“Ya Tuhan, bagaimana ini?” Toni yang kini berada dalam kepungan polisi merasa sudah tak mungkin lagi melanjutkan pelarian yang baru saja dimulainya. Meski berat, dia berpikir, menyerah adalah pilihan terbaik untuknya saat ini.
“Ah, kenapa aku tak turuti Datuk dan diam di persembunyian! Terkepung, aku lebih baik menyerah!” sesal Toni dalam hati. Melepas pegangannya pada stang motor, dia bersiap untuk berdiri dan mengangkat ke dua tangannya.
Tapi, tiba-tiba sebuah suara terdengar jelas ditelinganya, “Toni! Apa-apaan ini? Sedang apa kamu di luar?”
“Apa?” Toni terkejut dan berusaha mencari sumber suara. Tak mungkin itu suara dari salah satu polisi yang mengejarnya.
“Toni, ini Datuk!”
“Oh... dimana? Aku tak melihatmu, Datuk?” tanya Toni tergesa. Ketegangan tergambar jelas dari nafasnya.
“Saya bicara lewat speaker di helm yang kamu pakai. Ada radio di motormu yang terhubung pada speaker dan mic pada helm. Kamu bingung, ya?” terang Datuk.
“Ah, tentu saja! Kamu pasti tak pernah berpikir ada motor secanggih ini, kan? Asal kamu tahu, motor ini juga dilengkapi GPS, Ton! Kilo meter 20 jalan Bukit Selatan? Sedang apa kamu?” lanjut Datuk dengan bangga tanpa tahu Toni dalam kondisi genting.
“Syukurlah!”
“Ya, kamu beruntung dapet motor ini!”
“Tak seberuntung itu, Datuk! Aku sedang dikepung polisi!”
Mendengar jawaban Toni, Datuk kaget bukan main dan marah, “Hah? Konyol kamu, Ton! Apa sih mau, Kamu?”
“Sudahlah Datuk! Aku benar-benar minta maaf! Tak ada jalan lain, aku harus menyerah! Maaf....”
“Dengar! Berakhir di situ berarti semua rencana kita gagal, dan kamu akan lebih lama di penjara! Ikuti apa kata saya!” potong Datuk.
“Aku harus bagaimana?”
Datuk baru tahu pergerakan Toni saat dia menyalakan layar monitor. Meski kesal atas ulah gegabah Toni, demi rencana besarnya, dia berusaha bersabar dan mencoba untuk mengeluarkan Toni dari situasi sulit yang kembali menjeratnya.
“Perlahan belokan stang motormu ke kanan, setelah mengarah ke sana, tancap gas dan masuk ke dalam!”
“Datuk! Mereka bisa menembakku! Tak ada jalan juga di sebelah kanan. Hanya kebun!”
“Tidak! Mereka belum tahu itu kamu Toni. Jangan buang waktu, cepat terobos kebun itu, kita terus komunikasi. Cuma itu peluangnya!”
“Baiklah!”
Mengejutkan polisi, Toni, buruan yang hampir mereka ringkus tiba-tiba mengarahkan motor dan melesat memasuki belukar gelap.
“Berhenti! Dor, Dor!” teriak Rudi diikuti letusan tembakan peringatan. “Sial! Mau kemana dia?” umpat Sang Inspektur kemudian.
Toni tak menggubris peringatan polisi, dia terus menerobos ke dalam kebun yang dipenuhi pohon dan belukar. Di kegelapan dia tak tahu sampai mana harus melajukan motornya. Nasibnya kini sangat tergantung pada Datuk yang memonitor pergerakannya melalui layar.
“Kemana lagi, Datuk?”
“Terus lurus!”
“Ok! Tapi jika medannya seperti ini terus, mereka bisa mengejarku!”
Tak seperti kebun yang terurus, tekstur tanah dan vegetasi tanaman di lokasi yang Toni masuki tidak beraturan. Sesekali dia dikagetkan dengan pohon yang tiba-tiba menghadang di depan, atau tekstur tanah tak rata dan banyak bebatuan.
“Kamu! Dua mobil tetap awasi kondisi jalan. Dia pasti kembali ke jalur ini!”
“Siap, Dan!”
“Yang lain, ikuti saya!”
Rudi meminta dua mobil bantuan tadi untuk mengawasi jalan dan berjaga jika buruannya kembali ke jalan utama. Sementara sisanya, dia bawa untuk langsung mengejar target dan masuk ke kebun. Mobil mereka tinggalkan karena tak mungkin digunakan.
“Ayo cepat! Dia tak mungkin secepat di jalanan!” seru Rudi mengulang perintahnya. Dia melihat anak buahnya seperti ragu memasuki kebun.
“Siap, Dan. Tapi kita tak mempersiapkan banyak senter!”
“Ah, ada-ada saja kalian! Dua orang balik sana, nyalakan lampu sorot mobil!” sergah Rudi sedikit marah.
Asumsi Rudi ternyata benar. Semakin masuk ke dalam, Toni semakin sulit menggeber motornya. Meski motor yang dinaikinya memiliki spesifikasi off road, kondisi gelap membuat dia harus lebih berhati-hati.
“Datuk! Aku harus bagaimana? Ini tak bisa diteruskan, medannya tak dapat ditebak! Ah, sial!” umpat Toni mulai putus asa.
“Sedikit lagi, Ton!”
“Sedikit bagaimana?”
“20 meter di depan ada selokan. Kamu masuk ke sana, ambil kiri menuju utara. Ikuti selokan!”
Mau tak mau, Toni pun tetap mengikuti arahan Datuk.
Saat Toni kian tersudut, di tempat lain, Yoga segera melaporkan situasi di lokasi dirinya berada kepada komandan sipir melalui panggilan telepon.
“Lapor, Dan! Ada orang mencurigakan muncul menggunakan motor!”
“Lokasi?”
“Kami sedang melakukan pencarian di rumahnya Anton. Pamannya Toni, Dan! Kita baru selesai melakukan penggeledahan. Sebagian polisi kini sedang mengejar orang asing tadi!”
“Ok, Pak Yoga!”
“Di sini clear! Kita segera meluncur untuk ikut dalam pengejaran, Dan!”
“Tak perlu!”
“Hah? Kenapa, Dan?” tanya Yoga terheran dengan perintah komandannya.
“Mayat Toni ada di sini!”
“Maksudnya, Dan?”
“Adik Toni meyakini satu korban kebakaran adalah kakaknya!”
“Loh? Lantas, siapa orang yang tadi lari?”
“Entahlah,” ujar Komandan Sipir seperti tak antusias dengan cerita Yoga. Bagaimanapun, ini terkait dengan reputasinya. Toni menjadi korban kebakaran adalah fakta yang jauh lebih baik daripada dia kabur dari tahanannya.
“Tapi… Ya sudah, Pak Yoga, susul saja polisi untuk memastikan, ya!” sambung komandan dengan maksud tak memberi kesan bahwa dirinya tidak peduli atas laporan bawahannya.
“Baik, Dan!” tutup Yoga dengan wajah bingung.
Kembali ke drama pengejaran polisi, Toni belum juga mampu meloloskan diri. Kesulitan menguasai medan membuat dia tak dapat terlalu jauh menjaga jarak dari Rudi dan tim yang terus berlari mengejarnya.
Berusaha terus melaju, Toni akhirnya sampai ke pinggir selokan yang diinfokan Datuk. Tapi, rupanya itu bukan kabar terlalu baik. Dia terpaksa segera berhenti kala ban depan motornya hampir masuk di bibir selokan.
“Lah, salurannya dalam! Aku berada sekitar tiga meter di atas selokan, Datuk!” teriak Toni.
“Tenang, Toni! Sejak kapan kamu jadi cengeng seperti itu?”
“Tapi ini terlalu tinggi!”
“Oh? Sorry Ton, dari layar saya tak bisa begitu jelas membedakan ketinggian permukaan tanah! Coba cari sisi lain!”
“Sama aja! Ah, mereka mulai mendekat!” Toni kembali panik mendapati cahaya senter polisi bergerak ke arahnya.
“Ya sudah, loncat saja! Lebih dari tiga meter pun tak masalah, sobreker motormu dirancang untuk tahan benturan.”
“Iya! Tapi aku tidak, Datuk!”
“Coba dulu! Atau mau tunggu polisi menggusurmu?”
“Ah, sialan!” umpat Toni.
Sementara itu di belakang, semangat Rudi kembali naik saat melihat motor yang dikendarai Toni berhenti. “Hmm... terjebak kamu, ya!” bisiknya sambil tersenyum.
Sudah bukan waktunya lagi untuk menyerah, akhirnya Toni menarik mudur kuda besinya untuk mengambil ancang-ancang. Kaki kirinya menginjak pedal rem dan tangan kanannya mulai memainkan gas. Dirasa siap, rem pun dia buka, dan, “Breemmm... dug!”
Sepeda motor itu terbang dan Toni terjatuh meski tak sampai lepas dari motor. Pendaratannya kurang sempurna karena terlalu bertumpu pada sokbreker depan. Beruntung, dia masih bisa bangkit dan kembali mengemudikan motornya.
“Gila! Dia loncat! Arrgh!” Rudi geram melihat targetnya nekat loncat ke selokan. Tahu tak mungkin dia ikut turun dan mengejar, dia segera menghubungi petugas penghadang di jalan.
“Target lari ke utara lewat selokan, bersiap di petemuan jalur!”
“Siap! Laksanakan, Dan!”
Relatif datar, jalur selokan ternyata lebih nyaman untuk dilalap motor trail yang dikendarai Toni. Walau kakinya sedikit terkilir, dia masih bisa bersorak girang, “Wuuuhuu! Berhasil, Datuk! Hahaha... ”
“Ok! Jangan terlalu senang, Ton! Lantas kamu mau kemana sekarang?” tantang Datuk yang masih kesal dengan ulah Toni.
Toni terdiam. Bagaimanapun, dia tak tahu wilayah yang sekarang dimasukinya. “Selokan ini berakhir dimana?” tanya Toni kemudian.
“Tuh, kan!” umpat Datuk kesal. Menghela nafas, dia lalu melanjutkan, “Di ujung sana, selokan akan memotong jalan utama.”
“Ok! Aku masuk ke jalan utama lagi di sana, ya?”
“Jangan! Di sana polisi pasti sudah menunggumu!”
“Mereka tadi mengejarku sampai bibir selokan. Takkan sempat menghadangku di sana, Datuk!”
“Toni... Toni, penjara rupanya tak memberimu gizi yang cukup! Mereka tak sebodoh itu!”
“Lantas?”
“Dengar! Saat selokan mulai berbelok, kamu matikan lampu motor, dan kembali naik. Jalan lurus sampai kamu rasa cukup jauh dari jangkauan polisi, baru ambil kiri dan baru masuk ke jalan utama! Paham?”
“Baik, Datuk!”
“Satu lagi!”
“Ya?”
“Berhenti di kilometer 24, ada orang yang saya minta meneruskan jejak motormu. Kamu turun dan balik ke kios!” tutup Datuk dengan nada tegas.
“Antar Mutiara ke mobil, Yan! Saya ada perlu dulu. Kalian tunggu sebentar di mobil!” pinta Benny kepada Iyan yang ditanggapi anggukan.Meski bahasa tubuh Tiara cukup meyakinkan Benny bahwa kesedihan gadis remaja itu adalah ekspresi kehilangan atas kakaknya, namun dia perlu kepastian lebih. Terkait itu, Benny meminta waktu kepada Iyan dan Mutiara untuk menemui seorang napi yang sudah lama dikenalnya di lapas itu.“Halo, Jimmy! Apa kabar?” sapa Benny kepada mantan pengawal setia keluarganya yang kini menjadi pesakitan tersebut.Sebelum masuk penjara, Jimmy adalah bawahan paling loyal dari keluarga Liem. Sosoknya yang tegap dan kuat selalu menyertai kemana pun Sanjaya Liem pergi. Bahkan, masuknya dia ke penjara pun tak lain untuk menutup keterlibatan Benny dalam kasus narkoba yang tak bisa ditutupi oleh beking mereka. Harus ada tumbal!“Baik! Kenapa, Ben?” Jimmy bertanya balik dengan nada dingin.“Sudahlah, Jim! Yu, di sini bukan karena aku juga yang memohon-mohon, kan? Kita saudara! Sed
“Toni tewas!” ucap Benny yang baru memasuki ruang kerja ayahnya, Sanjaya Liem.“Kamu yakin?” tanya Tuan Liem tanpa mengubah posisi duduknya.“Entahlah! Mutiara sudah mengidentifikasi mayatnya. Jimmy juga mengiyakan.”Tuan Liem menghela nafas panjang untuk kemudian berucap dingin, “Ya sudah, paling tidak satu masalahmu selesai, kan?”“Jangan terlalu kasar begitu, Papah! Toni itu memang berbahaya!”“Tak ada yang bisa dilakukan orang mati kan, Ben!” ujar Tuan Liem sambil menyandarkan bahunya. “Lagian, apa bahayanya seorang Toni untukmu? Bukankah, dari masih hidup, digiring ke penjara saja dia tak bisa apa-apa?” lanjut Tuan Liem dengan nada sinis.Mendengarnya, Benny langsung melempar tatapan tajam ke arah ayahnya untuk kemudian beranjak pergi. Sudah seperti anak sendiri, bagaimanapun Sanjaya Liem begitu menyayangi Toni. Pembicaraan Benny tentang Toni hanya akan memicu pertengkarannya dengan Sang Ayah.“Oh ya, salam dari Jimmy untukmu, Pah!” tutup Toni sebelum benar-benar keluar dari kant
“Tok, tok, tok!”Mendengar pintu kiosnya diketuk, Toni bergegas menuju pintu depan. “Dokter bedah, kah?” guman Toni sambil mengintip di lubang kunci. “Lah, kok mobil toko onderdil?” heran Toni saat membaca tulisan ‘Paris Motor’ di badan mobil pick up yang terparkir di halaman kios. Meski ragu, perlahan dia tetap membuka pintu.“Hai, Tuan Adam! Ini katalog baru kita, Tuan! Banyak spare part impor yang baru datang. Silahkan dicek!” seru seorang asing sambil membuka selembar kertas di depan Toni.“Apaan, sih? Kamu siapa?” tanya Toni kebingunan.“Ya, benar! Semua pesanan sudah ada di
Tak mau buang waktu, pagi itu Yoga langsung menghampiri ruang monitor keamanan lapas guna mencari rekaman cctv di sekitar waktu peristiwa kebakaran terjadi.“Pagi!” sapa Yoga kepada Budi yang bertugas di ruang monitor keamanan lapas.“Pagi! Eh, Pak Yoga! Ada apa pagi-pagi udah ke sini, Pak?”“Biasa… boleh lihat rekaman cctv, Pak Budi?”“Oh. Yang kapan, Pak Yoga?”“Kemarin siang!”“Waktu kebakaran, ya?”“Ya!”“Wah, rekaman kemarin belum kita report ke Pak Kevin. Pak Yoga, udah konfirmasi?”Menerima permintaan Yoga, Budi tak bisa langsung mengabulkan. Penanggung jawab bagian monitoring keamanan harus menjadi orang pertama yang melakukan pengecekan untuk setiap rekaman yang diindikasikan penting atau berkenaan dengan peristiwa tertentu. Tujuannya mencegah risiko kerusakan atau penyalahgunaan rekaman oleh pihak luar. Penanggung jawabnya itu sendiri adalah Kevin.“Halah, ngapain aku lapor Kevin! Cuma lihat kok, nggak aku minta juga!” jawab Yoga dengan nada naik. Yoga marah dengan sikap Bud
“Hey, Ton! Sini! Ikut aku ke belakang!”Toni yang tengah mengepel lantai menoleh ke arah sumber suara. Ia mengangguk, menyandarkan gagang pel pada dinding yang paling dekat, untuk kemudian mengikuti instruksi dengan berjalan ke belakang gedung lapas.Sebagai napi yang tak memiliki kuasa apapun di hadapan petugas, Toni Haryadi hanya bisa mengikuti perintah Kevin Tan—sipir yang baru dua bulan bertugas di rumah tahanan yang sudah dua tahun terakhir ini dia tinggali.“Gue lebih nyaman ngobrol di sini,” ucap Kevin setelah mereka berdua berada di belakang bangunan lapas.“Ok... ada apa?” tanya Toni dingin.“Gue denger Lu transaksi kemarin?” Kevin malah balik bertanya.“Apa buktinya?” timpal Toni dingin.“Heh! Lu mau membusuk di sini! Sial!” bentak Kevin sambil mencengkeram kerah baju tahanan Toni. Dia kesal mendapati respon Toni yang seolah tak peduli dirinya sedang dalam masalah.Berusaha tenang, dia melepaskan genggamannya hingga Toni hampir jatuh dibuatnya.“Ton! Lu harus bersyukur dulu
“Tembok belakang jebol!” seorang sipir berteriak sambil berlari untuk memastikan keadaan di belakang gedung.“Kenapa? Siapa yang ngejebol? Bukankah semua napi ada di dalam?” tanya komandan sipir geram.Dengan nafas terengah, seorang sipir yang baru berhasil keluar dari dalam gedung pun memberi penjelasan, “akibat ledakan tabung elpiji, Pak! Agar tidak meledak di dalam, satu tabung dilempar ke belakang dari atas pos pemantau!”“Kamu yang lempar?”“Iya, Dan!”“Hebat! Heh, tak sadar kalau di tengah gedung juga ada taman! Kenapa nggak kamu lempar ke sana?”“Saya tak mau ambil risiko, Dan? Massa di dalam terpencar, membiarkannya meledak di dalam bisa memakan korban.”“Mmmh! Pastikan tak ada yang kabur lewat belakang atau kamu tahu akibatnya!” ancam Sang Komandan geram. “Tiga orang lagi segera ke belakang gedung!” lanjutnya.Sang Sipir apes pun hanya terdiam tak percaya tindakan heroiknya malah mengakibatkan ancaman.“Ganjar, kamu sisir selokan, kami bertiga langsung cek ke jalan!”Ganjar,
“Selamat datang, Tuan Adam!” Seorang laki-laki tua tiba-tiba menghampiri Toni yang baru menyeberang jalan menuju sebuah tiga deret kios seperti yang ditujukan sopir van tadi.Toni yang bingung hanya mengangguk dan mendekati orang tua yang menyapanya itu. Baginya, kini tak ada pilihan lain. Lagian, tak mungkin juga Pak Tua itu salah orang karena di sepanjang jalan itu hanya ada dirinya dan Pak Tua. Toni hanya terheran kenapa namanya berubah menjadi Adam?“Mau langsung masuk saja, Tuan Adam!”“Ya! Boleh, Pak!”“Panggil saja saya Abah! Di sini, saya lebih dikenal dengan sebutan itu.”“Oh... baik, Bah!”Krek, pintu kios ujung terbuka. “Silahkan! Jika ada perlu apa-apa saya ada di kios pertama itu” ujar Abah sambil menunjuk ke arah belakang dia berdiri.Toni hanya menjawab dengan senyuman.“Saya permisi dulu!” lanjut Abah sambil membalikan badannya untuk kembali.Namun, belum juga dia melangkah jauh Toni menyelanya, “Bah!”“Iya, Tuan?”“Kenapa Abah mengenaliku?” Toni penasaran kenapa Pak T
“Sudah bisa dipastikan itu jasad siapa?” tanya Komandan Sipir.Ditanya atasannya, Yoga langsung memberikan penjelasan, “Dari fostur dan beberapa saksi, itu jasad Badru, Pak! Tadi dia memang lagi di pantry, tadi baru angkut kiriman makanan dia.”“Satu lagi?”Tak ada yang menyahut, jasad ke dua memang mengalami luka bakar parah di area wajah. Tak ada satu pun sipir yang berani berspekulasi memastikan itu jasad siapa.“Hey! jadi mayat siapa, nih?” Sang Komandan geram karena tak mendapat jawaban dari anak buahnya.“Dari data napi, dimungkinkan itu adalah Toni. Hanya Badru dan Toni yang sekarang masih belum ditemukan,” cetus Kevin sambil membawa lembaran kertas yang berisi nama-nama napi.Komandan napi langsung menoleh ke arah Kevin, “Fisiknya? Kamu yakin itu mayatnya Toni?”“Fosturnya mirip, Dan!” jawab Kevin pelan.“Jangan pake asumsi, Anak Muda!” sanggah komandan tegas. “Keduanya akan diidentifikasi tim forensik dari kepolisian. Kamu Kevin, segera siapkan data yang dibutuhkan mereka! Yo