“Tembok belakang jebol!” seorang sipir berteriak sambil berlari untuk memastikan keadaan di belakang gedung.
“Kenapa? Siapa yang ngejebol? Bukankah semua napi ada di dalam?” tanya komandan sipir geram.
Dengan nafas terengah, seorang sipir yang baru berhasil keluar dari dalam gedung pun memberi penjelasan, “akibat ledakan tabung elpiji, Pak! Agar tidak meledak di dalam, satu tabung dilempar ke belakang dari atas pos pemantau!”
“Kamu yang lempar?”
“Iya, Dan!”
“Hebat! Heh, tak sadar kalau di tengah gedung juga ada taman! Kenapa nggak kamu lempar ke sana?”
“Saya tak mau ambil risiko, Dan? Massa di dalam terpencar, membiarkannya meledak di dalam bisa memakan korban.”
“Mmmh! Pastikan tak ada yang kabur lewat belakang atau kamu tahu akibatnya!” ancam Sang Komandan geram. “Tiga orang lagi segera ke belakang gedung!” lanjutnya.
Sang Sipir apes pun hanya terdiam tak percaya tindakan heroiknya malah mengakibatkan ancaman.
“Ganjar, kamu sisir selokan, kami bertiga langsung cek ke jalan!”
Ganjar, sipir pertama yang tadi datang ke lokasi, protes karena malah diberi tugas menyisir selokan seorang diri. “Hey, aku sendiri? Selokan ini panjang, loh! Kalau yang kabur lebih dari satu gimana?”
“Duh, cemen amat, sih! Malu sama pistol tuh!” sindir Yoga kepada rekannya yang baru bulan lalu lulus tes untuk memegang senjata api itu.
“Bukan gitu, Bung! Kita tak tahu yang kabur berapa napi?”
“Halah... kita cuma cek aja, woy! Belum pasti juga ada napi yang lari!” bentak Yoga.
“Nggak ada yang kabur! Aku bantu sisir ke jalan. Mungkin Pak Yoga bisa temani Pak Ganjar?” Di tengah perselisihan, tiba-tiba Kevin muncul menawarkan bantuan kepada teman-temannya.
“Ah, anak ini lagi!” gerutu Yoga setengah berbisik kepada dua temannya. “Ya sudah, kalian lanjut pastikan jalan dari ujung barat sampai timur bersih! Aku cek saluran air!” lanjut Yoga tak minat mendebat Kevin.
Secara pangkat, Yoga yang saat ini masih di tingkat pengatur, memang di bawah Kevin yang merupakan penata muda. Meski dari usia, Kevin jelas jauh di bawahnya.
“Nihil! Kita sudah dua kali mengitari area jalan,” ujar Kevin dengan kedua tangannya betumpu pada lutut. Dia cukup letih setelah mengitari jalanan belakang lapas.
“Siap, Pak! Gimana, To?” tanya Sipir yang menemani Kevin pada temannya.
“Ya udah, balik dan lapor komandan!”
Para sipir yang bertugas menyisir belakang lapas pun akhirnya sepakat kembali ke dalam.
“Clear, Dan!” lapor Yoga kepada Komandan Sipir.
“Yakin? Kalian berempat sudah sisir semua area belakang?”
“Siap, Dan!” ucap keempat sipir serentak.
“Tadi Pak Kevin juga bantu menyisir, Dan!” timpal Yoga.
“Siap!” ujar Kevin yang tadinya ogah ikut melapor akhirnya menjawab juga.
“Ok! Dengar, dua tahanan hangus di dalam! Kita cross check ke database napi!” tutup Komandan Lapas sambil melirik ke arah Kevin.
Entah apa makna lirikan Sang Komandan, namun Kevin sendiri tak pernah mengira akan ada dua napi yang menjadi korban. “Hah? Dua napi mati? Kenapa situasi jadi kacau begini?” lirih Kevin dengan hati was-was. Jika saja Toni ketahuan kabur, atau pembukaan gerbang terbukti tidak sesuai prosedur, maka dialah yang dalam masalah besar.
Sementara itu, tak lama dari kejadian kebakaran lapas terjadi, di pinggir jalan arah selatan terparkir sebuah mobil pengantar makanan. "Tuk, tuk!" Sang Sopir mengetuk pintu freezer sebelum membuka kotak pendingin yang berada di bagian belakang van tersebut.
“Silahkan keluar, Tuan! Maaf, Tuan terpaksa harus masuk!” ujarnya seraya membantu Toni untuk keluar dari mesin pendingin itu.
“Saya sudah matikan dari tadi berangkat! Masih dingin, Tuan?”
“Lumayan. Kalau mesinnya nyala, saya pasti sudah mati kedinginan,” jawab Toni sambil mencoba menggerak-gerakan tangan dan kakinya yang kaku. Meski freezer itu tak menyala, lelehan bunga es cukup membuat tubuhnya kedinginan.
“Terima kasih sudah menolongku. Di mana ini?” tanya Toni kemudian.
“Lewat batas kota, Tuan.”
“Syukurlah! Kenapa berhenti, ayo jalan lagi. Setengah jam lagi menyusuri jalan ini ada rumah kerabat saya. Saya harus ke sana!”
“Maaf, saya hanya diminta untuk mengantar Tuan sampai di sini,” jawab sopir itu dingin.
“Mengantar? Diminta siapa?”
Sang Sopir hanya menggeleng.
“Siapa? Siapa yang menyuruhmu?” Toni geram. Dia terus bertanya sambil mencengkeram kedua bahu sopir yang membawanya.
Sekeluarnya dia melalui tembok lapas tadi, jelas Toni tak punya ide hendak bagaimana atau lari kemana. Pikiran yang terlintas di kepalanya hanyalah dua hal. Mencari siapa yang bertanggung jawab atas kasus pembunuhan yang dituduhkan kepadanya dan menguak misteri kematian ayahnya.
Jika lima menit saja Toni masih di sekitaran luar lapas, pasti nasib akan kembali membawanya ke dalam. Dia hanya berani mengendap-ngendap di pinggir selokan berharap ada kendaraan lewat dan mau membawanya pergi, meski dia pun sangsi akan ada yang sudi membantu seorang narapidana melarikan diri. Tapi, ternyata ada.
Sebuah van putih menepi tak jauh dari tempatnya merunduk dibalik rerumputan. Sempat khawatir itu adalah kendaraan petugas yang mencarinya, Toni lega setelah sopir van malah memintanya masuk.
“Cepat! Masuk ke belakang, pintu nggak dikunci.”
Tanpa pikir panjang, dia langsung masuk ke dalam mobil.
“Jika kuketuk kaca belakang dua kali, masuklah ke dalam freezer.”
“Baik.”
Untuk instruksi ke dua, Toni langsung paham. Sebelum masuk jalan utama, ada pos penjagaan yang memastikan keamanan kendaraan yang masuk dan keluar area lapas. Perintah sopir kemungkinan untuk menghindari jika para penjaga gerbang di sana mendadak rajin dan melakukan pengecekan sampai ke dalam mobil. Biasanya tidak!
Setibanya di gerbang keluar, “Kosong ini?”
“Kosong, Pak!”
“Yang benar kamu? Di dalam ada keributan. Kamu nggak bawa napi kabur, kan?”
“Tadi ada kebakaran kecil, saya tak melihat ada napi keluar, Pak!”
“Begitu, ya...?”
“Iya, Pak!” Berpikir aman, pengemudi van yang hendak keluar area lapas, segera meng-over perseneling untuk bersiap pergi.
“Hey! Buka pintu belakang!”
“Sial!” gerutu Sang Sopir tak menyangka penjaga gerbang ingin memeriksa sampai ke bagian dalam. “Gimana, Pak?” lanjutnya belagak bertanya.
“Buka! Cepat, mau pergi nggak kamu?” gertak petugas dengan memiringkan senjata laras panjangnya ke arah mobil, mencoba menggertak.
“Baik... baik, Pak!” Trek, pintu belakang Van terbuka setelah Si Sopir membuka kunci otomatis di bawah dashboard.
Penjaga dengan laras panjang itu pun berjalan perlahan menuju pintu belakang van. Namun, tak lama kemudian, “Ah, apaan ini! Tutup, tutup!” teriak Si Penjaga sambil menggebrak-gebrak body samping van meminta pintu belakang untuk segera ditutup.
“Kenapa, Pak?” Sopir van kebingungan sambil segera menutup pintu belakang.
“Ah! Uhuk... uhuuk...!” Penjaga itu terbatuk-batuk sambil menutup hidung dan mulutnya dengan sebelah tangan.
“Kenapa, Bro?” Seorang petugas lain keluar dari pos jaga bertanya keheranan melihat rekannya?
Masih terbatuk, petugas pemeriksa pun menjawab sambil menyuruh Si Pengemudi pergi, “Busuk! Ah, entah habis membawa apa ini mobil! Jalan, jalan sana!”
Portal besi pun dibuka. Tak mau membuang waktu, mobil muatan berwarna putih itu segera melenggang tenang menuju jalan utama. “Haha...! Sebelum masuk freezer, rupanya tuh napi menumpahkan sisa-sisa air bekas rendaman ikan, cumi, dan kerang, ke alas bagasi,” guman pengemudi dalam hati.
Seperti itulah cerita yang membawa Toni bisa sampai di selatan batas kota dan lolos dari area lapas dengan penjagaan yang ketat. Bisa dikatakan beruntung, meski dia pun bingung mencermati tahapan-tahapan yang kini telah dia lewati. Semua seperti sudah diatur, pikirnya.
“Baik. Aku mohon dengan sangat, Pak! Lanjutkan perjalanan karena aku harus sampai ke rumah pamanku di daerah selatan!” bujuk Toni yang kini mencoba cara yang lebih humanis dan ramah.
“Maaf, Tuan! Saya hanya diminta untuk menjemput dan menurunkan Tuan di sini. Ini ada baju dan beberapa benda yang harus Tuan pakai,” jelas Si Pengemudi sambil menyerahkan bungkusan kepada Toni.
“Aneh... siapa yang atur semua ini?”
“Saya hanya...”
“Hanya diminta untuk mengantar aku sampai di sini! Payah!” potong Toni sebelum Si Pengemudi melanjutkan ucapannya.
“Iya.”
“Terus? Aku ganti baju, pake kacamata, masker, dan menunggu gerombolan polisi akhirnya kembali menangkapku? Konyol!” umpat Toni sambil melepas baju tahanannya.
Sopir van yang sedari tadi bersikap dingin hanya memberikan gelengan sebagai jawaban.
“Lantas?”
“Di pertigaan depan, Tuan belok kiri dan temui orang di kios paling ujung sebelah kanan.”
“Siapa itu? Ah, sudahlah! Aku tahu jawabannya,” cetus Toni kesal karena dia tahu jawaban atas semua pertanyaannya pastilah sama.
Toni pun bangkit dan tak sabar untuk menemui kejutan apa lagi yang akan dia temui.
“Selamat datang, Tuan Adam!” Seorang laki-laki tua tiba-tiba menghampiri Toni yang baru menyeberang jalan menuju sebuah tiga deret kios seperti yang ditujukan sopir van tadi.Toni yang bingung hanya mengangguk dan mendekati orang tua yang menyapanya itu. Baginya, kini tak ada pilihan lain. Lagian, tak mungkin juga Pak Tua itu salah orang karena di sepanjang jalan itu hanya ada dirinya dan Pak Tua. Toni hanya terheran kenapa namanya berubah menjadi Adam?“Mau langsung masuk saja, Tuan Adam!”“Ya! Boleh, Pak!”“Panggil saja saya Abah! Di sini, saya lebih dikenal dengan sebutan itu.”“Oh... baik, Bah!”Krek, pintu kios ujung terbuka. “Silahkan! Jika ada perlu apa-apa saya ada di kios pertama itu” ujar Abah sambil menunjuk ke arah belakang dia berdiri.Toni hanya menjawab dengan senyuman.“Saya permisi dulu!” lanjut Abah sambil membalikan badannya untuk kembali.Namun, belum juga dia melangkah jauh Toni menyelanya, “Bah!”“Iya, Tuan?”“Kenapa Abah mengenaliku?” Toni penasaran kenapa Pak T
“Sudah bisa dipastikan itu jasad siapa?” tanya Komandan Sipir.Ditanya atasannya, Yoga langsung memberikan penjelasan, “Dari fostur dan beberapa saksi, itu jasad Badru, Pak! Tadi dia memang lagi di pantry, tadi baru angkut kiriman makanan dia.”“Satu lagi?”Tak ada yang menyahut, jasad ke dua memang mengalami luka bakar parah di area wajah. Tak ada satu pun sipir yang berani berspekulasi memastikan itu jasad siapa.“Hey! jadi mayat siapa, nih?” Sang Komandan geram karena tak mendapat jawaban dari anak buahnya.“Dari data napi, dimungkinkan itu adalah Toni. Hanya Badru dan Toni yang sekarang masih belum ditemukan,” cetus Kevin sambil membawa lembaran kertas yang berisi nama-nama napi.Komandan napi langsung menoleh ke arah Kevin, “Fisiknya? Kamu yakin itu mayatnya Toni?”“Fosturnya mirip, Dan!” jawab Kevin pelan.“Jangan pake asumsi, Anak Muda!” sanggah komandan tegas. “Keduanya akan diidentifikasi tim forensik dari kepolisian. Kamu Kevin, segera siapkan data yang dibutuhkan mereka! Yo
Hari mulai gelap kala Toni menggeber motor menembus jalan sepi di tengah perkebunan pinus. Rumah pamannya adalah tujuan yang membuatnya tak menggubris arahan Datuk untuk tetap diam dan menunggu instruksi darinya.“Aku tak mau terlalu lama bersembunyi dalam pelarian yang tak jelas. Aku harus segera menguak fakta yang sebenarnya dan hidup normal sebagai diriku sendiri,” guman Toni.Dua puluh menit berlalu, Toni sudah masuk ke kampung Sang Paman. Dia mulai melambatkan laju motornya. Suasana sepi sedikit membuatnya tenang dan berpikir polisi belum bergerak mencari dirinya. Namun, sekitar 50 meter lagi sampai di depan rumah pamannya, dia baru sadar ada tiga mobil yang terparkir di halaman rumah. Sialnya, ada tulisan polisi di dua mobil yang berwarna gelap.Gelap malam dan lampu mobil polisi yang sengaja dimatikan membuat Toni tak menyadari keberadaan petugas di rumah pamannya tersebut. Segera menghentikan motornya, dia ancang-ancang memutar balik. Namun, terlambat! Dua orang polisi yang be
“Ya Tuhan, bagaimana ini?” Toni yang kini berada dalam kepungan polisi merasa sudah tak mungkin lagi melanjutkan pelarian yang baru saja dimulainya. Meski berat, dia berpikir, menyerah adalah pilihan terbaik untuknya saat ini.“Ah, kenapa aku tak turuti Datuk dan diam di persembunyian! Terkepung, aku lebih baik menyerah!” sesal Toni dalam hati. Melepas pegangannya pada stang motor, dia bersiap untuk berdiri dan mengangkat ke dua tangannya.Tapi, tiba-tiba sebuah suara terdengar jelas ditelinganya, “Toni! Apa-apaan ini? Sedang apa kamu di luar?”“Apa?” Toni terkejut dan berusaha mencari sumber suara. Tak mungkin itu suara dari salah satu polisi yang mengejarnya.“Toni, ini Datuk!”“Oh... dimana? Aku tak melihatmu, Datuk?” tanya Toni tergesa. Ketegangan tergambar jelas dari nafasnya.“Saya bicara lewat speaker di helm yang kamu pakai. Ada radio di motormu yang terhubung pada speaker dan mic pada helm. Kamu bingung, ya?” terang Datuk.“Ah, tentu saja! Kamu pasti tak pernah berpikir ada m
“Antar Mutiara ke mobil, Yan! Saya ada perlu dulu. Kalian tunggu sebentar di mobil!” pinta Benny kepada Iyan yang ditanggapi anggukan.Meski bahasa tubuh Tiara cukup meyakinkan Benny bahwa kesedihan gadis remaja itu adalah ekspresi kehilangan atas kakaknya, namun dia perlu kepastian lebih. Terkait itu, Benny meminta waktu kepada Iyan dan Mutiara untuk menemui seorang napi yang sudah lama dikenalnya di lapas itu.“Halo, Jimmy! Apa kabar?” sapa Benny kepada mantan pengawal setia keluarganya yang kini menjadi pesakitan tersebut.Sebelum masuk penjara, Jimmy adalah bawahan paling loyal dari keluarga Liem. Sosoknya yang tegap dan kuat selalu menyertai kemana pun Sanjaya Liem pergi. Bahkan, masuknya dia ke penjara pun tak lain untuk menutup keterlibatan Benny dalam kasus narkoba yang tak bisa ditutupi oleh beking mereka. Harus ada tumbal!“Baik! Kenapa, Ben?” Jimmy bertanya balik dengan nada dingin.“Sudahlah, Jim! Yu, di sini bukan karena aku juga yang memohon-mohon, kan? Kita saudara! Sed
“Toni tewas!” ucap Benny yang baru memasuki ruang kerja ayahnya, Sanjaya Liem.“Kamu yakin?” tanya Tuan Liem tanpa mengubah posisi duduknya.“Entahlah! Mutiara sudah mengidentifikasi mayatnya. Jimmy juga mengiyakan.”Tuan Liem menghela nafas panjang untuk kemudian berucap dingin, “Ya sudah, paling tidak satu masalahmu selesai, kan?”“Jangan terlalu kasar begitu, Papah! Toni itu memang berbahaya!”“Tak ada yang bisa dilakukan orang mati kan, Ben!” ujar Tuan Liem sambil menyandarkan bahunya. “Lagian, apa bahayanya seorang Toni untukmu? Bukankah, dari masih hidup, digiring ke penjara saja dia tak bisa apa-apa?” lanjut Tuan Liem dengan nada sinis.Mendengarnya, Benny langsung melempar tatapan tajam ke arah ayahnya untuk kemudian beranjak pergi. Sudah seperti anak sendiri, bagaimanapun Sanjaya Liem begitu menyayangi Toni. Pembicaraan Benny tentang Toni hanya akan memicu pertengkarannya dengan Sang Ayah.“Oh ya, salam dari Jimmy untukmu, Pah!” tutup Toni sebelum benar-benar keluar dari kant
“Tok, tok, tok!”Mendengar pintu kiosnya diketuk, Toni bergegas menuju pintu depan. “Dokter bedah, kah?” guman Toni sambil mengintip di lubang kunci. “Lah, kok mobil toko onderdil?” heran Toni saat membaca tulisan ‘Paris Motor’ di badan mobil pick up yang terparkir di halaman kios. Meski ragu, perlahan dia tetap membuka pintu.“Hai, Tuan Adam! Ini katalog baru kita, Tuan! Banyak spare part impor yang baru datang. Silahkan dicek!” seru seorang asing sambil membuka selembar kertas di depan Toni.“Apaan, sih? Kamu siapa?” tanya Toni kebingunan.“Ya, benar! Semua pesanan sudah ada di
Tak mau buang waktu, pagi itu Yoga langsung menghampiri ruang monitor keamanan lapas guna mencari rekaman cctv di sekitar waktu peristiwa kebakaran terjadi.“Pagi!” sapa Yoga kepada Budi yang bertugas di ruang monitor keamanan lapas.“Pagi! Eh, Pak Yoga! Ada apa pagi-pagi udah ke sini, Pak?”“Biasa… boleh lihat rekaman cctv, Pak Budi?”“Oh. Yang kapan, Pak Yoga?”“Kemarin siang!”“Waktu kebakaran, ya?”“Ya!”“Wah, rekaman kemarin belum kita report ke Pak Kevin. Pak Yoga, udah konfirmasi?”Menerima permintaan Yoga, Budi tak bisa langsung mengabulkan. Penanggung jawab bagian monitoring keamanan harus menjadi orang pertama yang melakukan pengecekan untuk setiap rekaman yang diindikasikan penting atau berkenaan dengan peristiwa tertentu. Tujuannya mencegah risiko kerusakan atau penyalahgunaan rekaman oleh pihak luar. Penanggung jawabnya itu sendiri adalah Kevin.“Halah, ngapain aku lapor Kevin! Cuma lihat kok, nggak aku minta juga!” jawab Yoga dengan nada naik. Yoga marah dengan sikap Bud