Kembali ke masa sekarang. Waktu menujukkan jam sembilan malam. Suasana sudah gelap, dan terdengar suara jangkrik mengirik.
Kamar tidur Linda, dua kamar kecil yang bergabung jadi satu. Kamar yang satunya berasal dari hibah mamanya, karena tidak terpakai. Jeni lebih memilih tidur di dalam lemari ala Doraemon.
Kamar anak perempuan remaja biasanya terpajang pernak-pernik yang manis dan lucu, foto-foto berisi momen-momen bahagia bersama keluarga atau teman di dinding, mungkin juga beberapa poster artis KPOP, dan di rak bukunya berbaris novel-novel romantis, atau chicklit. Akan tetapi Linda berbeda. Ia menggantung samsak 25 kg pada bracket besi yang terpasang di dinding kamarnya. Di tempat tidurnya tergeletak buku non fiksi “Portal Dunia Gaib.” Dan satu-satu foto yang ada di kamarnya adalah foto saat dia masih kecil bersama Jeni dan Millia, terbingkai dalam frame putih polos di meja.
Kamar Linda nampak remang-remang. Hanya mengandalkan cahaya dari taman yang masuk lewat jendela. Kondisi keuangan mamanya saat ini, mengharuskan dirinya turut peduli untuk berhemat. Terkadang situasi seperti itu sesekali mampir dalam kehidupan mereka. Dia harus beradaptasi.
Di kamar, Linda hanya mengenakan tanktop dan celana pendek. Kakinya meloncat-loncat kecil, sebelum dua detik kemudian tinju-tinjunya meledak, memukuli samsak di kamarnya. Bam! Bam! Bam! Ini kebiasaan yang sering ia lakukan bila ia sedang mengalami mood swing yang bad mood. “HiaH! Hegh!” teriaknya menyalurkan emosi negatifnya ke kepalan.
Sumber ke BT-annya karena Linda terus teringat akan kejadian siang tadi. Ada perasaan bersalah atas sikapnya terhadap Beni. Dan ia tidak suka menyandang rasa itu. Dia ingin masa bodoh, tapi tidak bisa.
“Sudah gue bilang gue bisa pulang sendiri….,” gumam Linda kesal. “Dianya aja yang goblok! Hegh!”
Sudah lama Linda membekukan hatinya, bersikap keras dan dingin agar hatinya tak lagi terluka. Akan tetapi sebagai cewek, hatinya tidak bisa 100% kedap terhadap perhatian seorang cowok.
Linda memandang ke arah cermin, mencopot Moisture Chambernya, dan melihat pantulannya yang remang dalam gelap. Dia sadar betul, dirinya bukan tipe cewek-cewek umumnya. Hal itu membuat ia sering merasa insecure.
Wajah aneh. Mana ada cowok yang peduli dengan cewek yang matanya selalu melotot seram seperti Suzzana, aktris horor lawas kesukaan mamanya? Jika ada yang mendekat, sudah pasti niatnya tak baik, hanya ingin mempermainkan.
Linda tidak bisa juga terlalu disalahkan atas sikap sadisnya kepada Beni. Ia pernah mengecap pengalaman pahit dalam hubungan asmara. Brian adalah nama cowok yang tega mempermainkan hatinya.
Dulu di kelas 9 Brian mendekatinya seperti permen karet di sol sepatu. Lengket. Linda tahu diri, ia tidak mungkin ia akan bisa menjalani sebuah hubungan normal. Seorang laki-laki bersama cewek biasa saja, belum tentu bisa tahan dengan drama dan PMS-nya. Apalagi dengan cewek yang mood swing-nya akut, berkali-kali lebih parah, bahkan sewaktu-waktu emosinya bisa meledak dan membunuh.
Linda sudah menolak Brian berkali-kali, sering jutekin dia, jahatin dia. Akan tetapi manusia itu tidak pergi-pergi juga. Rasanya Linda ingin menyemash lalat itu. Namun lalat itu bisa sewaktu-waktu berubah menjadi pangeran yang mengunci tangannya ke tembok dan memojokkannya dirinya lewat dominasi kelakiannya.
Akhirnya kesabaran dan kegigihan seorang Brian meluluhkan hati seorang Linda. Saat cowok itu menembaknya di sekolah, Linda memutuskan untuk membuka hatinya. Ia ingin mempercayai, bahwa ada kok seorang cowok yang bisa menerima dia dengan segala kekurangannya. Mungkin di antara sekian milyar kaum adam, ada satu yang seleranya gak jelas, yang molekul DNA pengatur preferensi ceweknya lepas saat dia masih bentuk sperma.
Sesaat setelah Linda menerima cintanya, Brian tersenyum, mengangkat kedua lengannya ke atas, sampai berlutut dan berteriak, “Yes! Yes! Gue menang, yeaha!” Sudah mirip peserta kompetisi final American Got Talent.
Awalnya Linda kira Brian sangat gembira, karena berhasil mendapatkan dirinya dengan susah payah. Ia pun bahagia, karena merasa sangat diinginkan.
Akan tetapi hal yang terjadi semenit kemudian, serasa bak Tsunami yang memporak-porandakan Aceh. Satu momen terburuk dalam hidup Linda yang sangat membekas. Teman-teman Brian muncul dari persembunyian. Mereka menyerahkan sejumlah uang ke tangannya sambil ngedumel. Brian mengumpulkan semuanya dengan senyum yang lebar dan mencium lembaran kemenangan itu.
Detik itu Linda tersadar… cowok itu hanya menjadikannya ajang taruhan. Jahat! Brian juga tidak terlihat merasa bersalah sedikit pun.
Linda patah hati di cinta pertamanya yang usianya baru semenit.
Apakah karena gue jelek, maka layak dipermainkan?
Cinta is a bullshit!
Lagu End of The World soundtrack dari The Queen's Gambit serasa mengalun.
“Hiah! Hah!” “BUK! BUK!” Samsak mulai berayun-ayun hebat.
Lagipula, Brian dan Beni, sama-ama berawalan huruf ‘B’. Emosinya menghubung-hubungkan dua hal yang tak berkaitan untuk memperkuat kecurigaannya.
“Huh!” “Bak!” Linda berhenti. Nafasnya terengah. Rasa bersalah masih saja bergelayut di hatinya. Ia teringat nomor hape Beni di tangannya.
Mungkin sebaiknya gue kirim pesan maaf. Tidak perlu panjang-panjang cukup tulis, ‘maaf’ dan titik. Setelah itu semua akan kembali normal. Gue akan menjalani hari-harinya seperti biasa lagi. Namun ketika dia balik telapaknya, nomor itu sudah hampir terhapus, tak bisa lagi terbaca. Sial!
Baru saja Linda memikirkan Beni, ia kaget setengah mati, menyadari ada cowok di balik kaca jendela sedang mengamatinya. Linda bergegas menghampiri jendela dan membukanya. Tanpa banyak cakap ia langsung melayangkan tinju kanannya. Orang itu mengelak.
Linda membentak dengan volume dikecilkan karena sudah malam, “Ngapain di sini? Ngintipin gue?!”
“Woah, galak sekali.” Orang itu ternyata Beni.
Beni mengamati bodi Linda yang memang sedang terlihat agak seksi saat itu. Meskipun wajahnya seram, namun dada Linda ukurannya dan bentuknya.... ya lumayanlah. Cowok pasti secara insting melirik.
Linda meraih bangku plastik yang ada di dekatnya dan langsung melemparnya ke arah Beni. Beni hendak mengelak ke kiri. Namun Linda menggunakan kekuatannya, hingga tubuh Beni tak bisa bergerak. Tak pelak ia pun mencium bangku itu. “Bak!”
“Awwww!” pekik Beni kesakitan.
Linda melompat keluar jendela, berancang-ancang di atas rumput. Kaki kanannya mengayun ke belakang, siap untuk melayang kearah selangkangan Beni. Dua biji Beni, pasti akan menjerit bila sampai kaki itu bersarang di anunya.
“Tu..tunggu….!” pinta Beni.
Telat!
Kaki Linda sudah meluncur lepas kendali dengan energi kinetik maksimum. Sudah pasti akan pecah dua telur Beni menjadi orak-arik.
Sekonyong-konyong terdengar suara cewek tak dikenal, “Waahh… ini seru sekali, guys! Pertarungan hidup dan mati, lebih seru dari Naruto vs Sasuke.”
Linda kaget. Sontak kakinya berhenti tepat 1 mm sebelum memporak-porandakan masa depan Beni. Ia menengok ke belakang. Seseorang gadis sedang berjongkok di bawah jendela. Ia memegang smartphone, merekam aksi mereka berdua.
“Hai!” sapa cewek asing itu dengan nada riang dan melambai feminim.
Linda melepaskan Beni, hingga dia dapat bergerak lagi. Beni bingung, kenapa badannya sempat terasa kaku.
Penampilan wanita itu sejenak menarik perhantian Linda. Karena seumur hidup baru kali ini dia melihat ada orang seputih salju. Dia si cewek Albino.
Cewek salju itu berdiri dan mengulurkan tangan kanannya sambil tersenyum. “Halo, gue Jessica Iskandar. Biasa dipanggil Jessica atau Njess. Gue seorang YouTuber. Channel gue LoGaibGueKejar. Harap nanti subscribe, ya. Jangan lupa klik loncengnya.”
“Channel kami,” potong Beni, tidak setuju kanal itu hanya diklaim oleh Jessica. Jessica memeletkan lidahnya.
“Mau apa kalian?” tanya Linda.
“Ehm, gue ingin memperkenalkan kalian berdua,” terang Beni.
Linda menatap Beni dan Jessica. Ia seperti sudah dapat menebak maksud mereka.
“Gue gak butuh temen!” ucap Linda dengan pedas sepedas BonCabe level 50 Max End.
“Tentu saja semua orang butuh teman,” balas Jessica dengan senyuman.
Linda memandang Jessica. Tanpa banyak omong ia langsung rampas hapenya dan membantingnya ke tanah.
“Aduuh hape gue!” keluh Jessica.
“Linda dengar dulu,” panggil Beni.
Namun Linda tetap cuek dan hendak memanjat jendela, masuk lagi ke kamarnya.
Beni meraih tangan kiri Linda untuk mencegahnya.
Deg! Jantung Linda serasa terhenti. Entah kenapa momen ini mengingatkan Linda akan sesuatu. Ah ya, Brian dulu juga pernah melakukan hal yang sama. Menariknya, mencegahnya pergi, bersikap seolah menginginkannya, tapi ternyata…. Spontan Linda berbalik dan menampar pipi Beni sekeras-kerasnya, mengeluarkan uneg-uneg yang ia simpan sejak lama atas perbuatan Brian.
PLAK!
Sakit hatinya Linda kini membekas di pipi Beni, bewarna merah berbentuk jari-jari. Rasakan! Beni sampai memegangi pipinya yang terasa pedas.
Bahkan Jessica sebagai seorang cewek feeling-nya bisa menangkap, kalau itu bukan tamparan biasa. Menyisakan Beni yang kebingungan, salah apa dia sampai harus ditampar sekeras itu? Rahang bawahnya bergerak kiri kanan untuk mengurangi perih.
Linda melompat masuk ke dalam kamar dan menutup jendela. Saat ia hendak menutup gorden, Jessica mendekat ke jendela dan berkata, “Linda gue tahu rasanya jadi berbeda. Tidak pernah diterima oleh lingkungan di sekeliling kita. Tapi lo gak harus sendirian. Kita bisa berteman.”
Linda menatap kedua mata Jessica sejenak. Jessica pun tersenyum manis. Lalu Linda memberikan jari tengahnya dan membuat Jessica terkejut. Setelah itu ia tutup rapat gordennya, memisahkan dia dengan ajakan pertemanan kedua tamu tak diundang di luar.
Pertemanan is a bullshit!
Semua teman SD hingga SMP Linda yang dulunya dekat dengannya perlahan menjauh. Image aneh Linda sama powerful-nya dengan image keren Cristiano Ronaldo untuk endorse produk. Hanya efeknya saja yang berbeda, mereka yang dekat dengannya dianggap super aneh. Dan orang tidak suka dengan orang aneh.
Waktu SMP ada satu kejadian di sekolah yang sangat membekas di hati Linda. Ketika itu beberapa anak berkumpul di dalam kelas. Di luar sedang hujan deras dan langit kelabu. Teman-teman sekelasnya memaksa sahabatnya untuk memilih. “Kalau lo mau diterima bergaul dengan kami. Buktikan, bahwa lo bukan orang aneh.” Kemudian mata mereka memandang ke arah Linda.
Linda masih ingat momen sang sahabat menarik tangannya, membawanya keluar kelas. Rupanya persahabatan mereka lebih kuat dari tekanan sosial. Lebih kokoh dari keinginan untuk diterima dan diakui oleh lingkungan sekitar. Atau setidaknya itu yang ia kira. Tak disangka sahabatnya malah mendorong kedua pundaknya dari belakang, hingga ia terjatuh ke tanah, melewati batas perlindungan atap dan menjadi basah kuyup oleh air hujan.
Terngiang ucapan sahabatnya, “Maafin gue Lin. Gue capek jadi sahabat lo. Gue gak mau dikucilkan terus.”
Di kala itu Linda merasa begitu sendirian.
Di balik rambut yang terurai menutupi wajah Linda. Air matanya menetes di balik hujan. “Gue mengerti… maaf sudah menyusahkan lo. Dan jangan khawatir. Karena mulai hari ini, kita bukan lagi sahabat.”
Demikian perasahabatan yang sudah terjalin selama 6 tahun berakhir di bawah hujan.
Beni memanggil-manggil dari luar sambil mengetuk kaca jendela, “Linda, ayolah jangan begitu.”
Linda duduk di pinggir tempat tidurnya memasang earphone di telinganya dan menyalakan musik via telepon genggamnya. Suara mereka pun menjadi tersamarkan dengan bit lagu Billie Ellish – Bury a Friend.
Mereka akan pergi tak lama lagi.
Linda mengambil buku Portal Pintu Gaib dan lanjut membacanya untuk membunuh waktu.
Suara ketukan masih lama terdengar menembus earphone. Beni terus memanggil-manggil Linda.
Keras kepala banget. Jangan-jangannya ibunya dulu ngidam batu.
Tapi seiring waktu, akhirnya sunyi juga. Mungkin keduanya sudah menyerah?
Linda mencabut earphone-nya. Ia membuka gordennya. Di luar dugaan ternyata keduanya masih di depan. Akan tetapi pandangan mereka menuju ke satu arah. Matanya mereka sampai membelalak lebar dan berjalan mundur menjauhi jendela.
Dari arah luar jendela tampak uap putih membekas di kaca, yang keluar dari mulut Linda. Linda merasa dingin.
Ini pertanda….
Di halaman rumah Linda nampak sebuah gada besi kuning bergerak menyeret perlahan. Seolah ada yang menariknya, tapi tak terlihat siapa pun. Benda itu seperti pemukul baseball, tapi panjangnya setinggi bahu orang dewasa dan ujungnya menggelembung bulat sebesar dua kali tabung gas melon.“Seeeeekkkkkk,” suara ujung gada bergesekan dengan rerumputan tanpa jeda. Jejak garis tanah yang melesak dan rumput yang rata tergilas, menunjukkan berat benda itu.Gada itu berhenti pelan tepat di depan Jendela.“Kak Linda….” terdengar suara memanggil, menggema di kepala Linda. Linda bisa merasakan suara itu berbicara langsung ke dalam otaknya. Telepati. Entah kenapa suara itu membuat bulu kuduknya berdiri. Merinding seperti meriang.Linda sudah beberapa kali mengalami gangguan supranatural. Semuanya selalu memberikan pengalaman yang traumatik. Masalahnya juga dia tidak berdaya menghadapi hal-hal yang tak kasat mata. Hingga saat ini i
“Maaf, ya teman-teman gue agak lama. Gue pinjam toilet ke warga sekitar dulu.” Jessica kembali menggunakan telepati untuk berkomunikasi.Ternyata Jessica bukan meninggalkan Beni dan Linda begitu saja, melainkan mencari tempat aman untuk melakukan astral projection. Sebab saat menembakkan roh atau kesadarannya keluar badan, seseorang akan kehilangan sensasi indera dan kontrol akan tubuh fisiknya. Otot tak sadar saja yang akan terus bekerja, seperti untuk bernafas. Sangat berbahaya, jika ia tidak berada di tempat yang cukup aman.Kesadaran adalah bentuk semua makhluk gaib, termasuk roh manusia. Kesadaran pula yang membuat makhluk dapat berpikir, meskipun tanpa organ otak.Jessica menggunakan teknik hiper konsentras
Keesokan hari, pukul 06.15. Di satu sudut sekolah, di sebuah gudang terbengkalai, tempat menyimpan meja rusak, kursi buntung, dan lainnya. Debu menyelimuti secara tak merata lantai dan tumpukan barang di setiap sudut. Di mana-mana berceceran tai tikus. Aroma pesing agak tercium dari luar pintu masuk. Entah itu berasal dari urin binatang atau manusia.Dari dalam terdengar decit seekor tikus yang risau, “Cit! Cit!” dan ngeong seekor kucing yang tak sabar, “Miaaw!” Lalu menyusul suara kejar-kejaran, tubrukan, dan benda jatuh, sebelum mereka berlari keluar secepat kampret, mengagetkan beberapa murid dan guru yang sedang berdoa sambil berdiri tak jauh dari pintu masuk.Ada suatu alasan yang membuat sebagian warga sekolah berdoa di sana hampir setiap pagi dan bukan di gedung serba guna yang bersih dan tersedia fasilitas peribadatan untuk tiap-
Sifat asli manusia akan terlihat di saat ia memiliki power untuk bisa berbuat apa saja tanpa konsekuensi, bahkan sesederhana mengetikkan kata-kata di medsos. Sebagian besar akan menjadi BUAS seperti binatang. Apakah benar kita makhluk paling sempurna, atau hanya binatang yang berevolusi menjadi manusia, tetapi masih membawa insting kebinatangannya? Terutama saat hendak bertahan hidup.7 tahun yang lalu. Di depan sebuah toko kelontong. Seorang preman Geng Ular berulah."Tembak! Tembak gue!" tantang pria bertubuh kurus kering berkaos kutang, bercelana jeans sedengkul. Tangan kanannya yang memegang sebilah sabit, menepuk-nepuk dadanya. Enam petugas berbadan tegap sudah mengepungnya dan mengacungkan pistol. Tiga kali sudah tembakan peringatan keluar. Artinya tembakan berikutnya akan menyasar kepadanya.“Menyerahlah, kamu sudah terkepung. Jangan mempersulit dirimu!”Preman itu terus memprovokasi polisi untuk maju. SE
Ibu manajer memeriksa tanda tangan tersebut itu. Semenit kemudian ia tersenyum dan memberi kode kepada si kumis tebal untuk mengurus keperluan selanjutnya. Penjaga itu mengangguk dan membawa wanita itu keluar. “Ayah, ibu mau dibawa kemana?” tanya anak itu. “Ibu hanya pergi sebentar,” kata ayahnya berbohong. Wanita manajer mengangkat sebuah koper, meletakkannya di atas meja dan membukanya. Isinya tumpukan uang lembaran merah. “Lima puluh juta.” Lalu ia menutupnya kembali dan menyerahkannya kepada laki-laki itu. “Ok, urusan kita sudah selesai. Kalian boleh keluar.” “Anu…” “Apa lagi?” “Saya dengar di sini juga ada Big Brother?
Rumah Linda sedang dalam kondisi lumayan parah. Tembok bolong. Genteng hancur. Pohon tumbang nankring di atap. Hemm… parah, parah. Oleh sebab itu Jessica menawarkan Linda untuk menginap di rumahnya. “Ide yang baik bukan?” Linda yang merasa canggung dan tidak enak dengan niat baik Jessica. Akan tetapi Jeni justru merasa itu usulan yang luar biasa, agar anaknya bisa punya teman dan bersosialisasi. Keesokan hari, Jeni mengepak segala keperluan Linda di bawah hangatnya sinar mentari yang menembus atap. “Hemm..hem…,” Jeni bersenandung ceria, meskipun lengan kiri tengah berbalut perban, dan tergantung pada alat penyangga tangan. Sementara Linda duduk cemberut di kursi dalam bayang-bayang, hanya memperhatikan saja, sengaja tidak membantu. “Mama sedang mengusir aku ya?” Satu kalimat dengan diksi yang sengaja Linda pilih untuk memprovokasi perasaan bersalah mamanya. “Mmm…. secara teknis, ya,” jawab Jeni cuek, menampik serangan anaknya. “Linda ga
7 tahun lalu. Kembali ke gedung D’Elite, ruang 205.Pria gemuk berkacamata bulat sedang berada di dalam sana. Lantai, tembok dan langit-langit ruangan itu berwarna putih bersih. Catnya tercium masih segar dan wangi, berpadu pembersih lantai aroma lemon yang high class. Ruangan itu sengaja dibuat serba putih untuk mengangkat hiburan yang disajikan di sini.Di sisi yang berseberangan dengan pintu masuk terdapat gorden plastik yang memanjang dari ujung ke ujung, menyembunyikan sesuatu di baliknya. Pria gemuk itu menggesernya dan menyibak keberadaan wanita tersalib di kayu berbentuk X, tanpa pakaian. Wanita yang sejam lalu menandatangani kontrak dengan Ibu Manajer.Di bawah wanita itu terdapat lubang pembuangan air
“Kedua orang tua gue sudah gak ada, Lin.” Pertanyaan sederhana Linda menghenyakkan dada Jessica.Linda jadi merasa tidak enak. “Oh, maaf.”“Gak apa-apa.”Memori akan masa lalu Jessica berkelebatan di benaknya. Membuat dia merasa sedikit pusing, karena ingatan buruknya memberikan tekanan mental.“Jess, lo kenapa?”Jessica menggeleng. “Gak apa-apa. Gue baik-baik saja.”“Jadi lo tinggal di rumah ini sendiri?”Jessica mengangguk, bibirnya mengatup seolah berkata, inilah nasib gue
Kedua bibir Mbah Moen mengatup rapat, alisnya mengernyit, matanya menatap lekat mayat istrinya yang hancur untuk terakhir kali. Suami mana yang tak pedih melihat tubuh istrinya dikoyak-koyak tanpa hormat. Keparat! Akhirnya ia berbalik dan pergi. Tak ada yang bisa ia lakukan. “Hei! Mau kemana kau!?” hardik si Janggut melihat Mbah Moen melarikan diri. “Jangan pergi sebelum kau kasih tahu rahasiamu!” Amarah Mbah Moen berkobar seperti hutan rimba kebakaran akibat terik. Ia menyalahkan dirinya atas ketidakmampuan menyelamatkan istrinya. Semua itu harus ia tebus dengan penghukuman diri. Berlari Mbah Moen ke atas gunung secepat mungkin. Tapi langkahnya berat seperti tergandul bola besi. Nafasnya terengah-engah tak seperti biasa. Akibat perkara dunia memenuhi relung hatinya.
Meskipun dalam keadaan sekarat Mbah Asih masih bisa mengenali ekspresi suaminya. Mata yang teralih ke sana kemari, berfokus hanya kepada pendengarannya seakan ada suara datang dari berbagai arah. Setan laknat itu pasti sedang menggoda suaminya. Setan terkuat Gunung Wijen dikunci di dalam kerajaan gaibnya sendiri oleh Mbah Moen. Bukan karena Mbah Moen lebih kuat darinya melainkan makhluk itu telah salah langkah hingga terjebak. Sejak itu sosoknya tak dapat pergi meninggalkan kerajaannya sendiri. Namun demikian ia masih bisa melakukan kontak batin dari kejauhan dan kekuatannya masih bisa sedikit menggapai keluar. Itu alasan Mbah Moen mencegah orang-orang untuk naik ke gunung ini. Agar tidak ada manusia terjebak jeratan tipu muslihatnya yang sehalus jaring laba-laba dan menggoda hati manusia yang lemah. Hati yang haus dengan keinginan-keinginan yang tak tergapai. Selayak air menggoda kerongkongan yang kering. Bertetangga dengan makhluk astral semacam itu
“Selamatkan bayiku,” mohon ibu itu, mengangkat anaknya kepada Mbah Moen dengan gemetar. Kengerian tergurat di wajahnya, mengetahui kemungkinan anaknya tak kan hidup sampai esok hari. Ia tak peduli lagi dengan nyawanya. Asal buah hatinya selamat. Mbah Moen memandang bayi yang tak berdaya itu. Ia mengernyit, menghela nafas. Tak tega, tapi ia tidak mau turut campur dengan prahara dunia yang fana. Ia tak suka hatinya mendapat beban dilema seperti ini. “Anak yang tampan,” kata si Janggut dari belakang. Suara itu membuat adrenalin ibu itu banjir deras, matanya melotot lebar, alisnya mengernyit, jantungnya berdebar keras melihat tangan “malaikat pencabut nyawa” itu perlahan mencengkram kepala anaknya. Raut wajahnya semakin jelek melipat, seperti orang dipaksa meminum sesuatu yang sangat pahit. Air matanya berurai.
Mbah Moen, seorang juru kunci Gunung Merapi Wijen. Tubuhnya kurus kering. Tulang pipinya menonjol. Tingginya sudah menyusut lantaran usia. Bibirnya selalu tersenyum, seperti orang yang sudah tak memiliki beban hidup. Pekerjaan sehari-hari Mbah Moen menutup portal-portal gaib yang sering terbuka sebagai jalan masuk makhluk astral negatif ke gunung tersebut. Bila ada makhluk yang berhasil lolos, Mbah Moen akan menangkapnya dan menguncinya di satu tempat hingga tak bisa kemana-mana mengganggu. Mbah Moen sebagai seorang ahli kebatinan yang sensitif dapat merasakan energi negatif dari Hutan Terlarang yang melalang buana ke seluruh penjuru. Ia memukul-mukul tengkuknya yang terasa penat. Badannya kaku tidak enak akhir-akhir ini. Padahal sudah bertahun-tahun dia tidak pernah sakit. “Sini aku pijitin,” kata Mbah Asih, istrinya. Jari-jari tua keriput dengan ruas tulang jari menonj
Setan Kebaya Merah kembali bersemayam di Hutan Terlarang. Dari sana ia mengirimkan sinyal ke seluruh penjuru nusantara, mengundang orang-orang untuk datang. Mereka yang mengolah ilmu kebatinan pasti dapat merasakan denyut panggilan misterius yang menjalar di alam raya. Terasa begitu menggairahkan bagi mereka pencari kekuatan, namun meresahkan bagi mereka yang menginginkan kedamaian. Bencana gonjang-ganjing akan datang tak lama lagi. Hutan Terlarang. Hutan rimba misterius mistis. Hutan yang memiliki kesadaran. Siapa pun yang masuk akan tersesat berhari-hari. Kiri jadi kanan, kanan jadi kiri, depan jadi belakang, belakang jadi depan. Jauh dekat semua serba terbalik. Segala sensasi indera menipu. Tidak ada satu pun yang bisa dijadikan petunjuk di hutan itu. Masuk ke sana sama saja mati. Datang berombongan juga tak berguna. Hutan itu akan mencerai-beraikan. Teman
Di luar telah gelap. Rembulan enggan keluar. Nenek Min sedang berduka di rumah petaknya. Hanya suara jangkrik yang menemani di luar jendela. Ia duduk di depan meja. Di atasnya terdapat sebuah celupak — alat penerangan dari tanah liat berbahan bakar minyak kelapa dan minyak jarak. Api menyala di ujung sumbunya yang berbaring di cerat. Cahaya kuningnya menerangi ruangan remang-remang. Lidah api itu sedikit menari-nari, seakan mencoba menghibur wanita tua di hadapannya. Mata Nenek Min memandang ke api, cahaya itu menariknya dalam lamunan.Dua hari lalu rombongan Gatuk kembali dari pengejaran. Di belakang kudanya tergeletak tubuh Anggini yang diseret pakai tali. Kebaya merahnya compang-camping, kotor dengan darah dan debu. Wajah dan tubuhnya penuh luka beset dan baret. Rambutnya acak-acakan. Bahkan batang hidungnya sudah tak ada. Sama sekali tak terlihat, kalau dulunya ia seorang ratu sebuah negeri. Hati Nenek Min hancur melihat kondisi Anggini. Gatuk dengan bangga memperto
Pada tengah malam, Anggini dan Nenek Min menggali kuburan Zanna yang masih basah. Mereka masuk ke dalam liang, membongkar papan-papan penutupnya. Mayat anak itu sudah membengkak dan mengeluarkan bau busuk dari dalam kain kafan. Tubuhnya melunak. Darah dan cairan lain keluar dari tubuhnya. Anggini menutup hidung dan mulutnya dengan kain untuk mengurangi bau. Kemudian ia membungkus Zanna dengan kain pelapis tambahan. Kemudian Nenek Min membantu meletakkan mayat Zanna ke punggung Anggini, sambil Anggini mengikatnya ke tubuhnya dengan tali. “Aku akan pergi ke rumah orang tuanya, mempertemukan Zanna dengan keluarganya, dan menyerahkan obat ini.” “Ini gila, Anggini” Anggini memeluk Nenek Min, “Aku akan mewujudkan impian anak ini. Doakan agar aku berhasil.”
Anggini tanpa daya diseret-seret ke rumah penyiksaan Patah Arang.“Jangan, jangan bawa saya ke sana!” mohon Anggini ketakutan. Ia meronta-ronta, melawan, menahan sebisanya. Ia tak ingin kembali ke tempat itu. Rasa ngeri membuatnya gemetar.Tapi ia tak berdaya diseret dua laki-laki kekar ke sana. Rasa takutnya tak bisa dilukiskan dengan kata-kata.Setibanya mereka di rumah penyiksaan. Gatuk membuka sebuah kotak yang berukuran kecil, kurang lebih setengah badan wanita rata-rata. Terakhir kali Anggini melihat seorang wanita disiksa dan meninggal di dalamnya.“Masukkan dia ke dalam situ!”Anak buah Gatuk memaksa Anggini untuk menekuk tubuhnya, meringkuk seperti bayi dalam rahim agar ia bisa dimasukkan ke dalamnya. Baru setelah itu peti itu ditutup dan dikunci. Cahaya obor menembus sebuah lubang kecil yang berfungsi sebagai saluran udara. Tubuh Anggini hampir sama sekali tak bisa bergerak. Nafas terasa tidak nya
Hari istimewa tiba. Zanna berulang tahun. Anggini telah menyiapkan sebuah kejutan kecil untuknya. Dua buah gelang tembaga berbentuk Bunga Gladiol. Gladiol berasal dari kata Latin, Gladius yang berarti pedang. Umumnya dikenal sebagai Bunga Bakung. Bermakna ketulusan, kemurahan hati, serta pendirianteguh. Anggini sengaja memilih bunga itu sebagai simbol asa Zanna meraih mimpi, menembus segala rintangan yang ada dengan kedua tangannya, diiringi kerendahan hati dan tetap setia pada jati dirinya. Selain itu bunga itu biasanya mekar di bulan Agustus. Pas dengan bulan kelahiran Zanna.Anggini sudah tak sabar untuk menghadiahkan gelang itu, tapi ia menunggu waktu selesai bekerja. Agar ia, Nenek Min dan Zanna benar-benar dapat menikmati momen bersama itu dan membu