“Selamat Vin. Kamu berhasil menipu!” sentak Dewa, suaranya menggelegar di bangsal gawat darurat. Seketika petugas keamanan berdatangan, mereka hendak menggiring Dewa keluar sebab mengganggu pasien lain. Saking marahnya pria itu menepis kasar tangan dua orang petugas. Menyadari situasi dan kondisi tidak mendukung. Fabian memegangi Dewa berupaya menenangkan pria itu tetapi tatapan setajam belati masih terkunci pada Vinsensia. “Jawab!” bentak Dewa lagi diakhiri menggosok kasar wajah tampannya. “A-aku … i-ini karena a-aku tidak mau kehilanganmu, Dewa. Aku mencintaimu.” Vinsensia menunduk dalam tidak berani menatap wajah garang mantan kekasihnya. Dewa menyindir, “Dengan berbohong?!” Kemudian ia berlalu dari instalasi gawat darurat. Bahkan ia meninggalkan dan melupakan Fabian yang sedari tadi berada di sampingnya. Dewa mengendarai mobil dengan kecepatan sedang. Bukan pulang ke vila atau mansion melainkan mengunjungi salah satu rumah ibadah, di mana tempat itu menjadi saksi diu
Setelah berbincang dengan sang ayah, Brahma bergegas menemui adiknya di dapur. Ia melihat Arimbi asyik menyantap kue kering. Anak laki-laki itu juga berbisik pada adiknya, “Dewasa nanti kamu jadi artis saja ya.”Arimbi tertawa pelan mendengar ucapan sang kakak. Lantas keduanya saling menepuk tangan di bawa meja. “Kerja sama yang bagus ya, Kak,” sahutnya.Brahma mengembalikan telepon genggam pada Rosalyn. “Ma, ponselnya aku taruh di atas meja ya.”Rosalyn menolehkan kepala lalu menjentikkan ibu jari sembari tersenyum.Meskipun musim dingin, hunian ini terasa hangat sebab Tuan Jack dan Feli selalu menemani Rosalyn. Sekarang Feli membantu wanita itu memasukkan adonan kue ke dalam oven. Sedangkan Tuan Jack duduk di depan Brahma dan Arimbi.“Kamu serius mau melakukan itu?” bisik Feli.“Ya Bibi. Aku harus memanfaatkan waktu selagi Dewa tidak ada di sini.” Rosalyn menatap dalam kekhawatiran yang terlukis pada wajah Feli. Ia melanjutkan, “Bibi jangan mencemaskan apa pun ya.”Feli terdiam engga
“Aku bukan dermawan, Kevin!” tolak Dewa. Ia tidak mau menerima usulan atau alasan apa pun.Kevin Keller memandang bengis kepada Dewa. Pria itu mengepalkan tangan dengan kuat hingga buku jarinya memutih … tetapi mendadak mengeluarkan air mata. Dengan suara nyaris tenggelam, Kevin mengungkapkan keinginannya, “Izinkan anakku lahir ke dunia.”Seketika Dewa bertukar pandang bersama Fabian. Sorot mata keduanya menyiratkan banyak makna.Dewa mengangguk. “Baiklah. Tapi dia dalam pengawasanku!”Terpaksa Kevin mengiakan dan tidak mendebat lagi. Bagi pria itu paling penting buah hatinya lahir dengan selamat. Mengingat pengkhianat Vinsensia, Kevin tidak peduli lagi pada masalah yang menimpa perempuan itu.**Kala ini Rosalyn sedang berbaring di atas brankar. Ia menjalani pemeriksaan ulang guna mendonorkan sel sehat untuk Arimbi. Sepasang manik hazel memandangi jarum suntik yang menusuk kulit.Paska kembalinya ia ke Kota Milan beberapa hari lalu, sejumlah rencana telah tersusun rapi. Rosalyn bersi
“Anak-anak pintar,” puji Dewa diikuti senyum lebar. Ia merasa beruntung didukung oleh kedua anaknya.Ruangdi hatinya tidak lagi kosong sebab ia yakin bisa mendapatkan Rosalyn. Dewa bergegas menemui Pandu untuk memberikan perintah khusus.Setelahnya Dewa tidak jera menghubungi Fabian. Bahkan meneror pria itu agar memberitahu di mana keberadaan Rosalyn. Sayang kali ini Fabian tidak bersikap kooperatif.“Cari saja sendiri, Dewa! Walaupun tahu, aku tidak mau kamu bertemu Rosalyn. Kalian sudah cerai ‘kan? Itu artinya aku punya peluang besar.” Fabian tertawa mengejek.Dewa menyahut dengan suara lantang, “Sampai kapan pun Rosalyn adalah istriku. Sebaiknya kamu cari saja perempuan lain!”Fabian menggelengkan kepala lalu berujar dengan gaya angkuh, “Aku lebih dulu mengenal dan mencintai Rosalyn. Jadi .. relakan saja dia untukku.”Kelopak mata Dewa melebar sempurna, pria itu merangsek maju lantas mencengkeram kerah kemeja putih Fabian.“Aku suaminya!” teriak Dewa.Pada akhirnya kedua presdir ta
Rosalyn termangu di tempat. Tanpa sadar lelehan hangat telah menganak sungai. Ia tersenyum simpul sembari menyeka air mata. Perlahan kedua tungkai wanita itu bergerak maju.“Kamu ada di sini?” tanyanya pada perempuan itu.“Ya, Rosalyn … aku merindukanmu. Kamu ke mana saja?”“Anna, aku senang kita bisa bertemu lagi.” Rosalyn langsung memeluk erat tubuh temannya.Bahkan keduanya sesenggukan bersama lalu tertawa di sela isak tangis. Rosalyn tidak habis pikir bagaimana caranya Anna mengetahui tempat tinggalnya.Setelah menenangkan diri sejenak, keduanya duduk di ruang tamu. Kali ini Feli sengaja meninggalkan Rosalyn, supaya mereka memiliki waktu melepas rindu.“Anna … bagaimana bisa kamu ada di sini?” Mata Rosalyn masih digenangi air mata.“Itu karena Pak Fabian. Beliau memberitahu dengan syarat aku merahasiakan alamatmu dari Pak Dewa.” Anna tersenyum kikuk.Mantan rekan kerja Rosalyn itu juga membeberkan apa yang didengar telinganya beberapa jam lalu. Ketika Dewa dan Fabian bertengkar, k
“Hasil tes ini merupakan keputusan akhir yang diambil oleh tim medis.” Dokter telah menjelaskan bahwa Rosalyn tidak dapat mendonorkan sumsum tulangnya.Paska mendapat pesan teks dari pusat medis, Rosalyn bergegas mendatangi tempat itu. Ia tidak sendirian, sebab Feli meminta Anna tetap berada di samping wanita itu. Sekarang, Rosalyn sedang duduk berhadapan dengan seorang dokter.“Tapi dokter … mungkin ini salah,” lirihnya berupaya menampik kenyataan. “A-aku belum terlambat datang bulan, bagaimana kalau periksa sekali lagi,” pintanya dengan suara parau.Raut wajah dokter tetap tenang. Dikarenakan hubungan mereka cukup baik, dokter itu memberi semangat pada Rosalyn.“Operasinya bukan gagal, tapi ditunda beberapa bulan lagi. Rosalyn … kamu pasti bisa,” ujar dokter itu sambil menggenggam erat kedua tangan Roslayn yang berubah dingin.Setelahnya raga ramping itu berjalan keluar dari ruang dokter. Rosalyn nyaris terjatuh di depan pintu. Sigap
“Kenapa wajahmu lesu begitu Lily?” tegur Rosalyn sesaat melihat asisten pribadinya memasuki ruang kerja.Bukan hanya itu saja, Rosalyn juga terkejut sebab Lily menunduk dalam seolah-olah telah melakukan kesalahan besar.“Saya tidak berhasil mendapatkan gaun terbaik dari perancang busana viral itu.” Lily mereguk saliva sebab khawatir Rosalyn kecewa dan mengurungkan niat menghadiri undangan Tuan Manassero.“Bukan masalah besar Lily.” Rosalyn tersenyum hangat lantas menghampiri asistennya.Ia melihat dua gaun cantik yang terbungkus kotak berwarna keemasan. Rosalyn sangat menyukai pilihan asistennya karena pakaian itu tidak terlalu terbuka. Sesuai dengan musim dingin serta tubuhnya yang sedang hamil.“Gaun terbaik itu dibeli oleh Tu—”Ucapan Lily terpotong manakala pintu ruang kerja tiba-tiba saja terbuka. Brahma melangkah masuk sembari membawa kanvas berukuran kecil. Anak itu memamerkan hasil lukisannya. Sehingga Rosalyn melupakan kalimat Lily dan fokus pada Brahma.**Petang ini Rosalyn
“Apa yang kamu lakukan?” tegur Rosalyn sambil menarik kedua kakinya menjauh dari tangan Dewa.“Supaya kamu tidak kedinginan,” kata pria itu dengan enteng. Sorot matanya memancarkan kehangatan serta kasih sayang.Jujur saja, Rosalyn bingung. Untuk pertama kali pria di hadapannya melakukan sesuatu yang menyentuh relung hati. Ya, ia dapat melihatnya melalui cara pandang Dewa. Kemudian, ia mengalihkan fokus pada kotak sepatu di tangan mantan suaminya.Setelah mengusap kedua telapak kaki Rosalyn, Dewa melekatkan sepasang sepatu cantik edisi terbatas. Bukan hanya itu saja, Presdir Cwell Grup juga melepas tuksedo hitamnya lantas menyampirkan pada bahu Rosalyn.“Dewa?!” Rosalyn ingin protes tetapi … ia juga memerlukannya untuk menghangatkan tubuh.“Sudah hangat belum?” tanya pria itu.Ketika Rosalyn hendak menanggapi, Dewa lebih dulu merangkum pipinya dan telapak tangan besar pria membuat nyaman … Rosalyn sangat menyukainya. Akan tetapi ia tidak boleh terbuaiMelihat mantan istrinya sedang me
“Bagaimana kondisi Lily, Kak?” tanya Rosalyn sesampainya di rumah sakit.“Air ketubannya pecah. Dia kesakitan.” Kevin tampak gelisah, pria itu masih mengenakan piama dan menutupi tubuh dengan selimut.Rosalyn menuntun Kevin supaya duduk di bangku logam depan ruang bersalin. “Kita berdoa saja semoga Lily dan bayinya selamat.”Ketiga orang itu menanti dengan gelisah. Setelah hampir setengah jam berjalan, seorang dokter menghampiri Kevin dan menjelaskan, “Bayi Nyonya Lily sebentar lagi lahir, jika suaminya ingin melihat proses persalinan, kami persilakan.”Kevin menggeleng. Justru ia mendorong Rosalyn supaya menemani Lily di dalam sana. Sebagai wanita yang pernah melahirkan, ia mencebik melihat dua pria duduk gelisah di kursi. Ia pun mendampingi Lily di ruang bersalin.Rosalyn segera menggenggam tangan iparnya. Lily sedang kesakitan setelah pembukaan jalan lahir melebar sempurna.“Semangat Lily, kamu pasti bisa,” bisik Rosalyn diangguki iparnya.Dengan bimbingan dokter spesialis kandungan
“Kenapa, Bro?” sapa Fabian sambil menyodorkan sekaleng minuman. “Orang bilang ini bagus dan tahan lama,” kata pria itu.Dewa memelotot dan menyambar kaleng, lalu membuangnya ke tempat sampah.“Tidak butuh!” sentak Dewa dengan tatapan menghunus tajam.Fabian menepuk bahu temannya dan berujar, “Jangan marah-marah, kamu bisa darah tinggi!”Dewa mendengkus kasar, baginya kalimat Fabian bukan menenangkan melainkan sebuah ejekan. Pria itu menepis kasar tangan temannya, lalu berjalan mencari Rosalyn ke dalam mansion.Pagi ini, keluarga kecil itu sengaja mengunjungi Mansion Arnold. Tentu saja, karena Tuan Jack dan Feli menitipkan beberapa hadiah untuk Lily dan calon bayinya.Akan tetapi, kening Dewa mengerut dalam ketika melihat Rosalyn berjalan sendirian tanpa keempat anak mereka.“Di mana Brahma, Arimbi, Devendra dan Daneswara?” tanya Dewa dengan tatapan menyelidik.Mendengar pertanyaan itu tentunya Rosalyn mengulum senyum. Ah, ia memang sengaja menyiapkan kejutan istimewa ini untuk suami p
“Halo, Sayang … Papa datang. Janeta sudah mandi, ya? Harum banget.” Kevin menggendong putri kecilnya yang menyambut di balik pintu. Pria itu menciumi puncak kepala Janeta dan mengayun tubuhnya, membuat putri kecil tertawa riang. Namun, di ujung lorong, seorang wanita sedang cemberut menatap ke arah Kevin.“Terima ka—” Ucapan Kevin menggantung karena wanita itu melengos saja ke dapur tanpa mengelurkan sepatah kata.Kevin menurunkan tubuh Janeta dan membiarkannya bermain, lalu ia menyusul pujaan hati yang entah kenapa memasang wajah ketus.“Kamu kenapa?” tanya Kevin.“Menurutmu, kenapa?” ketusnya.“Aku tidak tahu, Lily. Ayo, bilang,” ucap Kevin lagi.Lily menatap tajam ke arah Kevin dan berujar, “Aku bosan seharian di rumah. Aku ini biasa kerja, bukan diam di rumah. Apalagi … ka-mu lebih memperhatikan Janeta dibanding aku.” Pascadinyatakan hamil, Lily diberhentikan oleh Dewa. Wanita itu pun ikut tinggal di Milan. Dia tidak lagi sibuk mengurusi peternakan, karena Dewa berhasil mencari
“Astaga apa-apaan mereka ini?!” geram Fabian. Ia menatap layar ponsel yang tidak berhenti berpendar sedari tadi. Itu bukan masalah pekerjaan kantor, tetapi … masalah rumah tangga, terutama ranjang. Demi kelangsungan masa depannya. Meskipun sudah mengetahui isinya, tetap saja Kevin mengintip melalui pop up. Dia terbelalak ketika satu pesan kembali masuk dari adik ipar. [Tutorial posisi hubungan intim untuk memiliki keturunan secepatnya.] “Dia pikir aku pria polos? Aku ini lebih berpengalaman darinya!” Kevin melempar telepon genggam ke atas sofa, lantas berdiri sambil memandangi foto pernikahan di atas meja. Lagi, Kevin tetap membaca pesan adik iparnya. Sebagai seorang pria berpengalaman, tentu saja posisi itu tidak asing lagi. Ia pun mereguk saliva, pikirannya berfantasi liar membayangkan Lily. Gairah pria itu tersulut. Hanya saja, ia bingung menyalurkannya, sebab Lily tidak ada di sini. Pasangan itu menjalani hubungan jarak jauh. Terpaksa Kevin bertahan sampai Dewa menemukan p
“Kevin … anakku apa kabar? Ibu selalu menunggumu setiap hari, Nak. Kenapa baru datang sekarang?” berondong Mathilda dari balik partisi kaca tebal.Wanita paruh baya itu menempelkan tangannya pada penghalang, lalu menggerakkan jemari—seolah membelai pipi putra tunggalnya.“Aku datang ke sini ada perlu. Kuharap Ibu menerimanya,” kata Kevin dengan intonasi dingin dan ekspresi datar.Mathilda mengangguk dan menyahut penuh kasih, “Pasti, Nak. Ibu menerima apa pun yang terbaik untukmu.”Kulit keriput Mathilda tertarik ke atas, ia tersenyum merekah sambil meneteskan bulir bening.Lebih dari semenit keduanya terdiam saling memandangi. Entah apa yang dipikirkan kedua orang itu. Hanya saja Mathila tidak menjauhkan tangannya dari kaca tebal. Kevin pun bisa melihat tangan ibunya berkeringat.“Aku sudah menikah.”Sorot mata Mathilda berbinar. “Benarkah? Siapa gadis beruntung itu? B
“I-ini masih siang,” gugup Lily. Perempuan itu mengedarkan pandangan ke penjuru kamar. Ada ranjang besar yang disiapkan khusus pengantin baru, sofa panjang serta meja kaca dan cermin besar menggantung di depannya. Sekilas, ini kamar hotel pada umumnya. Namun, Lily dibuat asing dengan status baru ini.Sejak masuk kamar, Kevin memeluk erat tubuh sang istri dari belakang. Pria itu menggesek puncak hidungnya pada tengkuk harum. “Memangnya kenapa kalau siang? Bukahkah itu bagus, kita bisa menikmati siang dan malam di hari yang sama?” Lily mereguk saliva. Walaupun bukan pengalaman pertama berhubungan intim, tetapi … ini pertama kali bersama pria berstatus sebagai suami.“Tapi—”Ucapan Lily tertahan karena Kevin memutar tubuh wanita itu dengan cepat. “Tidak ada tapi. Kamu milikku sekarang dan selamanya.” Lily hendak menunduk, tetapi Kevin mencegahnya. Pria itu menahan dagu sang istri, lalu meraup bibir tipis yang ia rinduka
Kevin menghela napas melihat tanggapan Lily. Haruskan ia menyerah dan tenggelam ke dasar lautan patah hati? Ya, mungkin … karena ini bukanlah kali pertama gadis itu menolaknya. Pria itu menarik tangannya. Namun ….“Cincinya kebesaran. Enggak sesuai ukuran jariku,” kata gadis itu menggunakan bahasa informal . Lily mengulurkan tangan kanan, yang menampilkan jemari ramping dan mungil.Seketika Kevin memperhatikan jemari gadis itu, dan pikirannya mencerna maksud ucapan Lily barusan. Bagi seorang pria, tentunya ini merupakan teka-teki. “Umm … maksudmu?” Alis tebal Kevin terangkat.Lily tersenyum jengah mendengar pertanyaan itu. Tanpa banyak bicara, gadis itu mengambil cincin dari tangan Kevin, lalu menyematkan sendiri pada jari manisnya.“Ini kebesaran, lihat bukan?” keluh gadis itu dengan bibir merengut yang sangat menggoda.Melihat cincin pilihannya melingkar pada jari manis sang gadis pujaan hati, membuat pria itu kegirangan. Kevi
Untuk sesaat keduanya membeku di tempat. Tidak ada aksi apa pun selain saling memandang lekat-lekat dengan isi pikiran masing-masing.Lily mereguk saliva karena saat ini tubuhnya hanya tertutupi sehelai handuk putih saja. Ia meremas kain handuk dengan erat, khawatir terjadi hal yang tidak seharusnya.“Maaf, aku lancang ….” Kevin berbalik badan dan menutup pintu.Pria itu bersandar pada pintu sambil mengatur napas. Melihat kemolekan seorang wanita, ditambah memiliki kenangan ranjang membuat nalurinya sebagai lelaki tersulut gairah. Ia ingin menyentuh, membelai dan mengecup setiap jengkal kulit mulus itu. Hanya saja, tidak! Kevin melawan egonya.Pria itu kembali ke kamar. Ia menemani Janeta, dan berupaya menenangkan batita itu.Sedangkan Lily masih berdiri di depan pintu kamar mandi. Namun, napasnya tidak tegang lagi. Ada kelegaan setelah Kevin pergi.“Dia …,” gumam gadis itu sambil mengangguk.Lily menggunakan pakaian serba panjang. Entah mengapa ia teringat pada tatapan Kevin tadi. Set
Beberapa hari berlalu, Lily tampak kesulitan berpamitan dengan Janeta. Gadis itu selalu menahan diri untuk pulang ke peternakan. Pada akhirnya ia menemani Janeta di vila atau rawat jalan ke rumah sakit. Seperti hari ini, Lily mengantar Janeta bertemu dokter.Akan tetapi, gadis itu tidak menduga Kevin datang menjemputnya. Bahkan mereka makan bertiga di restoran.Setelahnya Kevin membawa Lily dan Janeta pulang.“Kamu yakin bisa sendirian? Janeta berat. Biar aku saja yang gendong,” ujar Kevin.“Saya kuat, Pak.” Lily tidak menggubris ucapan Kevin. Gadis itu merengkuh tubuh batita yang terlelap tidur dari jok belakang, menggendongnya dan membawa ke kamar.Dengan hati-hati, Lily membaringkan Janeta, lantas mengecup kening batita itu. Ia tersenyum sambil menatap wajah polos bocah kecil yang agak mirip dengan Vinsensia.“Mama sayang kamu, Janeta,” gumam Lily.Hingga derit pintu terbuka membuat Lily menoleh