Hari mulai gelap kala Toni menggeber motor menembus jalan sepi di tengah perkebunan pinus. Rumah pamannya adalah tujuan yang membuatnya tak menggubris arahan Datuk untuk tetap diam dan menunggu instruksi darinya.
“Aku tak mau terlalu lama bersembunyi dalam pelarian yang tak jelas. Aku harus segera menguak fakta yang sebenarnya dan hidup normal sebagai diriku sendiri,” guman Toni.
Dua puluh menit berlalu, Toni sudah masuk ke kampung Sang Paman. Dia mulai melambatkan laju motornya. Suasana sepi sedikit membuatnya tenang dan berpikir polisi belum bergerak mencari dirinya. Namun, sekitar 50 meter lagi sampai di depan rumah pamannya, dia baru sadar ada tiga mobil yang terparkir di halaman rumah. Sialnya, ada tulisan polisi di dua mobil yang berwarna gelap.
Gelap malam dan lampu mobil polisi yang sengaja dimatikan membuat Toni tak menyadari keberadaan petugas di rumah pamannya tersebut. Segera menghentikan motornya, dia ancang-ancang memutar balik. Namun, terlambat! Dua orang polisi yang berdiri di dekat mobil kadung melihat kedatangannya.
“Hey! Berhenti!”
Toni tak menggubris, dia tetap memutar balik. “Berhenti atau kutembak, Kamu!” ulang satu polisi sambil mengacungkan pistol.
Tak peduli, dan yakin akurasi polisi akan buruk di tengah kegelapan malam, Toni langsung tancap gas. “Dor! Dor!” tembakan peringatan diletuskan. Polisi yang berada di dalam rumah pun berhamburan keluar.
“Ada apa?” tanya Inspektur Rudi yang merupakan pemimpin operasi pencarian Toni.
“Ada seorang mencurigakan menggunakan motor, Dan! Saat diperingatkan, dia malah kabur,”
“Tunggu apa lagi? Ayo kita kejar!”
Dua mobil polisi langsung meluncur mengejar Toni. Pengejaran yang cukup menegangkan pun dimulai.
Jalanan kosong dan menurun membuat target pengejaran jelas terlihat. Sialnya, untuk beberapa kilometer ke depan, Toni tak memiliki alternatif selain mengikuti jalan yang dia lalui saat berangkat tadi.
Dibayangi gemerlap lampu polisi dan sirine yang terus menyalak, sepanjang jalan Toni berusaha mencari celah di pinggir jalan agar dia bisa keluar dari jalur utama dan mempersulit pengejaran polisi. Menggunakan motor, dia diuntungkan karena bisa menerobos jalan setapak sekalipun. Sayang, gelap dan rapatnya pepohonan membuatnya ragu untuk mengambil keputusan.
Di belakang, inspektur Rudi pun tak tinggal diam, dia langsung meminta bantuan untuk menghadang Toni dari depan.
“Cek, Inspektur Rudi ke markas pusat!”
“Diterima, Pak Inspektur!”
“Kami dalam pengejaran diduga tersangka di wilayah bukit selatan kilometer lima. Mohon kirim petugas terdekat untuk menghadang di depan!”
“Siap! Laksanakan, Inspektur!”
Setelah 15 menit drama pengejaran, rute menurun akan segera habis. Toni memiliki sedikit peluang di depan, karena setelah masuk ke jalanan yang datar ada beberapa cabang jalan yang bisa dia gunakan untuk keluar dari jalur utama.
Tapi ternyata, masalah lain datang. Dari kejauhan Toni melihat kerlip lampu polisi di depannya. “Ah! Mereka sudah siap menghadangku di depan! Apa yang harus kulakukan?”
Semakin dekat dengan dua mobil polisi lain di depannya, Toni terpaksa memperlambat laju motor. Empat petugas polisi dengan empat revolver mengarah kepadanya semakin jelas terlihat.
“Jangan bergerak!” teriak salah seorang petugas polisi yang menghadang Toni.
Hanya berjarak 50 meter, Toni akhirnya menghentikan sepeda motor yang ditungganginya.
“Unit 103 kepada Inspektur Rudi, tersangka dalam jangkauan, izin untuk tindakan tegas dan terukur jika ada perlawanan!” lapor petugas penghadang ke Inspektur Rudi.
Sejenak keluar dari ketegangan pengejaran Toni, Benny didampingi Iyan, tangan kanannya, telah bergerak menuju lapas dengan membawa Mutiara, adiknya Toni. Bagi Mutiara, Benny memang bukan orang asing. Meski dengan tingkat sosial yang jauh berbeda, kedekatan Benny dengan kakaknya membuat mereka sering berinteraksi. Namun, situasinya kini berbeda. Dia tak nyaman dengan keberadaan Benny.
Kenapa harus Benny yang menjemputnya untuk proses identifikasi. Kenapa bukan polisi? Terlebih, ada Iyan yang ikut bersama mereka. Sosok yang keluarganya yakini bahwa dialah sebenarnya yang telah menghabisi nyawa Jerry Wijaya.
Perasaan tidak simpati keluarga Toni semakin bertambah kala Iyan diangkat menjadi direktur PT. FSS, First Security Servis, perusahaan jasa keamanan milik Benny yang semula dipimpin oleh Toni.
Tanpa pemeriksaan khusus, Benny, Mutiara, dan Iyan, langsung memasuki gedung lapas. Petugas penjaga tahu siapa yang datang dan mereka tak mau dapat masalah.
Hampir memasuki ruang klinik lapas tempat kedua jasad korban kebakaran berada, Kevin datang menghentikan rombongan Benny.
“Maaf! Sampai di sini saja, Pak Benny!”
Mendapati perlakuan yang kurang nyaman, Iyan langsung maju dan tak sabar untuk menghajar Kevin. Tapi Benny menahannya.
“Apa maksudmu? Kita datang untuk identifikasi korban!” tanya Benny kepada Kevin dengan nada santai tapi tegas. Rahangnya mengeras menandakan amarah yang sedang dia tahan.
“Betul, namun hanya saudari Mutiara dan ibunya yang tertera sebagai kerabat dekat pada berkas yang kami pegang,” jawab Kevin tak kalah santai.
“Hey! Jangan bercanda! Pak Benny dan Toni sudah seperti saudara!” sergah Iyan yang semakin marah menanggapi sikap Kevin.
“Oh, Dek Mutiara?” sapa Komandan Sipir yang keluar dari pintu klinik bersama seorang petugas forensik.
“Iya, saya.”
“Mari! Kita langsung saja biar lebih cepat,” pinta petugas forensik setelah menerima aba-aba dari komandan sipir.
Mutiara yang dari tadi tak banyak bicara langsung masuk mengikuti arahan petugas forensik.
“Maaf Tuan Benny, sesuai prosedur dan menjaga perasaan keluarga korban, kita hanya bisa menginzinkan anggota keluarga dalam proses identifikasi ini,” Komandan Sipir mencoba menenangkan Benny yang masih terlihat marah.
Sambil melirik tajam ke arah Kevin, Benny hanya mengangguk, “Ok… tak masalah!”
Tak lama, Mutiara pun keluar ruangan. Benny yang sangat menunggu hasil identifikasi langsung menanyainya, “Gimana Tiara? Benar itu Toni?”
Alih-alih menjawab, Mutiara malah terisak dengan air mata yang mulai menuruni kedua pipinya.
“Ya, Tuhan! Sudahlah… yang sabar, Sayang! Kamu kuat, kamu kuat, Tiara…” Tiara menjatuhkan tubuhnya di pelukan Benny. Meski ingin mendapat jawaban langsung, Benny akhirnya memilih untuk tidak melanjutkan pertanyaannya.
“Gadis pintar!” guman Kevin sambil balik kanan dan beranjak pergi. Bibirnya tersenyum, hatinya lega karena Mutiara telah mampu memerankan perannya dengan baik.
Sedikit sentuhan emosi, Mutiara telah berhasil mencegah Benny bertindak lebih jauh guna memastikan kematian Toni. Jika tidak, bisa saja dia memaksa ikut melihat jasad korban atau bahkan meminta dilakukannya tes dna.
Lancar urusan di lapas, masih berbanding terbalik dengan Toni yang belum bisa lolos dari kejaran polisi. Bahkan, kini posisinya sudah terdesak.
“Tahan! Tunggu sampai kami mendekat. Jangan lakukan tindakan apapun selain menahannya di tempat. Target belum teridentifikasi!” jawab Inspektur Rudi.
“Siap, Dan!”
Hanya selang beberapa detik dua mobil pengejar sudah merapat di posisi Toni terhenti. Inspektur Rudi langsung keluar mobil dan memberikan instruksi untuk Toni.
“Jangan bergerak! Kamu sudah terkepung!”
Dengan pistol semi otomatis mengarah ke Toni, Rudi mulai mencoba mendekat.
“Matikan motor! Turun dengan tangan di atas!” ucap Rudi kembali.
Meski sudah berpengalaman, kali ini dia tak bisa gegabah karena belum bisa memastikan orang yang dihadapinya bersenjata atau tidak. Di sisi lain, identitas pemotor yang masih belum diketahui juga membuatnya tak bisa bertindak lebih tegas.
Dalam situasi genting itu, tak ada reaksi dari Toni. Dia tetap di atas motor dengan kondisi mesin menyala.
“Sekali lagi, saya peringatkan! Angkat tangan dan turun dari motor! Cepat, atau kami ambil tindakan!” Rudi mulai hilang kesabaran.
Memberi isyarat dengan tangannya, dia meminta anggotanya menyebar untuk perlahan mendekati Toni. Sang Buronan pun kini dalam posisi yang benar-benar terdesak. Bayangan jeruji besi kembali tergambar jelas di benaknya. “Celaka!”
“Ya Tuhan, bagaimana ini?” Toni yang kini berada dalam kepungan polisi merasa sudah tak mungkin lagi melanjutkan pelarian yang baru saja dimulainya. Meski berat, dia berpikir, menyerah adalah pilihan terbaik untuknya saat ini.“Ah, kenapa aku tak turuti Datuk dan diam di persembunyian! Terkepung, aku lebih baik menyerah!” sesal Toni dalam hati. Melepas pegangannya pada stang motor, dia bersiap untuk berdiri dan mengangkat ke dua tangannya.Tapi, tiba-tiba sebuah suara terdengar jelas ditelinganya, “Toni! Apa-apaan ini? Sedang apa kamu di luar?”“Apa?” Toni terkejut dan berusaha mencari sumber suara. Tak mungkin itu suara dari salah satu polisi yang mengejarnya.“Toni, ini Datuk!”“Oh... dimana? Aku tak melihatmu, Datuk?” tanya Toni tergesa. Ketegangan tergambar jelas dari nafasnya.“Saya bicara lewat speaker di helm yang kamu pakai. Ada radio di motormu yang terhubung pada speaker dan mic pada helm. Kamu bingung, ya?” terang Datuk.“Ah, tentu saja! Kamu pasti tak pernah berpikir ada m
“Antar Mutiara ke mobil, Yan! Saya ada perlu dulu. Kalian tunggu sebentar di mobil!” pinta Benny kepada Iyan yang ditanggapi anggukan.Meski bahasa tubuh Tiara cukup meyakinkan Benny bahwa kesedihan gadis remaja itu adalah ekspresi kehilangan atas kakaknya, namun dia perlu kepastian lebih. Terkait itu, Benny meminta waktu kepada Iyan dan Mutiara untuk menemui seorang napi yang sudah lama dikenalnya di lapas itu.“Halo, Jimmy! Apa kabar?” sapa Benny kepada mantan pengawal setia keluarganya yang kini menjadi pesakitan tersebut.Sebelum masuk penjara, Jimmy adalah bawahan paling loyal dari keluarga Liem. Sosoknya yang tegap dan kuat selalu menyertai kemana pun Sanjaya Liem pergi. Bahkan, masuknya dia ke penjara pun tak lain untuk menutup keterlibatan Benny dalam kasus narkoba yang tak bisa ditutupi oleh beking mereka. Harus ada tumbal!“Baik! Kenapa, Ben?” Jimmy bertanya balik dengan nada dingin.“Sudahlah, Jim! Yu, di sini bukan karena aku juga yang memohon-mohon, kan? Kita saudara! Sed
“Toni tewas!” ucap Benny yang baru memasuki ruang kerja ayahnya, Sanjaya Liem.“Kamu yakin?” tanya Tuan Liem tanpa mengubah posisi duduknya.“Entahlah! Mutiara sudah mengidentifikasi mayatnya. Jimmy juga mengiyakan.”Tuan Liem menghela nafas panjang untuk kemudian berucap dingin, “Ya sudah, paling tidak satu masalahmu selesai, kan?”“Jangan terlalu kasar begitu, Papah! Toni itu memang berbahaya!”“Tak ada yang bisa dilakukan orang mati kan, Ben!” ujar Tuan Liem sambil menyandarkan bahunya. “Lagian, apa bahayanya seorang Toni untukmu? Bukankah, dari masih hidup, digiring ke penjara saja dia tak bisa apa-apa?” lanjut Tuan Liem dengan nada sinis.Mendengarnya, Benny langsung melempar tatapan tajam ke arah ayahnya untuk kemudian beranjak pergi. Sudah seperti anak sendiri, bagaimanapun Sanjaya Liem begitu menyayangi Toni. Pembicaraan Benny tentang Toni hanya akan memicu pertengkarannya dengan Sang Ayah.“Oh ya, salam dari Jimmy untukmu, Pah!” tutup Toni sebelum benar-benar keluar dari kant
“Tok, tok, tok!”Mendengar pintu kiosnya diketuk, Toni bergegas menuju pintu depan. “Dokter bedah, kah?” guman Toni sambil mengintip di lubang kunci. “Lah, kok mobil toko onderdil?” heran Toni saat membaca tulisan ‘Paris Motor’ di badan mobil pick up yang terparkir di halaman kios. Meski ragu, perlahan dia tetap membuka pintu.“Hai, Tuan Adam! Ini katalog baru kita, Tuan! Banyak spare part impor yang baru datang. Silahkan dicek!” seru seorang asing sambil membuka selembar kertas di depan Toni.“Apaan, sih? Kamu siapa?” tanya Toni kebingunan.“Ya, benar! Semua pesanan sudah ada di
Tak mau buang waktu, pagi itu Yoga langsung menghampiri ruang monitor keamanan lapas guna mencari rekaman cctv di sekitar waktu peristiwa kebakaran terjadi.“Pagi!” sapa Yoga kepada Budi yang bertugas di ruang monitor keamanan lapas.“Pagi! Eh, Pak Yoga! Ada apa pagi-pagi udah ke sini, Pak?”“Biasa… boleh lihat rekaman cctv, Pak Budi?”“Oh. Yang kapan, Pak Yoga?”“Kemarin siang!”“Waktu kebakaran, ya?”“Ya!”“Wah, rekaman kemarin belum kita report ke Pak Kevin. Pak Yoga, udah konfirmasi?”Menerima permintaan Yoga, Budi tak bisa langsung mengabulkan. Penanggung jawab bagian monitoring keamanan harus menjadi orang pertama yang melakukan pengecekan untuk setiap rekaman yang diindikasikan penting atau berkenaan dengan peristiwa tertentu. Tujuannya mencegah risiko kerusakan atau penyalahgunaan rekaman oleh pihak luar. Penanggung jawabnya itu sendiri adalah Kevin.“Halah, ngapain aku lapor Kevin! Cuma lihat kok, nggak aku minta juga!” jawab Yoga dengan nada naik. Yoga marah dengan sikap Bud
“Hey, Ton! Sini! Ikut aku ke belakang!”Toni yang tengah mengepel lantai menoleh ke arah sumber suara. Ia mengangguk, menyandarkan gagang pel pada dinding yang paling dekat, untuk kemudian mengikuti instruksi dengan berjalan ke belakang gedung lapas.Sebagai napi yang tak memiliki kuasa apapun di hadapan petugas, Toni Haryadi hanya bisa mengikuti perintah Kevin Tan—sipir yang baru dua bulan bertugas di rumah tahanan yang sudah dua tahun terakhir ini dia tinggali.“Gue lebih nyaman ngobrol di sini,” ucap Kevin setelah mereka berdua berada di belakang bangunan lapas.“Ok... ada apa?” tanya Toni dingin.“Gue denger Lu transaksi kemarin?” Kevin malah balik bertanya.“Apa buktinya?” timpal Toni dingin.“Heh! Lu mau membusuk di sini! Sial!” bentak Kevin sambil mencengkeram kerah baju tahanan Toni. Dia kesal mendapati respon Toni yang seolah tak peduli dirinya sedang dalam masalah.Berusaha tenang, dia melepaskan genggamannya hingga Toni hampir jatuh dibuatnya.“Ton! Lu harus bersyukur dulu
“Tembok belakang jebol!” seorang sipir berteriak sambil berlari untuk memastikan keadaan di belakang gedung.“Kenapa? Siapa yang ngejebol? Bukankah semua napi ada di dalam?” tanya komandan sipir geram.Dengan nafas terengah, seorang sipir yang baru berhasil keluar dari dalam gedung pun memberi penjelasan, “akibat ledakan tabung elpiji, Pak! Agar tidak meledak di dalam, satu tabung dilempar ke belakang dari atas pos pemantau!”“Kamu yang lempar?”“Iya, Dan!”“Hebat! Heh, tak sadar kalau di tengah gedung juga ada taman! Kenapa nggak kamu lempar ke sana?”“Saya tak mau ambil risiko, Dan? Massa di dalam terpencar, membiarkannya meledak di dalam bisa memakan korban.”“Mmmh! Pastikan tak ada yang kabur lewat belakang atau kamu tahu akibatnya!” ancam Sang Komandan geram. “Tiga orang lagi segera ke belakang gedung!” lanjutnya.Sang Sipir apes pun hanya terdiam tak percaya tindakan heroiknya malah mengakibatkan ancaman.“Ganjar, kamu sisir selokan, kami bertiga langsung cek ke jalan!”Ganjar,
“Selamat datang, Tuan Adam!” Seorang laki-laki tua tiba-tiba menghampiri Toni yang baru menyeberang jalan menuju sebuah tiga deret kios seperti yang ditujukan sopir van tadi.Toni yang bingung hanya mengangguk dan mendekati orang tua yang menyapanya itu. Baginya, kini tak ada pilihan lain. Lagian, tak mungkin juga Pak Tua itu salah orang karena di sepanjang jalan itu hanya ada dirinya dan Pak Tua. Toni hanya terheran kenapa namanya berubah menjadi Adam?“Mau langsung masuk saja, Tuan Adam!”“Ya! Boleh, Pak!”“Panggil saja saya Abah! Di sini, saya lebih dikenal dengan sebutan itu.”“Oh... baik, Bah!”Krek, pintu kios ujung terbuka. “Silahkan! Jika ada perlu apa-apa saya ada di kios pertama itu” ujar Abah sambil menunjuk ke arah belakang dia berdiri.Toni hanya menjawab dengan senyuman.“Saya permisi dulu!” lanjut Abah sambil membalikan badannya untuk kembali.Namun, belum juga dia melangkah jauh Toni menyelanya, “Bah!”“Iya, Tuan?”“Kenapa Abah mengenaliku?” Toni penasaran kenapa Pak T