“Hey, Ton! Sini! Ikut aku ke belakang!”
Toni yang tengah mengepel lantai menoleh ke arah sumber suara. Ia mengangguk, menyandarkan gagang pel pada dinding yang paling dekat, untuk kemudian mengikuti instruksi dengan berjalan ke belakang gedung lapas.
Sebagai napi yang tak memiliki kuasa apapun di hadapan petugas, Toni Haryadi hanya bisa mengikuti perintah Kevin Tan—sipir yang baru dua bulan bertugas di rumah tahanan yang sudah dua tahun terakhir ini dia tinggali.
“Gue lebih nyaman ngobrol di sini,” ucap Kevin setelah mereka berdua berada di belakang bangunan lapas.
“Ok... ada apa?” tanya Toni dingin.
“Gue denger Lu transaksi kemarin?” Kevin malah balik bertanya.
“Apa buktinya?” timpal Toni dingin.
“Heh! Lu mau membusuk di sini! Sial!” bentak Kevin sambil mencengkeram kerah baju tahanan Toni. Dia kesal mendapati respon Toni yang seolah tak peduli dirinya sedang dalam masalah.
Berusaha tenang, dia melepaskan genggamannya hingga Toni hampir jatuh dibuatnya.
“Ton! Lu harus bersyukur dulu pengadilan nggak ngasih Lu vonis mati!”
“Harusnya justru aku tak di sini!”
“Halah... sudah, nyatanya Lu sekarang di sini! Curhat nggak ada guna sekarang!”
Toni hanya bisa memalingkan muka kesal. Dia marah dengan segala situasi yang menimpanya, meski di sisi lain dia pun tak punya kuasa untuk menolaknya.
“Pokoknya, jangan kasar kayak gitulah mainnya! Berlaga alim dikit kenapa, sih! Biar Lu bisa dapat potongan masa tahanan.”
“Di sini semua juga jualan, Koh! Lu bisa cek yang lain. Kenapa harus fokus ngurusin Gua, sih? Apa ada yang lapor sama, Lu?”
“Menurut, Lu?
“Siapa orangnya, Koh? Biar kuhancurkan batang hidungnya?” ujar Toni geram sambil mengepalkan tangan kanannya.
Kevin hanya melongo dibuatnya. “Sudahlah! Santai, Bro!” timpalnya.
Meskipun di depannya Toni selalu bersikap tenang dan penurut, Kevin tahu, dia siap berhadapan dengan siapapun. Mantan bos muda di perusahaan jasa keamanan ini adalah seorang yang mahir bela diri. Dari karate, silat, sampai kick boxer, pernah dipelajarinya. Hanya saja, jeruji yang kini mengurungnya perlahan membuat semangatnya pada bela diri hilang dan tak lagi rajin melatih fisiknya. Badannya yang mulai berlemak kini hanya difokuskan untuk berjualan narkoba di area lapas demi memastikan kehidupan ibu dan adiknya masih bisa terus berjalan di luar sana.
“Hey, denger! Lu masih muda. Masih layak punya kesempatan lebih! Nggak mau apa Lu leluasa ngurus adik, Lu?” Kevin kembali mencoba memperbaiki mud temannya.
“Ya, Gua jualan juga buat dia dan ibu!”
“Nah kalau gitu, Lu jangan nantangin buat kepergok dan dapet bonus tambahan kurungan, dong! Paham kan Lu, Ton?”
“Ok... Gua lebih hati-hati, Koh Kevin!” ucap Toni ogah berdebat.
Berbeda dengan penghuni-penghuni lain, hubungan dua orang beda latar belakang ini memang terlihat mencolok. Keduanya lebih sering terlihat berbincang. Terlebih, dengan ciri fisik yang sama, tentu saja mereka menjadi semakin kentara di antara kerumunan orang di komplek tahanan ini. Keduanya memiliki mata sipit meski warna kulit Toni agak gelap dari umumnya kaum bermata sipit.
“Pokoknya, Gua nggk mau denger lagi hal-hal aneh soal, Lu! Berkas Lu lagi dikirim ke Departemen Kehakiman untuk pertimbangan pengurangan hukuman.”
“Ok, Koh Kevin! Boleh saya balik ke dalam?”
“Ngapain?”
“Bentar lagi jam makan, pel lantai ruang makan harus segera aku bereskan.”
“Halah, bukan aula bank ini! Kotor dikit nggak apa, kali? Enakan di sini dulu, Ton! Lebih deket sama aroma kebebasan.”
“Hah? Ada-ada saja Lu, Koh?”
“Lah iya, kan? Tinggal lewati dinding itu kita sudah bisa menghirup segarnya udara bebas,” cetus Toni sambil menunjuk ke dinding belakang.
“Halah.... gimana manjatnya? Tinggi gitu? Lagian, baru coba naik aja kita pasti sudah dihujani pelor teman-temanmu di atas, Koh!”
“Hahaha... emang segitu kokohnya tembok ini sampai nggak bisa roboh cukup dengan hentakan?”
“Hentakan apa? Hentakan meriam?”
“Hentakan kaki seorang yang merindukan kebebasan!” ucap Kevin serius.
“Haha... puitis banget Lu, Koh! Udah ah, Gue ke dalam dulu!”
Belum juga Toni melangkahkan kakinya, tiba-tiba... “Duaaar!”
“Sial, apa-apaan ini!” umpat Kevin kaget.
Asap hitam terlihat mengepul dari dalam dan mulai keluar melalui lubang-lubang ventilasi gedung, tak lama api pun mulai terlihat muncul dan membesar. Tak dapat ditebak apa yang sedang terjadi di dalam gedung dari tempat sekarang Toni dan Kevin berdiri. Mereka hanya mematung bingung.
“Tolong! Tolong! Kebakaran!” teriak beberapa orang yang mulai berlarian mencari tempat yang aman.
Kobaran api sebenarnya belum begitu besar. Api masih terkonsentrasi di ruang dapur dan tempat makan para narapidana. Tapi mereka bingung karena munculnya api telah membuat sistem keamanan otomatis menutup akses-akses keluar. Hal itu sebagai antisipasi kaburnya para tahanan untuk kemudian diatur akses aman mana yang dapat dibuka dengan dua protokol utama keamanan. Keselamatan dan tidak kaburnya para tahanan. Para narapidana dan sebagian sipir pun terjebak di dalam.
“Lu harus buka salah satu gerbang, Koh!” ucap Toni panik.
“Iya, Gue akan ke pusat kontrol keamanan. Lu jangan kemana-mana apalagi mencoba menerobos menyelamatkan teman-temanmu di dalam. Jikapun bahaya, lebih baik cari jalan keluar dari sini. Belakang gedung!”
“Baik, Koh!” Dalam kondisi kalut, Toni hanya mengiyakan ucapan Kevin meski dia pun bingung apa maksudnya dengan cari jalan keluar. “Kabur?”
Kevin segera berlari menuju ruangan pusat kontrol keamanan gedung di pojok kanan depan area lapas.
Toni yang ditinggal sendiri hanya bisa berdiri tanpa tahu apa yang bisa dia perbuat. Meski dia sangat beruntung karena sudah dulu ada di luar gedung, dirinya tak tega membiarkan banyak temannya yang kini masih terjebak di dalam.
“Sial! Kenapa lama amat Si Kevin bukain pintunya?”
Bagaimanapun, sebelum Kevin membuka akses keluar, dia harus memastikan tak ada narapida yang kabur akibat pembukaan akses tersebut. Kordinasi pengamanan harus dilakukan dengan matang. Prioritas penyelamatan korban, belum dapat dia gunakan. Kendati terlihat caos, belum ada info dari teman-temannya di dalam soal adanya korban jatuh. Dia masih harus menunggu kesiapan tim pengamanan.
Tak bisa tinggal diam, Toni mulai menepikan diri di sisi gedung, dia mencoba menelusuri sisi belakang gedung barangkali ada jalan untuk mengeluarkan teman-temannya yang terjebak di dalam. “Jimmy! Roy! Hari! Kalian dimana?” teriaknya berkali-kali.
Sia-sia, tak terdengar jawaban dari dalam lapas. Yang ada, “Duaaar!!!”
Entah benda apa yang terlempar dari menara pemantau, yang pasti sebuah lubang di benteng belakang muncul akibat ledakan itu. Sekiranya Toni masih berdiri mematung di tempat tadi dia dan Kevin berbincang, niscaya tubuhnya tercincang akibat ledakan itu.
“Sial! Benda apa itu?” umpat Toni kaget bukan main. Dirinya berusaha mengatur nafas menenangkan diri atas peristiwa yang hampir mencelakainya. Namun, ada kenyataan lain yang akhirnya menuntut Toni untuk sepenuhnya sadar dan segera mengambil keputusan.
Kedua matanya kini terfokus pada lubang besar di benteng belakang. Pikiran untuk melarikan diri pun terlintas di otaknya, “Ah, inikah saatnya?”
Toni sepenuhnya tahu konsekuensi apa yang harus didapat oleh seorang buronan jika kembali tertangkap. Hal yang jauh, jauh, lebih buruk dari hukuman sebelumnya. Namun, tidakkah menurutnya ini kesempatan terbaik untuknya mencari fakta dari kasus pembunuhan Jerry Wijaya yang telah dituduhkan kepadanya? Juga soal misteri kematian ayahnya. Dia harus mengusutnya hingga jelas!
“Maaf Kevin, aku harus pergi!” gumannya.
“Tembok belakang jebol!” seorang sipir berteriak sambil berlari untuk memastikan keadaan di belakang gedung.“Kenapa? Siapa yang ngejebol? Bukankah semua napi ada di dalam?” tanya komandan sipir geram.Dengan nafas terengah, seorang sipir yang baru berhasil keluar dari dalam gedung pun memberi penjelasan, “akibat ledakan tabung elpiji, Pak! Agar tidak meledak di dalam, satu tabung dilempar ke belakang dari atas pos pemantau!”“Kamu yang lempar?”“Iya, Dan!”“Hebat! Heh, tak sadar kalau di tengah gedung juga ada taman! Kenapa nggak kamu lempar ke sana?”“Saya tak mau ambil risiko, Dan? Massa di dalam terpencar, membiarkannya meledak di dalam bisa memakan korban.”“Mmmh! Pastikan tak ada yang kabur lewat belakang atau kamu tahu akibatnya!” ancam Sang Komandan geram. “Tiga orang lagi segera ke belakang gedung!” lanjutnya.Sang Sipir apes pun hanya terdiam tak percaya tindakan heroiknya malah mengakibatkan ancaman.“Ganjar, kamu sisir selokan, kami bertiga langsung cek ke jalan!”Ganjar,
“Selamat datang, Tuan Adam!” Seorang laki-laki tua tiba-tiba menghampiri Toni yang baru menyeberang jalan menuju sebuah tiga deret kios seperti yang ditujukan sopir van tadi.Toni yang bingung hanya mengangguk dan mendekati orang tua yang menyapanya itu. Baginya, kini tak ada pilihan lain. Lagian, tak mungkin juga Pak Tua itu salah orang karena di sepanjang jalan itu hanya ada dirinya dan Pak Tua. Toni hanya terheran kenapa namanya berubah menjadi Adam?“Mau langsung masuk saja, Tuan Adam!”“Ya! Boleh, Pak!”“Panggil saja saya Abah! Di sini, saya lebih dikenal dengan sebutan itu.”“Oh... baik, Bah!”Krek, pintu kios ujung terbuka. “Silahkan! Jika ada perlu apa-apa saya ada di kios pertama itu” ujar Abah sambil menunjuk ke arah belakang dia berdiri.Toni hanya menjawab dengan senyuman.“Saya permisi dulu!” lanjut Abah sambil membalikan badannya untuk kembali.Namun, belum juga dia melangkah jauh Toni menyelanya, “Bah!”“Iya, Tuan?”“Kenapa Abah mengenaliku?” Toni penasaran kenapa Pak T
“Sudah bisa dipastikan itu jasad siapa?” tanya Komandan Sipir.Ditanya atasannya, Yoga langsung memberikan penjelasan, “Dari fostur dan beberapa saksi, itu jasad Badru, Pak! Tadi dia memang lagi di pantry, tadi baru angkut kiriman makanan dia.”“Satu lagi?”Tak ada yang menyahut, jasad ke dua memang mengalami luka bakar parah di area wajah. Tak ada satu pun sipir yang berani berspekulasi memastikan itu jasad siapa.“Hey! jadi mayat siapa, nih?” Sang Komandan geram karena tak mendapat jawaban dari anak buahnya.“Dari data napi, dimungkinkan itu adalah Toni. Hanya Badru dan Toni yang sekarang masih belum ditemukan,” cetus Kevin sambil membawa lembaran kertas yang berisi nama-nama napi.Komandan napi langsung menoleh ke arah Kevin, “Fisiknya? Kamu yakin itu mayatnya Toni?”“Fosturnya mirip, Dan!” jawab Kevin pelan.“Jangan pake asumsi, Anak Muda!” sanggah komandan tegas. “Keduanya akan diidentifikasi tim forensik dari kepolisian. Kamu Kevin, segera siapkan data yang dibutuhkan mereka! Yo
Hari mulai gelap kala Toni menggeber motor menembus jalan sepi di tengah perkebunan pinus. Rumah pamannya adalah tujuan yang membuatnya tak menggubris arahan Datuk untuk tetap diam dan menunggu instruksi darinya.“Aku tak mau terlalu lama bersembunyi dalam pelarian yang tak jelas. Aku harus segera menguak fakta yang sebenarnya dan hidup normal sebagai diriku sendiri,” guman Toni.Dua puluh menit berlalu, Toni sudah masuk ke kampung Sang Paman. Dia mulai melambatkan laju motornya. Suasana sepi sedikit membuatnya tenang dan berpikir polisi belum bergerak mencari dirinya. Namun, sekitar 50 meter lagi sampai di depan rumah pamannya, dia baru sadar ada tiga mobil yang terparkir di halaman rumah. Sialnya, ada tulisan polisi di dua mobil yang berwarna gelap.Gelap malam dan lampu mobil polisi yang sengaja dimatikan membuat Toni tak menyadari keberadaan petugas di rumah pamannya tersebut. Segera menghentikan motornya, dia ancang-ancang memutar balik. Namun, terlambat! Dua orang polisi yang be
“Ya Tuhan, bagaimana ini?” Toni yang kini berada dalam kepungan polisi merasa sudah tak mungkin lagi melanjutkan pelarian yang baru saja dimulainya. Meski berat, dia berpikir, menyerah adalah pilihan terbaik untuknya saat ini.“Ah, kenapa aku tak turuti Datuk dan diam di persembunyian! Terkepung, aku lebih baik menyerah!” sesal Toni dalam hati. Melepas pegangannya pada stang motor, dia bersiap untuk berdiri dan mengangkat ke dua tangannya.Tapi, tiba-tiba sebuah suara terdengar jelas ditelinganya, “Toni! Apa-apaan ini? Sedang apa kamu di luar?”“Apa?” Toni terkejut dan berusaha mencari sumber suara. Tak mungkin itu suara dari salah satu polisi yang mengejarnya.“Toni, ini Datuk!”“Oh... dimana? Aku tak melihatmu, Datuk?” tanya Toni tergesa. Ketegangan tergambar jelas dari nafasnya.“Saya bicara lewat speaker di helm yang kamu pakai. Ada radio di motormu yang terhubung pada speaker dan mic pada helm. Kamu bingung, ya?” terang Datuk.“Ah, tentu saja! Kamu pasti tak pernah berpikir ada m
“Antar Mutiara ke mobil, Yan! Saya ada perlu dulu. Kalian tunggu sebentar di mobil!” pinta Benny kepada Iyan yang ditanggapi anggukan.Meski bahasa tubuh Tiara cukup meyakinkan Benny bahwa kesedihan gadis remaja itu adalah ekspresi kehilangan atas kakaknya, namun dia perlu kepastian lebih. Terkait itu, Benny meminta waktu kepada Iyan dan Mutiara untuk menemui seorang napi yang sudah lama dikenalnya di lapas itu.“Halo, Jimmy! Apa kabar?” sapa Benny kepada mantan pengawal setia keluarganya yang kini menjadi pesakitan tersebut.Sebelum masuk penjara, Jimmy adalah bawahan paling loyal dari keluarga Liem. Sosoknya yang tegap dan kuat selalu menyertai kemana pun Sanjaya Liem pergi. Bahkan, masuknya dia ke penjara pun tak lain untuk menutup keterlibatan Benny dalam kasus narkoba yang tak bisa ditutupi oleh beking mereka. Harus ada tumbal!“Baik! Kenapa, Ben?” Jimmy bertanya balik dengan nada dingin.“Sudahlah, Jim! Yu, di sini bukan karena aku juga yang memohon-mohon, kan? Kita saudara! Sed
“Toni tewas!” ucap Benny yang baru memasuki ruang kerja ayahnya, Sanjaya Liem.“Kamu yakin?” tanya Tuan Liem tanpa mengubah posisi duduknya.“Entahlah! Mutiara sudah mengidentifikasi mayatnya. Jimmy juga mengiyakan.”Tuan Liem menghela nafas panjang untuk kemudian berucap dingin, “Ya sudah, paling tidak satu masalahmu selesai, kan?”“Jangan terlalu kasar begitu, Papah! Toni itu memang berbahaya!”“Tak ada yang bisa dilakukan orang mati kan, Ben!” ujar Tuan Liem sambil menyandarkan bahunya. “Lagian, apa bahayanya seorang Toni untukmu? Bukankah, dari masih hidup, digiring ke penjara saja dia tak bisa apa-apa?” lanjut Tuan Liem dengan nada sinis.Mendengarnya, Benny langsung melempar tatapan tajam ke arah ayahnya untuk kemudian beranjak pergi. Sudah seperti anak sendiri, bagaimanapun Sanjaya Liem begitu menyayangi Toni. Pembicaraan Benny tentang Toni hanya akan memicu pertengkarannya dengan Sang Ayah.“Oh ya, salam dari Jimmy untukmu, Pah!” tutup Toni sebelum benar-benar keluar dari kant
“Tok, tok, tok!”Mendengar pintu kiosnya diketuk, Toni bergegas menuju pintu depan. “Dokter bedah, kah?” guman Toni sambil mengintip di lubang kunci. “Lah, kok mobil toko onderdil?” heran Toni saat membaca tulisan ‘Paris Motor’ di badan mobil pick up yang terparkir di halaman kios. Meski ragu, perlahan dia tetap membuka pintu.“Hai, Tuan Adam! Ini katalog baru kita, Tuan! Banyak spare part impor yang baru datang. Silahkan dicek!” seru seorang asing sambil membuka selembar kertas di depan Toni.“Apaan, sih? Kamu siapa?” tanya Toni kebingunan.“Ya, benar! Semua pesanan sudah ada di