“Selamat datang, Tuan Adam!” Seorang laki-laki tua tiba-tiba menghampiri Toni yang baru menyeberang jalan menuju sebuah tiga deret kios seperti yang ditujukan sopir van tadi.
Toni yang bingung hanya mengangguk dan mendekati orang tua yang menyapanya itu. Baginya, kini tak ada pilihan lain. Lagian, tak mungkin juga Pak Tua itu salah orang karena di sepanjang jalan itu hanya ada dirinya dan Pak Tua. Toni hanya terheran kenapa namanya berubah menjadi Adam?
“Mau langsung masuk saja, Tuan Adam!”
“Ya! Boleh, Pak!”
“Panggil saja saya Abah! Di sini, saya lebih dikenal dengan sebutan itu.”
“Oh... baik, Bah!”
Krek, pintu kios ujung terbuka. “Silahkan! Jika ada perlu apa-apa saya ada di kios pertama itu” ujar Abah sambil menunjuk ke arah belakang dia berdiri.
Toni hanya menjawab dengan senyuman.
“Saya permisi dulu!” lanjut Abah sambil membalikan badannya untuk kembali.
Namun, belum juga dia melangkah jauh Toni menyelanya, “Bah!”
“Iya, Tuan?”
“Kenapa Abah mengenaliku?” Toni penasaran kenapa Pak Tua itu begitu percaya diri memastikan bahwa dirinyalah orang yang dia tunggu.
“Maksudnya, Tuan?”
“Ya, yakin bahwa aku Adam?”
“Oh... teman Tuan bilang, Tuan sedang kurang sehat. Bakal menggunakan masker dan kaca mata. Hanya itu. Tapi, benar kan, Anda Tuan Adam?” Pertanyaan Toni malah membuat orang tua itu ikut ragu.
“Ya, ya. Tentu... tentu saja! Maaf, saya hanya penasaran,” tutup Toni sambil bergegas masuk. “Ah, pertanyaan bodoh! Orang yang menyuruhku ke sini telah memperhitungkan semuanya dengan baik, tentunya!” guman Toni setelah masuk kios.
“Apa ini?” Toni memperhatikan setiap sudut ruang yang dia masuki. Dia terkagum, “Wow, monster hitam dengan lima transmisi!” Sebuah sepeda motor trail dengan kapasitas 250 cc telah terparkir di antara etalase suku cadang sepeda motor dan dinding pemisah ruangan.
Bangunan kecil itu terbagi tiga bagian. Depan toko, kamar, dan belakang kamar mandi dan dapur.
Masuk ke ruang kamar, Toni langsung membaringkan tubuhnya di kasur pegas. Sejenak dia menerka-nerka sekenario yang dibuatkan oleh seorang misterius yang telah menuntunnya sampai di sana. “Susah-susah kabur dari bui, aku disuruh buka bengkel! Haha... konyol!”
“Terserah!” ucap Toni sambil tersenyum kecut. Meski membingungkan, ada bahagia dan lega di hatinya karena sekarang dia bebas dan berada di tempat yang aman. Dalam posisi merebah benaknya mencoba mengingat kembali kejadian malam itu.
***
“Ini kesepakatan yang baik. Kita bisa berbagi wilayah dan juga barang, bukan begitu, Jerry?” ujar Benny Sanjaya dengan senyum sinis.
“Belum tentu, Ben! Aku mau lihat barangnya. Kamu jangan bercanda, Aku udah siap bayar!”
Toni yang duduk di samping Benny tak paham apa yang sedang terjadi. Dia hanya diminta mendadak datang untuk mendampingi Bos yang sudah dianggapnya sebagai saudara dalam sebuah pertemuan dengan Jerry Wijaya. Seorang pengusaha jasa keamanan. Bidang yang juga digeluti Benny.
Suasana mulai dia rasa kurang nyaman kala Jerry meminta anak buahnya menunjukan apa yang dia bawa. Sebuah koper diletakan di atas meja. Hendak dibuka, tapi tangan Jerry segera menahannya, “mana barangnya?”
“Hehe... tenang. Terlalu berisiko membawa barang sebanyak yang kamu pesan ke sini, Jerry!”
“Apa? Jadi, kamu nggak bawa?” Mata Jerry melotot, dan nada bicaranya naik.
Sambil melirik ke belakang, Benny memanggil anak buahnya dengan jentikan jari. “Saya bawa sampelnya.”
“Tidak! Kamu harusnya bawa semuanya, Ben!”
“Sabar... aku tak akan membohongimu, Jerry! Cek dulu, transaksi, dan segera aku kirim semua barangnya ke tempatmu.”
“Berengsek kamu! Itu tak sesuai perjanjian! Aku bawa emas, kamu bawa sabu! Jika tidak maka tak ada transaksi. Batal!” gertak Jerry sambil menggebrak meja dan bangkit dari tempat duduknya.
“Hey... tunggu, Brother!” Benny mencoba menahan Jerry dan... “Dor!” lampu ruangan tiba-tiba mati diikuti suara letusan senjata api.
Terlalu banyak kejutan yang didapat Toni malam itu. Bisnis sabu Benny yang sebelumnya dia sangka sekadar rumor, transaksi dengan Jerry yang selama ini dianggap rival bisnis Benny, dan tentu saja, tewasnya Jerry yang kemudian disimpulkan polisi akibat peluru dari pistol milik Toni yang bersarang tepat di jantungnya.
***
“Bangsat! Mengapa sedari awal aku tak sadar itu jebakan!” sesal Toni sambil menjambak rambutnya sendiri.
“Tit tut, tit tut!”
Lamunan Toni dikejutkan dengan nada yang berasal dari laci lemari di sampingnya terbaring. “Weker? Ada-ada aja!” umpat Toni sambil bangkit dari kasur menuju sumber suara.
Tapi saat dia membuka laci, yang tampak malah sebuah benda kontak dengan layar menyala menunjukan adanya panggilan masuk. “Telepon? Datuk?”
Toni ragu untuk mengangkat panggilan, tapi sampai dering ke sepuluh, panggilan di ponsel jadul itu tetap tak mau berhenti. Dengan terpaksa, dia mengangkatnya.
“Halo!”
“Hey, Adam! Kenapa lama sekali kau angkat teleponnya?”
“Jangan bercanda. Siapa ini, aku bukan Adam?”
“Lantas, siapa?”
Toni hanya terdiam. Baginya semua ini masih penuh tanda tanya. Tak mungkin dia sebut dirinya adalah napi yang dalam pelarian.
“Sudahlah... kamu Adam dan mari kita mulai bekerja sama!”
“Kamu siapa? Kerjasama apa maksudmu?”
“Haha.... Adam, Adam!”
“Ah, sudahlah! Aku tak ada waktu buat bercanda. Aku tutup, ya!”
“Tunggu... tenang dulu, Kawan! Kamu Adam sekarang. Kamu belum cek isi laci lainnya?”
“Hah?”
Toni kembali membuka laci yang tadi sudah dia tutup. Sebuah kartu identitas terselip di bawah sebuah buku agenda. “Adam Jordy?”
“Ya, namamu sekarang Adam Jordy. Demi rencana kita, kamu gunakan identitas itu sekarang, ya!”
“Tunggu! Fotonya?”
“Kenapa dengan fotonya?”
“Ini bukan aku!”
“Lah, tentu saja itu kamu!”
“Ini tak mirip denganku! Apa kamu memang salah orang?” protes Toni yang mendapati foto asing di kartu identitas baru yang harus dia pakai.
“Haha... apa kamu pikir saya harus pasang foto dari seorang tahanan yang sedang buron?”
Toni masih tak paham apa yang harus dia katakan. Dia hanya diam menunggu orang di seberang telepon menjelaskan segala hal yang dia perlu tahu.
“Baik! Begini rencananya. Apa kamu siap mendengarkan, Adam?”
“Ok... aku di sini!”
“Bagus! Jadi begini... tapi sebelumnya, panggil saja saya Datuk!”
“Baik!”
Percakapan antar Toni dan orang asing yang menyebutkan dirinya sebagai Datuk pun berlanjut.
Melalui sambungan telepon itu, Datuk pun menjelaskan rencana yang hendak dia jalankan bersama Toni. Rencana diawali dengan kaburnya Toni dari penjara. Berhasil keluar, selanjutnya dia memang diatur oleh Datuk untuk tinggal di tempat sekarang dia berada. Kemudian, bukan hanya nama dan data pribadi, fisik Toni juga akan diubah melalui operasi.
Datuk menjelaskan, segala kebutuhan dan keamanan selama pelarian telah dia siapkan. Agenda besar dari pelarian Toni sendiri adalah untuk menghancurkan bisnis narkoba Benny, tuturnya.
“Soal urusan pribadi kamu, kita selesaikan juga. Tapi, harus dengan cara serapi mungkin! Ingat, yang perlu kamu lakukan hanya mengikuti instruksi saya! Setuju?” lanjut Datuk dengan nada tegas.
Dengan nada ragu Toni pun menjawab, “Ok... aku setuju!”
“Sudah bisa dipastikan itu jasad siapa?” tanya Komandan Sipir.Ditanya atasannya, Yoga langsung memberikan penjelasan, “Dari fostur dan beberapa saksi, itu jasad Badru, Pak! Tadi dia memang lagi di pantry, tadi baru angkut kiriman makanan dia.”“Satu lagi?”Tak ada yang menyahut, jasad ke dua memang mengalami luka bakar parah di area wajah. Tak ada satu pun sipir yang berani berspekulasi memastikan itu jasad siapa.“Hey! jadi mayat siapa, nih?” Sang Komandan geram karena tak mendapat jawaban dari anak buahnya.“Dari data napi, dimungkinkan itu adalah Toni. Hanya Badru dan Toni yang sekarang masih belum ditemukan,” cetus Kevin sambil membawa lembaran kertas yang berisi nama-nama napi.Komandan napi langsung menoleh ke arah Kevin, “Fisiknya? Kamu yakin itu mayatnya Toni?”“Fosturnya mirip, Dan!” jawab Kevin pelan.“Jangan pake asumsi, Anak Muda!” sanggah komandan tegas. “Keduanya akan diidentifikasi tim forensik dari kepolisian. Kamu Kevin, segera siapkan data yang dibutuhkan mereka! Yo
Hari mulai gelap kala Toni menggeber motor menembus jalan sepi di tengah perkebunan pinus. Rumah pamannya adalah tujuan yang membuatnya tak menggubris arahan Datuk untuk tetap diam dan menunggu instruksi darinya.“Aku tak mau terlalu lama bersembunyi dalam pelarian yang tak jelas. Aku harus segera menguak fakta yang sebenarnya dan hidup normal sebagai diriku sendiri,” guman Toni.Dua puluh menit berlalu, Toni sudah masuk ke kampung Sang Paman. Dia mulai melambatkan laju motornya. Suasana sepi sedikit membuatnya tenang dan berpikir polisi belum bergerak mencari dirinya. Namun, sekitar 50 meter lagi sampai di depan rumah pamannya, dia baru sadar ada tiga mobil yang terparkir di halaman rumah. Sialnya, ada tulisan polisi di dua mobil yang berwarna gelap.Gelap malam dan lampu mobil polisi yang sengaja dimatikan membuat Toni tak menyadari keberadaan petugas di rumah pamannya tersebut. Segera menghentikan motornya, dia ancang-ancang memutar balik. Namun, terlambat! Dua orang polisi yang be
“Ya Tuhan, bagaimana ini?” Toni yang kini berada dalam kepungan polisi merasa sudah tak mungkin lagi melanjutkan pelarian yang baru saja dimulainya. Meski berat, dia berpikir, menyerah adalah pilihan terbaik untuknya saat ini.“Ah, kenapa aku tak turuti Datuk dan diam di persembunyian! Terkepung, aku lebih baik menyerah!” sesal Toni dalam hati. Melepas pegangannya pada stang motor, dia bersiap untuk berdiri dan mengangkat ke dua tangannya.Tapi, tiba-tiba sebuah suara terdengar jelas ditelinganya, “Toni! Apa-apaan ini? Sedang apa kamu di luar?”“Apa?” Toni terkejut dan berusaha mencari sumber suara. Tak mungkin itu suara dari salah satu polisi yang mengejarnya.“Toni, ini Datuk!”“Oh... dimana? Aku tak melihatmu, Datuk?” tanya Toni tergesa. Ketegangan tergambar jelas dari nafasnya.“Saya bicara lewat speaker di helm yang kamu pakai. Ada radio di motormu yang terhubung pada speaker dan mic pada helm. Kamu bingung, ya?” terang Datuk.“Ah, tentu saja! Kamu pasti tak pernah berpikir ada m
“Antar Mutiara ke mobil, Yan! Saya ada perlu dulu. Kalian tunggu sebentar di mobil!” pinta Benny kepada Iyan yang ditanggapi anggukan.Meski bahasa tubuh Tiara cukup meyakinkan Benny bahwa kesedihan gadis remaja itu adalah ekspresi kehilangan atas kakaknya, namun dia perlu kepastian lebih. Terkait itu, Benny meminta waktu kepada Iyan dan Mutiara untuk menemui seorang napi yang sudah lama dikenalnya di lapas itu.“Halo, Jimmy! Apa kabar?” sapa Benny kepada mantan pengawal setia keluarganya yang kini menjadi pesakitan tersebut.Sebelum masuk penjara, Jimmy adalah bawahan paling loyal dari keluarga Liem. Sosoknya yang tegap dan kuat selalu menyertai kemana pun Sanjaya Liem pergi. Bahkan, masuknya dia ke penjara pun tak lain untuk menutup keterlibatan Benny dalam kasus narkoba yang tak bisa ditutupi oleh beking mereka. Harus ada tumbal!“Baik! Kenapa, Ben?” Jimmy bertanya balik dengan nada dingin.“Sudahlah, Jim! Yu, di sini bukan karena aku juga yang memohon-mohon, kan? Kita saudara! Sed
“Toni tewas!” ucap Benny yang baru memasuki ruang kerja ayahnya, Sanjaya Liem.“Kamu yakin?” tanya Tuan Liem tanpa mengubah posisi duduknya.“Entahlah! Mutiara sudah mengidentifikasi mayatnya. Jimmy juga mengiyakan.”Tuan Liem menghela nafas panjang untuk kemudian berucap dingin, “Ya sudah, paling tidak satu masalahmu selesai, kan?”“Jangan terlalu kasar begitu, Papah! Toni itu memang berbahaya!”“Tak ada yang bisa dilakukan orang mati kan, Ben!” ujar Tuan Liem sambil menyandarkan bahunya. “Lagian, apa bahayanya seorang Toni untukmu? Bukankah, dari masih hidup, digiring ke penjara saja dia tak bisa apa-apa?” lanjut Tuan Liem dengan nada sinis.Mendengarnya, Benny langsung melempar tatapan tajam ke arah ayahnya untuk kemudian beranjak pergi. Sudah seperti anak sendiri, bagaimanapun Sanjaya Liem begitu menyayangi Toni. Pembicaraan Benny tentang Toni hanya akan memicu pertengkarannya dengan Sang Ayah.“Oh ya, salam dari Jimmy untukmu, Pah!” tutup Toni sebelum benar-benar keluar dari kant
“Tok, tok, tok!”Mendengar pintu kiosnya diketuk, Toni bergegas menuju pintu depan. “Dokter bedah, kah?” guman Toni sambil mengintip di lubang kunci. “Lah, kok mobil toko onderdil?” heran Toni saat membaca tulisan ‘Paris Motor’ di badan mobil pick up yang terparkir di halaman kios. Meski ragu, perlahan dia tetap membuka pintu.“Hai, Tuan Adam! Ini katalog baru kita, Tuan! Banyak spare part impor yang baru datang. Silahkan dicek!” seru seorang asing sambil membuka selembar kertas di depan Toni.“Apaan, sih? Kamu siapa?” tanya Toni kebingunan.“Ya, benar! Semua pesanan sudah ada di
Tak mau buang waktu, pagi itu Yoga langsung menghampiri ruang monitor keamanan lapas guna mencari rekaman cctv di sekitar waktu peristiwa kebakaran terjadi.“Pagi!” sapa Yoga kepada Budi yang bertugas di ruang monitor keamanan lapas.“Pagi! Eh, Pak Yoga! Ada apa pagi-pagi udah ke sini, Pak?”“Biasa… boleh lihat rekaman cctv, Pak Budi?”“Oh. Yang kapan, Pak Yoga?”“Kemarin siang!”“Waktu kebakaran, ya?”“Ya!”“Wah, rekaman kemarin belum kita report ke Pak Kevin. Pak Yoga, udah konfirmasi?”Menerima permintaan Yoga, Budi tak bisa langsung mengabulkan. Penanggung jawab bagian monitoring keamanan harus menjadi orang pertama yang melakukan pengecekan untuk setiap rekaman yang diindikasikan penting atau berkenaan dengan peristiwa tertentu. Tujuannya mencegah risiko kerusakan atau penyalahgunaan rekaman oleh pihak luar. Penanggung jawabnya itu sendiri adalah Kevin.“Halah, ngapain aku lapor Kevin! Cuma lihat kok, nggak aku minta juga!” jawab Yoga dengan nada naik. Yoga marah dengan sikap Bud
“Hey, Ton! Sini! Ikut aku ke belakang!”Toni yang tengah mengepel lantai menoleh ke arah sumber suara. Ia mengangguk, menyandarkan gagang pel pada dinding yang paling dekat, untuk kemudian mengikuti instruksi dengan berjalan ke belakang gedung lapas.Sebagai napi yang tak memiliki kuasa apapun di hadapan petugas, Toni Haryadi hanya bisa mengikuti perintah Kevin Tan—sipir yang baru dua bulan bertugas di rumah tahanan yang sudah dua tahun terakhir ini dia tinggali.“Gue lebih nyaman ngobrol di sini,” ucap Kevin setelah mereka berdua berada di belakang bangunan lapas.“Ok... ada apa?” tanya Toni dingin.“Gue denger Lu transaksi kemarin?” Kevin malah balik bertanya.“Apa buktinya?” timpal Toni dingin.“Heh! Lu mau membusuk di sini! Sial!” bentak Kevin sambil mencengkeram kerah baju tahanan Toni. Dia kesal mendapati respon Toni yang seolah tak peduli dirinya sedang dalam masalah.Berusaha tenang, dia melepaskan genggamannya hingga Toni hampir jatuh dibuatnya.“Ton! Lu harus bersyukur dulu