hans memang lebih dewasa dibandingkan Soni, lebih mengayomi seperti seorang kakak, baik, tapi agak membosankan.
Hans melakukan PDKT dengan sangat sabar kepada siska yang terbilang muda dan meledak-ledak. Bahkan boleh dikata terlampau sabar, sampai Siska merasa tidak enak mengacuhkannya. Atas desakan ayah dan ibunya, akhirnya Siska memutuskan menerima Hans. Ia merasa, mungkin ia harus lebih open minded. Mungkin orang tuanya yang sudah lebih lama mengarungi samudra pernikahan lebih paham lika-liku bahtera rumah tangga. Akhirnya Hans dan Siska pun menikah.
Hans memperlakukan Siska bak seorang ratu. Ia melakukan semua yang diimpikan oleh para wanita akan prianya. Kemana-mana diantar, dijemput, pintu mobil dibukakan, tidak mengizinkan basah oleh hujan, harus dipayungi. Serasa punya suami rasa personal asisten. Hans juga termasuk royal mengeluarkan uang untuk perawatan istrinya. Salon rambut, salon kecantikan, spa, pedikur, manikur, sebutkan saja.
Siska sampai berpikir, ini cowok gila banget sih. Perlahan tapi pasti ia mulai jatuh cinta dengan pria yang gemuk itu, dan yang rambut serta jenggotnya sudah mulai muncul uban itu. Bahkan akhirnya ia mengizinkan pria itu untuk menghamilinya. Padahal selama ini ia tidak menginginkan anak darinya.
Setelah 3 tahun menikah, Siska hamil. Usia kandungannya empat bulan. Mereka memutuskan untuk membeli rumah dan pindah dari rumah mertua. Rumah tersebut cukup besar, namun harganya fantastis murahnya. Seharusnya mereka curiga, kenapa harganya begitu rendah. Sayangnya mereka sudah terlalu bahagia, menemukan rumah impian mereka.
Kemudian terjadilah pertemuan tak terduga di mal antara Siska dan Soni. Akar cintanya pada Soni masih belum mati. Perjumpaan itu adalah airnya. Chat-chat nakal adalah pupuknya. Dan seks di hotel adalah zat perangsangnya. Cinta terlarang mengeluarkan tunas baru.
Hubungan mereka berlangsung empat bulan dan Siska kembali tergila-gila seperti saat dulu pacaran.
Pertemuan mereka di kafe jalan Amboa untuk membahas sesuatu yang penting.
“Sayang, apakah kau mau memilihkan nama buat anak kita?” tanya Siska.
“Itu kan anaknya Hans,” jawab Soni pendek.
“Tapi kamu akan menikahiku, kamu akan jadi bapaknya. Aku mau kamu yang berikan nama, bukan Hans.”
Soni menghela nafas, “Bagaimana mungkin menikahimu. Statusmu saja masih istri orang. Hans tidak akan pernah setuju untuk menceraikanmu. Ia tipe laki-laki yang akan memperjuangkan keutuhan rumah tangganya.”
“Sayang, jangan marah gitu donk. Aku dan Hans akan berpisah tak lama lagi. Aku sudah punya rencana. Yang penting kamu janji ya, nikahi aku.”
Hans memandang mata Siska, “Baiklah, kutunggu jandamu.”
Sebuah ciuman di bibir pun mengunci janji mereka.
Siska sudah memikirkan sebuah rencana. Rencana yang lahir entah dari mana dan selalu terbayang-bayang di benaknya
Siska tiba di rumah sekitar jam 12:05. Tepat jam makan siang. Ia menyiapkan masakan kesukaan Hans, ayam goreng kunyit pakai sambel terasi. Suaminya sangat suka memakannya dengan nasi putih yang masih mengepul.
“Wah sayang, makan siangnya spesial sekali,” puji Hans. Ia merasa senang sekali, dilayani oleh istrinya seperti ini. Sebab sudah beberapa bulan terakhir istrinya jutek kepadanya. Bahkan enggan bersetubuh dengannya. Hans berusaha untuk memaklumi dan bersabar, mungkin kehamilannya menyebabkan mood swing.
Mereka berdua makan bersama. Wajah Hans tak henti-hentinya menunjukkan betapa nikmatnya nasi dan ayam yang ia lahap. “Arrghhh! Hebat kamu masaknya sayang,” puji Hans dengan tulus dan menghargai hasil kerja istrinya.
Setelah Hans hampir selesai. Siska berdiri dan mengambil sebuah botol anggur dari kulkas bersama dengan sebuah gelas anggur. Ia bawa ke meja makan dan meletakkan gelas itu di hadapan Hans. Kemudian ia menuangkan isi botol itu ke gelas.
“Currrr....,” bunyi minuman bewarna merah memenuhi gelas.
Hans tersenyum mendapatkan pelayanan super spesial dari istrinya. Rasanya jadi makin cinta.
“Hans, minumlah ini untukku,” pinta Siska.
“Sayang ada perayaan apa sih? Kok makanannya sudah luar biasa, terus sekarang pakai anggur?” tanya Hans heran.
Siska kembali duduk. Ia menatap suaminya dengan wajah datar. “Hans, aku mau buat sebuah pengakuan.”
Hans mencondongkan telinganya dan ia masih tersenyum. “Pengakuan apa?”
Siska menarik nafas. Lalu menghembuskannya. Ia mengumpulkan keberanian untuk mengatakan isi hatinya, “Sesungguhnya aku tak pernah mencintaimu.”
Senyum Hans langsung pudar mendengar ucapan istrinya. Ia membeku sampai 5 menit tanpa berkedip. Ia tidak mempercayai pendengarannya. Pernikahan mereka rasanya baik-baik saja. Mengapa tiba-tiba berubah? Ada apa? Kenapa? Pikirannya penuh dengan pertanyaan. Padahal mereka baru punya rumah, sebentar lagi mereka akan memiliki anak, dan selama ini dia selalu berusaha yang terbaik untuk Siska.
“A... apa sayang?” tanya Hans dengan mata berkaca-kaca. Hati pria mana yang tidak hancur mendengarkan kalimat itu dari istri yang sangat dicintainya.
Siska mengenggam tangan Hans dan dengan wajah yang mencoba memberi pengertian dia berkata, “Aku baru menyadari ini semua, setelah aku bertemu lagi dengan Soni. Dia mantanku. Kami saling mencintai dan dia ingin menikahiku. Demikian juga aku.”
“Sayang, kamu sedang bercanda kan. Ini prank kan.” Hans menengok ke kiri dan kanan. “Mana kameranya? Kamu baru mulai Youtube channel, ya?” tanyanya dengan tertawa, tapi nada suaranya bergetar.
“Tidak, Hans. Aku serius. Kamu bukan laki-laki yang aku idamkan. Aku menyesal telah menikah denganmu. Aku berhak mendapatkan laki-laki yang lebih baik. Dan Soni adalah laki-laki itu.”
Hati Hans serasa terpukul palu godam. Emosinya campur aduk, ada sedih, marah, kecewa. Harga dirinya terasa diinjak-injak, dibanding-bandingkan dengan pria lain. Padahal selama ini ia yang telah mengeluarkan daya usaha untuk membangun mahligai rumah tangganya. Tiba-tiba saja pria yang belum membuktikan apa-apa dianggap lebih baik daripadanya?
“Aku tahu, kamu akan kaget mendengar ini. Jadi aku tuangkan anggur itu agar kamu bisa lebih tenang melewati semua ini,” kata Jeni.
Hans memandang anggur merah di gelasnya sekian lama. Lalu dia memberikan senyum terbaiknya kepada Siska, seperti orang yang baru saja mendengar kabar yang sangat menggembirakan hati.
“Sayang, jika itu memang yang kau inginkan,” kata Hans. Kemudian ia mengangkat gelas itu dengan gemetar dan meneguk semua isinya.
Raut wajah Siska berubah bahagia dan puas, melihat Hans menghabiskan minuman itu. Terlebih ketika Hans mengisi lagi gelasnya dengan anggur.
“Diminum lagi, Hans. Aku tahu kamu perlu itu,” bujuk Siska dengan lembut.
“Siska....,” panggil Hans.
“Ya?” jawab Siska.
Hans menatap mata istrinya dalam-dalam. Pikirannya kalut. Ia merasakan putus asa yang amat sangat. “Mari kita mati bertiga…”
Siska kaget. Hans berdiri, membawa gelas itu dan mendekati istrinya. “Ayo minum.”
Siska menggeleng, menolak, “Tidak!”
“MINUM!” paksa Hans, berusaha mencekoki istrinya.
Rupanya rencana Siska ketahuan. Hans tahu, bahwa anggur itu beracun.
“PRYANG!” Siska menepis gelas itu hingga terlepas dari tangan suaminya dan pecah di lantai.
Hans melirik botol anggur di meja dan mengambilnya.
“MINUM!” bentak Hans.
“TIDAK! AAA!” tolak Siska.
HANS menekan leher istrinya agar tidak bergerak. Ia jejali mulut istrinya dengan bibir botol itu dengan kasar. Siska terus meronta dan menggeleng. Air anggur tumpah ke sana ke mari, membasahi baju Siska, ke meja dan lantai.
Tiba-tiba. “AKH!” Hans meringis. Ia merasa perutnya sakit dan kepalanya mulai pusing hebat. Hans buru-buru pergi dengan terhuyung-huyung ke WC. Efek racun sudah mulai bereaksi. Ia tusuk-tusuk amandelnya untuk memancing reflek muntah.
Selagi Hans sibuk di toilet, Siska mengambil sebilah pisau dapur hadiah pernikahan mereka. Sebuah pisau yang ujungnya dengan mudah memotong taplak saat bersentuhan.
Siska kembali ke WC, melihat suaminya sedang berlutut, berusaha untuk muntah di toilet duduk.
“Hans, biar aku buat penderitaanmu berakhir, ya…” kata Siska. Ia angkat pisau itu, Kemudian ia tusuk punggung suaminya. Hans menjerit kesakitan. “AAAKH! Siska gila kau!”
Siska mencabut pisau itu kembali. Darah membasahi bagian belakang baju Hans. Ia mencoba menusuk Hans berkali-kali lagi. Akan tetapi Hans memberikan perlawanan.
“SETTT!” Pisau itu mengayun.
“AKH!” jerit Hans.
Telapak tangannya tersayat.
Refleks Hans menendang perut Siska hingga istrinya merasakan nyeri di perut dan ia terhuyung-huyung ke belakang. Pisau pun terlepas dari tangannya.
Hans memungut pisau itu dan memandang istrinya. Hati dan pikirannya sudah penuh dengan rasa kecewa dan amarah. Ia selalu ramah dan baik kepada orang. Namun entah saat itu pikirannya tertutup kabut. Ia kalut dan histeris. Ia ingin membunuh Siska dan bayi dalam kandungannya.
Siska merasa nyawanya terancam. Dia berlari tertatih sambil memegangi perut ke ruang tamu. Ia hendak kabur lewat jendela. Kaki kirinya sudah melewati kusen jendela. Akan tetapi Hans keburu menjambak rambutnya. Spontan Siska berteriak, “TOLONG!”
Hans menarik Siska hingga ia jatuh ke atas sofa. Saking kerasnya, cukup banyak helaian rambut yang tercabut dalam genggamannya.
Hans berdiri di samping istrinya, menatap perut istrinya yang besar. Bibirnya gemetar. Telapak tangannya dingin. Jantung berdetak sangat kencang. Nafasnya memendek. Dia mengangkat pisau itu tinggi-tinggi. Ia ingin menghukum istrinya yang tega mengkhianatinya.
Siska berteriak, “AAAAAAA!” Karena ngeri luar biasa melihat mata pisau yang berkilau tertimpa sinar matahari. Ia bisa membayangkan rasa sakitnya bila ujung pisau itu menembus perutnya. Tapi ia sudah tidak berdaya.
Tiba-tiba seseorang menerobos masuk lewat jendela yang terbuka.
“Hentikan!”
Orang itu segera melompat dan menabrak Hans dengan badannya. Hans pun terdorong.
Ternyata itu Millia!
“Hentikan! Jangan diteruskan. Kalian sedang dalam pengaruh makhluk astral negatif di rumah ini,” kata Millia.
Hans marah dengan kehadiran Millia. Ucapan Millia tidak lebih dari sekedar angin. Ia ingin menghabisi nyawa orang asing itu.
“MATI KAU! BANGSAT!” teriak Hans sambil merangsek ke arah Millia. Ia sudah seperti bukan manusia lagi.
“WUSH! WUSH” pisau itu menyabet-nyabet serampangan tak sabar untuk menumpahkan darah. Millia menghindar ke kiri dan ke kanan. Namun kaki Hans berhasil mendarat ke dada Millia. Ia terjatuh telentang ke atas lantai.
Hans langsung melompat, mengangkangi dan menduduki perut Millia. Pisaunya terangkat. Tanpa basa-basi pisau itu meluncur ke leher Millia.
“PLAK!” bunyi benda keras menghantam batok kepala. Kepala Hans kena pukul asbak batu oleh Siska, hingga ia tersungkur ke samping, terbujur di lantai, tak sadarkan diri.
Siska menghampiri Hans dan mengambil pisau yang tergeletak di lantai. Kemudian ia menengok ke arah Milia dengan mata yang dingin.
Penghuni rumah itu sedang dalam pengaruh makhluk negatif yang jahat. Millia harus bisa menemukan makhluk itu dan menyerapnya ke dalam tubuhnya. Masalahnya ia sudah tidak memiliki hape sakti Jeni dan ia tidak bisa melacak keberadaannya. Dalam situasi ini melumpuhkan Siska adalah solusi sementara terbaik. Namun tetap masalah utamanya tidak akan beres.
“MATI!” teriak Siska sambil berjalan mengangkang dengan cepat ke arah Millia yang masih berada di lantai.
Millia memutar badannya untuk menghindari ujung pisau. Kemudian ia menyikut kepala Siska, tepat di telinganya. Siska merasa disorientasi dan pengang. Kesempatan itu tak disia-siakan Millia. Ia sikut lagi, kali ini mengenai wajahnya hingga hidungnya berdarah. Alhasil Siska jatuh ke samping dan Millia bisa bebas berdiri.
“Sial kau!” maki Millia, bukan kepada Siska tapi kepada makhluk yang ada di rumah itu.
Siska menyusul berdiri dengan sangat cepat. Rambutnya sudah acak-acakan. Wajahnya sudah seperti orang gila. Bola matanya sudah putih semua. Seperti orang yang tenaganya tak habis-habis Siska melabrak Millia dengan membabi buta. “GYAAAAAAAAA!” pekiknya dengan mengerikan.
Millia berusaha menghindari serangan-serangan Siska hingga ia menyadari sesuatu di kaca jendela yang ada di belakang Siska.
Gerhana Bulan Merah.
Ia teringat kata-kata Jeni. Makhluk halus bisa nampak saat fenomena alam ini walau samar-samar. Millia kira gerhana bulan hanya terjadi pada malam hari. Ternyata di siang hari juga bisa muncul. Mungkin dia mulai perlu belajar tentang hal-hal yang menurutnya tidak penting.
Di saat itu juga ia berusaha mencari di sekeliling, semoga informasi dari Jeni tidak salah. Dan ia berharap makhluk itu cukup ceroboh untuk bersembunyi di tempat yang mudah ditemukan.
Ketemu!
Dalang yang menarik tali-tali korbannya untuk bersikap gila sedang bersembunyi di lukisan yang terpasang di dinding. Wujudnya kepala tanpa badan.
Menyadari keberadaan terdeteksi. Kepala itu keluar dari lukisan hendak melayang naik menembus langit-langit.
Millia mengeluarkan sepasang sarung tangan dari kantongnya, salah satu penemuan Jeni yang belum ia kembalikan. Bibirnya merapal mantra, semacam password untuk mengakses sumber kekuatan dari alam gaib. Bussshhh! Kedua tangannya berubah wujud, bercahaya kebiruan. Dengan cekatan ia melompat dan menangkap kepala itu. Alat itu memungkinkan ia untuk bersentuhan fisik dengan roh itu.
Lalu ia tarik sekuat tenaga. “MASUK KAU KE DALAM, SETAN!” teriak Millia. Ia tekan kepala itu ke dadanya dan membaca mantra. Sebuah pusaran seperti lubang hitam muncul di dada Millia, menyedot makhluk itu ke dalam.
“TIDDAAAK!” teriak makhluk. Ia berusaha meronta-ronta dan kabur, namun sia-sia.
Makhluk itu berhasil tersedot masuk. Akan tetapi masalahnya belum selesai sampai di situ. Hawa negatif makhluk itu ternyata cukup kuat. Selain itu Millia sudah semakin lemah. Ibarat wadah yang sudah retak-retak. Akibatnya hawa negatif yang dibawa makhluk itu dan makhluk yang sudah tersimpan sebelumnya, mempengaruhi Millia. Ia berubah seperti kerasukan.
Millia menatap tajam Siska yang saat itu sudah tersadar dari pengaruh setan itu. Kini gantian ia yang mendorong Siska hingga jatuh ke lantai. Ia mencekik Siska dan memukul perut buntingnya berkali-kali. Siska mengerang, merasakan nyeri yang amat sangat.
Tenggorokan Siska terjepit. Tak bisa bernafas. Wajahnya mulai membiru. Tak lama lagi, Siska pasti meregang nyawa.
Tiba-tiba. “Keras kepala!”
Jeni muncul dan memasangkan topi ke kepala Millia. Sebuah alat yang fungsinya untuk mengambil alih fungsi otak, agar tidak bisa dikendalikan oleh makhluk astral. Dengan kata lain, Topi Anti Kerasukan – T.A.K
Millia mengadahkan kepalanya beberapa saat. Sebelum akhirnya tersadar dan segera melepaskan cekikannya.
“Oh, Siska, Siska, maafkan aku,” kata Millia menyadari perbuatannya.
“Oh, Jeni. Apa yang kau lakukan di sini?” tanya Millia sambil memeriksa keadaan tetangganya yang mengalami luka serius dan syok. Ia segera meraih hapenya dan menelpon ambulan.
“Menyelamatkan pantatmu dari kepala batumu,” jawab Jeni.
“Topi yang bagus,” puji Millia, melirik benda yang ada di atas kepalanya.
“Jangan kau lepas topi, itu. Kau sudah kerasukan tadi. Berkelahi dengan orang kesurupan bukan keahlianku.”
“Terima kasih, Jen.”
“Sudah gue duga, lo hendak melakukan sesuatu yang nekat. Karena itu lo gue buntuti.”
“Gue bersyukur, lo melakukan itu.”
Sekitar 20 menit kemudian polisi dan paramedis tiba di tujuan. Mereka segera mengurus para korban dan membawa mereka ke rumah sakit.
Polisi mengambil keterangan dan Millia. Tampaknya mereka sudah mengenal dia dan menduga-duga dengan apa mereka berurusan. Belum lagi rumah itu memang dalam sejarahnya sudah sangat sering berganti pemilik. Karena sering terjadi pembunuhan yang motivasinya cemburu dan perselingkuhan.
Penyebab sesungguhnya tak lain dan tak bukan karena aktivitas makhluk astral negatif yang menguasai rumah itu. Makhluk yang sama, yang Millia rasakan di kafe. Makhluk itu sudah lama menempel pada Siska dan mempengaruhinya untuk selingkuh. Benih perselingkuhan itu sudah ada di dalam diri Siska. Ia hanya cukup memberikan sedikit dorongan.
Millia merasa lelah dan haus. Jeni mengambilkan sebuah botol air minum kemasan - Ahqusa yang ia lihat ada di dalam kardus, tergeletak di sudut dapur. Kemudian ia memberikannya kepada sahabatnya. Millia meneguknya. “Ahhh!”
Tanpa mereka sadari, bahwa air yang ada di dalamnya akan menuntun nasibnya ke event berdarah di Gelora Bung Karno.
Kembali ke masa sekarang. Waktu menujukkan jam sembilan malam. Suasana sudah gelap, dan terdengar suara jangkrik mengirik.Kamar tidur Linda, dua kamar kecil yang bergabung jadi satu. Kamar yang satunya berasal dari hibah mamanya, karena tidak terpakai. Jeni lebih memilih tidur di dalam lemari ala Doraemon.Kamar anak perempuan remaja biasanya terpajang pernak-pernik yang manis dan lucu, foto-foto berisi momen-momen bahagia bersama keluarga atau teman di dinding, mungkin juga beberapa poster artis KPOP, dan di rak bukunya berbaris novel-novel romantis, atau chicklit. Akan tetapi Linda berbeda. Ia menggantung samsak 25 kg pada bracket besi yang terpasang di dinding kamarnya. Di tempat tidurnya tergeletak buku non fiksi “Portal Dunia Gaib.” Dan satu-satu foto yang ada di kamarnya adalah foto saat dia masih kecil bersama Jeni dan Millia, terbingkai dalam frame putih polos di meja. Kamar Linda nampak remang-remang. Hanya mengandalkan caha
Di halaman rumah Linda nampak sebuah gada besi kuning bergerak menyeret perlahan. Seolah ada yang menariknya, tapi tak terlihat siapa pun. Benda itu seperti pemukul baseball, tapi panjangnya setinggi bahu orang dewasa dan ujungnya menggelembung bulat sebesar dua kali tabung gas melon.“Seeeeekkkkkk,” suara ujung gada bergesekan dengan rerumputan tanpa jeda. Jejak garis tanah yang melesak dan rumput yang rata tergilas, menunjukkan berat benda itu.Gada itu berhenti pelan tepat di depan Jendela.“Kak Linda….” terdengar suara memanggil, menggema di kepala Linda. Linda bisa merasakan suara itu berbicara langsung ke dalam otaknya. Telepati. Entah kenapa suara itu membuat bulu kuduknya berdiri. Merinding seperti meriang.Linda sudah beberapa kali mengalami gangguan supranatural. Semuanya selalu memberikan pengalaman yang traumatik. Masalahnya juga dia tidak berdaya menghadapi hal-hal yang tak kasat mata. Hingga saat ini i
“Maaf, ya teman-teman gue agak lama. Gue pinjam toilet ke warga sekitar dulu.” Jessica kembali menggunakan telepati untuk berkomunikasi.Ternyata Jessica bukan meninggalkan Beni dan Linda begitu saja, melainkan mencari tempat aman untuk melakukan astral projection. Sebab saat menembakkan roh atau kesadarannya keluar badan, seseorang akan kehilangan sensasi indera dan kontrol akan tubuh fisiknya. Otot tak sadar saja yang akan terus bekerja, seperti untuk bernafas. Sangat berbahaya, jika ia tidak berada di tempat yang cukup aman.Kesadaran adalah bentuk semua makhluk gaib, termasuk roh manusia. Kesadaran pula yang membuat makhluk dapat berpikir, meskipun tanpa organ otak.Jessica menggunakan teknik hiper konsentras
Keesokan hari, pukul 06.15. Di satu sudut sekolah, di sebuah gudang terbengkalai, tempat menyimpan meja rusak, kursi buntung, dan lainnya. Debu menyelimuti secara tak merata lantai dan tumpukan barang di setiap sudut. Di mana-mana berceceran tai tikus. Aroma pesing agak tercium dari luar pintu masuk. Entah itu berasal dari urin binatang atau manusia.Dari dalam terdengar decit seekor tikus yang risau, “Cit! Cit!” dan ngeong seekor kucing yang tak sabar, “Miaaw!” Lalu menyusul suara kejar-kejaran, tubrukan, dan benda jatuh, sebelum mereka berlari keluar secepat kampret, mengagetkan beberapa murid dan guru yang sedang berdoa sambil berdiri tak jauh dari pintu masuk.Ada suatu alasan yang membuat sebagian warga sekolah berdoa di sana hampir setiap pagi dan bukan di gedung serba guna yang bersih dan tersedia fasilitas peribadatan untuk tiap-
Sifat asli manusia akan terlihat di saat ia memiliki power untuk bisa berbuat apa saja tanpa konsekuensi, bahkan sesederhana mengetikkan kata-kata di medsos. Sebagian besar akan menjadi BUAS seperti binatang. Apakah benar kita makhluk paling sempurna, atau hanya binatang yang berevolusi menjadi manusia, tetapi masih membawa insting kebinatangannya? Terutama saat hendak bertahan hidup.7 tahun yang lalu. Di depan sebuah toko kelontong. Seorang preman Geng Ular berulah."Tembak! Tembak gue!" tantang pria bertubuh kurus kering berkaos kutang, bercelana jeans sedengkul. Tangan kanannya yang memegang sebilah sabit, menepuk-nepuk dadanya. Enam petugas berbadan tegap sudah mengepungnya dan mengacungkan pistol. Tiga kali sudah tembakan peringatan keluar. Artinya tembakan berikutnya akan menyasar kepadanya.“Menyerahlah, kamu sudah terkepung. Jangan mempersulit dirimu!”Preman itu terus memprovokasi polisi untuk maju. SE
Ibu manajer memeriksa tanda tangan tersebut itu. Semenit kemudian ia tersenyum dan memberi kode kepada si kumis tebal untuk mengurus keperluan selanjutnya. Penjaga itu mengangguk dan membawa wanita itu keluar. “Ayah, ibu mau dibawa kemana?” tanya anak itu. “Ibu hanya pergi sebentar,” kata ayahnya berbohong. Wanita manajer mengangkat sebuah koper, meletakkannya di atas meja dan membukanya. Isinya tumpukan uang lembaran merah. “Lima puluh juta.” Lalu ia menutupnya kembali dan menyerahkannya kepada laki-laki itu. “Ok, urusan kita sudah selesai. Kalian boleh keluar.” “Anu…” “Apa lagi?” “Saya dengar di sini juga ada Big Brother?
Rumah Linda sedang dalam kondisi lumayan parah. Tembok bolong. Genteng hancur. Pohon tumbang nankring di atap. Hemm… parah, parah. Oleh sebab itu Jessica menawarkan Linda untuk menginap di rumahnya. “Ide yang baik bukan?” Linda yang merasa canggung dan tidak enak dengan niat baik Jessica. Akan tetapi Jeni justru merasa itu usulan yang luar biasa, agar anaknya bisa punya teman dan bersosialisasi. Keesokan hari, Jeni mengepak segala keperluan Linda di bawah hangatnya sinar mentari yang menembus atap. “Hemm..hem…,” Jeni bersenandung ceria, meskipun lengan kiri tengah berbalut perban, dan tergantung pada alat penyangga tangan. Sementara Linda duduk cemberut di kursi dalam bayang-bayang, hanya memperhatikan saja, sengaja tidak membantu. “Mama sedang mengusir aku ya?” Satu kalimat dengan diksi yang sengaja Linda pilih untuk memprovokasi perasaan bersalah mamanya. “Mmm…. secara teknis, ya,” jawab Jeni cuek, menampik serangan anaknya. “Linda ga
7 tahun lalu. Kembali ke gedung D’Elite, ruang 205.Pria gemuk berkacamata bulat sedang berada di dalam sana. Lantai, tembok dan langit-langit ruangan itu berwarna putih bersih. Catnya tercium masih segar dan wangi, berpadu pembersih lantai aroma lemon yang high class. Ruangan itu sengaja dibuat serba putih untuk mengangkat hiburan yang disajikan di sini.Di sisi yang berseberangan dengan pintu masuk terdapat gorden plastik yang memanjang dari ujung ke ujung, menyembunyikan sesuatu di baliknya. Pria gemuk itu menggesernya dan menyibak keberadaan wanita tersalib di kayu berbentuk X, tanpa pakaian. Wanita yang sejam lalu menandatangani kontrak dengan Ibu Manajer.Di bawah wanita itu terdapat lubang pembuangan air
Kedua bibir Mbah Moen mengatup rapat, alisnya mengernyit, matanya menatap lekat mayat istrinya yang hancur untuk terakhir kali. Suami mana yang tak pedih melihat tubuh istrinya dikoyak-koyak tanpa hormat. Keparat! Akhirnya ia berbalik dan pergi. Tak ada yang bisa ia lakukan. “Hei! Mau kemana kau!?” hardik si Janggut melihat Mbah Moen melarikan diri. “Jangan pergi sebelum kau kasih tahu rahasiamu!” Amarah Mbah Moen berkobar seperti hutan rimba kebakaran akibat terik. Ia menyalahkan dirinya atas ketidakmampuan menyelamatkan istrinya. Semua itu harus ia tebus dengan penghukuman diri. Berlari Mbah Moen ke atas gunung secepat mungkin. Tapi langkahnya berat seperti tergandul bola besi. Nafasnya terengah-engah tak seperti biasa. Akibat perkara dunia memenuhi relung hatinya.
Meskipun dalam keadaan sekarat Mbah Asih masih bisa mengenali ekspresi suaminya. Mata yang teralih ke sana kemari, berfokus hanya kepada pendengarannya seakan ada suara datang dari berbagai arah. Setan laknat itu pasti sedang menggoda suaminya. Setan terkuat Gunung Wijen dikunci di dalam kerajaan gaibnya sendiri oleh Mbah Moen. Bukan karena Mbah Moen lebih kuat darinya melainkan makhluk itu telah salah langkah hingga terjebak. Sejak itu sosoknya tak dapat pergi meninggalkan kerajaannya sendiri. Namun demikian ia masih bisa melakukan kontak batin dari kejauhan dan kekuatannya masih bisa sedikit menggapai keluar. Itu alasan Mbah Moen mencegah orang-orang untuk naik ke gunung ini. Agar tidak ada manusia terjebak jeratan tipu muslihatnya yang sehalus jaring laba-laba dan menggoda hati manusia yang lemah. Hati yang haus dengan keinginan-keinginan yang tak tergapai. Selayak air menggoda kerongkongan yang kering. Bertetangga dengan makhluk astral semacam itu
“Selamatkan bayiku,” mohon ibu itu, mengangkat anaknya kepada Mbah Moen dengan gemetar. Kengerian tergurat di wajahnya, mengetahui kemungkinan anaknya tak kan hidup sampai esok hari. Ia tak peduli lagi dengan nyawanya. Asal buah hatinya selamat. Mbah Moen memandang bayi yang tak berdaya itu. Ia mengernyit, menghela nafas. Tak tega, tapi ia tidak mau turut campur dengan prahara dunia yang fana. Ia tak suka hatinya mendapat beban dilema seperti ini. “Anak yang tampan,” kata si Janggut dari belakang. Suara itu membuat adrenalin ibu itu banjir deras, matanya melotot lebar, alisnya mengernyit, jantungnya berdebar keras melihat tangan “malaikat pencabut nyawa” itu perlahan mencengkram kepala anaknya. Raut wajahnya semakin jelek melipat, seperti orang dipaksa meminum sesuatu yang sangat pahit. Air matanya berurai.
Mbah Moen, seorang juru kunci Gunung Merapi Wijen. Tubuhnya kurus kering. Tulang pipinya menonjol. Tingginya sudah menyusut lantaran usia. Bibirnya selalu tersenyum, seperti orang yang sudah tak memiliki beban hidup. Pekerjaan sehari-hari Mbah Moen menutup portal-portal gaib yang sering terbuka sebagai jalan masuk makhluk astral negatif ke gunung tersebut. Bila ada makhluk yang berhasil lolos, Mbah Moen akan menangkapnya dan menguncinya di satu tempat hingga tak bisa kemana-mana mengganggu. Mbah Moen sebagai seorang ahli kebatinan yang sensitif dapat merasakan energi negatif dari Hutan Terlarang yang melalang buana ke seluruh penjuru. Ia memukul-mukul tengkuknya yang terasa penat. Badannya kaku tidak enak akhir-akhir ini. Padahal sudah bertahun-tahun dia tidak pernah sakit. “Sini aku pijitin,” kata Mbah Asih, istrinya. Jari-jari tua keriput dengan ruas tulang jari menonj
Setan Kebaya Merah kembali bersemayam di Hutan Terlarang. Dari sana ia mengirimkan sinyal ke seluruh penjuru nusantara, mengundang orang-orang untuk datang. Mereka yang mengolah ilmu kebatinan pasti dapat merasakan denyut panggilan misterius yang menjalar di alam raya. Terasa begitu menggairahkan bagi mereka pencari kekuatan, namun meresahkan bagi mereka yang menginginkan kedamaian. Bencana gonjang-ganjing akan datang tak lama lagi. Hutan Terlarang. Hutan rimba misterius mistis. Hutan yang memiliki kesadaran. Siapa pun yang masuk akan tersesat berhari-hari. Kiri jadi kanan, kanan jadi kiri, depan jadi belakang, belakang jadi depan. Jauh dekat semua serba terbalik. Segala sensasi indera menipu. Tidak ada satu pun yang bisa dijadikan petunjuk di hutan itu. Masuk ke sana sama saja mati. Datang berombongan juga tak berguna. Hutan itu akan mencerai-beraikan. Teman
Di luar telah gelap. Rembulan enggan keluar. Nenek Min sedang berduka di rumah petaknya. Hanya suara jangkrik yang menemani di luar jendela. Ia duduk di depan meja. Di atasnya terdapat sebuah celupak — alat penerangan dari tanah liat berbahan bakar minyak kelapa dan minyak jarak. Api menyala di ujung sumbunya yang berbaring di cerat. Cahaya kuningnya menerangi ruangan remang-remang. Lidah api itu sedikit menari-nari, seakan mencoba menghibur wanita tua di hadapannya. Mata Nenek Min memandang ke api, cahaya itu menariknya dalam lamunan.Dua hari lalu rombongan Gatuk kembali dari pengejaran. Di belakang kudanya tergeletak tubuh Anggini yang diseret pakai tali. Kebaya merahnya compang-camping, kotor dengan darah dan debu. Wajah dan tubuhnya penuh luka beset dan baret. Rambutnya acak-acakan. Bahkan batang hidungnya sudah tak ada. Sama sekali tak terlihat, kalau dulunya ia seorang ratu sebuah negeri. Hati Nenek Min hancur melihat kondisi Anggini. Gatuk dengan bangga memperto
Pada tengah malam, Anggini dan Nenek Min menggali kuburan Zanna yang masih basah. Mereka masuk ke dalam liang, membongkar papan-papan penutupnya. Mayat anak itu sudah membengkak dan mengeluarkan bau busuk dari dalam kain kafan. Tubuhnya melunak. Darah dan cairan lain keluar dari tubuhnya. Anggini menutup hidung dan mulutnya dengan kain untuk mengurangi bau. Kemudian ia membungkus Zanna dengan kain pelapis tambahan. Kemudian Nenek Min membantu meletakkan mayat Zanna ke punggung Anggini, sambil Anggini mengikatnya ke tubuhnya dengan tali. “Aku akan pergi ke rumah orang tuanya, mempertemukan Zanna dengan keluarganya, dan menyerahkan obat ini.” “Ini gila, Anggini” Anggini memeluk Nenek Min, “Aku akan mewujudkan impian anak ini. Doakan agar aku berhasil.”
Anggini tanpa daya diseret-seret ke rumah penyiksaan Patah Arang.“Jangan, jangan bawa saya ke sana!” mohon Anggini ketakutan. Ia meronta-ronta, melawan, menahan sebisanya. Ia tak ingin kembali ke tempat itu. Rasa ngeri membuatnya gemetar.Tapi ia tak berdaya diseret dua laki-laki kekar ke sana. Rasa takutnya tak bisa dilukiskan dengan kata-kata.Setibanya mereka di rumah penyiksaan. Gatuk membuka sebuah kotak yang berukuran kecil, kurang lebih setengah badan wanita rata-rata. Terakhir kali Anggini melihat seorang wanita disiksa dan meninggal di dalamnya.“Masukkan dia ke dalam situ!”Anak buah Gatuk memaksa Anggini untuk menekuk tubuhnya, meringkuk seperti bayi dalam rahim agar ia bisa dimasukkan ke dalamnya. Baru setelah itu peti itu ditutup dan dikunci. Cahaya obor menembus sebuah lubang kecil yang berfungsi sebagai saluran udara. Tubuh Anggini hampir sama sekali tak bisa bergerak. Nafas terasa tidak nya
Hari istimewa tiba. Zanna berulang tahun. Anggini telah menyiapkan sebuah kejutan kecil untuknya. Dua buah gelang tembaga berbentuk Bunga Gladiol. Gladiol berasal dari kata Latin, Gladius yang berarti pedang. Umumnya dikenal sebagai Bunga Bakung. Bermakna ketulusan, kemurahan hati, serta pendirianteguh. Anggini sengaja memilih bunga itu sebagai simbol asa Zanna meraih mimpi, menembus segala rintangan yang ada dengan kedua tangannya, diiringi kerendahan hati dan tetap setia pada jati dirinya. Selain itu bunga itu biasanya mekar di bulan Agustus. Pas dengan bulan kelahiran Zanna.Anggini sudah tak sabar untuk menghadiahkan gelang itu, tapi ia menunggu waktu selesai bekerja. Agar ia, Nenek Min dan Zanna benar-benar dapat menikmati momen bersama itu dan membu