Rosalyn termangu di tempat. Tanpa sadar lelehan hangat telah menganak sungai. Ia tersenyum simpul sembari menyeka air mata. Perlahan kedua tungkai wanita itu bergerak maju.“Kamu ada di sini?” tanyanya pada perempuan itu.“Ya, Rosalyn … aku merindukanmu. Kamu ke mana saja?”“Anna, aku senang kita bisa bertemu lagi.” Rosalyn langsung memeluk erat tubuh temannya.Bahkan keduanya sesenggukan bersama lalu tertawa di sela isak tangis. Rosalyn tidak habis pikir bagaimana caranya Anna mengetahui tempat tinggalnya.Setelah menenangkan diri sejenak, keduanya duduk di ruang tamu. Kali ini Feli sengaja meninggalkan Rosalyn, supaya mereka memiliki waktu melepas rindu.“Anna … bagaimana bisa kamu ada di sini?” Mata Rosalyn masih digenangi air mata.“Itu karena Pak Fabian. Beliau memberitahu dengan syarat aku merahasiakan alamatmu dari Pak Dewa.” Anna tersenyum kikuk.Mantan rekan kerja Rosalyn itu juga membeberkan apa yang didengar telinganya beberapa jam lalu. Ketika Dewa dan Fabian bertengkar, k
“Hasil tes ini merupakan keputusan akhir yang diambil oleh tim medis.” Dokter telah menjelaskan bahwa Rosalyn tidak dapat mendonorkan sumsum tulangnya.Paska mendapat pesan teks dari pusat medis, Rosalyn bergegas mendatangi tempat itu. Ia tidak sendirian, sebab Feli meminta Anna tetap berada di samping wanita itu. Sekarang, Rosalyn sedang duduk berhadapan dengan seorang dokter.“Tapi dokter … mungkin ini salah,” lirihnya berupaya menampik kenyataan. “A-aku belum terlambat datang bulan, bagaimana kalau periksa sekali lagi,” pintanya dengan suara parau.Raut wajah dokter tetap tenang. Dikarenakan hubungan mereka cukup baik, dokter itu memberi semangat pada Rosalyn.“Operasinya bukan gagal, tapi ditunda beberapa bulan lagi. Rosalyn … kamu pasti bisa,” ujar dokter itu sambil menggenggam erat kedua tangan Roslayn yang berubah dingin.Setelahnya raga ramping itu berjalan keluar dari ruang dokter. Rosalyn nyaris terjatuh di depan pintu. Sigap
“Kenapa wajahmu lesu begitu Lily?” tegur Rosalyn sesaat melihat asisten pribadinya memasuki ruang kerja.Bukan hanya itu saja, Rosalyn juga terkejut sebab Lily menunduk dalam seolah-olah telah melakukan kesalahan besar.“Saya tidak berhasil mendapatkan gaun terbaik dari perancang busana viral itu.” Lily mereguk saliva sebab khawatir Rosalyn kecewa dan mengurungkan niat menghadiri undangan Tuan Manassero.“Bukan masalah besar Lily.” Rosalyn tersenyum hangat lantas menghampiri asistennya.Ia melihat dua gaun cantik yang terbungkus kotak berwarna keemasan. Rosalyn sangat menyukai pilihan asistennya karena pakaian itu tidak terlalu terbuka. Sesuai dengan musim dingin serta tubuhnya yang sedang hamil.“Gaun terbaik itu dibeli oleh Tu—”Ucapan Lily terpotong manakala pintu ruang kerja tiba-tiba saja terbuka. Brahma melangkah masuk sembari membawa kanvas berukuran kecil. Anak itu memamerkan hasil lukisannya. Sehingga Rosalyn melupakan kalimat Lily dan fokus pada Brahma.**Petang ini Rosalyn
“Apa yang kamu lakukan?” tegur Rosalyn sambil menarik kedua kakinya menjauh dari tangan Dewa.“Supaya kamu tidak kedinginan,” kata pria itu dengan enteng. Sorot matanya memancarkan kehangatan serta kasih sayang.Jujur saja, Rosalyn bingung. Untuk pertama kali pria di hadapannya melakukan sesuatu yang menyentuh relung hati. Ya, ia dapat melihatnya melalui cara pandang Dewa. Kemudian, ia mengalihkan fokus pada kotak sepatu di tangan mantan suaminya.Setelah mengusap kedua telapak kaki Rosalyn, Dewa melekatkan sepasang sepatu cantik edisi terbatas. Bukan hanya itu saja, Presdir Cwell Grup juga melepas tuksedo hitamnya lantas menyampirkan pada bahu Rosalyn.“Dewa?!” Rosalyn ingin protes tetapi … ia juga memerlukannya untuk menghangatkan tubuh.“Sudah hangat belum?” tanya pria itu.Ketika Rosalyn hendak menanggapi, Dewa lebih dulu merangkum pipinya dan telapak tangan besar pria membuat nyaman … Rosalyn sangat menyukainya. Akan tetapi ia tidak boleh terbuaiMelihat mantan istrinya sedang me
Netra hazel Rosalyn terkunci pada asistennya, ia juga menggelengkan kepala dengan pelan. Sekarang tubuh wanita itu benar-benar tegang.“Kenapa kamu diam. Apa hubunganmu dengan istriku?” tegas Dewa. Mata elangnya seolah-olah sedang menguliti Anna membuat kulit gadis mud aitu berubah pucat.“Umm … itu Nona adalah … sebenarnya—”“Aku bekerja dengan Nona Schmid,” potong Rosalyn sebelum Anna membocorkan identitasnya.Hanya saja tidak semudah itu meyakinkan pria kritis seperti Dewa. Sebab saat ini pria itu melayangkan tatapan penuh intimidasi pada Anna. Rosalyn pun turun tangan, terpaksa ia menggunakan jurus terakhir.Telapak tangan Rosalyn menyentuh dan mengusap dada bidang pria itu. Benar, tindakan ini berhasil mengalihkan perhatian Dewa. Tangan lebar pria itu semakin erat memegangi pinggul ramping. Dalam sekejap Dewa membawa Rosalyn masuk ke dalam aula.Dewa memberondong Rosayn dengan pertanyaan, “Jadi selama ini kamu bekerja dengan Nona Schmid? Apa dia baik? Kamu tidak kesulitan ‘kan?”
“Tidak boleh!” putus Rosalyn. Ia paham betul apa yang diinginkan mantan suaminya. Tinggal satu atap selama lima tahun membuat Rosalyn mengenali pria itu dengan baik. Dahulu Dewa tidak pernah bisa menahan diri dari gairah, pria itu selalu memaksakan kehendak. “Jangan menyentuhku, Dewa! Aku lagi hamil,” sentak wanita itu. Rosalyn mengamati arah pandang Dewa dan itu tertuju pada bibirnya. Ia langsung memalingkan wajah untuk menghentikan fantasi liar sang mantan. “Iya aku tahu kamu 'kan hamil anakku. Aku mau bertanggung jawab, menyayangi dia sejak dalam kandungan.” Dewa menyeringai puas seolah berhasil memenangkan pertandingan. Wajah ketus Rosalyn semakin membuat Dewa tergila-gila, perlahan pria itu mencubit gemas dagu lancip dan menggesernya hingga tatapan mereka saling mengunci. “Tidak ada wanita selain kamu. Rosalyn Keller kamu satu-satunya di sini.” Tiba-tiba saja Dewa menunjuk dada bidangnya. Rosalyn melebarkan kelopak mata, mendengar mantan suaminya mengatakan kalimat mengge
Tadi Dewa memperlihatkan beberapa gambar, di mana ketika pingsan wanita itu menempelkan wajahnya pada dada bidang Dewa.“Sayang, kenapa menunduk?” kata Dewa. Suara pria itu terdengar gagah dan seksi di tengah suasana hangat seperti ini, tetapi Rosalyn malah gugup. Perempuan pemilik mata almond tertegun mendengar kata ‘sayang’ terlontar dari bibir Dewa. Pria itu memang gila, Rosalyn berpikir mungkinkah dalam perjalanan menuju Kota Milan kepala mantan suaminya terbentur bongkahan batu?‘Hentikan Dewa, aku malu!’ teriak Rosalyn dalam hati.Bagaimana tidak, saat ini Rosalyn sedang makan malam bersama kedua anaknya, Fabian, serta Anna. Kata-kata Dewa membuat dua manusia dewasa di hadapannya tercengang. Apalagi Fabian langsung membolakan mata.Sadar akan tatapan Fabian, Dewa mengangkat dagu seolah memberitahu pria itu bahwa pemenang dalam perselisihan ini adalah Antakadewa Caldwell.‘Aku tidak akan kalah. Fabian kamu harus menyerah!’
“Apa Nona baik-baik saja?” tanya Lily. Sebab sedari tadi Rosalyn melamun dan memainkan pena di antara jari tengah dan telunjuk. Wanita cantik itu masih terdiam, sesekali mengernyitkan dahi lalu menggelengkan kepala. Entah mengapa perasaan Rosalyn saat ini tak menentu. Alasannya karena mendengar pujian manis dari bibir mantan suaminya. “Setahuku mulut dia sangat pedas,” gumamnya. Lily yang duduk di samping Rosalyn terperangah. Siang ini keduanya sedang menunggu Tuan Alan di ruang privat restoran bintang lima. “Siapa maksud, Nona?” Sayang, tidak ada tanggapan apa pun dari Rosalyn. Sebab pikirannya dipenuhi oleh wajah serta suara Dewa. Setelah beberapa detik melamun, Rosalyn melihat jam tangan kemudian mendesah lelah lantaran Tuan Alan sudah terlambat dua menit. “Apa Tuan Alan seorang yang ingkar janji dan tidak disiplin?” Rosalyn menoleh pada Lily. “Tapi … asistennya tidak mengabari apa-apa. Sebentar, saya hubungi beliau lagi.” Lily beranjak dari duduknya. Gadis muda i
“Bagaimana kondisi Lily, Kak?” tanya Rosalyn sesampainya di rumah sakit.“Air ketubannya pecah. Dia kesakitan.” Kevin tampak gelisah, pria itu masih mengenakan piama dan menutupi tubuh dengan selimut.Rosalyn menuntun Kevin supaya duduk di bangku logam depan ruang bersalin. “Kita berdoa saja semoga Lily dan bayinya selamat.”Ketiga orang itu menanti dengan gelisah. Setelah hampir setengah jam berjalan, seorang dokter menghampiri Kevin dan menjelaskan, “Bayi Nyonya Lily sebentar lagi lahir, jika suaminya ingin melihat proses persalinan, kami persilakan.”Kevin menggeleng. Justru ia mendorong Rosalyn supaya menemani Lily di dalam sana. Sebagai wanita yang pernah melahirkan, ia mencebik melihat dua pria duduk gelisah di kursi. Ia pun mendampingi Lily di ruang bersalin.Rosalyn segera menggenggam tangan iparnya. Lily sedang kesakitan setelah pembukaan jalan lahir melebar sempurna.“Semangat Lily, kamu pasti bisa,” bisik Rosalyn diangguki iparnya.Dengan bimbingan dokter spesialis kandungan
“Kenapa, Bro?” sapa Fabian sambil menyodorkan sekaleng minuman. “Orang bilang ini bagus dan tahan lama,” kata pria itu.Dewa memelotot dan menyambar kaleng, lalu membuangnya ke tempat sampah.“Tidak butuh!” sentak Dewa dengan tatapan menghunus tajam.Fabian menepuk bahu temannya dan berujar, “Jangan marah-marah, kamu bisa darah tinggi!”Dewa mendengkus kasar, baginya kalimat Fabian bukan menenangkan melainkan sebuah ejekan. Pria itu menepis kasar tangan temannya, lalu berjalan mencari Rosalyn ke dalam mansion.Pagi ini, keluarga kecil itu sengaja mengunjungi Mansion Arnold. Tentu saja, karena Tuan Jack dan Feli menitipkan beberapa hadiah untuk Lily dan calon bayinya.Akan tetapi, kening Dewa mengerut dalam ketika melihat Rosalyn berjalan sendirian tanpa keempat anak mereka.“Di mana Brahma, Arimbi, Devendra dan Daneswara?” tanya Dewa dengan tatapan menyelidik.Mendengar pertanyaan itu tentunya Rosalyn mengulum senyum. Ah, ia memang sengaja menyiapkan kejutan istimewa ini untuk suami p
“Halo, Sayang … Papa datang. Janeta sudah mandi, ya? Harum banget.” Kevin menggendong putri kecilnya yang menyambut di balik pintu. Pria itu menciumi puncak kepala Janeta dan mengayun tubuhnya, membuat putri kecil tertawa riang. Namun, di ujung lorong, seorang wanita sedang cemberut menatap ke arah Kevin.“Terima ka—” Ucapan Kevin menggantung karena wanita itu melengos saja ke dapur tanpa mengelurkan sepatah kata.Kevin menurunkan tubuh Janeta dan membiarkannya bermain, lalu ia menyusul pujaan hati yang entah kenapa memasang wajah ketus.“Kamu kenapa?” tanya Kevin.“Menurutmu, kenapa?” ketusnya.“Aku tidak tahu, Lily. Ayo, bilang,” ucap Kevin lagi.Lily menatap tajam ke arah Kevin dan berujar, “Aku bosan seharian di rumah. Aku ini biasa kerja, bukan diam di rumah. Apalagi … ka-mu lebih memperhatikan Janeta dibanding aku.” Pascadinyatakan hamil, Lily diberhentikan oleh Dewa. Wanita itu pun ikut tinggal di Milan. Dia tidak lagi sibuk mengurusi peternakan, karena Dewa berhasil mencari
“Astaga apa-apaan mereka ini?!” geram Fabian. Ia menatap layar ponsel yang tidak berhenti berpendar sedari tadi. Itu bukan masalah pekerjaan kantor, tetapi … masalah rumah tangga, terutama ranjang. Demi kelangsungan masa depannya. Meskipun sudah mengetahui isinya, tetap saja Kevin mengintip melalui pop up. Dia terbelalak ketika satu pesan kembali masuk dari adik ipar. [Tutorial posisi hubungan intim untuk memiliki keturunan secepatnya.] “Dia pikir aku pria polos? Aku ini lebih berpengalaman darinya!” Kevin melempar telepon genggam ke atas sofa, lantas berdiri sambil memandangi foto pernikahan di atas meja. Lagi, Kevin tetap membaca pesan adik iparnya. Sebagai seorang pria berpengalaman, tentu saja posisi itu tidak asing lagi. Ia pun mereguk saliva, pikirannya berfantasi liar membayangkan Lily. Gairah pria itu tersulut. Hanya saja, ia bingung menyalurkannya, sebab Lily tidak ada di sini. Pasangan itu menjalani hubungan jarak jauh. Terpaksa Kevin bertahan sampai Dewa menemukan p
“Kevin … anakku apa kabar? Ibu selalu menunggumu setiap hari, Nak. Kenapa baru datang sekarang?” berondong Mathilda dari balik partisi kaca tebal.Wanita paruh baya itu menempelkan tangannya pada penghalang, lalu menggerakkan jemari—seolah membelai pipi putra tunggalnya.“Aku datang ke sini ada perlu. Kuharap Ibu menerimanya,” kata Kevin dengan intonasi dingin dan ekspresi datar.Mathilda mengangguk dan menyahut penuh kasih, “Pasti, Nak. Ibu menerima apa pun yang terbaik untukmu.”Kulit keriput Mathilda tertarik ke atas, ia tersenyum merekah sambil meneteskan bulir bening.Lebih dari semenit keduanya terdiam saling memandangi. Entah apa yang dipikirkan kedua orang itu. Hanya saja Mathila tidak menjauhkan tangannya dari kaca tebal. Kevin pun bisa melihat tangan ibunya berkeringat.“Aku sudah menikah.”Sorot mata Mathilda berbinar. “Benarkah? Siapa gadis beruntung itu? B
“I-ini masih siang,” gugup Lily. Perempuan itu mengedarkan pandangan ke penjuru kamar. Ada ranjang besar yang disiapkan khusus pengantin baru, sofa panjang serta meja kaca dan cermin besar menggantung di depannya. Sekilas, ini kamar hotel pada umumnya. Namun, Lily dibuat asing dengan status baru ini.Sejak masuk kamar, Kevin memeluk erat tubuh sang istri dari belakang. Pria itu menggesek puncak hidungnya pada tengkuk harum. “Memangnya kenapa kalau siang? Bukahkah itu bagus, kita bisa menikmati siang dan malam di hari yang sama?” Lily mereguk saliva. Walaupun bukan pengalaman pertama berhubungan intim, tetapi … ini pertama kali bersama pria berstatus sebagai suami.“Tapi—”Ucapan Lily tertahan karena Kevin memutar tubuh wanita itu dengan cepat. “Tidak ada tapi. Kamu milikku sekarang dan selamanya.” Lily hendak menunduk, tetapi Kevin mencegahnya. Pria itu menahan dagu sang istri, lalu meraup bibir tipis yang ia rinduka
Kevin menghela napas melihat tanggapan Lily. Haruskan ia menyerah dan tenggelam ke dasar lautan patah hati? Ya, mungkin … karena ini bukanlah kali pertama gadis itu menolaknya. Pria itu menarik tangannya. Namun ….“Cincinya kebesaran. Enggak sesuai ukuran jariku,” kata gadis itu menggunakan bahasa informal . Lily mengulurkan tangan kanan, yang menampilkan jemari ramping dan mungil.Seketika Kevin memperhatikan jemari gadis itu, dan pikirannya mencerna maksud ucapan Lily barusan. Bagi seorang pria, tentunya ini merupakan teka-teki. “Umm … maksudmu?” Alis tebal Kevin terangkat.Lily tersenyum jengah mendengar pertanyaan itu. Tanpa banyak bicara, gadis itu mengambil cincin dari tangan Kevin, lalu menyematkan sendiri pada jari manisnya.“Ini kebesaran, lihat bukan?” keluh gadis itu dengan bibir merengut yang sangat menggoda.Melihat cincin pilihannya melingkar pada jari manis sang gadis pujaan hati, membuat pria itu kegirangan. Kevi
Untuk sesaat keduanya membeku di tempat. Tidak ada aksi apa pun selain saling memandang lekat-lekat dengan isi pikiran masing-masing.Lily mereguk saliva karena saat ini tubuhnya hanya tertutupi sehelai handuk putih saja. Ia meremas kain handuk dengan erat, khawatir terjadi hal yang tidak seharusnya.“Maaf, aku lancang ….” Kevin berbalik badan dan menutup pintu.Pria itu bersandar pada pintu sambil mengatur napas. Melihat kemolekan seorang wanita, ditambah memiliki kenangan ranjang membuat nalurinya sebagai lelaki tersulut gairah. Ia ingin menyentuh, membelai dan mengecup setiap jengkal kulit mulus itu. Hanya saja, tidak! Kevin melawan egonya.Pria itu kembali ke kamar. Ia menemani Janeta, dan berupaya menenangkan batita itu.Sedangkan Lily masih berdiri di depan pintu kamar mandi. Namun, napasnya tidak tegang lagi. Ada kelegaan setelah Kevin pergi.“Dia …,” gumam gadis itu sambil mengangguk.Lily menggunakan pakaian serba panjang. Entah mengapa ia teringat pada tatapan Kevin tadi. Set
Beberapa hari berlalu, Lily tampak kesulitan berpamitan dengan Janeta. Gadis itu selalu menahan diri untuk pulang ke peternakan. Pada akhirnya ia menemani Janeta di vila atau rawat jalan ke rumah sakit. Seperti hari ini, Lily mengantar Janeta bertemu dokter.Akan tetapi, gadis itu tidak menduga Kevin datang menjemputnya. Bahkan mereka makan bertiga di restoran.Setelahnya Kevin membawa Lily dan Janeta pulang.“Kamu yakin bisa sendirian? Janeta berat. Biar aku saja yang gendong,” ujar Kevin.“Saya kuat, Pak.” Lily tidak menggubris ucapan Kevin. Gadis itu merengkuh tubuh batita yang terlelap tidur dari jok belakang, menggendongnya dan membawa ke kamar.Dengan hati-hati, Lily membaringkan Janeta, lantas mengecup kening batita itu. Ia tersenyum sambil menatap wajah polos bocah kecil yang agak mirip dengan Vinsensia.“Mama sayang kamu, Janeta,” gumam Lily.Hingga derit pintu terbuka membuat Lily menoleh