Tujuh tahun kemudian.
SMAN 696. Sekolah macam anak tiri tak terurus. Temboknya dekil, cat mengelupas, cemong sana-sini dengan coretan grafiti di tembok luarnya, kayu kusen-kusen pintu dan jendela sudah pucat dan retak kena terik dan hujan, memohon untuk kena dempul dan pelitur lagi.
Para murid berpakaian suka-suka. Yang adam kerahnya terangkat, kancingnya terbuka sedada, rambutnya mengkilap tersemir pomade. Sementara yang hawa, bajunya ketat-ketat, menonjolkan perbukitan kembar berdiameter rupa-rupa, roknya pendek-pendek, yang bila orangnya membungkuk, membuat kaum adam bersiul-siul mengagumi ciptaan Yang Maha Kuasa dengan gemas.
Di sudut lain, asap putih rokok mengepul di anak tangga. Puntung-puntung rokok berserakan di lantai. Guru-guru yang lewat tak berani menegur mereka. Mereka hanya menatap sebentar dan geleng-geleng. Tatapan mereka pun dibalas dengan tatapan - “Apa loh lihat-lihat…” Guru-guru wanita yang terbilang masih muda mereka goda dengan siulan-siulan genit dan pandangan yang membuat risih. Cuman beberapa saja yang menggoda yang sudah tua. Kan, tiap orang punya selera. Tapi ini benar-benar tidak ada hormat-hormatnya.
Namun, “Tok, tok, tok…” terdengar suara ujung tongkat mengetuk lantai sekolah yang sebagian sudah pecah-pecah. Mendengar suara itu semakin dekat, mereka yang tadinya bersikap tak sopan langsung terdiam. Suara tongkat itu begitu khas, bahkan dari iramanya saja para murid sudah tahu siapa yang datang. Sosok itu melintas di depan murid-murid itu. Semua yang ada di situ segera ingat Tuhan, berdoa, berharap manusia itu segera berlalu. Tep, doa anak nakal tidak mustajab, dia berhenti. Anak-anak tersebut kaget. Badan orang itu kaku tak bergerak, tapi kepalanya menengok cepat. Rambut pendeknya yang mayoritas sudah beruban ikut berayun. Ketika pandangan matanya yang sipit itu menuju ke anak-anak itu, mereka langsung mematikan dan menyembunyikan rokoknya di belakang punggung, serta menyapu puntung-puntung yang berserakan dengan kaki dan menginjaknya di bawah sepatu mereka. Tak berani mereka beradu pandang dengan guru yang satu ini. Setelah itu guru itu menengok ke depan dan melanjutkan langkahnya. Dia berlalu sambil berkata, “Tuhan mengasihimu, Tuhan mengasihimu…”
Di sisi lain dari sekolah di balik semak-semak nampak seorang anak laki-laki yang wajah dan baju seragamnya penuh coretan. Ia tak memakai celana dan sedang menangis, kebingungan dan malu. Ia baru saja kena bully. Inilah salah satu pemandangan yang kerap terjadi di sekolah ini.
Di sekolah SMAN 696 tidak ada orang yang mau dicap aneh. Apalagi oleh murid yang berkasta lebih tinggi. Sekali kena cap, bisa jadi bulan-bulanan sampai lulus sekolah. Bisa-bisa membawa trauma sampai tua. Bahkan katanya sudah ada yang sampai bunuh diri. Perundungan di sekolah ini memang parah. Mereka yang lebih cool, lebih kuat, lebih cantik akan menindas mereka yang lebih inferior - kaum pecundang. Seakan mereka memiliki hak dan priveledge untuk melakukannya, dan korbannya punya kewajiban tuk menerimanya. Melapor ke guru juga percuma, paling para pelaku hanya mendapatkan peringatan. Setelah itu pelapor akan kena masalah lebih gawat lagi.
Bagi sebagian orang cap itu tak terelakkan, seperti sapi yang tak bisa menolak tubuhnya distempel dengan besi panas. Takdir. Dan takdir itu mulai tertarik dengan seorang gadis bernama Linda, murid kelas dua belas yang baru pindah empat bulan lalu.
Linda selalu mengenakan jaket hoodie abu-abu dengan tudung yang selalu menutupi kepalanya. Ia mengenakan kacamata yang tidak biasa - framenya besar dan tebal, lensanya bulat dan hitam hampir pekat - menempel rapat di wajah mirip kacamata tukang las. Bahkan itu memang kacamata tukang las yang dimodifikasi. Salain itu Rambutnya yang bergelombang selalu jatuh menyembunyikan wajahnya. Tubuhnya kecil dan kurus. Itu merupakan profil yang pas masuk dalam kategori kaum pencudang.
Linda mulai masuk radar sekelompok geng cewek. Bak bangkai menarik burung nazar. Sialnya burung-burung itu satu kelas dengannya, Andrea, Siska dan Dewi. Mereka dengan mudah mengintai mangsanya. Andrea adalah ketua geng Andromeda, wajahnya mirip orang bule dari Moldova. Rambutnya tidak sepenuhnya hitam, rada kecoklat-coklatan. Sementara Siska tipikal “pribumi” kulitnya sawo matang. Tak kalah cantik dari Andrea, namun ia sering iri dengan kulit Andrea yang putih. Sementara Dewi ia mirip dengan artis Korea. Mereka bertiga sedang menanti waktu yang tepat untuk menyantap korbannya.
Suatu siang di jam pelajaran matematika, Linda izin ke belakang. Karena datang tamu bulanan.
Melihat mangsa akan pergi ke tempat sepi, tak lama kemudian Andrea memberi kode kepada Dewi dan Siska untuk menyusulnya. Ketiganya serempak keluar dari meja dan maju ke depan. “Bu, kami mau ke belakang,” ucap ketiganya sambil lalu tanpa menunggu izin. Sang guru hanya memandang kepergian mereka dan menghela nafas panjang.
WC wanita kondisinya lembab, kotor dan bau. Aromanya lebih pesing dari toilet pria. Bahkan ada sedikit aroma tinja. Karena lubang toilet bilik keempat yang paling kanan mampet oleh pembalut wanita. Kotoran manusia berbentuk gundukan menumpuk melewati batas air di lubang. Padahal sudah terpasang kertas peringatan yang dilaminating, jangan membuang pembalut di toilet, nanti mampet.
Linda baru saja selesai dengan urusannya dan mencuci tangan di wastafel. Setelah itu ia mengecek hapenya sebentar. Sementara itu Andrea, Dewi dan Siska yang dari tadi sudah menunggu di dekat pintu masuk, melangkah mendekat. Linda menyadari kedatangan mereka lewat pantulan di kaca. Dari sikap tubuh ketiganya Linda merasakan gelagat tidak enak. Linda segera membuat tanda salib kecil.
Sekonyong-konyong Andrea meremas pantat Linda dan berkata, “Hai anak manis.”
Anak manis. Kata-kata itu terdengar seperti, “Hai domba yang lezat” diucapkan oleh sergiala-serigala besar jahat yang lapar.
Linda langsung menepis keras tangan itu dan berbalik melangkah hendak melewati mereka secepatnya. Akan tetapi Andrea segera menghalanginya dengan memasang badan. Linda ke kiri, Andrea ke kiri, Linda ke kanan, Andrea ikut ke kanan. Lalu Andrea mendorong kedua pundak Linda hingga ia terdorong dan punggungnya menabrak tembok. Buk!
“Bletak!” Hape Linda jatuh ke lantai. Kaca pelindungnya langsung pecah retak. Andrea menendang hape itu ke pojok ruangan. “Hee…. mau kemana?” tanya Andrea dengan nada mengayun. “Sopan sekali main pergi begitu saja, setelah lo bikin sakit tangan gue? Ayo minta maaf…”
Linda diam tak merespon. Ia sangat benci situasi ini. Kenapa sealalu saja ada orang-orang yang selalu ingin menganggunya. Padahal dia sudah berusaha menyendiri, menjauh dari mereka.
Andrea menampar-nampar kecil pipi Linda, “Plok! Plok! Plok!” “Bisu ya? Hemm… mungkin dia perlu sedikit motivasi.” Andrea berpikir sebentar dan melihat ke sekeliling. Ia melirik ke keranjang sampah di dalam bilik dan sebuah ide berkelebat. Ia berjalan ke sana dan memungut sebuah pembalut bekas yang masih basah dari dalamnya. Ia kembali dengan memegang ujungnya dan mendekatkannya ke mulut dan hidung Linda.
“Gua yakin dia akan bicara kali ini. Ayo minta maaf,” kata Andrea.
Bau anyir darah kotor di pembalut itu membuat Linda refleks menutup mulut dan hidung seraya memalingkan muka. Namun Siska dan Dewi menarik tangan dan memegangi pundaknya agar Linda tidak dapat menghindar dari pembalut itu.
“Ayo minta maaf!” perintah Andrea untuk ketiga kalinya. Linda menunduk.
Sikap Linda membuat Andrea jengkel. “Minta maaf gak, bangsat!” Ia tarik tudung jaket Linda, seraya membekap rapat-rapat mulut dan hidungnya pakai pembalut.
Sontak Linda memberontak dan menjerit, Kepalanya berusaha meloloskan diri, tapi tak bisa. “Mmm…mmm…mmmm!”
“Makan, nih, makan, enak kan?! Makan tuh pembalut,” maki Andrea.
Alis Linda mengernyit. Saat ia berusaha menggapai nafas, ada cairan yang masuk ke hidungnya. Sengat baunya makin menusuk dan bikin mual. Refleks ia menendang sembarang dengan lutut. Tak sengaja mengenai area vulva Andrea. “Duk!”
“Anjing!” Andrea mundur tergopoh sesaat, lalu jatuh berlutut, memegangi area kewanitaannya. Andrea meringis kesakitan di lantai. Ia mencoba mengatur nafasnya untuk mengurangi rasa nyeri.
“Andrea kamu gak apa-apa?” tanya Siska.
“Gak apa-apa. Pengangin si kampret, jangan sampai kabur.”
Untuk sementara Linda dapat bernafas sedikit lega. Meskipun bau amis tak hilang dari hidungnya dan wajahnya cemong oleh darah mens.
Tiga menit kemudian nyeri itu mulai reda. Tapi emosi Andrea mendidih. “Hih!” Telapak tangannya menggampar kepala Linda “PAK!” Setelah itu ia menarik kacamata Linda lepas dan membantingnya ke lantai “Tak!” “Kacamata aneh kayak gini buat apa sih dipakai terus!” Andrea menginjak benda itu hingga remuk. “Kretek!”
Linda menunduk, berusaha menyembunyikan wajahnya.
“Lihat gue!” teriak Andrea. Ia tak suka tak tak dapat melihat wajah lawannya. Ia jambak rambut Linda hingga kepalanya mendongak. Seketika mereka semua kaget, melihat sepasang mata yang melotot lebar, tanpa berkedip seperti setan film horor sedang menakut-nakuti penduduk kampung. Bulu kuduk mereka sampai berdiri.
“Perih…. perih….,” rintih Linda. Matanya terasa sangat kering. Ia memiliki kerusakan di matanya, hingga matanya tak dapat menutup seperti ikan dan kelenjar air matanya tak berfungsi baik.
“Ini anak, matanya kok begini?” komentar Siska. “Cacat lo ya! Hahahaha…. Anak cacat!”
“Gue minta maaf… plis… udah,” mohon Linda.
“Heh? Minta maaf, wuah kok tumben,” balas Siska. Mendengar permohonan Linda, malah membuat Andrea merasa di atas angin. Dia menemukan ide permainan baru lagi. “Hei, hei… bagaimana kita adu siapa di antara kita yang bisa buat ini anak berkedip.”
“Setuju!”
“Gue….gue…gue ada ide,” kata Siska, “Tolong gantian pegangin tangannya, Han.” Keduanya bertukar posisi.
Siska mengambil hapenya dari kantong dan membuka aplikasi kamera. Ia arahkan lampu kilatnya ke mata Linda, dan “JEPRET!” blitz menyala tepat di depan kedua bola mata Linda.
“Aduh, silau!” keluh Linda.
Geng Andromeda tertawa-tawa mendengar Linda kesakitan. Siska pun semakin bersemangat menjepretkan kamera hapenya. Kilatan cahaya itu terasa bagai silet menyayat matanya.
“Udah…udah….,” Linda memohon.
“Wow, dia memang tidak mengedipkan matanya. Dasar orang aneh,” ejek Siska.
“Dah, sekarang giliran gue,” kata Dewi. Dewi dan Siska bertukar posisi.
Dewi merogoh kantongnya dan mengeluarkan sebuah pisau lipat. “Gue yakin kali ini dia bakal berkedip.”
Dewi mendekatkan ujung mata pisaunya ke kornea Linda. Jaraknya semakin dekat dan dekat, terpisah hanya selembar rambut. “Ayo kediiiiiiip… masak sih gak bisa,” perintah Dewi gemas. Saking gemasnya Dewi berniat menggores bola mata Linda.
Tiba-tiba.
“Hei! Apa yang kalian lakukan!” bentak seseorang dari arah pintu masuk. Semua yang ada di WC itu kaget dan menoleh. Ternyata seorang guru pria. Namun kehadirannya tidak membuat nyali ketiganya ciut. Andrea tersenyum remeh. Dipandanginya guru itu dari ujung rambut hingga ujung kepala. “Mau apa bapak di sini, mau ngintip ya?” ucap Andrea dengan nada binal. Ia angkat tepian rok abu-abunya, naik hingga perlahan menyibak paha kanannya. Guru itu jadi salting dan menelan ludah karena rok itu terus naik hingga ke ujung celana dalam. Andrea meraih tangan guru itu dan meletakkannya di paha sisi dalamnya. Ia tekan naik ke atas pelan-pelan, mendekati…. Sekonyong-konyong ia berteriak, “Tolong! Tolong! pelecehan seksual! Ada pelecehan!” Guru itu kaget bukan main dan langsung lari tunggang-langgang keluar dari WC.
Andrea dan kawannya tertawa-tawa, “Hahaha… Guru bodoh,” ejek Siska. “Benar-benar bodoh,” timpal Dewi dan Siska.
“Trik murahan,” potong seseorang.
“Siapa!?”
Seseorang melangkah masuk ke WC. Cahaya matahari tepat di belakangnya menyembunyikan wajahnya. Andrea dan kawan-kawan kesulitan mengenalinya karena silau. Namun senyum mereka seketika langsung sirna ketika sosok itu makin masuk ke dalam dan terungkap identitasnya.
“Beni! Mau apa kau ikut campur?” tanya Andrea.
Badan cowok itu lebih tinggi dari semua cewek di situ dan agak kekar. Pandangannya melewati pundak Andrea. Bola mata Andrea melirik ke sudut mata mengikuti pandangan itu.
“Demi pecundang itu? Seleramu memang makin rendah saja sejak kau berteman dengan si albino. Apa istimewanya cewek satu ini.”
“Itu urusanku, kau tak ingin menghalangiku kan?” tanyanya santai dan terus maju. Kaki Andrea refleks mundur selangkah. Tapi ia berusaha menutupinya kegelisahannya. Ia kembali melangkah maju dengan percaya diri dan menempelkan tubuhnya ke Beni. Jari tengahnya menyusuri dada Beni, perlahan berbelok ke samping menuju putingnya. Di sana ia memijit-mijit kecil. “Mengapa kita tidak bersenang-senang, kita bully cewek aneh itu bersama,” tawar Andrea, “Atau… mungkin lo lebih ingin bersenang-senang dengan cara lain, hem, bagaimana?” goda Andrea seraya melepas tiga kancingnya teratasnya.
“Krak!”
“AWWW!” Andrea bertekuk lutut meringis kesakitan memegangi jari tengah kanannya yang patah.
“Andrea!” teriak Dewi dan Siska dan segera menolong temannya.
“Ce..cepat, keluar dari sini,” ajak Andrea. “Iya, ayuk.” Mereka tidak lagi berani macam-macam.
“Awas kau Beni!” maki Siska dari jauh.
Setelah mereka pergi, Linda segera kembali menutup kepalanya dengan tudung hoodie dan menyembunyikan wajahnya. Ia bersihkan wajahnya dan basahi matanya dengan air dari wastafel.
“Apakah kamu tak apa-apa?” tanya Beni kepada Linda. Linda diam saja. Beni membungkuk dan mengambil kacamata hitam yang sudah rusak di lantai. “Milikmu?” tanyanya sambil menyodorkannya ke Linda. Linda mengambilnya, namun tetap tak berucap sepatah kata pun.
Beni melihat hape Linda yang berada di pojok ruangan. Ia mengambilnya dan membukanya. Teryata di-password.
“Apa password hape mu?” tanya Beni.
Linda diam seribu bahas dan berusaha mengambil hape miliknya. Siapa pula mau kasih password hape ke orang tak dikenal. Namun Beni berkelit.
Beni mentatap tajam, setajam saat ia menatap Andrea tadi. Ia mendesak Linda sampai mundur ke pintu WC bilik keempat yang terkunci. “BANGK!” bunyi material kayu berlapis seng. Beni memukul pintu itu dengan telapaknya kirinya, tepat di samping kepala Linda. Tangan dan tubuhnya begitu dekat melewati batas intim, menguncinya. “Mau apa kamu?” tanya Linda agak takut.
“Password…”
“Gak tahu lupa,” jawab Linda.
Beni ketawa sinis. “Lupa? Oh, ok, gue ada cara untuk membuat lo ingat.” Ia berjalan ke pintu masuk WC dan menutup pintunya. Perlahan sinar matahari mulai menghilang dan WC menjadi gelap. Hanya samar-samar terlihat bayang-bayang keduanya.
“Mau apa kau?” tanya Linda gelisah.
Beni melangkah mendekat. “Kalau kamu tidak mau terjadi apa-apa denganmu, kasih aku password hapemu.”
Linda akhirnya mengalah dan membukakan akses hapenya.
Beni mengotak-atik hape itu.
Linda bergumam, “Tidak sopan!”
Beni tertawa sinis. “Aku tidak budek.”
Setelah beberapa selang berlalu.
“Masih berapa lama lagi, kembalikan!” Linda menyodorkan telapak tangannya, menuntutnya miliknya.
“Sabar, sabar, anak zaman sekarang selalu ingin serba instan…,” ucap beni menirukan omongan para orang tua. Ia mengangkat hape Linda dan menunjukkan layarnya. “Aku sudah memasang aplikasi panggilan darurat. Tinggal geser tombol ini, maka kamu akan langsung terhubung denganku. Tanpa perlu lama-lama input password. Aku akan bisa mengetahui lokasimu dan mendengar suaramu. Gunakan ini kalau kamu di bully lagi. Sekarang minta surat izin dan pulanglah ke rumah. Gue antar ya ke ruang BK.”
Linda mencomot hapenya “Gue bisa sendiri, gak butuh bantuan lo,” tolak Linda. Ia buka hapenya dan mencari aplikasi yang baru saja dipasang oleh Beni dan hendak menghapusnya. Tapi tidak bisa. Aplikasi itu selalu meminta konfirmasi kepada hape lain yang terhubung.
“Apa yang kau lakukan dengan hapeku?” tanya Linda, “Ah sudahlah…” seraya berjalan ke luar WC sambil menabrak pundak Beni. Buk!
“Ayolah, tak usah sungkan,” kata Beni.
Linda tak menjawab dan membuka pintu WC.
“Linda, aku ingin mengenalmu! Jika ada kesempatan.”
Deg. Jantung Linda berhenti berdetak sedetik mendengar namanya dipanggil. Kontol! Lalu ia lanjut pergi meninggalkan Beni.
Linda sedang berada di ruang BK untuk mengurus izin untuk pulang lebih awal kepada Bu Lope. Guru BK yang badannya seperti jelly. Lemak-lemaknya tak dapat bersembunyi dari pakaiannya dan bergoyang-goyang memantul jika dia bergerak atau berjalan. Selagi keduanya berbicara, Linda mulai merasa menggigil. Uap putih keluar dari mulutnya. “Apakah kamu tak apa-apa?” tanya guru BK. Linda menatap ke atas ke arah pendingin ruangan. Tapi AC itu mati. Sementara di luar matahari juga bersinar cerah. Linda menggeleng merespon pertanyaan Bu Lope. Ia menghela nafas. Ia selalu mengalami kedinginan bila ada sesuatu yang tidak baik. Energi astral negatif yang kuat. Setelah ini biasanya akan ada kejadian yang tidak baik, cepat atau lambat. Bisa dikatakan mirip Spider-sense milik manusia laba-laba. Fitur khusus yang bisa merasakan adanya bahaya. Ia memiliki kelebihan ini sudah sejak kecil. Biasanya ia selalu menghindar dan tidak mau tahu. Kemampuannya ini membuat
Kekacauan di SMAN 696 memanggil orang nomor satu di sekolah turun gunung. Pak Juniadi, kepsek jangkung berkacamata dengan sigap mengelola keadaan, “Kumpulkan semua korban di gedung serba guna. Ruang UKS tak cukup. Berdayakan dokter kecil untuk pertolongan pertama. Telpon rumah sakit, minta ambulan. Pulangkan anak-anak lain agar jangan sampai jumlah korban, khususnya wanita, bertambah.” Ruang serba guna di area belakang sekolah. Gedungnya paling bagus, paling baru. Bisa menampung sekitar tiga ratusan orang. Tinggi langit-langitnya mencapai 4 meter. Fasilitas ini digunakan untuk acara kelulusan, peribadatan dan sebagainya. Pak Juniadi terlihat serius. Ada sekitar 50-an siswi yang mengalami kejadian aneh ini. Mungkin ini waktunya untuk wanita itu turun tangan lagi, pikirnya. “Panggil Ibu Florensia dan Laskar Rohani!” perintah Pak Juniadi. Seorang wanita tua bergegas menuju Ruang Serba Guna. Derap langkah sepatu seperti prajurit berbaris mengikut
Siswa dan siswi SMAN 696 tergesa-gesa meninggalkan sekolah. Mereka masih syok. Belum pernah dalam sejarah sekolah terjadi kerasukan aneh semacam itu. Di trotoar depan sekolah Linda menunggu angkot yang ke arah rumahnya. Ia ingin cepat-cepat pulang ke rumah. Matanya terasa perih, kering dan gatal. Di rumah mamanya bisa memperbaiki kacamatanya. Tiba-tiba sebuah mobil BMW hitam berhenti di depan Linda. Gerung mesinnya berkata, “Milyarraann.” Aneh, mobil semewah itu berhenti di sini. Ini bukan sekolah anak-anak tajir. Ini SMAN 696. Satu kaca jendela pecah saja sebulan baru ganti. Kaca jendela mobil itu perlahan turun. Di dalamnya tampak om-om gemuk berjas coklat, kemeja putih dan kancingnya terbuka hingga sedada. Usianya sekitar kepala empat. Ia meneguk sekaleng bir dan "Ahhh…" Om-om itu mengangkat kacamata hitamnya. Bola matanya menelanjangi Linda dari atas hingga bawah. Ia mengangguk ke atas dan bertanya “Berapa neng sejam?” Deg! Li
Rumah kontrakan satu lantai dengan lahan taman kecil di sekelilingnya. Di sisi kiri rumah terdapat garasi satu mobil yang beralih fungsi menjadi bengkel. Penuh peralatan dan barang, namun tertata. Tidak ada yang aneh di bengkel yang gelap itu. Kecuali, sebuah bangku terbalik di tengah ruangan dan tepat di atasnya berayun tubuh seorang wanita. Kriet…kriet… suara tali mencekik lehernya. Usia wanita tersebut sekitar 40 tahunan. Ia mengenakan kaos putih berlapis celana panjang kodok denim. Tak jauh, cahaya mentari menembus kaca jendela, menyinari sebuah bingkai foto handmade dari besi, berornamen susunan gir. Frame itu bersandar di meja, membingkai momen indah wanita itu memeluk Linda remaja yang jutek. Ya, wanita itu tak lain dan tak bukan adalah…. Ceklek! Linda membuka pintu garasi. “Mama?!” pekiknya syok. Ia segera menyalakan lampu dan melempar tasnya. Linda berlari mendekat. Alisnya mengernyit. Ia perhatikan kondisi mamanya d
Tujuh tahun yang lalu. Di sebuah rumah sakit. Satu keluarga. Suami, istri, dan dua anak mereka terbaring lemah di ranjang rumah sakit. Tubuh mereka terbalut perban di sana sini. Alat bantu nafas, sensor detak jantung, infus dan instrumen lainnya terpasang di sekujur badan mereka. Mereka tak dapat bergerak banyak karena parahnya luka-luka yang diderita. Gegar otak, patah tulang, memar, luka potong, dan sebagainya. Tiga hari yang lalu, sang ayah, tipe laki-laki yang sayang keluarga, mengangkat pemukul baseball dan hendak meremukkan kepala istri dan anak-anaknya. Seperti mimpi buruk yang orang tak bisa terbangun darinya. Semua berawal dari putri mereka bermain jelangkung. Dan yang datang dan tak mau pulang adalah satu makhluk astral yang memiliki kesenangan mempengaruhi sesama anggota keluarga untuk saling membunuh. Kini pandangan mereka tertuju pada malaikat penolong mereka yang berdiri di dekat pintu. Seorang wanita paruh baya berkulit sawo ma
Pangkaslah batang dan daun tanaman sampai habis, selama akarnya masih hidup, berilah air, maka tunas-tunas baru akan tumbuh lagi.Siska, tetangga Millia berkencan dengan mantannya, Soni di kafe jalan Amboa. Cinta lama itu bersemi kembali. Sebuah cinta yang terlarang, karena sebuah cincin telah melingkar di jari manisnya. Perjumpaan keduanya di mal empat bulan yang lalu, mengawali perselingkuhan mereka.Perpisahan Siska dan Soni bukan karena saling benci, melainkan karena tidak mendapat restu dari kedua orang tuanya. Bagi ayah dan ibu Siska, Soni bukanlah tipe laki-laki yang bertanggungjawab. Terlalu liar dan masih ingin berenang-senang, kata mereka. Namun bagi Siska, Soni adalah pria yang telah mengambil mahkota keperawanannya. Ia adalah pemilik hatinya.Orang tua Siska memperkenalkan Hans kepada Siska, seorang pria yang konservatif, kaku, mementingkan keamanan dan kepastian. Ciri-ciri laki-laki yang setia dan lebih menjamin di mata kedua orang tua Siska.
Kembali ke masa sekarang. Waktu menujukkan jam sembilan malam. Suasana sudah gelap, dan terdengar suara jangkrik mengirik.Kamar tidur Linda, dua kamar kecil yang bergabung jadi satu. Kamar yang satunya berasal dari hibah mamanya, karena tidak terpakai. Jeni lebih memilih tidur di dalam lemari ala Doraemon.Kamar anak perempuan remaja biasanya terpajang pernak-pernik yang manis dan lucu, foto-foto berisi momen-momen bahagia bersama keluarga atau teman di dinding, mungkin juga beberapa poster artis KPOP, dan di rak bukunya berbaris novel-novel romantis, atau chicklit. Akan tetapi Linda berbeda. Ia menggantung samsak 25 kg pada bracket besi yang terpasang di dinding kamarnya. Di tempat tidurnya tergeletak buku non fiksi “Portal Dunia Gaib.” Dan satu-satu foto yang ada di kamarnya adalah foto saat dia masih kecil bersama Jeni dan Millia, terbingkai dalam frame putih polos di meja. Kamar Linda nampak remang-remang. Hanya mengandalkan caha
Di halaman rumah Linda nampak sebuah gada besi kuning bergerak menyeret perlahan. Seolah ada yang menariknya, tapi tak terlihat siapa pun. Benda itu seperti pemukul baseball, tapi panjangnya setinggi bahu orang dewasa dan ujungnya menggelembung bulat sebesar dua kali tabung gas melon.“Seeeeekkkkkk,” suara ujung gada bergesekan dengan rerumputan tanpa jeda. Jejak garis tanah yang melesak dan rumput yang rata tergilas, menunjukkan berat benda itu.Gada itu berhenti pelan tepat di depan Jendela.“Kak Linda….” terdengar suara memanggil, menggema di kepala Linda. Linda bisa merasakan suara itu berbicara langsung ke dalam otaknya. Telepati. Entah kenapa suara itu membuat bulu kuduknya berdiri. Merinding seperti meriang.Linda sudah beberapa kali mengalami gangguan supranatural. Semuanya selalu memberikan pengalaman yang traumatik. Masalahnya juga dia tidak berdaya menghadapi hal-hal yang tak kasat mata. Hingga saat ini i
Kedua bibir Mbah Moen mengatup rapat, alisnya mengernyit, matanya menatap lekat mayat istrinya yang hancur untuk terakhir kali. Suami mana yang tak pedih melihat tubuh istrinya dikoyak-koyak tanpa hormat. Keparat! Akhirnya ia berbalik dan pergi. Tak ada yang bisa ia lakukan. “Hei! Mau kemana kau!?” hardik si Janggut melihat Mbah Moen melarikan diri. “Jangan pergi sebelum kau kasih tahu rahasiamu!” Amarah Mbah Moen berkobar seperti hutan rimba kebakaran akibat terik. Ia menyalahkan dirinya atas ketidakmampuan menyelamatkan istrinya. Semua itu harus ia tebus dengan penghukuman diri. Berlari Mbah Moen ke atas gunung secepat mungkin. Tapi langkahnya berat seperti tergandul bola besi. Nafasnya terengah-engah tak seperti biasa. Akibat perkara dunia memenuhi relung hatinya.
Meskipun dalam keadaan sekarat Mbah Asih masih bisa mengenali ekspresi suaminya. Mata yang teralih ke sana kemari, berfokus hanya kepada pendengarannya seakan ada suara datang dari berbagai arah. Setan laknat itu pasti sedang menggoda suaminya. Setan terkuat Gunung Wijen dikunci di dalam kerajaan gaibnya sendiri oleh Mbah Moen. Bukan karena Mbah Moen lebih kuat darinya melainkan makhluk itu telah salah langkah hingga terjebak. Sejak itu sosoknya tak dapat pergi meninggalkan kerajaannya sendiri. Namun demikian ia masih bisa melakukan kontak batin dari kejauhan dan kekuatannya masih bisa sedikit menggapai keluar. Itu alasan Mbah Moen mencegah orang-orang untuk naik ke gunung ini. Agar tidak ada manusia terjebak jeratan tipu muslihatnya yang sehalus jaring laba-laba dan menggoda hati manusia yang lemah. Hati yang haus dengan keinginan-keinginan yang tak tergapai. Selayak air menggoda kerongkongan yang kering. Bertetangga dengan makhluk astral semacam itu
“Selamatkan bayiku,” mohon ibu itu, mengangkat anaknya kepada Mbah Moen dengan gemetar. Kengerian tergurat di wajahnya, mengetahui kemungkinan anaknya tak kan hidup sampai esok hari. Ia tak peduli lagi dengan nyawanya. Asal buah hatinya selamat. Mbah Moen memandang bayi yang tak berdaya itu. Ia mengernyit, menghela nafas. Tak tega, tapi ia tidak mau turut campur dengan prahara dunia yang fana. Ia tak suka hatinya mendapat beban dilema seperti ini. “Anak yang tampan,” kata si Janggut dari belakang. Suara itu membuat adrenalin ibu itu banjir deras, matanya melotot lebar, alisnya mengernyit, jantungnya berdebar keras melihat tangan “malaikat pencabut nyawa” itu perlahan mencengkram kepala anaknya. Raut wajahnya semakin jelek melipat, seperti orang dipaksa meminum sesuatu yang sangat pahit. Air matanya berurai.
Mbah Moen, seorang juru kunci Gunung Merapi Wijen. Tubuhnya kurus kering. Tulang pipinya menonjol. Tingginya sudah menyusut lantaran usia. Bibirnya selalu tersenyum, seperti orang yang sudah tak memiliki beban hidup. Pekerjaan sehari-hari Mbah Moen menutup portal-portal gaib yang sering terbuka sebagai jalan masuk makhluk astral negatif ke gunung tersebut. Bila ada makhluk yang berhasil lolos, Mbah Moen akan menangkapnya dan menguncinya di satu tempat hingga tak bisa kemana-mana mengganggu. Mbah Moen sebagai seorang ahli kebatinan yang sensitif dapat merasakan energi negatif dari Hutan Terlarang yang melalang buana ke seluruh penjuru. Ia memukul-mukul tengkuknya yang terasa penat. Badannya kaku tidak enak akhir-akhir ini. Padahal sudah bertahun-tahun dia tidak pernah sakit. “Sini aku pijitin,” kata Mbah Asih, istrinya. Jari-jari tua keriput dengan ruas tulang jari menonj
Setan Kebaya Merah kembali bersemayam di Hutan Terlarang. Dari sana ia mengirimkan sinyal ke seluruh penjuru nusantara, mengundang orang-orang untuk datang. Mereka yang mengolah ilmu kebatinan pasti dapat merasakan denyut panggilan misterius yang menjalar di alam raya. Terasa begitu menggairahkan bagi mereka pencari kekuatan, namun meresahkan bagi mereka yang menginginkan kedamaian. Bencana gonjang-ganjing akan datang tak lama lagi. Hutan Terlarang. Hutan rimba misterius mistis. Hutan yang memiliki kesadaran. Siapa pun yang masuk akan tersesat berhari-hari. Kiri jadi kanan, kanan jadi kiri, depan jadi belakang, belakang jadi depan. Jauh dekat semua serba terbalik. Segala sensasi indera menipu. Tidak ada satu pun yang bisa dijadikan petunjuk di hutan itu. Masuk ke sana sama saja mati. Datang berombongan juga tak berguna. Hutan itu akan mencerai-beraikan. Teman
Di luar telah gelap. Rembulan enggan keluar. Nenek Min sedang berduka di rumah petaknya. Hanya suara jangkrik yang menemani di luar jendela. Ia duduk di depan meja. Di atasnya terdapat sebuah celupak — alat penerangan dari tanah liat berbahan bakar minyak kelapa dan minyak jarak. Api menyala di ujung sumbunya yang berbaring di cerat. Cahaya kuningnya menerangi ruangan remang-remang. Lidah api itu sedikit menari-nari, seakan mencoba menghibur wanita tua di hadapannya. Mata Nenek Min memandang ke api, cahaya itu menariknya dalam lamunan.Dua hari lalu rombongan Gatuk kembali dari pengejaran. Di belakang kudanya tergeletak tubuh Anggini yang diseret pakai tali. Kebaya merahnya compang-camping, kotor dengan darah dan debu. Wajah dan tubuhnya penuh luka beset dan baret. Rambutnya acak-acakan. Bahkan batang hidungnya sudah tak ada. Sama sekali tak terlihat, kalau dulunya ia seorang ratu sebuah negeri. Hati Nenek Min hancur melihat kondisi Anggini. Gatuk dengan bangga memperto
Pada tengah malam, Anggini dan Nenek Min menggali kuburan Zanna yang masih basah. Mereka masuk ke dalam liang, membongkar papan-papan penutupnya. Mayat anak itu sudah membengkak dan mengeluarkan bau busuk dari dalam kain kafan. Tubuhnya melunak. Darah dan cairan lain keluar dari tubuhnya. Anggini menutup hidung dan mulutnya dengan kain untuk mengurangi bau. Kemudian ia membungkus Zanna dengan kain pelapis tambahan. Kemudian Nenek Min membantu meletakkan mayat Zanna ke punggung Anggini, sambil Anggini mengikatnya ke tubuhnya dengan tali. “Aku akan pergi ke rumah orang tuanya, mempertemukan Zanna dengan keluarganya, dan menyerahkan obat ini.” “Ini gila, Anggini” Anggini memeluk Nenek Min, “Aku akan mewujudkan impian anak ini. Doakan agar aku berhasil.”
Anggini tanpa daya diseret-seret ke rumah penyiksaan Patah Arang.“Jangan, jangan bawa saya ke sana!” mohon Anggini ketakutan. Ia meronta-ronta, melawan, menahan sebisanya. Ia tak ingin kembali ke tempat itu. Rasa ngeri membuatnya gemetar.Tapi ia tak berdaya diseret dua laki-laki kekar ke sana. Rasa takutnya tak bisa dilukiskan dengan kata-kata.Setibanya mereka di rumah penyiksaan. Gatuk membuka sebuah kotak yang berukuran kecil, kurang lebih setengah badan wanita rata-rata. Terakhir kali Anggini melihat seorang wanita disiksa dan meninggal di dalamnya.“Masukkan dia ke dalam situ!”Anak buah Gatuk memaksa Anggini untuk menekuk tubuhnya, meringkuk seperti bayi dalam rahim agar ia bisa dimasukkan ke dalamnya. Baru setelah itu peti itu ditutup dan dikunci. Cahaya obor menembus sebuah lubang kecil yang berfungsi sebagai saluran udara. Tubuh Anggini hampir sama sekali tak bisa bergerak. Nafas terasa tidak nya
Hari istimewa tiba. Zanna berulang tahun. Anggini telah menyiapkan sebuah kejutan kecil untuknya. Dua buah gelang tembaga berbentuk Bunga Gladiol. Gladiol berasal dari kata Latin, Gladius yang berarti pedang. Umumnya dikenal sebagai Bunga Bakung. Bermakna ketulusan, kemurahan hati, serta pendirianteguh. Anggini sengaja memilih bunga itu sebagai simbol asa Zanna meraih mimpi, menembus segala rintangan yang ada dengan kedua tangannya, diiringi kerendahan hati dan tetap setia pada jati dirinya. Selain itu bunga itu biasanya mekar di bulan Agustus. Pas dengan bulan kelahiran Zanna.Anggini sudah tak sabar untuk menghadiahkan gelang itu, tapi ia menunggu waktu selesai bekerja. Agar ia, Nenek Min dan Zanna benar-benar dapat menikmati momen bersama itu dan membu