7 tahun lalu. Kembali ke gedung D’Elite, ruang 205.
Pria gemuk berkacamata bulat sedang berada di dalam sana. Lantai, tembok dan langit-langit ruangan itu berwarna putih bersih. Catnya tercium masih segar dan wangi, berpadu pembersih lantai aroma lemon yang high class. Ruangan itu sengaja dibuat serba putih untuk mengangkat hiburan yang disajikan di sini.
Di sisi yang berseberangan dengan pintu masuk terdapat gorden plastik yang memanjang dari ujung ke ujung, menyembunyikan sesuatu di baliknya. Pria gemuk itu menggesernya dan menyibak keberadaan wanita tersalib di kayu berbentuk X, tanpa pakaian. Wanita yang sejam lalu menandatangani kontrak dengan Ibu Manajer.
Di bawah wanita itu terdapat lubang pembuangan air
“Kedua orang tua gue sudah gak ada, Lin.” Pertanyaan sederhana Linda menghenyakkan dada Jessica.Linda jadi merasa tidak enak. “Oh, maaf.”“Gak apa-apa.”Memori akan masa lalu Jessica berkelebatan di benaknya. Membuat dia merasa sedikit pusing, karena ingatan buruknya memberikan tekanan mental.“Jess, lo kenapa?”Jessica menggeleng. “Gak apa-apa. Gue baik-baik saja.”“Jadi lo tinggal di rumah ini sendiri?”Jessica mengangguk, bibirnya mengatup seolah berkata, inilah nasib gue
Headline: Kapolri Sucipto Ditemukan Tewas TermutilasiDalam Keadaan Tanpa Busana di Rumahnya, Kaki Kirinya Belum Ditemukan Headline: Video Skandal Seks Pemuka Agama Anto Syaiputra Tersebar, Umat Kaget Menjijikkan… begitulah pandangan kaum suci terhadap Johny Iblis. Preman yang dianggap secara terang-terangan melakukan penistaan terhadap Allah. Karena dia telah menentang kata-kata mereka dan membuka aib mereka. Siapa wakil Allah di muka bumi, jika bukan mereka? Bukankah menyerang seorang utusan raja, sama saja menyerang raja itu sendiri? “Gue gak takut dengan mereka. Mereka
Area F&B di Taman Publik Senangi. Linda tidak memahami alasan Jessica tiba-tiba berhenti. Padahal masih semeter lagi sebelum memasuki area kulineran. “Ada apa, Jess?” Jessica tidak tidak menjawab. Bibirnya manyun, ia hanya bilang, “Lin, kita makan yang itu saja, ya.” Ia menunjuk ke sebuah stan kontainer yang berada tepat di tengah area. Linda menatap stan yang Jessica maksud. Bakmi Naga 88. Itulah nama yang tercantum di sisi depan bagian bawah dengan tulisan bercat merah. Jika nama adalah doa, pemiliknya pasti berharap kebaikan bagi pelanggan dan usahanya. Bakmi bagi suku Cina perlambang umur panjang. Naga berarti
“Kalian itu yang influnser, influnser gitu kan. Berapa kalian dibayar oleh si engkoh ini untuk menjatuhkan reputasi kami!” dakwa si penjual sushi seperti seorang jaksa penuntut umum.“Hei! Saya tidak membayar siapa pun apa-apa!” Si engkoh menolak nama baiknya dicemarkan.Pedagang lain mulai berkumpul, mengerubungi para “terdakwa.” Mereka mencari cara untuk membungkam mulut ketiganya. Jangan sampai rahasia kotor mereka tersebar. Sebab akibatnya akan katastropik.Para pengunjung berdatangan, mengelilingi, mencari tahu konflik yang tengah terjadi.“Mentang-mentang dagangan dia gak laku, mau bikin susah kita-kita yang laku, iri bilang b
Ini kilas balik sebelum Tragedi Bom Merah – nama yang diberikan oleh media atas ledakan bom di Kawasan Lampu Merah NGT. Mengungkap alasan Robot Gedeg alias Bodeg melakukan pembunuhan berdarah dingin itu. Di kamar tidur. Bodeg sedang bermimpi buruk. Mimpi lama yang telah menghantuinya selama bertahun-tahun. “Saudara untuk selamanya,” sumpah Bodeg seraya menoreh telapak tangannya dengan belati. Sahabatnya, Mongol mengambil belati itu dan melakukan hal serupa. Kemudian keduanya menyatukan telapak tangan mereka. “Saudara untuk selamanya,” balas Mongol. Bayangan itu berubah ke momen hangat dan membahagiakan. Adik perempuan tercintanya, Lela mengenakan baju pernikahan kebaya serba putih. Senyumnya merekah. Ia laksana sekuntum Crinum Giganteum. Cantik, indah, dan bersahaja. Bersanding di sebelahnya san
“Kau bermain-main dengan hidup dan mati manusia. Kau mau jadi Tuhan rupanya, Bodeg.”“Siapa kau! Apa yang kau lakukan dengan adikku! Keluar!”“Siapa aku? Aku Hamba Allah. Datang menawarkan cara untuk menebus segala penyesalanmu.”Bodeg memukul tempat tidur tepat di samping kepala Lela. “Keluar! Aku tak peduli dengan penawaranmu. Kau mengotori tubuh adikku dengan merasukinya,” usir Bodeg gusar.“Tenang… jika kau dengarkan aku, aku akan beritahu sebuah rahasia untuk mengalahkan Johny Iblis.”Bodeg mundur selangkah. “Apa urusanmu dengan Johny Iblis?”“Makhluk terkutuk itu secara terang-terangan melak
Serangan Bom Merah mengoyak NGT, merengut 201 korban jiwa dan melukai ratusan lainnya. Orang kehilangan sanak saudaranya. Ribuan orang berduka atas kejadian tersebut. Itulah harga yang harus Bodeg tebus untuk rahasia yang Hamba Allah tawarkan. Menjagal kaum pendosa yang Hamba Allah anggap melanggar larangan Tuhan-Nya. Akan tetapi dunia terus berputar. Tidak akan berhenti biarpun bertambah seribu korban lagi. Orang masih harus cari makan, orang tetap akan beranak pinak, dan Macan Kemayoran alias Persija tetap harus bertanding melawan Maung Bandung alias Persib di GBK. Seluruh bangku stadion terisi penuh oleh penonton antusias. Seakan Tragedi Bom Merah tak pernah ada. Panasnya pertandingan memuncak, menjelang menit-menit terakhir babak kedua. Posisi skor 2-1 untuk Persija. Waktu yang tersisa bagi Persib untuk menyamakan kedudukan tinggal 2 menit saja.
Manusia-manusia di stadion tak sadar sebentar lagi mereka akan jadi alat pembayaran transaksi gaib yang sah. Sesungguhnya bukan darah di nadi atau nyawa mereka yang dianggap bernilai. Melainkan sikap menyembah sang penumbal yang mendebarkan, menggairahkan makhluk astral. Seberapa rendah seorang manusia bersedia tunduk menurunkan harkatnya dengan kekejaman dan kekerasan. Sebagaimana manusia sudah melakukannya berabad-abad, bahkan dengan memakai nama Tuhan.Tak lama lagi malaikat-malaikat maut kecil di atas stadion akan mengirim banyak orang ke surga atau neraka, atau mengirim mereka kembali dalam siklus reinkarnasi sesuai dengan kepercayaan masing-masing. Yang jelas jarak akhirat sudah sedekat satu sentuhan jari di layar hape Sang Malaikat Maut, Bodeg.Bos Geng Technium itu sedang berada di ruang bawah tanah stadion GBK. Ruangan rahasia tersemb
Kedua bibir Mbah Moen mengatup rapat, alisnya mengernyit, matanya menatap lekat mayat istrinya yang hancur untuk terakhir kali. Suami mana yang tak pedih melihat tubuh istrinya dikoyak-koyak tanpa hormat. Keparat! Akhirnya ia berbalik dan pergi. Tak ada yang bisa ia lakukan. “Hei! Mau kemana kau!?” hardik si Janggut melihat Mbah Moen melarikan diri. “Jangan pergi sebelum kau kasih tahu rahasiamu!” Amarah Mbah Moen berkobar seperti hutan rimba kebakaran akibat terik. Ia menyalahkan dirinya atas ketidakmampuan menyelamatkan istrinya. Semua itu harus ia tebus dengan penghukuman diri. Berlari Mbah Moen ke atas gunung secepat mungkin. Tapi langkahnya berat seperti tergandul bola besi. Nafasnya terengah-engah tak seperti biasa. Akibat perkara dunia memenuhi relung hatinya.
Meskipun dalam keadaan sekarat Mbah Asih masih bisa mengenali ekspresi suaminya. Mata yang teralih ke sana kemari, berfokus hanya kepada pendengarannya seakan ada suara datang dari berbagai arah. Setan laknat itu pasti sedang menggoda suaminya. Setan terkuat Gunung Wijen dikunci di dalam kerajaan gaibnya sendiri oleh Mbah Moen. Bukan karena Mbah Moen lebih kuat darinya melainkan makhluk itu telah salah langkah hingga terjebak. Sejak itu sosoknya tak dapat pergi meninggalkan kerajaannya sendiri. Namun demikian ia masih bisa melakukan kontak batin dari kejauhan dan kekuatannya masih bisa sedikit menggapai keluar. Itu alasan Mbah Moen mencegah orang-orang untuk naik ke gunung ini. Agar tidak ada manusia terjebak jeratan tipu muslihatnya yang sehalus jaring laba-laba dan menggoda hati manusia yang lemah. Hati yang haus dengan keinginan-keinginan yang tak tergapai. Selayak air menggoda kerongkongan yang kering. Bertetangga dengan makhluk astral semacam itu
“Selamatkan bayiku,” mohon ibu itu, mengangkat anaknya kepada Mbah Moen dengan gemetar. Kengerian tergurat di wajahnya, mengetahui kemungkinan anaknya tak kan hidup sampai esok hari. Ia tak peduli lagi dengan nyawanya. Asal buah hatinya selamat. Mbah Moen memandang bayi yang tak berdaya itu. Ia mengernyit, menghela nafas. Tak tega, tapi ia tidak mau turut campur dengan prahara dunia yang fana. Ia tak suka hatinya mendapat beban dilema seperti ini. “Anak yang tampan,” kata si Janggut dari belakang. Suara itu membuat adrenalin ibu itu banjir deras, matanya melotot lebar, alisnya mengernyit, jantungnya berdebar keras melihat tangan “malaikat pencabut nyawa” itu perlahan mencengkram kepala anaknya. Raut wajahnya semakin jelek melipat, seperti orang dipaksa meminum sesuatu yang sangat pahit. Air matanya berurai.
Mbah Moen, seorang juru kunci Gunung Merapi Wijen. Tubuhnya kurus kering. Tulang pipinya menonjol. Tingginya sudah menyusut lantaran usia. Bibirnya selalu tersenyum, seperti orang yang sudah tak memiliki beban hidup. Pekerjaan sehari-hari Mbah Moen menutup portal-portal gaib yang sering terbuka sebagai jalan masuk makhluk astral negatif ke gunung tersebut. Bila ada makhluk yang berhasil lolos, Mbah Moen akan menangkapnya dan menguncinya di satu tempat hingga tak bisa kemana-mana mengganggu. Mbah Moen sebagai seorang ahli kebatinan yang sensitif dapat merasakan energi negatif dari Hutan Terlarang yang melalang buana ke seluruh penjuru. Ia memukul-mukul tengkuknya yang terasa penat. Badannya kaku tidak enak akhir-akhir ini. Padahal sudah bertahun-tahun dia tidak pernah sakit. “Sini aku pijitin,” kata Mbah Asih, istrinya. Jari-jari tua keriput dengan ruas tulang jari menonj
Setan Kebaya Merah kembali bersemayam di Hutan Terlarang. Dari sana ia mengirimkan sinyal ke seluruh penjuru nusantara, mengundang orang-orang untuk datang. Mereka yang mengolah ilmu kebatinan pasti dapat merasakan denyut panggilan misterius yang menjalar di alam raya. Terasa begitu menggairahkan bagi mereka pencari kekuatan, namun meresahkan bagi mereka yang menginginkan kedamaian. Bencana gonjang-ganjing akan datang tak lama lagi. Hutan Terlarang. Hutan rimba misterius mistis. Hutan yang memiliki kesadaran. Siapa pun yang masuk akan tersesat berhari-hari. Kiri jadi kanan, kanan jadi kiri, depan jadi belakang, belakang jadi depan. Jauh dekat semua serba terbalik. Segala sensasi indera menipu. Tidak ada satu pun yang bisa dijadikan petunjuk di hutan itu. Masuk ke sana sama saja mati. Datang berombongan juga tak berguna. Hutan itu akan mencerai-beraikan. Teman
Di luar telah gelap. Rembulan enggan keluar. Nenek Min sedang berduka di rumah petaknya. Hanya suara jangkrik yang menemani di luar jendela. Ia duduk di depan meja. Di atasnya terdapat sebuah celupak — alat penerangan dari tanah liat berbahan bakar minyak kelapa dan minyak jarak. Api menyala di ujung sumbunya yang berbaring di cerat. Cahaya kuningnya menerangi ruangan remang-remang. Lidah api itu sedikit menari-nari, seakan mencoba menghibur wanita tua di hadapannya. Mata Nenek Min memandang ke api, cahaya itu menariknya dalam lamunan.Dua hari lalu rombongan Gatuk kembali dari pengejaran. Di belakang kudanya tergeletak tubuh Anggini yang diseret pakai tali. Kebaya merahnya compang-camping, kotor dengan darah dan debu. Wajah dan tubuhnya penuh luka beset dan baret. Rambutnya acak-acakan. Bahkan batang hidungnya sudah tak ada. Sama sekali tak terlihat, kalau dulunya ia seorang ratu sebuah negeri. Hati Nenek Min hancur melihat kondisi Anggini. Gatuk dengan bangga memperto
Pada tengah malam, Anggini dan Nenek Min menggali kuburan Zanna yang masih basah. Mereka masuk ke dalam liang, membongkar papan-papan penutupnya. Mayat anak itu sudah membengkak dan mengeluarkan bau busuk dari dalam kain kafan. Tubuhnya melunak. Darah dan cairan lain keluar dari tubuhnya. Anggini menutup hidung dan mulutnya dengan kain untuk mengurangi bau. Kemudian ia membungkus Zanna dengan kain pelapis tambahan. Kemudian Nenek Min membantu meletakkan mayat Zanna ke punggung Anggini, sambil Anggini mengikatnya ke tubuhnya dengan tali. “Aku akan pergi ke rumah orang tuanya, mempertemukan Zanna dengan keluarganya, dan menyerahkan obat ini.” “Ini gila, Anggini” Anggini memeluk Nenek Min, “Aku akan mewujudkan impian anak ini. Doakan agar aku berhasil.”
Anggini tanpa daya diseret-seret ke rumah penyiksaan Patah Arang.“Jangan, jangan bawa saya ke sana!” mohon Anggini ketakutan. Ia meronta-ronta, melawan, menahan sebisanya. Ia tak ingin kembali ke tempat itu. Rasa ngeri membuatnya gemetar.Tapi ia tak berdaya diseret dua laki-laki kekar ke sana. Rasa takutnya tak bisa dilukiskan dengan kata-kata.Setibanya mereka di rumah penyiksaan. Gatuk membuka sebuah kotak yang berukuran kecil, kurang lebih setengah badan wanita rata-rata. Terakhir kali Anggini melihat seorang wanita disiksa dan meninggal di dalamnya.“Masukkan dia ke dalam situ!”Anak buah Gatuk memaksa Anggini untuk menekuk tubuhnya, meringkuk seperti bayi dalam rahim agar ia bisa dimasukkan ke dalamnya. Baru setelah itu peti itu ditutup dan dikunci. Cahaya obor menembus sebuah lubang kecil yang berfungsi sebagai saluran udara. Tubuh Anggini hampir sama sekali tak bisa bergerak. Nafas terasa tidak nya
Hari istimewa tiba. Zanna berulang tahun. Anggini telah menyiapkan sebuah kejutan kecil untuknya. Dua buah gelang tembaga berbentuk Bunga Gladiol. Gladiol berasal dari kata Latin, Gladius yang berarti pedang. Umumnya dikenal sebagai Bunga Bakung. Bermakna ketulusan, kemurahan hati, serta pendirianteguh. Anggini sengaja memilih bunga itu sebagai simbol asa Zanna meraih mimpi, menembus segala rintangan yang ada dengan kedua tangannya, diiringi kerendahan hati dan tetap setia pada jati dirinya. Selain itu bunga itu biasanya mekar di bulan Agustus. Pas dengan bulan kelahiran Zanna.Anggini sudah tak sabar untuk menghadiahkan gelang itu, tapi ia menunggu waktu selesai bekerja. Agar ia, Nenek Min dan Zanna benar-benar dapat menikmati momen bersama itu dan membu