“Antar Mutiara ke mobil, Yan! Saya ada perlu dulu. Kalian tunggu sebentar di mobil!” pinta Benny kepada Iyan yang ditanggapi anggukan.
Meski bahasa tubuh Tiara cukup meyakinkan Benny bahwa kesedihan gadis remaja itu adalah ekspresi kehilangan atas kakaknya, namun dia perlu kepastian lebih. Terkait itu, Benny meminta waktu kepada Iyan dan Mutiara untuk menemui seorang napi yang sudah lama dikenalnya di lapas itu.
“Halo, Jimmy! Apa kabar?” sapa Benny kepada mantan pengawal setia keluarganya yang kini menjadi pesakitan tersebut.
Sebelum masuk penjara, Jimmy adalah bawahan paling loyal dari keluarga Liem. Sosoknya yang tegap dan kuat selalu menyertai kemana pun Sanjaya Liem pergi. Bahkan, masuknya dia ke penjara pun tak lain untuk menutup keterlibatan Benny dalam kasus narkoba yang tak bisa ditutupi oleh beking mereka. Harus ada tumbal!
“Baik! Kenapa, Ben?” Jimmy bertanya balik dengan nada dingin.
“Sudahlah, Jim! Yu, di sini bukan karena aku juga yang memohon-mohon, kan? Kita saudara! Sedikit bersikap hangat sepertinya tak berlebihan? Rokok?” tawar Benny sambil mengasongkan sebungkus rokok yang sudah terbuka.
Jimmy mengambil satu batang rokok dan menyulutnya. Setelah isapan pertama dia kembali bersuara, “Apa maumu, Ben?” tanyanya seolah tak peduli dengan basa-basi Benny. Dia memang begitu menghormati Ayah Benny, tapi tidak anaknya. Di matanya, Benny hanyalah anak manja pembuat masalah.
“Hmm... langsung saja! Aku perlu kepastian, Toni atau bukan?”
“Kenapa? Kamu takut dia lari dan balas dendam?”
“Haha... Apa salahku, Jim? Dia masuk bui karena ulahnya sendiri!”
“Ah, tak ada yang berubah denganmu, Benny! Kasian Tuan Liem!”
“Dengar!” sergah Benny sambil memukul meja tak terima dengan cetusan Jimmy. “Tak perlu kamu bawa nama ayahku! Sialan! Jawab saja, Toni atau bukan yang mati?” lanjutnya.
“Sst... sabar, Tuan Muda! Jangan pancing penjaga mengganggu reuni kita,” jawab Jimmy masih dengan santai. “Itu Toni. Tragis! Kasian dia!” sambung Jimmy.
“Kau pikir aku percaya? Seorang yang terlatih seperti Toni tak bisa sekadar buat menghindari api?” buru Benny tak puas dengan jawaban Jimmy.
“Dia ada di ruang makan saat tabung elpiji meledak, pingsan. Api terlalu besar di sana, kita tak berani masuk.”
Mendengar jawaban Jimmy, Benny hanya sejenak tertegun lalu bergegas bangkit untuk pergi tanpa basa-basi lagi.
“Hey, Bos!” sergah Jimmy sebelum Benny keluar ruang kunjungan napi. Benny pun menghentikan langkahnya dan kembali menoleh.
“Sampaikan salamku pada Tuan Liem!”
“Mmh…. Ok!” jawab Benny singkat.
Seperti arahan Datuk, semua berjalan relatif lancar. Toni berhasil mengelabui polisi yang belum juga sadar jika dia sudah lari jauh dari mereka. Seorang pemeran pengganti pun telah siap di kilometer 24 sebagaimana yang Datuk janjikan.
Toni segera menyerahkan sepeda motor kepada orang tersebut, begitupun dengan helm dan jaket yang dia kenakan. Tugasnya tinggal berusaha sampai ke kios tanpa menimbulkan kecurigaan siapapun.
“Belum juga muncul?” lapor petugas yang berjaga di jalur keluar selokan kepada Inspektur Rudi.
“Kami belum melihat pergerakan apapun dari arah selokan, Dan!”
“Aneh. Ini sudah selang 15 menit dari dia masuk selokan. Apa dia sembunyi?”
Inspektur Rudi yang berharap petugas di arah keluar selokan telah meringkus orang asing yang mereka buru heran dengan laporan anak buahnya. Secara hitung-hitungan harusnya pemotor itu lebih dulu sampai di persimpangan antara jalan dan selokan daripada dirinya dan tim yang tadi mengejarnya sampai bibir selokan.
“Apa dia mengambil jalan keluar lain? Bagaimana bisa? Arrggh!” umpat inspektur Rudi geram.
Selang beberapa kilo meter dari tempat Inspektur Rudi berdiri, dengan sedikit terpincang, Toni memasuki halaman kios. Diawasinya sekeliling sedetail mungkin. Dia was-was jika sampai ada orang yang memergokinya keluyuran dengan celana dan sepatu yang masih basah kuyup. Sepi! Hampir tengah malam, tepi batas kota itu memang bukan tempat favorit orang-orang yang hendak mengusir penat. Paling, satu dua yang menumpang lewat saja.
Masuk ke kios, Toni langsung ke kamar mandi untuk membersihkan badannya. Belum juga dia selesai, nada panggilan di handphone jadulnya kembali berdering.
“Ya?” sapa Toni yang hanya menggunakan bawahan.
“Udah di rumah kamu, Ton?”
“Tentu! Telepon ini tak pernah kubawa-bawa.”
“Baguslah!” Datuk menarik napas sejenak untuk kemudian melanjutkan, “Ton... denger! Apapun yang mau kamu lakukan, beri tahu saya dulu! Jangan lagi bergerak semaunya! Keselamatan kamu kini tanggung jawab saya juga!”
“Baik... maafkan aku, Datuk! Saya pikir mereka tak bergerak sampai ke rumah paman.”
“Dengar, Ton! Kamu mungkin bisa sedikit lega sekarang…”
“Iya... terima kasih sudah membantuku lolos dari kejaran polisi!” potong Toni tanpa menunggu Datuk selesai bicara.
“Bukan itu!” bantah Datuk dengan nada naik yang membuat Toni sedikit kaget.
Ceramah Datuk sepertinya mulai membuat Toni jengah. Dia pun ikut meninggikan suaranya, “Apalagi? Apa ada bantuanmu yang belum kusebut, hah?”
“Mmh…. kok sensitif gitu, Ton? Haha….” sindir Datuk sambil tertawa. Tak ada respon dari Toni, Datuk menghentikan tawanya dan melanjutkan, “Ton, dengar! Kamu sudah dikabarkan mati sebagai korban dari kebakaran lapas!”
“Hah?” Toni tercengang. “Kenapa bisa? Siapa yang tewas di kebakaran tadi siang?” sambungnya.
“Badru… dan satu lagi yang mereka simpulkan adalah kamu.”
Toni begitu terkejut mendengar berita tersebut. Entah itu berita baik atau buruk untuknya? Memang, dengan dinyatakan mati keberadaan Toni mungkin takkan lagi dicari; tapi, kenyataan ini terasa sangat menyesakkan bagi dirinya. Kenapa pelariannya harus membawa korban? Siapa mayat yang menjadi tumbal untuk dirinya? Terus, bagaimana dengan perasaan ibu dan adiknya saat dirinya dinyatakan meninggal?
Toni akhirnya marah juga, “Kebakaran itu bagian dari rencanamu juga kan, Datuk?”
“Hey, tenang! Kenapa kamu, Toni?” jawab Datuk yang kemudian terdiam untuk mencari jawaban yang tepat.
“Jawab!” bentak Toni lagi.
“Ok! Kebakaran kecil di dapur kemudian sebuah tabung gas dilempar ke belakang untuk menghindari kebakaran itu membesar. Targetnya, tembok belakang jebol. Itu saja, Ton!”
“Termasuk dua orang mati?”
“Tidak! Itu di luar rencana saya, Toni. Tak disangka kebakaran itu memicu bentrokan napi yang masing-masing sudah memendam marah pada sipir maupun napi lainnya. Saya tak mungkin sengaja mengorbankan nyawa orang lain! Kamu pikir saya manusia macam apa, Toni?” Terus dipojokan, Datuk pun memberikan pernyataan tegas meski dengan gayanya yang tetap tenang.
Toni terdiam. Lama dia merenungkan tentang banyak hal tak terduga yang tiba-tiba harus dia alami.
“Baiklah, apa rencananya sekarang?” Toni akhirnya kembali bersuara dan mulai melunak.
“Ok… kita segera lakukan make over ya, Ton!” jawab Datuk.
“Ya… aku pun tak mau terus-terusan sembunyi.”
“Besok pagi akan saya kirim seorang dokter bedah ke sana,”
“Haha… Jangan bercanda, Datuk?” ejek Toni yang tak paham maksud Datuk.
“Maksud kamu, Ton?”
“Kamu mau mengotak-atik tubuh aku?”
“Iya! Paling tidak, tampilannya sajalah!”
“Di sini? Di ruang sempit tanpa ada peralatan medis seperti ini? Kamu mau bunuh aku?”
“Loh? Tidak, jangan khawatir, Ton! Dokter akan membawa semua peralatan yang dibutuhkan. Ada beberapa buku dan video juga yang sengaja saya titipkan untuk mendukung kamuflase kamu menjadi Adam Djordi! Belajar dan berlatih, ya! Haha… Kamu pasti menyukainya!”
“Halah, gila!” umpat Toni kesal.
“Toni tewas!” ucap Benny yang baru memasuki ruang kerja ayahnya, Sanjaya Liem.“Kamu yakin?” tanya Tuan Liem tanpa mengubah posisi duduknya.“Entahlah! Mutiara sudah mengidentifikasi mayatnya. Jimmy juga mengiyakan.”Tuan Liem menghela nafas panjang untuk kemudian berucap dingin, “Ya sudah, paling tidak satu masalahmu selesai, kan?”“Jangan terlalu kasar begitu, Papah! Toni itu memang berbahaya!”“Tak ada yang bisa dilakukan orang mati kan, Ben!” ujar Tuan Liem sambil menyandarkan bahunya. “Lagian, apa bahayanya seorang Toni untukmu? Bukankah, dari masih hidup, digiring ke penjara saja dia tak bisa apa-apa?” lanjut Tuan Liem dengan nada sinis.Mendengarnya, Benny langsung melempar tatapan tajam ke arah ayahnya untuk kemudian beranjak pergi. Sudah seperti anak sendiri, bagaimanapun Sanjaya Liem begitu menyayangi Toni. Pembicaraan Benny tentang Toni hanya akan memicu pertengkarannya dengan Sang Ayah.“Oh ya, salam dari Jimmy untukmu, Pah!” tutup Toni sebelum benar-benar keluar dari kant
“Tok, tok, tok!”Mendengar pintu kiosnya diketuk, Toni bergegas menuju pintu depan. “Dokter bedah, kah?” guman Toni sambil mengintip di lubang kunci. “Lah, kok mobil toko onderdil?” heran Toni saat membaca tulisan ‘Paris Motor’ di badan mobil pick up yang terparkir di halaman kios. Meski ragu, perlahan dia tetap membuka pintu.“Hai, Tuan Adam! Ini katalog baru kita, Tuan! Banyak spare part impor yang baru datang. Silahkan dicek!” seru seorang asing sambil membuka selembar kertas di depan Toni.“Apaan, sih? Kamu siapa?” tanya Toni kebingunan.“Ya, benar! Semua pesanan sudah ada di
Tak mau buang waktu, pagi itu Yoga langsung menghampiri ruang monitor keamanan lapas guna mencari rekaman cctv di sekitar waktu peristiwa kebakaran terjadi.“Pagi!” sapa Yoga kepada Budi yang bertugas di ruang monitor keamanan lapas.“Pagi! Eh, Pak Yoga! Ada apa pagi-pagi udah ke sini, Pak?”“Biasa… boleh lihat rekaman cctv, Pak Budi?”“Oh. Yang kapan, Pak Yoga?”“Kemarin siang!”“Waktu kebakaran, ya?”“Ya!”“Wah, rekaman kemarin belum kita report ke Pak Kevin. Pak Yoga, udah konfirmasi?”Menerima permintaan Yoga, Budi tak bisa langsung mengabulkan. Penanggung jawab bagian monitoring keamanan harus menjadi orang pertama yang melakukan pengecekan untuk setiap rekaman yang diindikasikan penting atau berkenaan dengan peristiwa tertentu. Tujuannya mencegah risiko kerusakan atau penyalahgunaan rekaman oleh pihak luar. Penanggung jawabnya itu sendiri adalah Kevin.“Halah, ngapain aku lapor Kevin! Cuma lihat kok, nggak aku minta juga!” jawab Yoga dengan nada naik. Yoga marah dengan sikap Bud
“Hey, Ton! Sini! Ikut aku ke belakang!”Toni yang tengah mengepel lantai menoleh ke arah sumber suara. Ia mengangguk, menyandarkan gagang pel pada dinding yang paling dekat, untuk kemudian mengikuti instruksi dengan berjalan ke belakang gedung lapas.Sebagai napi yang tak memiliki kuasa apapun di hadapan petugas, Toni Haryadi hanya bisa mengikuti perintah Kevin Tan—sipir yang baru dua bulan bertugas di rumah tahanan yang sudah dua tahun terakhir ini dia tinggali.“Gue lebih nyaman ngobrol di sini,” ucap Kevin setelah mereka berdua berada di belakang bangunan lapas.“Ok... ada apa?” tanya Toni dingin.“Gue denger Lu transaksi kemarin?” Kevin malah balik bertanya.“Apa buktinya?” timpal Toni dingin.“Heh! Lu mau membusuk di sini! Sial!” bentak Kevin sambil mencengkeram kerah baju tahanan Toni. Dia kesal mendapati respon Toni yang seolah tak peduli dirinya sedang dalam masalah.Berusaha tenang, dia melepaskan genggamannya hingga Toni hampir jatuh dibuatnya.“Ton! Lu harus bersyukur dulu
“Tembok belakang jebol!” seorang sipir berteriak sambil berlari untuk memastikan keadaan di belakang gedung.“Kenapa? Siapa yang ngejebol? Bukankah semua napi ada di dalam?” tanya komandan sipir geram.Dengan nafas terengah, seorang sipir yang baru berhasil keluar dari dalam gedung pun memberi penjelasan, “akibat ledakan tabung elpiji, Pak! Agar tidak meledak di dalam, satu tabung dilempar ke belakang dari atas pos pemantau!”“Kamu yang lempar?”“Iya, Dan!”“Hebat! Heh, tak sadar kalau di tengah gedung juga ada taman! Kenapa nggak kamu lempar ke sana?”“Saya tak mau ambil risiko, Dan? Massa di dalam terpencar, membiarkannya meledak di dalam bisa memakan korban.”“Mmmh! Pastikan tak ada yang kabur lewat belakang atau kamu tahu akibatnya!” ancam Sang Komandan geram. “Tiga orang lagi segera ke belakang gedung!” lanjutnya.Sang Sipir apes pun hanya terdiam tak percaya tindakan heroiknya malah mengakibatkan ancaman.“Ganjar, kamu sisir selokan, kami bertiga langsung cek ke jalan!”Ganjar,
“Selamat datang, Tuan Adam!” Seorang laki-laki tua tiba-tiba menghampiri Toni yang baru menyeberang jalan menuju sebuah tiga deret kios seperti yang ditujukan sopir van tadi.Toni yang bingung hanya mengangguk dan mendekati orang tua yang menyapanya itu. Baginya, kini tak ada pilihan lain. Lagian, tak mungkin juga Pak Tua itu salah orang karena di sepanjang jalan itu hanya ada dirinya dan Pak Tua. Toni hanya terheran kenapa namanya berubah menjadi Adam?“Mau langsung masuk saja, Tuan Adam!”“Ya! Boleh, Pak!”“Panggil saja saya Abah! Di sini, saya lebih dikenal dengan sebutan itu.”“Oh... baik, Bah!”Krek, pintu kios ujung terbuka. “Silahkan! Jika ada perlu apa-apa saya ada di kios pertama itu” ujar Abah sambil menunjuk ke arah belakang dia berdiri.Toni hanya menjawab dengan senyuman.“Saya permisi dulu!” lanjut Abah sambil membalikan badannya untuk kembali.Namun, belum juga dia melangkah jauh Toni menyelanya, “Bah!”“Iya, Tuan?”“Kenapa Abah mengenaliku?” Toni penasaran kenapa Pak T
“Sudah bisa dipastikan itu jasad siapa?” tanya Komandan Sipir.Ditanya atasannya, Yoga langsung memberikan penjelasan, “Dari fostur dan beberapa saksi, itu jasad Badru, Pak! Tadi dia memang lagi di pantry, tadi baru angkut kiriman makanan dia.”“Satu lagi?”Tak ada yang menyahut, jasad ke dua memang mengalami luka bakar parah di area wajah. Tak ada satu pun sipir yang berani berspekulasi memastikan itu jasad siapa.“Hey! jadi mayat siapa, nih?” Sang Komandan geram karena tak mendapat jawaban dari anak buahnya.“Dari data napi, dimungkinkan itu adalah Toni. Hanya Badru dan Toni yang sekarang masih belum ditemukan,” cetus Kevin sambil membawa lembaran kertas yang berisi nama-nama napi.Komandan napi langsung menoleh ke arah Kevin, “Fisiknya? Kamu yakin itu mayatnya Toni?”“Fosturnya mirip, Dan!” jawab Kevin pelan.“Jangan pake asumsi, Anak Muda!” sanggah komandan tegas. “Keduanya akan diidentifikasi tim forensik dari kepolisian. Kamu Kevin, segera siapkan data yang dibutuhkan mereka! Yo
Hari mulai gelap kala Toni menggeber motor menembus jalan sepi di tengah perkebunan pinus. Rumah pamannya adalah tujuan yang membuatnya tak menggubris arahan Datuk untuk tetap diam dan menunggu instruksi darinya.“Aku tak mau terlalu lama bersembunyi dalam pelarian yang tak jelas. Aku harus segera menguak fakta yang sebenarnya dan hidup normal sebagai diriku sendiri,” guman Toni.Dua puluh menit berlalu, Toni sudah masuk ke kampung Sang Paman. Dia mulai melambatkan laju motornya. Suasana sepi sedikit membuatnya tenang dan berpikir polisi belum bergerak mencari dirinya. Namun, sekitar 50 meter lagi sampai di depan rumah pamannya, dia baru sadar ada tiga mobil yang terparkir di halaman rumah. Sialnya, ada tulisan polisi di dua mobil yang berwarna gelap.Gelap malam dan lampu mobil polisi yang sengaja dimatikan membuat Toni tak menyadari keberadaan petugas di rumah pamannya tersebut. Segera menghentikan motornya, dia ancang-ancang memutar balik. Namun, terlambat! Dua orang polisi yang be