“Toni tewas!” ucap Benny yang baru memasuki ruang kerja ayahnya, Sanjaya Liem.
“Kamu yakin?” tanya Tuan Liem tanpa mengubah posisi duduknya.
“Entahlah! Mutiara sudah mengidentifikasi mayatnya. Jimmy juga mengiyakan.”
Tuan Liem menghela nafas panjang untuk kemudian berucap dingin, “Ya sudah, paling tidak satu masalahmu selesai, kan?”
“Jangan terlalu kasar begitu, Papah! Toni itu memang berbahaya!”
“Tak ada yang bisa dilakukan orang mati kan, Ben!” ujar Tuan Liem sambil menyandarkan bahunya. “Lagian, apa bahayanya seorang Toni untukmu? Bukankah, dari masih hidup, digiring ke penjara saja dia tak bisa apa-apa?” lanjut Tuan Liem dengan nada sinis.
Mendengarnya, Benny langsung melempar tatapan tajam ke arah ayahnya untuk kemudian beranjak pergi. Sudah seperti anak sendiri, bagaimanapun Sanjaya Liem begitu menyayangi Toni. Pembicaraan Benny tentang Toni hanya akan memicu pertengkarannya dengan Sang Ayah.
“Oh ya, salam dari Jimmy untukmu, Pah!” tutup Toni sebelum benar-benar keluar dari kantor ayahnya.
Sebelumnya, Sanjaya Liem memang tidak tahu–atau tepatnya tak mau tahu–tentang semua urusan anaknya selain soal pengelolaan PT. FSS. Perusahaan Jasa Keamanan itulah satu-satunya yang Liem harapkan bisa mendewasakan Benny sekaligus mempertahankan nama besar keluarga Liem setelah anaknya itu menolak melanjutkan bisnis properti miliknya. Sayang, impiannya mulai memudar seiring beredarnya kabar Benny menjalankan bisnis narkoba; dan hancur saat Toni harus menjadi kambing hitam pada kasus pembunuhan Jerry Wijaya. Liem yakin, bukan Toni yang seharusnya bertanggung jawab atas kematian Jerry.
Berkali-kali harus menggadaikan pengaruhnya kala Benny tersandung masalah, kini Tuan Liem mulai muak dan ingin segera mengakhiri sepak terjang anaknya di dunia hitam narkoba.
Beralih ke Lapas, Yoga yang baru kembali dari operasi penyisiran kemungkinan napi melarikan diri, tak dapat menerima hasil identifikasi korban yang melibatkan para petugas forensik polisi dan keluarga korban. Kemunculan orang asing di rumah pamannya Toni menjadi tambahan keyakinan untuknya bahwa Toni sebenarnya telah lari. Bukan mati!
“Bagaimana bisa, Dan?” tanya Yoga segera setelah mengetuk pintu dan masuk ke ruangan Komandan Sipir.
“Apanya, Pak Yoga?” jawab Komandan Sipir. Dirinya dan Kevin yang kebetulan juga berada di sana, sedikit terkejut dengan kemunculan Yoga.
“Soal mayat Toni, Komandan.”
Paham maksud Yoga, Komandan pun menjelaskan, “Adiknya sudah melakukan pengecekan, Pak Yoga! Batu akik hijau yang biasa Toni kenakan pun ditemukan di dekat jenajah,” jawab Sang Komandan lagi.
“Benarkah?”
“Ya! Tentu saja itu benar! Jika Pak Yoga ragu, coba, adakah bukti atas asumsi Toni ternyata kabur ke luar, dan bukannya mati terbakar?” timpal Komandan agak kesal.
“Tidak, Dan!” jawab Yoga melemah sebelum dia kembali bertanya dengan kritis, “Tapi, siapa yang kami pergoki di rumah pamannya kalau itu bukan Toni, Dan?”
“Mmmh… banyak kemungkinannya, Pak Yoga! Orang yang punya masalah dengan penegak hukum itu bukan Toni saja kan, ya?” sindir Sang Komandan.
Yoga terdiam tak menjawab. Pernyataan komandannya terlalu general dan diplomatis. Dia sebenarnya tak mau menyerah begitu saja sebelum menemukan fakta terkait lenyapnya Toni. Dirinya tetap meyakini ada keterkaitan antara Toni dan orang asing yang tadi diburu polisi. Yoga tahu, identifikasi visual untuk korban luka bakar parah tak akan mungkin bisa akurat. “Bagaimana bisa adik Toni mengenali jasad kakaknya yang sudah rusak? Sedang cincin? Siapapun bisa dengan sengaja menyimpan di dekat korban,” pikir Yoga.
“Sudahlah, Pak Yoga! Semua telah berakhir,” cetus Kevin masuk ke pembicaraan, dan mencoba menenangkan koleganya itu. Hendak kembali berbicara, tapi handphonenya lebih dulu berdering. Kevin pun mohon izin keluar ruangan.
“Betul kata Pak Kevin… semua sudah berakhir. Dan jawaban untuk itu pun sudah ada. Jadi, kenapa kita harus disibukan oleh prasangka, Pak Yoga?” timpal Komandan.
“Ok… Baik, Dan!” jawab Yoga lesu.
Kevin tak berani mengangkat telepon di tengah ruangan Komandan Sipir. Saat nama Mutiara yang muncul di layar handphone-nya, tentu pembicaraan tak akan jauh dari tema tentang kakaknya.
“Kenapa, Tiara?”
“Aku tahu itu bukan kakakku!” cetus Tiara tiba-tiba.
“Ya, seperti yang sebelumnya aku bilang, dia tak mungkin masuk lagi ke dalam gedung.”
“Jadi, dimana kakakku sekarang?”
“Mana aku tahu, Tiara! Aku tak terlibat dengan pelariannya!”
“Jangan bohong, Pak Kevin! Anda yang membawa Toni ke belakang gedung, Anda meninggalkannya sendiri di sana, lalu tembok belakang hancur tak lama kemudian! Semua terlalu runut kalau harus disebut sebuah kebetulan, Pak Kevin! Anda menyuruhnya pergi!”
Merasa dipojokkan, Kevin pun membela diri, “Benar! Semua terjadi tiba-tiba. Kamu terlalu banyak menonton film detektif, Tiara!”
“Tak perlu detektif untuk analisa sesederhana itu, Pak Kevin! Aku perlu kepastian! Ibuku pun perlu tahu soal keadaan, Kak Toni!”
“Ya, Tuhan! Aku benar-benar tak tahu, Tiara!” timpal Kevin sedikit membentak. Dia frustasi harus memberi penjelasan apalagi kepada Mutiara.
Yoga yang baru keluar dari ruangan Komandan Sipir heran mendapati Kevin tengah membentak lawan bicaranya di telepon. “Tak tahu apa, Pak Kevin? Sepertinya ada urusan penting?” goda Yoga yang dari dulu memang kurang suka terhadap Kevin.
“Ah, biasa orang rumah, Pak Yoga!” Kevin terpaksa berbohong demi menjawab pertanyaan Yoga. Dia pun menghentikan sejenak aktivitas bertelponnya. “Sudah bicara sama Komandannya?” sambungnya lagi.
“Sudah. Saya pulang dulu, Pak!”
“Baik. Hati-hati, Pak Yoga!”
“Siap!” jawab Yoga sambil lalu. Baru saja lewat di depan Kevin, Yoga malah kembali menyahut, “Hey, Pak Kevin! Hati-hati juga, ya!”
“Maksudnya, Pak?”
“Hati-hati barangkali Toni hidup lagi! Anda pasti jadi orang pertama yang ditemuinya! Hehe…” ujar Yoga sambil menyeringai aneh.
Kevin hanya tersenyum bingung tanpa niat menimpali Yoga yang dianggapnya hanya bercanda.
“Sorry, temanku lewat. Aku sama bingungnya dengan kamu, Tiara!” ujar Kevin kembali ke percakapan via teleponnya dengan Mutiara.
“Terserah Anda benar atau bohong, Pak Kevin! Aku dan Ibu hanya mencemaskan Kak Toni,” ujar Mutiara menurunkan tensi bicaranya.
“Ya, Aku paham, Tiara! Aku pun sama. Percayalah, kami berdua sangat dekat! Aku akan terus mencari informasi dan kabari kamu kalau ada perkembangan soal…,”
Belum juga Kevin selesai bicara, Mutiara sudah memotongnya, “Ok!” Tanpa ada kata-kata lain, Mutiara langsung menutup sambungan telepon.
“Kakakmu!” sambung Kevin menyelesaikan kalimatnya meski lawan bicaranya sudah tak ada. “Ya, ampun… sadis amat ini cewek!” lirihnya lagi.
Hari yang melelahkan! Kejadian tadi siang memang membuat semua warga dan petugas lapas bekerja ekstra dari biasanya. Karenanya, selesai berbincang dengan Mutiara, satu-satunya yang Kevin tuju hanyalah pulang. Merapikan barang-barang di mejanya, Kevin segera mengambil mobil untuk meninggalkan Lapas.
Sampai di portal keluar lapas, Kevin yang sudah ingin segera meninggalkan lapas masih harus sedikit bersabar. Penjaga gerbang tak serta merta membiarkan kendaraannya pergi. Hal ini cukup membingungkan Kevin. Karena biasanya petugas-petugas lapas tak pernah dikenakan pemeriksaan apapun saat melintasi portal. Cukup dengan melihat seragam, portal pun akan segera dibuka.
“Malam! Maaf mengganggu sebentar, Pak Kevin!”
“Iya…. Malam! Ada apa ya, Pak?”
“Pemeriksaan kendaraan, Pak Kevin?”
“Tak seperti biasanya, ya?” sindir Kevin.
“Hehe… sebetulnya prosedur untuk petugas maupun tamu sama saja, Pak Kevin! Boleh dibuka bagasinya, Pak?”
“Mmh… ya, ya! Ok! Silahkan, udah dibuka, Pak!”
Dengan menenteng senjata laras panjang, penjaga gerbang beranjak ke belakang mobil Kevin untuk melakukan pengecekan.
“Aneh sekali? Kenapa petugas jaga jadi serajin ini?” guman Kevin bingung. Dilihatnya sekeliing pos penjagaan di pinggir portal barangkali ada hal aneh lain yang terjadi di sana. “Petugasnya sedang disidak, atau masih dikabarkan ada napi yang kabur?” selidik Kevin penasaran.
Tak ada yang berbeda, hanya saja… “Lah? kenapa motornya masih ada di sini?” Kevin terheran melihat sebuah motor terparkir di belakang pos jaga. Memang hanya terlihat sepertiga bagian belakangnya. Namun, Kevin cukup yakin itu motor siapa.
“Pak! Pak Kevin!”
“Eh, iya! Kenapa, Pak?”
“Clear, Pak! Silahkan jalan. Selamat malam, Pak Kevin!”
“Ok!”
Kevin yang kini terfokus pada sepeda motor di belakang pos terhenyak dengan teguran petugas yang mempersilahkan dirinya pergi. Sambil kembali melajukan mobilnya, Kevin merasa ada hal lain yang ternyata harus dia waspadai. Yoga masih mencari fakta tentang Toni. Dia sedang mengumpulkan informasi dari mana-mana, termasuk petugas penjaga. “Ah, apa maumu, Pak Yoga? Apa yang kamu tahu tentang aku?” lanjut Toni bermonolog.
“Tok, tok, tok!”Mendengar pintu kiosnya diketuk, Toni bergegas menuju pintu depan. “Dokter bedah, kah?” guman Toni sambil mengintip di lubang kunci. “Lah, kok mobil toko onderdil?” heran Toni saat membaca tulisan ‘Paris Motor’ di badan mobil pick up yang terparkir di halaman kios. Meski ragu, perlahan dia tetap membuka pintu.“Hai, Tuan Adam! Ini katalog baru kita, Tuan! Banyak spare part impor yang baru datang. Silahkan dicek!” seru seorang asing sambil membuka selembar kertas di depan Toni.“Apaan, sih? Kamu siapa?” tanya Toni kebingunan.“Ya, benar! Semua pesanan sudah ada di
Tak mau buang waktu, pagi itu Yoga langsung menghampiri ruang monitor keamanan lapas guna mencari rekaman cctv di sekitar waktu peristiwa kebakaran terjadi.“Pagi!” sapa Yoga kepada Budi yang bertugas di ruang monitor keamanan lapas.“Pagi! Eh, Pak Yoga! Ada apa pagi-pagi udah ke sini, Pak?”“Biasa… boleh lihat rekaman cctv, Pak Budi?”“Oh. Yang kapan, Pak Yoga?”“Kemarin siang!”“Waktu kebakaran, ya?”“Ya!”“Wah, rekaman kemarin belum kita report ke Pak Kevin. Pak Yoga, udah konfirmasi?”Menerima permintaan Yoga, Budi tak bisa langsung mengabulkan. Penanggung jawab bagian monitoring keamanan harus menjadi orang pertama yang melakukan pengecekan untuk setiap rekaman yang diindikasikan penting atau berkenaan dengan peristiwa tertentu. Tujuannya mencegah risiko kerusakan atau penyalahgunaan rekaman oleh pihak luar. Penanggung jawabnya itu sendiri adalah Kevin.“Halah, ngapain aku lapor Kevin! Cuma lihat kok, nggak aku minta juga!” jawab Yoga dengan nada naik. Yoga marah dengan sikap Bud
“Hey, Ton! Sini! Ikut aku ke belakang!”Toni yang tengah mengepel lantai menoleh ke arah sumber suara. Ia mengangguk, menyandarkan gagang pel pada dinding yang paling dekat, untuk kemudian mengikuti instruksi dengan berjalan ke belakang gedung lapas.Sebagai napi yang tak memiliki kuasa apapun di hadapan petugas, Toni Haryadi hanya bisa mengikuti perintah Kevin Tan—sipir yang baru dua bulan bertugas di rumah tahanan yang sudah dua tahun terakhir ini dia tinggali.“Gue lebih nyaman ngobrol di sini,” ucap Kevin setelah mereka berdua berada di belakang bangunan lapas.“Ok... ada apa?” tanya Toni dingin.“Gue denger Lu transaksi kemarin?” Kevin malah balik bertanya.“Apa buktinya?” timpal Toni dingin.“Heh! Lu mau membusuk di sini! Sial!” bentak Kevin sambil mencengkeram kerah baju tahanan Toni. Dia kesal mendapati respon Toni yang seolah tak peduli dirinya sedang dalam masalah.Berusaha tenang, dia melepaskan genggamannya hingga Toni hampir jatuh dibuatnya.“Ton! Lu harus bersyukur dulu
“Tembok belakang jebol!” seorang sipir berteriak sambil berlari untuk memastikan keadaan di belakang gedung.“Kenapa? Siapa yang ngejebol? Bukankah semua napi ada di dalam?” tanya komandan sipir geram.Dengan nafas terengah, seorang sipir yang baru berhasil keluar dari dalam gedung pun memberi penjelasan, “akibat ledakan tabung elpiji, Pak! Agar tidak meledak di dalam, satu tabung dilempar ke belakang dari atas pos pemantau!”“Kamu yang lempar?”“Iya, Dan!”“Hebat! Heh, tak sadar kalau di tengah gedung juga ada taman! Kenapa nggak kamu lempar ke sana?”“Saya tak mau ambil risiko, Dan? Massa di dalam terpencar, membiarkannya meledak di dalam bisa memakan korban.”“Mmmh! Pastikan tak ada yang kabur lewat belakang atau kamu tahu akibatnya!” ancam Sang Komandan geram. “Tiga orang lagi segera ke belakang gedung!” lanjutnya.Sang Sipir apes pun hanya terdiam tak percaya tindakan heroiknya malah mengakibatkan ancaman.“Ganjar, kamu sisir selokan, kami bertiga langsung cek ke jalan!”Ganjar,
“Selamat datang, Tuan Adam!” Seorang laki-laki tua tiba-tiba menghampiri Toni yang baru menyeberang jalan menuju sebuah tiga deret kios seperti yang ditujukan sopir van tadi.Toni yang bingung hanya mengangguk dan mendekati orang tua yang menyapanya itu. Baginya, kini tak ada pilihan lain. Lagian, tak mungkin juga Pak Tua itu salah orang karena di sepanjang jalan itu hanya ada dirinya dan Pak Tua. Toni hanya terheran kenapa namanya berubah menjadi Adam?“Mau langsung masuk saja, Tuan Adam!”“Ya! Boleh, Pak!”“Panggil saja saya Abah! Di sini, saya lebih dikenal dengan sebutan itu.”“Oh... baik, Bah!”Krek, pintu kios ujung terbuka. “Silahkan! Jika ada perlu apa-apa saya ada di kios pertama itu” ujar Abah sambil menunjuk ke arah belakang dia berdiri.Toni hanya menjawab dengan senyuman.“Saya permisi dulu!” lanjut Abah sambil membalikan badannya untuk kembali.Namun, belum juga dia melangkah jauh Toni menyelanya, “Bah!”“Iya, Tuan?”“Kenapa Abah mengenaliku?” Toni penasaran kenapa Pak T
“Sudah bisa dipastikan itu jasad siapa?” tanya Komandan Sipir.Ditanya atasannya, Yoga langsung memberikan penjelasan, “Dari fostur dan beberapa saksi, itu jasad Badru, Pak! Tadi dia memang lagi di pantry, tadi baru angkut kiriman makanan dia.”“Satu lagi?”Tak ada yang menyahut, jasad ke dua memang mengalami luka bakar parah di area wajah. Tak ada satu pun sipir yang berani berspekulasi memastikan itu jasad siapa.“Hey! jadi mayat siapa, nih?” Sang Komandan geram karena tak mendapat jawaban dari anak buahnya.“Dari data napi, dimungkinkan itu adalah Toni. Hanya Badru dan Toni yang sekarang masih belum ditemukan,” cetus Kevin sambil membawa lembaran kertas yang berisi nama-nama napi.Komandan napi langsung menoleh ke arah Kevin, “Fisiknya? Kamu yakin itu mayatnya Toni?”“Fosturnya mirip, Dan!” jawab Kevin pelan.“Jangan pake asumsi, Anak Muda!” sanggah komandan tegas. “Keduanya akan diidentifikasi tim forensik dari kepolisian. Kamu Kevin, segera siapkan data yang dibutuhkan mereka! Yo
Hari mulai gelap kala Toni menggeber motor menembus jalan sepi di tengah perkebunan pinus. Rumah pamannya adalah tujuan yang membuatnya tak menggubris arahan Datuk untuk tetap diam dan menunggu instruksi darinya.“Aku tak mau terlalu lama bersembunyi dalam pelarian yang tak jelas. Aku harus segera menguak fakta yang sebenarnya dan hidup normal sebagai diriku sendiri,” guman Toni.Dua puluh menit berlalu, Toni sudah masuk ke kampung Sang Paman. Dia mulai melambatkan laju motornya. Suasana sepi sedikit membuatnya tenang dan berpikir polisi belum bergerak mencari dirinya. Namun, sekitar 50 meter lagi sampai di depan rumah pamannya, dia baru sadar ada tiga mobil yang terparkir di halaman rumah. Sialnya, ada tulisan polisi di dua mobil yang berwarna gelap.Gelap malam dan lampu mobil polisi yang sengaja dimatikan membuat Toni tak menyadari keberadaan petugas di rumah pamannya tersebut. Segera menghentikan motornya, dia ancang-ancang memutar balik. Namun, terlambat! Dua orang polisi yang be
“Ya Tuhan, bagaimana ini?” Toni yang kini berada dalam kepungan polisi merasa sudah tak mungkin lagi melanjutkan pelarian yang baru saja dimulainya. Meski berat, dia berpikir, menyerah adalah pilihan terbaik untuknya saat ini.“Ah, kenapa aku tak turuti Datuk dan diam di persembunyian! Terkepung, aku lebih baik menyerah!” sesal Toni dalam hati. Melepas pegangannya pada stang motor, dia bersiap untuk berdiri dan mengangkat ke dua tangannya.Tapi, tiba-tiba sebuah suara terdengar jelas ditelinganya, “Toni! Apa-apaan ini? Sedang apa kamu di luar?”“Apa?” Toni terkejut dan berusaha mencari sumber suara. Tak mungkin itu suara dari salah satu polisi yang mengejarnya.“Toni, ini Datuk!”“Oh... dimana? Aku tak melihatmu, Datuk?” tanya Toni tergesa. Ketegangan tergambar jelas dari nafasnya.“Saya bicara lewat speaker di helm yang kamu pakai. Ada radio di motormu yang terhubung pada speaker dan mic pada helm. Kamu bingung, ya?” terang Datuk.“Ah, tentu saja! Kamu pasti tak pernah berpikir ada m